• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Pendapatan Petani Perkebunan Karet Rakyat

Sarana Produksi

Di daerah penelitian umur tanaman karet pada umumnya berkisar antara 11 sampai 37 tahun. Hal ini berpengaruh pada pemakaian sarana produksi termasuk pupuk serta penggunaan tenaga kerja yanag berbeda pada pada tanaman karet yang lebih muda. Pemberian pupuk pada tanaman karet yang lebih tua, dosisnya lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang masih muda sehingga kebutuhan tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit, selain itu tanaman yang sudah tua juga membutuhkan perawatan yang lebih sedikit. Seperti yang telah diketahui di daerah penelitian umur tanaman karet sejumlah besar sudah tergolong tanaman tua.

Sarana produksi petani karet di Desa Naman Jahe terdiri dari jumlah pokok (batang), atau jumlah bibit karet, pupuk, dan obat-obatan yang dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013

No uraian per/ Petani/ tahun per/ha/tahun

1 Jumlah pokok /bibit (batang) 595 625 2 Urea (Kg) SP-36 (Kg) Ponska (Kg) 180 144 144 180 144 144 3 Round up (lt) Gramaxone (lt) 1.14 0.64 1.2067 0.6267 Sumber : Diolah dari Lampiran 2

Hasil produksi tanaman karet di daerah penelitian berupa getah karet, yaitu diperoleh dari hasil sadapan batang atau pokok tanaman karet. Hasil produksi atau getah karet bisa banyak dihasilkan tergantung dari jumlah batang atau pokok tanaman karet yang ditanam petani. Semakin banyak pokok karet yang dimiliki petani semakin banyak pula getah karet yang dihasilkan. Pada tanaman karet menghasilkan mulai dari umur lima tahun. Untuk mendapatkan hasil yang banyak terlebih dahulu diperhatikan jarak tanam serta kebutuhan bibit atau pokok karet yang akan ditanam.

Kebutuhan bibit tanaman karet tiap hektar berbeda-beda pada setiap petani, hal ini dipengaruhi oleh jarak tanam yang digunakan. Jarak tanam yang umum digunakan yaitu 3 m x 7 m dimana dengan jarak tersebut dapat menghasilkan 460 bibit/batang karet. Disamping bibit yang di tanam langsung, disiapkan pula bibit untuk sulaman sebanyak 5 % dari jumlah yang akan ditanam maka kebutuhan bibit yang akan ditanam yaitu sebanyak 500 batang (Tim Penulis, 2008).

Sedangkan pada daerah penelitian jarak tanam terkecil yaitu 2.5 m x 5 m dengan jumlah batang karet 400 batang, keadaan ini sangat tidak baik karena dapat

menghambat masuk penyinaran matahari. Kebutuhan pokok atau bibit tanaman karet di daerah penelitian yaitu 595 batang/petani/tahun, hal ini diperoleh dari penjumlahan tiap bibit yang digunakan sampel penelitian sebanyak 50 sampel dibagi dengan jumlah sampel penelitian, dimana kebutuhan bibit setiap sampel berbeda-beda karena jarak tanam yang digunakan juga berbeda-heda. Sedangkan untuk kebutuhan pokok atau bibit per hektarnya sebesar 625 batang/ha/tahun, hal ini diperoleh dari penjumlahan kebutuhan bibit yang dibutuhkan petani sampel dibagi dengan luas lahan yang dimiliknya dibangi dengan besar sampel yaitu sebanyak 50 sampel petani. Dengan demikian jelas berbeda kebutuhan bibit yang dibutukan petani di daerah penelitian dengan kebutuhan bibit yang seharusnya dibutukan tiap hektarnya, hal ini disebabkan oleh berbedanya jarak tanam yang digunakan setiap petani maka berbeda pula kebutuhan bibit yang seharusnya dibutuhkan.

Untuk meningkatkan produktivitas karet, pemupukan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Dalam pemberian pupuk sebaiknya jangan dilakukan pada musim penghujan karena pupuk akan cepat tercuci oleh air hujan. Pemberian pupuk dilakukan pada saat pergantian musim, antara musim penghujan ke musim kemarau. Untuk menghemat biaya, maka jumlah pohon sangat diperlukan untuk penentuan banyaknya pupuk yang digunakan. Pohon-pohon yang baik untuk disadap saja yang dipupuk dan dosis pemupukannya dihitung perpohon. Pada umumnya waktu pemupukan tidak bisa dipastikan untuk tanaman karet karena masing-masing daerah di Indonesia berlaianan sifat dan keadaan iklimnya, sedangkan pengadaan pupuk harus disiapkan agar jangan sampai disimpan untuk pemupukan berikutnya, apalagi nitrogen yang cepat mundur kadarnya. Karena itu

pupuk hanya dapat digunakan sekali saja. Pemberian pupuk dilakukan dua kali setiap tahun dengan dosis berdasarkan jenis tanah. Tanaman karet di daerah penelitian rata-rata sudah menghasilkan dan jenis tanah di daerah penelitian yaitu jenis tanah latosol.

Di daerah penelitian jenis pupuk yang sering digunakan yaitu urea, sp-36 dan ponska. Pupuk urea merupakan pupuk kimia yang mengandung nitrogen yang berkadar tinggi, selain itu dapat membuat daun tanaman menjadi lebih hijau, mempercepat pertumbuhan dan menambah kandungan protein tanaman khusunya pada tanaman karet. Pupuk SP-36 merupakan sumberdaya posfor untuk tanaman karet, serta mudah larut dalam larutan air, fungsi dari pupuk ini ialah mempercepat pertumbuhan akar agar pohon karet tahan terhadap kekeringan di musim kemarau, meningkatkan hasil produksi getah karet serta menambah ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman karet. Pupuk ponska memiliki manfaat yaitu menjadikan daun tanman menjadi lebih hijau dan segar, mempercepat pertumbuhan tanaman, memacu pertumbuhan akar, menjadikan batang lebih tegak, serta memperbesar jumlah buah atau biji tiap tangkai.

Di daerah penelitian dosis yang digunakan untuk pemakaian pupuk urea, SP-36 dan ponska yaitu 180, 144 dan 144 kg/petani/tahun begitu juga hasilnya sama untuk setiap hektarnya, sedangkan menurut Tim Penulis (2008) dosis pupuk urea, SP-36 dan ponska yang seharusnya digunakan untuk tanman karet yaitu 280, 219 dan 200 kg/ha/tahun.

Penggunaan tiap pupuk pada tanaman karet di daerah penelitian yaitu dari penjumlahan kebutuhan pupuk yang digunakan setiap petani dibagi dengan jumlah petani sampel. Jelas berbeda pemberian dosis pupuk pada petani didaerah penelitian, hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani akan pemberian pupuk pada tanaman karet, dimana petani hanya dapat menerka atau mengira dosis yang akan diberikan kepada tanaman karet, tidak hanya itu minimnya modal yang dimiliki petani untuk dapat membeli pupuk.

Kerusakan dan kematian tanaman merupakam masalah penting pada perkebunan karet. Kerusakan dan kematian tanaman karet dapat disebabkan oleh gangguan hama penyakit, gulma, atau gangguan fisik dan kimia. Usaha menanggulangi masalah ini hendaknya dilaksanakan secara terpadu. Masalah gulma di perkebuanan karet dianggap serius karena bisa mengakibatkan terjadinya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya, dan ruang tempat tumbuh. Disamping itu, ada beberapa jenis gulma yang bisa mengeluarkan zat penghambat pertumbuhan sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan menjelang waktu penyadapan produksinya rendah. Pengendalian gulma harus dilakukan sejak tanaman masih di pembibitan. Hal ini dilakukan untuk menjaga pertumbuhan tanaman agar tetap baik. Gulma berbahaya atau alang-alang merupakan salah satu jenis gulma berbahaya. Pemberantasan alang-alang ini dapat dilakukan secara manual yaitu dengan mencabut akar-akarnya dengan garpu dan dijemur di sinar matahari. Selain secara manual, alang-alang bisa diberantas secara kimia, terutama bagi yang tumbuh berkelompok. Herbisida yang digunakan bisa berupa gramaxone dengan konsentrasi 1-2 % atau roundup dengan konsentrasi 0,6-0,8 %. Penyemprotan dilakukan langsung pada gulma. Jika masih ada gulma yang

tumbuh, konsentrasi herbisida dinaikkan, gramoxone 2 % dan roundup 0,8-1 %. Perlakuan ini berbeda dengan di daerah penelitian, dimana para petani masih kurang mengerti dan ketidakmampuan untuk membelinya.

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan sarana produksi bibit sangat dominan pada usahatani karet dan kemudian diiringi oleh sarana produksi pupuk di daerah penelitian. Untuk mengetahui biaya sarana produksi pada budidaya karet dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Rata-Rata Biaya Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun)

No uraian Rp/ Petani/ tahun Rp/ha/tahun

1 Jumlah pokok /bibit (batang) 440.900 315.800 2 Urea SP-36 Ponska 324.000 288.000 331.200 324.000 288.000 331.000 3 Round up Gramaxone 57.000 33.300 60.300 32.600 Sumber : Diolah dari Lampiran 2

Biaya pokok atau bibit tanaman karet diperoleh dari hasil perkalian jumlah batang tanaman karet dengan harga bibit tanaman karet per batangnya. Harga pokok atau bibit tanaman karet di daerah penelitian berbeda-beda yaitu tergantung dari mana jenis bibit atau pokok diambil, harga bibit atau pokok tanaman karet yaitu bekisar antara Rp 1.500 - Rp 2.500. Bibit karet yang banyak digunakan petani yaitu bibit yang harganya Rp 1.500,- , hal ini karena harganya yang dapat dijangkau oleh petani. Pada daerah penelitian sebagian petani tidak membeli bibit karet dan hanya meminta dari bibit-bibit sisa dari perkebunan swasta yang ada di daerah penelitian

Biaya pupuk di daerah penelitian yaitu penjumlahan pemakaian pupuk urea, SP-36 dan ponska dibagi dengan jumlah petani sampel sebanyak 50 petani yang digunakan selama satu tahun. Biaya sarana produksi paling besar adalah biaya pupuk ponska Rp 331.000,-/ha/tahun atau sebesar 24,5 % dari jumlah biaya sarana produksi per ha setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan harga pupuk ponska lebih mahal per kg nya. Pupuk urea harga nya Rp 1.800/kg, pupuk SP-36/kg Rp 2.000/kg dan pupuk ponska Rp 2.300/kg.

Di daerah penelitian penggunaan pupuk tidak semua petani yang menggunakannya, ada juga petani yang hanya memupuk tanamannya sekali dalam setahun dan sebagian lagi rutin melakukan pemupukan, hal ini dikarenakan umur tanaman yang tua menurut petani tidak perlu lagi diberi pupuk serta kemampuan petani untuk membeli pupuk yang masih minim. Tidak hanya bibit dan pupuk yang hanya sebagian petani mengeluarkan biaya, tetapi juga herbisida hanya sebagian petani yang menggunakannya, begitu juga pada perlakuannya, pemakaian herbisida dua kali dalam setahun, tetapi ada petani yang hanya menggunakan sekali saja. Biaya sarana produksi terkecil yaitu pada jenis herbisida gramoxone Rp 32.600,- atau 2,4 % dari jumlah biaya sarana produksi per ha setiap tahunnya. Hal ini karena jarangnya dilakukan pembrantasan gulma dengan menggunakan gramoxone. Harga gramoxone untuk tiap liternya adalah Rp 52.000,- sedangkan harga round-up untuk per liternya adalah Rp 50.000,-.

Tenaga Kerja

Penggunaan tenaga kerja dalam usahatani karet rakyat di desa Naman Jahe terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Untuk mengetahui biaya tenaga kerja pada budidaya karet rakyat dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Rata-Rata Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun)

No uraian Rp/ Petani/ tahun Rp/ha/tahun

1 TKDK 4.854.300 5.760.700

2 TKLK 2.709.700 1.978.300

Jumlah 7.564.000 7.739.000

Sumber : Diolah dari lampiran 9

Biaya tenaga kerja dalam keluarga sebesar Rp 5.760.700,- atau 74,4 % dari jumlah biaya tenaga kerja secara keseluruhan per ha pertahunnya sedangkan untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar 25,6 % dari jumlah biaya tenaga kerja secara keseluruhan per ha pertahunnya.

Sistem upah tenaga kerja di daerah penelitian yaitu bagi dua dari hasil penerimaan pemilik lahan usahatani. Setengah untuk pemilik lahan dan setengah lagi untuk tenaga kerja. Kebanyakan petani tidak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan hanya menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, tetapi bagi pemilik usahatani yang memiliki umur sudah tua menggunakan tenaga kerja luar keluarga, hal ini dikarenakan tidak sanggupnya untuk mengerjakan usahataninya.

Dalam penggunaan tenaga kerja luar keluarga kebanyakan pemilik usahatani menggunakan dua tenaga kerja luar keluarga, pembagian hasil seperti ini tetap bagi dua dari hasil penerimaan, setengah untuk pemilik usahatani dan setengah lagi dibagi dua untuk tenaga kerja sebagai upah. Untuk tenaga kerja luar keluarga mereka melakukan semua kegiatan usahatani dari pengolahan lahan, pembibitan, pemupukan, pengendalian penyakit sampai penyadapan, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk mendukung kebutuhan usahatani karet tetap pemilik lahan usahatani karet yang mengeluarkan. Upah tenaga kerja dapat tinggi apabila penerimaan pemilik usahatani tinggi juga, hal ini tergantung pada hasil produksi karet. Ada masa-masa dimana produksi karet atau getah karet yang dihasilkan sangat minim, hal ini dikarenakan cuaca yang buruk, penyakit karet yang menurut petani sangat merugikan serta menurunnya harga jual getah karet.

Biaya Produksi

Biaya produksi di desa Naman Jahe yaitu biaya sarana produksi, PBB, biaya penyusutan dan tenaga kerja, untuk melihat rata-rata biaya produksi karet rakyat desa Naman Jahe dapat dilikat pada Tabel 17.

Tabel 17. Rata-Rata Biaya Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun)

No uraian Rp/ Petani/ tahun Rp/ha/tahun

1 Sarana Produksi 1.474.300 1.352.000

2 Tenaga Kerja 7.564.000 7.739.000

3 PBB 24.500 25.000

4 Penyusutan 118.000 130.800

Jumlah 9.180.800 9.246.600

Biaya produksi paling besar adalah biaya tenaga kerja sebesar Rp 7.739.000,- atau sebesar 83,6 % dari biaya produksi per ha setiap tahunnya. Biaya sarana produksi sebesar Rp 1.352.000,- atau sebesar 14,6 % dari biaya produksi per ha setiap tahunnya. Biaya penyusutan sebesar Rp 130.800,- atau sebesar 1,41% dari biaya produksi per ha setiap tahunnya. Biaya produksi paling kecil adalah PBB sebesar Rp 25.000,- atau sebesar 0,27 % dari biaya produksi per ha setiap tahunnya.

Biaya yang harus dikeluarkan pada sarana produksi yaitu biaya bibit, pupuk, obat-obatan, upah tenaga kerja serta PBB. Semakin besar skala luas lahan petani maka semakin besar pula biaya sarana produksinya begitu sebaliknya semakin kecil skala luas lahan petani, maka semakin kecil pula biaya yang harus dikeluarkan untuk biaya produksi.

Biaya tenaga kerja yang harus dikeluarkan yaitu dengan pembagian penerimaan petani kepada pekerja atau pembagian sama rata. Biaya tenaga kerja bergantung pada hasil penerimaan petani yaitu pengkalian jumlah produksi dengan harga jual getah karet, semakin tinggi hasil produksi maka semakin tinggi pula upah tenaga kerjanya dan berhubungan dengan harga jual getah karet kepada agen.

Besarnya biaya PBB yang harus dikeluarkan oleh setiap petani yaitu bergantung pada skala luas lahan mereka, semakin besar luas lahan yang dimiliki semakin besar pula biaya PBB yang harus dikeluarkan, begitu juga sebaliknya.

Biaya penyusutan yaitu pembagian harga beli alat-alat untuk usahatani karet dengan umur ekonomis dari alat usaha tani tersebut. Besarnya biaya penyusutan

untuk seorang petani yaitu bersal dari jumlah alat yang dimiliki oleh petani, semakin banyak alat-alat yang digunakan, maka semakin besar pula biaya penyusutan yang harus dikeluarkan, begitu juga sebaliknya semakin sedikit alat– alat usahatani yang dimiliki semakin sedikit pula biaya penyusutan yang harus dikeluarkan.

Produksi merupakan keseluruhan hasil panen yang dihasilkan dalam kegiatan usahatani yang dinyatakan dalam satuan kg atau ton. Penerimaan diperoleh dari hasil kali jumlah produksi dengan harga jual. Pendapatan usahatani karet merupakan total penerimaan usahatani dikurangi dengan total biaya, yang dimaksud dengan total biaya yaitu biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dimana yang termasuk dalam biaya usahatani adalah penjumlahan dari biaya bibit, biaya pupuk, biaya herbisida, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan biaya PBB.

Untuk mengetahui produksi, penerimaan dari usahatani karet rakyat dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Rata-Rata Produksi, Harga, Total Biaya dan Penerimaan Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013 , (Rp/Ha/Tahun)

Skala usaha (ha)

Produksi Total biaya Penerimaan

(kg/petani) (kg/ha) (Rp/petani) (Rp/ha) (Rp/petani) (Rp/ha)

≤ � 1774 2047.2 6.833.400 9.065.650 11.627.500 15.404.200

>1 3688 2028.9 18.134.700 10.376.150 27.519.500 15.887.800

Rata-rata 2731 2038,05 12.484.050 9.720.900 19.573.500 15.643.650

Sumber : Diolah dari Lampiran 14

Harga jual produksi karet tiap bulannya mengalami perubahan, hal ini juga berpengaruh kepada penerimaan. Semakin tinggi harga jual maka semakin tinggi

pula penerimaan yang diterima petani, tetapi tidak lepas dari hasil produksi tanaman karet. Tidak hanya itu jika cuaca buruk produksi juga menurun, tanaman tidak diberlakukan dengan baik, tanpa adanya pemberian pupuk serta terjangkitnya penyakit yang sampai sekarang petani masih sulit untuk mengatasinya merupakan salah satu faktor penerimaan yang diterima petani sangat rendah.

Di daerah penelitian harga jual getah karet tertinggi Rp 9.000,- yaitu untuk bulan Januari, sedangkan harga jual terendah jatuh pada bulan Mei yaitu sebesar Rp 6.000,-. Harga jual getah karet sebesar Rp 7.600,- yaitu rata-rata harga jual getah karet selama satu tahun. Harga jual ini tergolong rendah karena harga ditentukan oleh pedagang pengumpul dan pedagang pengumpul menjualnya kepada agen serta sebagian petani menjual getah karet kepada agen dan agen menjualnya kepada pabrik. Terkadang penentuan harga tidak sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan petani.

Rendahnya penerimaan yang diterima petani dikarenakan minimnya jumlah produksi mereka, serta tidak adanya pengolahan untuk hasil produksi tanaman karet, dimana pada perkebunan swasta hasil produksi tanaman karet mereka olah menjadi lateks ataupun sheet yaitu bahan olah karet dalam bentuk kering yang memiliki kadar kepekatan lateks. Untuk bahan olah karet seperti ini yang dapat menghasilkan penerimaan yang tinggi, dimana standard jual karet untuk diekspor.

Petani rakyat belum dapat mengekspor hasil produksinya karena hasil nya dalam kilogram basah. Jelas jauh berbeda antara perkebunan swasta dan rakyat, hal ini

dikarenakan ketidakmampuan petani untuk mengolah usahataninya serta minimnya modal mereka untuk mencukupi kebutuhan produksi tanaman karet. Pendapatan petani perkebunan rakyat akan dipaparkan pada Tabel 19.

Tabel 19. Rata-Rata Pendapatan Petani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Selama Satu Tahun, Tahun 2013

Skala usaha (ha) Rata-rata pendapatan (Rp/petani) Rata-rata pendapatan (Rp/ha/tahun) ≤ � 4.794.000 6.338.400 > 1 9.373.700 5.507.100 Rata-rata 7.083.850 5.922.750

Sumber: Data Primer diolah dari Lampiran 14

Pendapatan merupakan hasil pengurangan penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan oleh petani. Penerimaan petani sebesar Rp 15.643.650,-/ha/tahun sedangkan total biaya produksi sebesar Rp 9.720.900,-/ha/tahun, maka diperoleh pendapatan sebesar Rp 5.922.750,-/ha/tahun. Dari Tabel 19 dapat dilihat perbandingan pendapatan rata-rata petani skala usaha yang sempit (≤ 1) yaitu

sebesar Rp 4.794.000,-/ha/tahun dengan skala usaha yang luas (˃ 1) sebesar Rp

9.373.900,-/ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa, pendapatan rata-rata petani dengan skala usaha yang sempit lebih kecil dibandingkan dengan skala usaha yang luas. Ini berarti, bahwa semakin luas skala usaha yang diusahakan oleh petani karet maka semakin besar pendapatan yang diterima oleh petani. Sebaliknya, semakin sempit skala usaha yang diusahakan oleh petani, maka semakin kecil pendapatan yang diterima.

Rendahnya sumber pendapatan petani pada kelompok skala usaha yang sempit sebagai akibat kecilnya penguasaan lahan yang diusahakan oleh petani karena

ketimpangan ditribusi penguasaan lahan yang semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan literatur Mubyarto (1991) yang menyatakan bahwa besar kecilnya produksi dan pendapatan usaha tani antara lain dipengaruhi oleh luas-sempitnya lahan yang digunakan petani.

Kelangsungan hidup sebagai upaya dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia tidak lepas dari aspek jasmani dan rohani. Pertumbuhan atau pemeliharaan membutuhkan makanan, tempat tinggal, air, udara, pemeliharaan kesehatan dan istirahat yang cukup. Kebutuhan hidup petani karet rakyat dapat dilihat pada Tabel 20 berikut.

Tabel 20. Rata-rata Kebutuhan Hidup Petani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Selama Satu Tahun, 2013

Skala Usaha (ha)

Rata-rata Kebutuhan Hidup (Rp/petani)

Rata-rata Kebutuhan Hidup (Rp/ha/tahun) ≤ 1 ˃ 1 15.109.100 17.803.600 19.094.300 9.637.300 Rata-rata 16.456.450 14.365.800

Sumber: Data Primer diolah dari Lampiran 13

Kebutuhan hidup setiap petani di desa Naman Jahe umumnya berbeda-beda. Beragam jenis kebutuhan yang dikeluarkan petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ada petani pengeluaran terbanyak yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kelangsungan hidup yaitu untuk kesehatan. Mahalnya biaya kesehatan seperti biaya obat-obatan serta kunjungan dokter yang harus membuat petani mengeluarkan biaya, salah satu contoh petani di desa Naman Jahe yang harus mengeluarkan Rp 125.000,- per harinya.

Biaya pendidikan bagi petani yang memiliki anak sekolah di perguruan tinggi dan tinggal di daerah lain juga merupakan pengeluaran yang harus dikeluarkan petani dalam jumlah yang besar. Besar kecilnya pengeluaran yang harus dikeluarkan petani tergantung dari jenis kebutuhan yang dibutuhkan petani.

Dokumen terkait