• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN SBY-JK

A. Proses Perundingan Helsink

1. Perundingan Helsinki Tahap

Persoalan masa lalu yang cukup menoreh duka bagi masyarakat Aceh, sebelum tsunami hingga peristiwa tsunami yang memporak- porandakan Aceh beserta infrastruktur didalamnya, hingga masa depan Aceh kemanakah akan dibawa dengan permasalahan-permasalahan yang datang bertubi-tubi seakan tanpa henti. Dihadapkan dengan keadaan yang serba sulit ini pulalah, maka sebutir gagasan dan sebersit prakarsa untuk mengakhiri konflik Aceh pasti disambut antusias, serta

37

Ungkapan salah seorang peserta dislusi penelitian yang dilaksanakan oleh TIM LIPI di Banda Aceh 2004.

penuh harapan.38 Oleh karena itu pula perundingan perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan pihak GAM di Helsinki yang diadakan sejak tahap pertama (Januari 2005) sampai tahap kelima (Agustus 2005) mendapat respon yang sangat positif dari hampir seluruh kelompok mayarakat Aceh dan Bangsa Indonesia lainnya.39 Bagi mereka, berupaya mengakhiri konflik melalui jalan perundingan dan dialog adalah cara yang lebih terhormat dan bermartabat serta sangat manusiawi, daripada menggelar perang yang hanya menghasilkan korban harta benda, nyawa dan harkat kemanusiaan.

Jika memang air mata dan darah tak boleh lagi menetes setitik pun, berunding adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Sejak bulan Januari 2005, SBY mulai meneruskan langkah pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dan presiden Megawati, untuk melakukan pembicaraan informal dengan tokoh- tokoh GAM di Helsinki ibukota Finlandia, mungkin tidak banyak warga Aceh yang tahu dimana posisi Helsinki dalam peta dunia. Tapi, ibukota Finlandia itu kian ramai disebut-sebut sebagai warga Aceh dalam dua bulan terakhir. Ya di warung kopi, di pasar. Bahkan jadi pembicaraan anak-anak di sekolah. Beberapa isu penting telah muncul dalam lima babak pembicaraan informal dan menjadi bahan diskusi kedua belah pihak. Proses pembicaraan dimulai dengan diajukannya

38

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam proses Rekonstruksi & Rekonsilisasi, (Jakarta : Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005), h. 47.

39

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, h. 48.

oleh pemerintahan SBY-JK tawaran pemberian otonomi khusus pada Aceh dalam babak pertama (Januari).

2. Perundingan Helsinki Tahap II

Sebelumnya Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hari senin tanggal 21 Februari 2005 di Helsinki, Finlandia, kembali bertemu untuk membicarakan penyelesaian masalah Aceh. Pertemuan kedua ini berlangsung di Koeningstedt Estate. Yang berlangsung dengan perantaraan Crisis Management Initiative (CMI) sebuah lembaga yang dipimpin bekas presiden Finlandia Martti Ahtisaari.40. pembicaraan informal ini menghadirkan wakil II GAM , Perdana Mentri Malik Mahmud dan Mentri Luar Negerinya Zaini Abdullah. Adapun tujuan pembicaraan diskusi adalah bagaimana konflik antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang telah berlangsung sejak akhir tahun 1976 dan telah menelan korban sebanyak 12.000 jiwa, dapat diselesaikan.41 Pembicaraan “informal” ini, karena itu, dapat juga disebut sebagai “peace talks”.42 Bagaimanapun juga, penentangan terhadap peace talks terkesan tidak terlalu kuat. Kantor Wakil Presiden nyaris tidak berpengaruh. Kantor tersebut bahkan telah menyiapkan sebuah agenda yang telah disepakati dengan pihak GAM untuk didiskusikan dalam

40

Nasional, “Pemerintah RI dan GAM Bicarakan Penyelesaian Aceh”, 21 Februari 2005

41

Thung Ju Lan, Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, h. 19

42

“peace talks”, bukanlah merupakan upaya pertama untuk menyelesaikan konflik politik dengan GAM, yang sementara itu kehadirannya identik dengan sebuah tuntutan kemerdekaan untuk sebuah wilayah yang dikonsepsikan sebagai Aceh, Sumatra.

pembicaraan informal babak kelima yang akan dilakukan bulan Juli dan didalamnya terdapat soal-soal seperti : “menarik mundur kekuatan bersenjata kedua belah pihak, pengaturan pemberian amnesti dan kompensasi ekonomi untuk the rebels dan mengizinkan delegasi asing dari Uni Eropa dan ASEAN mengunjungi Propinsi NAD untuk meninjau infrastruktur dilapangan seandainya tercapai kesepakatan antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka.43

Beriringan dengan suara-suara kontra, terdengar pula suara- suara pro. Dukungan terhadap peace talks baik berupa pernyatan maupun opini bermunculan disana sini bukan hanya di Jakarta maupun di Aceh, tetapi juga dikalangan dunia internasional.

Helsinki begitu jadi amat popular, sebab di kota itulah nasib Aceh kedepan akan ditentukan mungkinkah Aceh akan menggapai perdamaian atau sebaliknya perang akan terus berkecamuk?. Masalah ini telah dibahas di Helsinki 12 hingga 17 April 2005 pada pertemuan babak ketiga yang dibatasi pada pembahasan Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh..44

Perjalanan menuju Aceh yang damai belum berakhir. Berakhirnya perundingan Helsinki II meninggalkan banyak pertanyaan, terutama bagi kalangan elit politik Indonesia. Pertanyaan mereka berkisar tentang niatan GAM untuk mengusulkan bentuk self

43

Kompas, “Delegasi Asing di Aceh : Menhan Kecewa DPR Bocorkan Surat

Rahasianya”, 30 Juni 2005.

44

Aceh Kita, “DialogBabak Ketiga Helsinki, Mendebatkan Bentuk Pemerintahan Aceh,” April 2005, h. 4.

government sebagai pengganti istilah otonomi khusus yang digunakan oleh Pemerintah RI. Para pejabat pemerintah dan elit politik di parlemen kontan melakukan penolakan terhadap usulan GAM yang menurut mereka berkonotasi dengan kemerdekaan.

Secara harfiah, self government diartikan sebagai pemerintahan sendiri. Hal ini disebabkan dalam terminologi hukum internasional terdapat istilah nonself government territories atau wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri.

Pemerintahan Indonesia tidak akan melakukan perubahan terhadap UU No. 18 tentang Otonomi Khusus. Artinya kesempatan GAM menggunakan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai sarana perjuangan mereka telah ditutup rapat-rapat oleh Indonesia. Sedangkan GAM sendiri tidak menjelaskan secara terperinci perihal self government dan bagaimana memperjuangkannya. Dalam siaran persnya, GAM hanya menyatakan ide tersebut muncul untuk melepaskan diri dari deadlock dalam kerangka prinsip “nothing is agreed untull everything is agreed”. Sedangkan bentuk perjuangannya melalui referendum yang melibatkan rakyat Aceh.

Bila kita mau belajar, beberapa negara di dunia yang memiliki permasalahan separatisme ternyata tidak semua menggunakan jalan kekerasan sebagai jalan utama penyelesaian konflik. perundingan adalah jalan pintu utama yang dikedepankan oleh para pihak yang

berkonflik. Pada banyak kasus, perundingan berujung pada win-win solution, seperti di negara Cina, Inggris, Kanada dan lainnya.

3. Perundingan Helsinki Tahap III

Pertemuan Helsinki babak ketiga akan membatas Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh, yakni sebuah bentuk pemerintahan sendiri untuk Aceh. Masalah self government ini masih tumpang tindih dalam pengertiannya, karena antara pihak pemerintah dan pihak GAM sendiri belum jelas self government yang seperti apa yang mereka inginkan?.

Pengertian self government ini menjadi sebuah topik hangat di kalangan pejabat dan DPR RI. GAM sendiri menganggap self government ini berbeda dengan otonomi khusus, maka muncullah berbagai kecurigaan yang ditujukan kepada GAM. Apapun bentuk self government yang ditawarkan oleh pihak GAM kepada pemerintah pusat harus dilandasi keinginan rakyat Aceh. bisa saja berbentuk otonomi khusus, tapi tidak menutup kemungkinan keluar dari NKRI. Karena itu, bukan tidak mungkin GAM akan menuntut referendum yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang diinginkan rakyat.

Pada bulan April, GAM tetap mendengarkan pemaparan pemerintah Indonesia dalam dialog dan ditawarkan draf tawaran

pemerintah Indonesia untuk GAM dan juga tuntutan pemerintah Indonesia terhadap GAM, yaitu :45

Draf Tawaran Pemerintah Indonesia untuk GAM 1. Membangun listrik PLTA 80 MW

2. Menyerahkan PTPN I serta aset-asetnya kepada anggota dan pemimpin GAM

3. Menyediakan dana Rp. 60 Miliar dalam bentuk tabungan kepada Pemda Aceh, dimana 10 persen akan diberikan untuk GAM

4. Memberikan dua pesawat Boeing 737-300 untuk Pemprov NAD

5. Menyerahkan 10 pesawat dengan kapasitas 15 penumpang kepada Pemprov NAD

6. Memperbaiki semua landasan udara di seluruh Aceh 7. Memberikan kebun kepada 150 pesantren di Aceh

8. Memberi amnesti kepada semua anggota GAM. Namun amnesti tidak diberikan kepada anggota GAM yang terlibat perbuatan tindak pidana

Adapun Tuntutan Pemerintah Indonesia terhadap GAM, adalah :

1. Menjalankan secara konsisten semua produk hukum terkait Otonomi Khusus

45

Aceh Kita,” Dialog Babak Ketiga Helsinki, Mendebatkan Bentuk Pemerintahan Aceh”, h. 7

2. Menyerahkan minimal 900 pucuk senjata

3. Menyerahkan pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri

4. Perundingan Helsinki Tahap IV

Pada babak keempat, yang berlangsung 26-31 Mei, telah dibahas soal-soal partisipasi politik dan keamanan by rebels dalam kerangka self government.46 Beriringan dengan berlangsungnya proses pembicaraan, khususnya pada babak yang keempat ini, muncul penentangan dari beberapa pihak, seperti : para pemimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI), beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belakangan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Reaksi beberapa anggota DPR, terkait dengan munculnya gagasan dalam proses pembicaraan di Helsinki untuk melibatkan Uni Eropa dalam upaya menyelesaikan konflik secara damai. Kehadiran yang belakangan ini, Uni Eropa, dalam pandangan mereka hanya akan melahirkan apa yang diistilahkannya “the internationalization of Aceh (internasionalisasi masalah Aceh).

5. Perundingan Helsinki Tahap v

Banyak hal yang tampak samar-samar, tetapi sangat menarik untuk diamati dalam perundingan damai Indonesia-GAM ini. Pada akhir perundingan babak kelima di Vantaa, Helsinki, Juni 2005, anggota delegasi Indonesia sudah menarik napas lega saat delegasi

46

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi , h. 21.

GAM sama sekali tidak mempersoalkan tiga hal pokok dan sensitif, yakni referendum, keinginan memerdekakan Aceh dan pengakuan pada otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia berikut konstitusi dan hukumnya.

Ronde kelima perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah tuntas. Kedua kubu berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda. Tetapi tak semua berjalan lancar, ada persoalan yang kemudian muncul, yakni keinginan GAM agar di Nanggroe Aceh Darussalam diperbolehkan mendirikan partai politik lokal. Pemerintah Indonesia sempat bingung menanggapi tuntutan pembentukan partai politik lokal tersebut. GAM menganggap pendirian partai politik lokal merupakan kompensasi yang sepadan dengan kesediaan mereka meletakkan senjata.

Permintaan GAM mulanya ditolak oleh pemerintah. Alasan yang dipakai adalah Undang-Undang Partai Politik, yang mengharuskan setiap partai berpusat di Jakarta dan setidaknya punya cabang di sebagian jumlah provinsi di Indonesia. Sikap keras Pemerintah belakangan luluh. Untuk mengakomodasi tuntutan pendirian partai politik lokal, pemerintah melontarkan gagasan untuk mengubah Undang-Undang Nomor No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Otsus NAD) dan bukannya Undang-Undang tentang Partai Politik.47

47

Sejauh ini DPR belum mengeluarkan suara resmi. Namun beberapa anggota DPR menyatakan keberatan dengan jalan tengah yang ditawarkan pemerintah, yaitu dengan amandemen UU Otsus NAD. Soal partai politik lokal, substansinya ada pada UU Partai Politik.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo, jumlah suara responden yang mendukung dan yang menolak partai lokal tak berbeda jauh, yang setuju mencapai 53,35 persen dan yang tidak setuju 43,59 persen. Dengan alasannya masing-masing, ada yang menyatakan bahwa partai lokal penting untuk memaksimalkan aspirasi masyarakat di daerah dan baik untuk memperbaiki partai nasional. Sedangkan dari kubu yang menolak, bahwa pemberian amnesti serta pemberian hak untuk menjadi warga negara Indonesia sudah cukup bagi eks-GAM.48

GAM dan pemerintahan RI bersepakat menandatangani nota kesepahaman babak kelima kedua pihak di Vantaa, Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Delegasi Indonesia diwakili oleh antara lain, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, mewakili GAM, hadirlah Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah juru bicara GAM di Swedia. M.Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman. Tim delegasi GAM juga diperkuat Damien Kingsbury, dosen Ilmu Politik dari Universitas Deakin, Australia. Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, turut

48

menyaksikan momen yang amat bersejarah itu. Martti berperan sebagai “wasit” selama lima kali putaran dialog damai hingga tercapainya kesepakatan Helsinki.

Sebagaimana dapat dibaca dalam terjemahan resmi bahasa Indonesia dari MoU, Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, enam hal pokok tercantum dalam MoU atau Nota Kesepahaman : (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, (2) Hak Asasi Manusia, (3) Amnesti dan reintegrasi kedalam masyarakat, (4) Pengaturan Keamanan, (5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh dan (6) Penyelesaian Perselisihan.

Nota kesepahaman itu terdapat empat hal pokok dalam draf final MoU tersebut. Pertama, penyelesaian masalah Aceh harus diselesaikan dengan jalam damai. Kedua, penyelesaian seluruh masalah Aceh harus secara menyeluruh, tidak bisa parsial. Ketiga,

harus ada kesinambungan dari kesepakatan tersebut, harus ada tindak lanjut dan aksi konkret atas kesepakatan yang dicapai. Keempat, penyelesaian masalah Aceh harus secara bermartabat, tidak ada yang kehilangan muka.

B. Tercapainya Kesepakatan Damai Dengan Isi Perdamaian Antara

Dokumen terkait