• Tidak ada hasil yang ditemukan

penduduk jumlah

PENDAPATAN DI INDONESIA

Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia

Analisis regresi ini memperlihatkan hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal di Indonesia. Sebelum melakukan estimasi, terlebih dahulu melakukan pengujian Haussman untuk menentukan metode yang paling tepat dari panel data. Melalui pengujian Hausman akan terlihat metode yang paling cocok antara fixed effect dan random effect. Hasil dari uji Haussman, menjelaskan metode persamaan belanja modal di Indonesia menggunakan metode fixed effect. Terpilihnya metode fixed effect dilihat dari χ2 statistik sebesar 18.9226 yang lebih besar dari χ2 tabel yakni (chi tabel). Berikut hasil uji Haussman:

Tabel 17. Uji Haussman persamaan belanja modal Pers : Belanja Modal

Haussman Test Chi- Square Chi-Sq. d.f Chi-Table

Cross Section Random 18.9226 4 14.060

Sumber : hasil olahan data

Tabel 18 merupakan hasil estimasi persamaan belanja modal yang terbaik setelah melakukan berbagai uji asumsi klasik. Variabel independen yang mempengaruhi belanja modal diantaranya PAD, DAU, hold harmless, DAU saat diberlakukan hold harmless dan DAK infrastruktur jalan. Variabel DAK infrastruktur jalan merupakan variabel DAK infrastruktur yang terbaik dalam persamaan belanja modal. Sedangkan DAK infrastruktur kesehatan dan pendidikan belum terbukti mempengaruhi belanja modal.

Berdasarkan tabel persamaan belanja modal, terlihat koefisien determinasi (R2) sebesar 0.820760 yang menunjukkan model persamaan belanja modal hanya mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 82.07% dan sisanya dijelaskan diluar model. Pengujian F stat dengan Prob (F-statistic) sebesar 0.0000, artinya variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel tidak bebas.

Tabel 18. Persamaan belanja modal provinsi di Indonesia Dependent variable: LNBMit (Robust (HAC) standard errors)

Coefficient Std. Error t-ratio p-value

Const 7.02578 1.56819 4.4802 0.00001 LNPADit 0.629041 0.105225 5.9781 <0.00001 DKAYAit -0.0185294 0.360006 -0.0515 0.95899 DKAYA*LNPADit 0.00358561 0.00799689 0.4484 0.65423 LNDAUit 0.236631 0.123912 1.9097 0.05719 DHHit -5.95181 1.72917 -3.4420 0.00067 DHH*LNDAUit -0.379298 0.130905 -2.8975 0.00406 LNDAK_JLNit 0.0734158 0.0216785 3.3866 0.00081 Mean dependent var 12.23626 S.D. dependent var 2.771025 Sum squared resid 439.0423 S.E. of regression 1.249971 R-squared 0.820760 Adjusted R-squared 0.796521

F(38, 281) 33.86134 P-value(F) 0.000000

Log-likelihood -504.6643 Akaike criterion 1087.329 Schwarz criterion 1234.293 Hannan-Quinn 1146.014

Rho -0.187714 Durbin-Watson 2.108830

Sumber : hasil olahan data,

Keterangan : ***: signifikan pada1%, **: signifikan pada 5%, *: signifikan pada 10%

Persamaan belanja modal akan dilakukan uji asumsi klasik seperti uji multikolinearitas, heterokedastisitas dan autokorelasi. Hasil uji multikolinearitas pada tabel dibawah ini, memperlihatkan nilai dari korelasi masing-masing variabel independen tidak ada yang melebihi 0.8 yang diindikasikan tidak terjadi multikolinearitas. Apabila melebihi dari 0.8 maka diindikasikan terdapat masalah multikolinearitas (Gujarati, 2009).

Tabel 19 Hasil coefficient correlation persamaan belanja modal provinsi di Indonesia

DAU DAK_JLN PAD

DAU 1.0000

DAK_JLN 0.2520 1.0000

PAD 0.1279 0.0026 1.0000

Sumber : hasil olahan data

Pengujian heterokedastisitas pada persamaan belanja modal menggunakan Distribution free Wald test for heteroskedasticity. Dengan p-value sebesar 0.000, maka diindikasikan pada persamaan belanja modal sudah bebas dari masalah heterokedastisitas. Pengujian autokorelasi pada persamaan ini dilakukan dengan Durbin Watson test. Nilai dari Durbin Watson statistik sebesar 2.1088, maka hasil tersebut berada di daerah H0 diterima yang diindikasikan tidak ada masalah autokorelasi. Disajikan dalam tabel 20.

Tabel 20 Durbin Watson test persamaan belanja modal

k' = ; n = 320 Nilai DW tabel dengan α = 0,05

dL 1.697 dU 1,841 4-dU 2.159 4-dL 2.303 D Stat 2.108 Keterangan :

k' = jumlah variabel independen tanpa intersep

n = jumlah observasi

Sumber : Hasil olahan data

Pembahasan Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi Belanja Modal Provinsi di Indonesia

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel persamaan belanja modal, variabel PAD mempengaruhi signifikan terhadap belanja modal. Setiap kenaikan satu persen dari PAD maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.629041%. Dari model persamaan ini ternyata variabel PAD merupakan variabel yang paling mempengaruhi terhadap belanja modal. Peningkatan PAD mencerminkan daerah sudah mandiri dalam mengelola keuangannya. Hasil PAD memperlihatkan pemerintah daerah cukup mampu untuk membiayai belanja modal yang sudah direncanakan sebelumnya. Penelitian Adi (2008), lebih menjelaskan pentingnya mendorong PAD sebagai bukti daerah lebih mandiri dan bertanggung jawab tanpa mengandalkan besaran dari proporsi dana transfer. PAD merupakan hasil kontribusi pajak, retribusi dan pendapatan lain yang sah. Peningkatan objek pajak akan berimbas terhadap peningkatan PAD dan seharusnya akan berdampak besar terhadap peningkatan belanja modal. Peningkatan objek pajak memiliki peranan yang sangat penting apabila PAD ingin ditingkatkan dalam setiap tahunnya. Perlunya mengupayakan pajak agar PAD selalu meningkat. Upaya pajak menjadikan suatu ukuran keberhasilan daerah dalam meningkatkan PAD.

Upaya pajak yang tinggi memberikan pengaruh terhadap peningkatan PAD. Hasil ini sejalan dengan penelitian Bird, Martinez-Vaguez dan Togler (2008), yaitu dengan mengupayakan pajak secara maksimum akan terdorong meningkatkan objek pajak. Pertambahan penduduk akan merespon peningkatan aktifitas ekonomi sehingga peningkatan potensi pajak akan semakin besar. Penelitian Tannewald dan Cowan (1997), menjelaskan di setiap negara sudah seharusnya untuk mengoptimalkan potensi pajak. Peningkatan potensi pajak cenderung dapat meningkatkan kapasitas fiskal. Penelitian Tannewald dan Cowan (1997) menghitung rasio kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal yang disebut comfort index. Semakin besar comfort index maka akan meningkatkan upaya pajak (tax effort). Penelitian Martinez dan Vazquez (2001), menyatakan pentingnya menerapkan sistem pajak yang dapat mendorong pendapatan daerah. Pemerintah daerah perlu mengevaluasi sektor-sektor yang berpotensi agar dapat

meningkatkan PAD. Semakin besar sumber potensi PAD akan mendorong terhadap belanja modal menjadi lebih besar. Penelitian Kotheburger (2002). menjelaskan peningkatan pajak dapat teratasi apabila meningkatkan insentif dan retribusi. Evaluasi potensi ekonomi yang ada disetiap daerah perlu dilakukan karena terdapat perbedaan potensi pada sektor-sektor di setiap daerah. Daerah diharapkan dapat membuat langkah strategis untuk mendapatkan sumber potensial yang dapat dijadikan objek PAD. Penelitian Prakosa (2004) menjelaskan pentingnya langkah-langkah strategis menggali potensi PAD.

Penyebab penurunan PAD adalah tingginya penduduk yang bekerja di sektor informal. Pemeritah daerah mengalami kesulitan dalam memungut pajak bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal. Penelitian Lledo, Schneider dan Moore (2003), menyatakan pertumbuhan tenaga kerja informal yang semakin besar akan semakin sulit mendapatkan besaran pajak. Kesulitan tersebut membuat pungutan pajak tidak menjadi lebih efisien. Diperlukan strategi pemungutan pajak terutama masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor informal. Penelitian Agustina (2010), menjelaskan setiap daerah akan terus mengevaluasi dan menggali sumber pajak yang dapat meningkatkan PAD. Dana perimbangan hanya sebagai stimulus fiskal bagi daerah dalam meningkatkan PAD melalui tax effort.

Penelitian Bird, Vazquez dan Torgler (2006), menyimpulkan perlunya faktor-faktor yang mempengaruhi pajak yang dapat mendorong peningkatan pajak melalui peningkatan sektor-sektor ekonomi. Penelitian Dahlby dan Waren, (2003), Dahlby dan Wilson (1994), Davoodi dan Grigorian (2006), menjelaskan pentingnya mengoptimalkan tax effort untuk meningkatkan PAD sehingga ekualisasi tercapai dalam mengatasi disparitas horizontal antar daerah.

Peranan PAD telah memberikan kontribusi terhadap belanja modal namun masih perlu ditingkatkan. Tidak semua daerah berkontribusi nyata terhadap belanja modal. Hal ini dilihat dari pengaruh PAD daerah kaya belum dapat mempengaruhi belanja modal. PAD bagi daerah kaya cenderung lebih diserap oleh keperluan belanja tidak langsung. Keperluan belanja tidak langsung seperti peningkatan jumlah PNS yang kian membesar di setiap tahunnya, sehingga gaji untuk PNS didanai oleh PAD. Daerah tidak hanya meningkatkan objek pajak saja melainkan hasil dari penerimaan PAD agar digunakan lebih efisien dan sesuai dengan pengunaannya.

Variabel DAU berpengaruh nyata terhadap belanja modal, setiap kenaikan satu persen dari DAU maka akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.236631%. DAU merupakan dana transfer yang berfungsi sebagai penyeimbang keuangan daerah dan menurunkan ketimpangan horizontal. DAU dapat dijadikan sebagai stimulus untuk meningkatkan belanja modal. Terutama daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah akan sulit untuk meningkatkan belanja modal. Besaran DAU ditentukan oleh perkembangan kapasitas fiskal daerah. Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah maka akan diberikan DAU yang cukup besar. Pengaruh positif DAU terhadap belanja modal memperlihatkan DAU sudah lebih kuat untuk menutupi celah fiskal.

Keinginan daerah untuk meningkatkan infrastruktur maupun investasi bergantung dari besaran belanja modal. Belanja modal dapat ditingkatkan melalui pemberian DAU sehingga keinginan daerah untuk meningkatkan infrastruktur dan investasi dapat diatasi oleh DAU. Hasil ini sesuai dengan penjelasan Simanjuntak

dan Hidayanto (2002), bahwa dana transfer berupa DAU dilakukan untuk menutupi PAD yang relatif rendah. Penelitian Abdullah dan Halim dalam Adi (2008) menjelaskan pemberian DAU memiliki pengaruh kuat terhadap belanja modal dibandingkan PAD. Pemerintah daerah berusaha untuk mempertahankan penerimaan DAU lebih besar dibandingkan mengupayakan pendapatannya sendiri. Besaran DAU yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dapat memberikan peranan besar untuk belanja modal. Menurut Wibowo, Muljarijadi dan Rinaldi (2010), alokasi dana transfer pusat berupa DAU sebesar 63% dari dana transfer lainnya. Besaran tersebut, seharusnya alokasi DAU lebih banyak diserap oleh belanja modal.

Adanya kebijakan hold harmless dan DAU saat berlakunya kebijakan hold harmless berpengaruh signifikan dan tidak searah dengan belanja modal. Kebijakan hold harmless yaitu kebijakan yang mengatur pemberian DAU kepada daerah minimal sama dan tidak kurang dengan tahun lalu. Kebijakan tersebut membuat daerah kaya akan lebih besar mendapatkan DAU. Sedangkan DAU bertujuan untuk memberikan dana bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah akan diberi DAU yang relatif tinggi. Tujuan DAU tersebut tidak akan tercapai apabila kebijakan hold harmless diberlakukan. Hasil estimasi kedua variabel ini membuktikan bahwa dengan adanya kebijakan hold harmless menjadikan DAU tidak dapat meningkatkan belanja modal. Setelah tahun 2008 kebijakan hold harmless tidak diberlakukan lagi, membuat DAU lebih kuat mempengaruhi belanja modal.

Transfer DAU masih terjadi kendala karena sering digunakan untuk kepentingan belanja tidak langsung seperti belanja pegawai. Alasan ini terlihat dari penambahan jumlah PNS pada daerah kaya yang membutuhkan biaya besar. Besarnya jumlah PNS mengakibatkan ketidakmampuan PAD untuk membiayainya, sehingga memerlukan biaya melalui DAU. Pemberian DAU membuat pemerintah daerah lebih berpikir untuk dialokasikan kepada belanja pegawai bukan untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan penurunan ketimpangan antar daerah. Kesalahan penggunaan ini menjadikan alokasi DAU digunakan untuk keperluan belanja pegawai bukan untuk belanja modal.

Variabel lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap belanja modal yaitu DAK infrastruktur jalan. Setiap kenaikan 1% dari DAK infrastruktur jalan akan meningkatkan belanja modal sebesar 0.0734158%. DAK merupakan dana transfer pusat yang berfungsi untuk pembangunan infrastruktur daerah. Belanja modal digunakan untuk pembangunan daerah yang tidak terlepas dari peningkatan infrastruktur. Dana transfer pusat seperti DAK dapat digunakan oleh belanja modal untuk mencapai pelayanan dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Pelayanan dasar ini dapat terealisasi melalui pencapaian standar pelayanan minimum (SPM). SPM merupakan salah satu program pemerintah pusat agar daerah dapat memenuhi pelayanan dasar pada sektor pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. DAK yang diberikan ke daerah seharusnya dalam jumlah cukup besar untuk keperluan belanja modal, karena pengeluaran pemerintah dari belanja modal umumnya digunakan untuk peningkatan infrastruktur daerah. Hasil ini sejalan dengan kajian akademis penyusunan DAK untuk SPM (2013). Dalam kajian akademis ini menyatakan DAK dibatasi untuk belanja bersifat fisik dan menjadi lebih penting untuk perluasan infrastruktur daerah. DAK seharusnya memainkan peran strategis untuk daerah dalam

dinamika pembangunan infrastruktur terutama pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi. DAK lebih ditekankan untuk memenuhi standar pelayanan minimum pelayanan dasar pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Nilai koefisien DAK merupakan nilai terendah dibandingkan dengan variabel dana transfer. Dalam model persamaan belanja modal, meskipun DAK infrastruktur jalan mempengaruhi belanja modal tetapi jumlah nominal dari DAK sendiri belum sesuai dengan kebutuhan daerah sehingga membutuhkan dana yang cukup besar. Besaran alokasi DAK tidak sebesar besaran alokasi DAU sehingga fungsi DAK belum optimal. Hasil estimasi ini sejalan dengan ADB 2011 dan Bapenas 2012 dalam kajian akademis mekanisme penyusunan DAK untuk SPM (2013). Kajian ini menjelaskan peranan DAK belum sesuai dengan yang diamanatkan dan tidak berjalan optimal. Hasil ini pun sejalan dengan kajian akademis Grand Design Desentralisasi Fiskal tahun 2010 (GDDF, 2010). Kajian ini menjelaskan persentase besaran DAK sangat jauh dibandingkan dengan DAU dan DBH. Saat ini peranan DAK belum mempertimbangkan fungsi dan manfaat untuk kepentingan pusat dan daerah. Kurang efisiennya pemerintah dalam mengalokasikan DAK sehingga mengimplementasikan DAK menjadi tidak efektif.

DAK menjadi peranan penting terhadap belanja modal apabila DAK dilakukan secara jangka menengah melalui RPJMN, karena belanja modal pada umumnya digunakan untuk infrastruktur dan investasi daerah. Aplikasi DAK dilapangan seringkali tidak sesuai dengan prioritas nasional. Pemberian DAK kepada daerah ditentukan oleh pemerintah pusat yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.

Terlihat dari hasil penelitian ini, pemerintah daerah masih memerlukan dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer ini digunakan untuk mengantisipasi pertambahan penduduk suatu daerah yang tidak cukup didanai oleh PAD saja. Pertambahan jumlah penduduk membuat pelayanan masyarakat semakin tinggi, sehingga tidak cukup dengan mengandalkan PAD saja. Penelitian Sasana (2011), saat ini dana perimbangan memiliki peranan penting dalam belanja daerah dan daerah sangat bergantung terhadap dana transfer tersebut. Ketergantungan daerah terhadap dana transfer tersebut berawal dari peningkatan jumlah penduduk yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil estimasi dari persamaan belanja modal, memperlihatkan nilai koefisien DAU dan DAK yang relatif sangat kecil. Pemberian DAU dan DAK cenderung lebih terserap untuk belanja rutin atau belanja tidak langsung. Masih banyak daerah yang menggunakan DAU sebagian besar untuk keperluan belanja rutin bukan belanja modal. Adanya alokasi dasar pada formula DAU memacu pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah PNS agar alokasi dasar menjadi lebih besar. Alokasi dasar merupakan alokasi untuk belanja pegawai berupa gaji. Hal ini menjadikan adanya kesalahan persepsi pemerintah daerah dalam menggunakan DAU. DAU yang seharusnya untuk menyeimbangkan keuangan daerah dan penurunan ketimpangan antar daerah, melainkan pemerintah daerah menggunakan DAU untuk kepentingan belanja pegawai. Penjelasan ini merupakan alasan nilai koefisien DAU yang sangat kecil mempengaruhi belanja modal. Begitu juga dengan DAK yang sebenarnya dapat dirasakan oleh pemerintah daerah untuk peningkatan infrastruktur daerah. Nilai DAK yang relatif kecil dibandingkan

DAU menjadikan keperluan infrastruktur daerah umumnya belum tercapai dan dapat menghambat aktifitas perekonomian daerah. Hal seperti ini menjadikan nilai koefisien DAK yang sangat rendah mempengaruhi belanja modal. Nilai koefisien DAU dan DAK yang sangat rendah membuat stimulus fiskal untuk mendorong peningkatan PAD menjadi lambat. PAD merupakan penerimaan daerah yang sangat penting dalam proses desentralisasi fiskal, tetapi dengan dana transfer pusat seperti DAU dan DAK tidak berjalan efektif maka peningkatan PAD pada umumnya akan lebih sulit untuk ditingkatkan.

Peranan PAD menjadi hal yang penting bagi belanja modal sehingga perlu meningkatkan indikator yang mempengaruhi PAD seperti pajak. Menurut penelitian Wibowo (2008), menyatakan sistem pajak yang lebih terdesentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kontribusinya di era desentralisasi fiskal. Peningkatan sistem pajak diupayakan untuk peningkatan belanja daerah, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Hasil Estimasi Model Persamaan Faktor -Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita

Sebelum melakukan analisis dari hasil estimasi persamaan PDRB perkapita terlebih dahulu akan dilakukan pengujian Haussman untuk menentukan metode yang paling tepat dari metode panel data. Hasil yang didapat dari uji Haussman adalah nilai dari χ2 statistik sebesar 5.9213 yang lebih besar dari χ2 tabel (chi tabel) dari tingkat kepercayaan 0.95. Hasil chi squared tersebut menyimpulkan metode fixed effect merupakan metode yang paling sesuai pada persamaan PDRB perkapita. Berikut hasil uji Haussman:

Tabel 21 Uji Haussman persamaan PDRB perkapita Pers : PDRB perkapita

Haussman Test Chi- Square Chi-Sq. d.f Chi-Table

Cross Section Random 5.9213 4 0.710

Sumber : hasil olahan data

Terdapat perbedaan tingkat kepercayaan antara persamaan PDRB perkapita dengan persamaan belanja modal dalam uji Haussman. Untuk memastikan bahwa tidak menggunakan random effect dapat dilakukan dengan pengujian Breush–Pagan Lagrange Multiplier Test (BP). BP menggunakan distribusi chi-kuadrat dengan 1 df: dan hanya ada 1 df karena akan menguji hipotesis tunggal (Gujarati, 2009). Hasil dari BP pada tingkat kepercayaan 0.010 dimana χ2 (Chi-Square) statistik sebesar 7.21077, disimpulkan model random effect tidak tepat digunakan pada persamaan PDRB perkapita.

Koefisien determinasi pada persamaan PDRB perkapita sebesar 0.200475. Hasil tersebut memperlihatkan model dapat menjelaskan variasi PDRB perkapita sebesar 20.04% dan sisanya dijelaskan diluar model persamaan PDRB perkapita. Uji F statistik pada persamaan PDRB perkapita dilihat dari Prob (F-Statistic)

sebesar 0.014773, yang berarti variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi secara signifikan terhadap PDRB perkapita pada tingkat kepercayaan 5%. Hasil estimasi pada faktor-faktor yang mempengaruhi PDRB perkapita dapat dilihat pada tabel persamaan PDRB perkapita.

Tabel 22 Hasil estimasi PDRB perkapita provinsi di Indonesia Dependent variable: LNPDRBKAPITAit

Robust (HAC) standard errors

Coefficient Std. Error t-ratio p-value

Const 13.0456 0.635075 20.5419 <0.00001 LNBMit-1 0.0462394 0.0156523 2.9542 0.00344 DKAYAit -0.549221 0.175575 -3.1281 0.00197 DKAYA*LNBMit-1 0.102782 0.0363156 2.8302 0.00503 DHHit -1.08481 0.407599 -2.6615 0.00829 LNINVit-1 0.0470383 0.00815903 5.7652 <0.00001 LNJLNit 0.0416365 0.0272309 1.5290 0.12753 LNPOPit 0.14862 0.0372824 3.9863 0.00009

Mean dependent var 15.59783 S.D. dependent var 0.705115 Sum squared resid 113.6889 S.E. of regression 0.677070 R-squared 0.200475 Adjusted R-squared 0.077968

F(38, 248) 1.636429 P-value(F) 0.014773

Log-likelihood -274.3520 Akaike criterion 626.7041 Schwarz criterion 769.4239 Hannan-Quinn 683.9040

Rho -0.279296 Durbin-Watson 2.280926

Sumber : hasil olahan data

Keterangan : ***: signifikan pada1%, **: signifikan pada 5%, *: signifikan pada 10%

Masalah multikolinearitas terlihat pada tabel coefficient correlation. Hasil korelasi tersebut semua variabel independen tidak melebihi 0.8 dan mengindikasikan persamaan PDRB perkapita tidak mengandung masalah multikolinearitas (Gujarati, 2009). Pengujian heterokedasitisitas dengan menggunakan uji wald test free heterokedastisity. Hasil uji wald test memperlihatkan p-value pada Chi-square sebesar 0.0000, maka diindikasikan persaman PDRB perkapita bebas dari masalah heterokedastisitas.

Tabel 23 Hasil coefficient correlation persamaan PDRB perkapita provinsi di Indonesia BM INV JLN POP BM 1.0000 INV 0.5982 1.0000 JLN 0.5290 0.4504 1.0000 POP 0.3661 0.5344 0.3548 1.0000

Pengujian masalah autokorelasi dalam persamaan PDRB perkapita digunakan Durbin Watson test (DW test). Nilai DW statistik pada persamaan ini sebesar 2.280926. Nilai DW stat ini berada pada daerah tak tentu (no decision), maka perlu melakukan uji Run test. Pengujian Run test dapat dilakukan dengan menghitung pergerakan residual yang diperoleh dari selisih antara nilai aktual dependen terhadap nilai estimasinya.

Tabel 24 Observasi nilai residual persamaan PDRB perkapita

0.243 -0.784 1.957 0.145 0.135 -0.055 -0.382 0.636 -0.058 -1.008 -0.515 -0.181 0.094 0.164 -0.652 -0.268 -0.034 0.122 -0.207 -0.312 -0.424 1.107 -0.886 0.140 1.027 0.046 0.072 -0.587 -0.154 0.033 -0.512 0.007 0.015 -0.996 -0.097 -0.340 -0.165 1.205 0.393 -0.416 -0.236 1.407 -0.281 -0.448 -0.072 0.064 0.212 -0.902 0.351 -0.138 0.984 2.120 0.221 -0.045 -0.250 -0.625 0.704 0.554 -0.833 1.345 -0.183 -0.143 -1.061 -0.456 -0.255 -0.215 0.093 -0.655 -0.282 -0.125 1.247 -0.872 -0.387 0.717 -0.145 0.102 -0.789 -0.306 0.032 -0.236 0.059 -0.208 -0.789 -0.149 -0.333 -0.444 1.081 -1.164 -0.587 -0.412 1.417 -0.234 -0.321 0.564 0.264 0.145 -0.647 -0.045 -0.279 0.985 -0.218 -0.035 -0.040 -0.165 -0.648 -0.218 0.797 -0.312 -0.233 -0.528 -0.291 -0.990 -0.142 -0.550 -0.186 0.213 -0.240 -0.020 0.086 1.183 -0.211 -0.670 0.523 -0.098 0.192 -0.863 -0.343 0.032 -0.225 -0.174 0.823 -0.685 0.099 -0.643 -0.612 0.975 -0.997 1.719 -0.443 1.350 -0.225 -0.062 -0.125 0.246 0.093 -0.189 -0.201 -0.172 1.158 -0.899 -0.434 -0.079 0.176 -0.371 0.172 1.589 -0.203 -0.470 -0.212 -0.863 -0.123 -0.931 -0.226 0.076 0.032 -0.222 -0.016 -0.179 -0.371 0.574 0.021 0.235 -0.735 -0.156 1.407 0.116 -0.384 -0.326 0.119 -0.674 0.358 0.957 -0.819 1.834 0.153 0.176 0.219 0.361 -0.402 0.032 -0.187 -0.111 -0.109 1.295 -0.699 -0.392 0.069 0.478 -0.522 -0.593 1.503 -0.215 -0.260 0.960 -0.744 0.066 -0.831 0.017 1.448 -0.070 -0.249 -0.103 -0.084 -0.136 -0.123 0.198 0.331 -0.605 0.251 0.203 -0.033 -0.756 -0.337 0.203 -0.426 0.307 0.154 -0.780 1.751 -0.211 0.052 -0.235 -0.814 -0.277 0.168 0.083 -0.159 0.114 1.348 -0.568 -0.833 -0.168 -0.338 2.258 0.187 1.630 0.021 -0.292 0.883 0.089 0.181 -0.589 -0.224 0.954 -0.505 -0.309 0.053 0.058 -0.180 -0.135 0.872 0.469 1.652 0.238 0.128 0.221 -0.787 -0.067 0.412 -0.457 0.241 -0.092 1.082 -0.531 -0.274 0.014 0.464 -0.585 -0.523 1.699 0.000 -0.156 -0.125 -1.024 0.049 -0.759 -0.142 Sumber : hasil olahan data

Melihat tabel observasi nilai residual, maka dapat ditentukan nilai residual positif, nilai residual negatif, jumlah run dan jumlah observasi. Untuk mengetahui nilai-nilai tersebut dapat dilihat berikut ini:

N = 287 , n = 127 N1 = 116 ,N2 = 171 Dimana :

N1 = jumlah nilai residual yang positif N2 = nilai residual negatif

n = jumlah atau banyaknya run N = jumlah observasi (N1 + N2)

Dalam uji Run test, untuk H0 akan diterima dengan tingkat kepercayaan 5% apabila nilai hitung yang diperoleh berada pada rentang :

E(n) – t tabel S(n)  n  E(n) + t tabel S(n)

Pengujian Run test pada tingkat signifikansi 5% berada pada 8 < 127 < 268, yang berarti tidak ada autokorelasi pada persamaan PDRB perkapita.

Pembahasan Model Persamaan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PDRB perkapita

Model persamaan PDRB perkapita ini, memperlihatkan variabel independen belanja modal tahun sebelumnya, belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya, hold harmless, investasi tahun sebelumnya dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap PDRB perkapita. Belanja modal mempengaruhi nyata terhadap PDRB perkapita, setiap kenaikan satu persen dari belanja modal tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.0462394%. Berdasarkan modal persamaan ini ternyata belanja modal tidak berdampak langsung mempengaruhi PDRB perkapita. Peningkatan PDRB perkapita saat ini merupakan hasil kontribusi belanja modal tahun sebelumnya. Peningkatan belanja modal akan mendorong peningkatan investasi dan infrastruktur yang dapat memacu pertumbuhan PDRB perkapita. Penerimaan daerah yang rendah menyebabkan belanja modal tidak dapat berdampak secara langsung terhadap PDRB perkapita. Belanja modal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan daerah dalam meningkatkan PDRB perkapita. Perkembangan belanja modal setiap provinsi mengalami perbedaan, dimana perbedaan tersebut berasal dari perbedaan penerimaan daerah.

Selanjutnya variabel belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya mempengaruhi signifikan terhadap PDRB perkapita. Setiap kenaikan satu persen dari belanja modal daerah kaya tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB perkapita sebesar 0.102782%. Nilai dari koefisien belanja modal daerah kaya lebih besar pengaruhnya dibandingkan belanja modal secara keseluruhan. Daerah kaya memiliki penerimaan daerah yang lebih besar dibandingkan daerah miskin. Provinsi yang memiliki sektor migas dan aktifitas ekonomi tinggi diindikasikan provinsi tersebut memiliki belanja modal cukup tinggi. Tingginya sumber penerimaan di daerah kaya akan lebih cepat mendorong PDRB perkapita.

Belanja modal yang efektif akan memberikan kontribusi besar terhadap pelayanan dasar masyarakat baik berupa infrastruktur maupun investasi. Kurang efektifnya belanja modal membuat perkembangan investasi dan infrastruktur menjadi terhambat sehingga tidak akan secara langsung mempengaruhi PDRB perkapita. Belanja modal yang produktif berdampak terhadap peningkatan produktifitas output. Pentingnya belanja modal yang cukup besar untuk digunakan kebutuhan investasi dan infrastruktur, diungkapkan oleh penelitian Babalola,

Sikiru, Umaru dan Aminu (2010). Penelitiannya menjelaskan pengeluaran modal berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, apabila pengeluaran digunakan secara produktif maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara jangka panjang. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Devarajan, Swaroop dan Zou (1996), bahwa pengeluaran pemerintah dilakukan secara produktif akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan suatu wilayah. Peneltian Holzner (2010), menjelaskan peningkatan pengeluaran pemerintah memberikan dampak positif terhadap pemerataan daerah dan pertumbuhan

Dokumen terkait