ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET
RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM
(Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)
SKRIPSI
OLEH :
MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON
090304128
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET
RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM
(Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kec. Salapian, Kab. Langkat)
SKRIPSI
OLEH :
MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON
090304128
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara Medan
Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS)
NIP. 196411021989032001 NIP. 196510081992031001
(Ir. Luhut Sihombing,MP)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON (090304128) dengan
judul skripsi ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (3) Untuk menganalisis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup petani perkebunan karet rakyat.
Penetuan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan jumlah sampel 50 petani yang dihitung menggunakan rumus slovin. Pengujian hipotesis menggunakan metode (1) metode deskriptif yaitu dengan menjelaskan bagaimana produksi karet di daerah penelitian, (2) besar pendapatan yang dicari dengan rumus pengurangan dari penerimaan dengan biaya total, (3) metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan analisis Minimum Efficient Scale (MES).
Dari hasil penelitian di peroleh proses produksi usahatani karet rakyat di daerah penelitian belum sesuai dengan teknologi budidaya anjuran, produksi perkebunan karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat Sumatera Utara untuk 0.5 Ha 12.023 Kg/Tahun, 1 Ha 66.032 Kg/Tahun, 1.5 Ha 6.662 Kg/Tahun, dan 2 Ha 15.465 Kg/Tahun, sedangkan untuk pendapatan petani karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat untuk 0.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.177.758/Ha/Tahun, 1 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.499.278/Ha/Tahun, untuk 1.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.589.300/Ha/Tahun, untuk 2 Ha pendapatan rata-rata Rp 4.425.045/Ha/Tahun serta skala usaha minimum untuk perkebunana karet rakyat berada pada skala usaha 1 Ha, dimana petani akan mengeluarkan biaya rata-rata yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih banyak dan memberikan pendapatan yang menguntungkan kepada petani.
RIWAYAT HIDUP
MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON lahir di Medan pada
tanggal 14 Desember 1991, anak pertama dari tiga bersaudara, seorang putri dari
Ayahanda Ir. E. Tampubolon dan Ibunda M. Simanjuntak S.pd.
Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :
1. Pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Dasar Swasta Budi Murni 6 Medan.
2. Pada tahun 2006 lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 17 Medan.
3. Pada tahun 2009 lulus dari Sekolah Menengah Atas Santo Thomas 2
Medan.
4. Pada tahun 2009 diterima di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Kegiatan yang pernah diikuti penulis adalah sebagai berikut:
1. Menjadi anngota Departemen Pengkaderan pada Ikatan Mahasiswa
Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Paertanian, Universitas Sumataera
Utara (IMASEP FP-USU) periode 2012-2013.
2. Menjadi bendahara PORSENI FP USU Tahun 2012.
3. Mengikuti organisasi kemahasiswaan Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI).
4. Bulan Juli-Agustus 2013, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan
(PKL) di Desa Binjai, Kecematan Tebing Syahbandar, Kabupaten
Serdang Bedagai.
5. Bulan Desember 2013 penulis melaksanakan penelitian skripsi di Desa
Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, Provinsi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul
skripsi ini adalah “Analisis Tingkat Pendapatan Petani Karet Rakyat
Berdasarkan Skala Usaha Minimum (Studi Kasus: Desa Naman Jahe,
Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat)”. Skripsi ini disusun dengan tujuan
untuk memenuhi sebagian dari syarat – syarat guna menyelesaikan strata satu dan
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agribisnis Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Ir.
Luhut Sihombing, MP selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memotivasi penulis dalam
penyelesaian skripsi ini,
2. Ibu Dr. Ir. Salmiah, M. S selaku Ketua Program Studi Agribisnis FP- USU dan
Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M. Ec selaku Sekretaris Program Stuudi
Agribisnis FP-USU yang telah memberikan kemudahan dalam hal perkuliahan
dan kegiatan di kampus,
3. Seluruh dosen Program Studi Agribisnis FP-USU, yang telah membekali ilmu
4. Seluruh pegawai Program Studi Agribisnis FP-USU khususnya Kak Lisbet,
Kak Runi, Kak Yani dan Kak Nita yang telah membantu penulis dalam
administrasi kampus.
5. Penulis juga menyampaikan terima kasih secara khusus kepada Ayahanda Ir. E.
Tampubolon dan Ibunda M. Simanjuntak, Spd, adik-adik penulis Moses H.S
Tampubolon dan Rizky S.G Tampubolon serta keluarga besar penulis yang
telah memberi doa, dukungan, motivasi dan kasih sayang kepada penulis.
6. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat Apriyani
Barus S.P, Michaela Glady Sinambela, Juara Sinaga, Maysalina S.P, Wellman
Simamora, Theodoric Sigalingging, Friska Panjaitan S.P, Rafael Pandiangan,
Satria Simamora, Nia Purba S.P, Firmansyah, Boyman dan Guruh Julioyang
telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, juga teman-teman stambuk
2009 di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara khususnya Agribisnis
yang tidak dapat disebut satu persatu yang telah banyak membantu dalam
pengerjaan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca
untuk perbaikan skripsi ini dikemudian hari. Akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Maret 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi Masalah... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Kegunaan Penelitian ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 11
2.1 Tinjauan Pustaka ... 11
2.1.1 Tinjauan Aspek Agronomi Karet ... 11
2.1.2 Tinjauan Aspek Sosial-Ekonomi Karet ... 14
2.2 Landasan Teori ... 18
2.3 Kerangka Pemikiran ... 26
2.4 Hipotesis Penelitian ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 29
3.3 Metode Pengumpulan Data... 30
3.4 Metode Analisis Data ... 29
3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 31
3.5.1 Definisi ... 32
3.5.2 Batasan Operasional ... 33
BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN ... 34
4.1 Luas dan Topografi Desa ... 34
4.2 Keadaan Penduduk ... 34
4.3 Sarana dan Prasarana ... 37
4.4 Karakteristik Sampel ... 38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40
5.1 Produksi Perkebunan Karet Rakyat ... 40
5.2 Pendapatan Petani Perkebunan Karet Rakyat ... 45
5.3 Skala Usaha Minimum Perkebunan Karet Rakyat ... 59
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 63
6.1 Kesimpulan ... 63
6.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1.
Produksi Perkebunan Karet Rakyat Menurut jenis Tanah di
Sumatera Utara 2
2.
Luas Areal dan Prodeuksi Perkebunan Rakyat Komoditi Karet Per
Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara 3
3.
LuasAreal dan Produksi Karet Rakyat di Kabupaten Langkat
Tahun 2011 4
4. Perkembangan Harga Rata-rata Lump Mangkok 6
5. Pendapatan Usahatani Karet Rakyat Per Ha di Kabupaten Langkat 8
6.
Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Naman
Jahe Tahun 2011 35
7.
Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Naman
Jahe Tahun 2011 36
8. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011 36
9. Sarana dan Prasarana di Desa Naman Jahe 2011 37
10. Karakteristik Petani Karet Rakyat Sampel Desa Naman Jahe 38
11.
Jarak Tanam yang Digunakan Petani Sampel di Desa Naman Jahe
Tahun 2013 40
12.
Perlakuan Pupuk Dalam Usahatani Karet di Desa Naman Jahe
Tahun 2013 42
13.
Produksi dan Produktivitas Getah Karet Rakyat di Desa Naman
Jahe Tahun 2013 44
14.
Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet
Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013 46
15.
Rata-Rata Biaya Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di
16.
Rata-Rata Biaya Tenaga Kerja pada Usahatani Karet Rakyat di
Desa Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun) 52
17.
Rata-Rata Biaya Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa
Naman Jahe Tahun 2013, (Rp/Ha/Tahun) 53
18.
Rata-Rata Produksi, Harga, Total Biaya dan Penerimaan Usahatani
Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013 , (Rp/Ha/Tahun) 55
19.
Rata-Rata Pendapatan Petani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe
Selama Satu Tahun, Tahun 2013 57
20.
Rata-rata Kebutuhan Hidup Petani Karet Rakyat di Desa Naman
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1.
Proses Penurunan Biaya Rata-rata Melalui Peningkatan
Jumlah Produk 23
2.
Penurunan Kurva Amplop dari Biaya Rata-Rata Jangka
Panjang dan Jangka Pendek 24
3. Skema Kerangka Pemikiran 27
4. Kurva LRAC 32
5. Kurva Biaya Total 59
6.
Penurunan Kurva SRAC dan LRAC, Minimum Efficient
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul
1. Karakteristik Petani Sampel
2. Jarak, Kebutuhan Bibit, Harga Bibit dan Biaya Bibit Per Petani
3. Jarak, Kebutuhan Bibit, Harga Bibit dan Biaya Bibit Per Ha
4. Jumlah, Harga, Total Biaya Pupuk dan Herbisida Per Petani
5. Jumlah, Harga, Total Biaya Pupuk dan Herbisida Per Ha
6. Biaya Sarana Produksi Per Petani
7. Biaya Sarana Produksi Per Ha
8. Biaya Penyusutan Peralatan Usahatani Karet Per Petani dan Per Ha
9. Upah Tenaga Kerja Usahatani Karet Rakyat
10. Biaya Total Per Petani dan Per Ha
11. Produksi GetahKaret Selama Satu Tahun, Tahun 2013
12. Harga Jual Getah Karet Tahun 2013
13. Kebutuhan Hidup Petani
14.
Biaya Total, Total Produksi, Biaya Rata-rata, Penerimaan, Pendapatan Petani dan Per Ha
15. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Petani, Tahun 2013
16. Rata-rata Biaya Total, Penerimaan dan Pendapatan Per Ha, Tahun 2013
ABSTRAK
MURNI ARTHA CHRISTY TAMPUBOLON (090304128) dengan
judul skripsi ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KARET RAKYAT BERDASARKAN SKALA USAHA MINIMUM (Studi Kasus : Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat). Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian, (3) Untuk menganalisis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup petani perkebunan karet rakyat.
Penetuan daerah penelitian dilakukan secara purposive dengan jumlah sampel 50 petani yang dihitung menggunakan rumus slovin. Pengujian hipotesis menggunakan metode (1) metode deskriptif yaitu dengan menjelaskan bagaimana produksi karet di daerah penelitian, (2) besar pendapatan yang dicari dengan rumus pengurangan dari penerimaan dengan biaya total, (3) metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan analisis Minimum Efficient Scale (MES).
Dari hasil penelitian di peroleh proses produksi usahatani karet rakyat di daerah penelitian belum sesuai dengan teknologi budidaya anjuran, produksi perkebunan karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat Sumatera Utara untuk 0.5 Ha 12.023 Kg/Tahun, 1 Ha 66.032 Kg/Tahun, 1.5 Ha 6.662 Kg/Tahun, dan 2 Ha 15.465 Kg/Tahun, sedangkan untuk pendapatan petani karet rakyat di desa Naman Jahe, Kec.Salapian, Kab.Langkat untuk 0.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.177.758/Ha/Tahun, 1 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.499.278/Ha/Tahun, untuk 1.5 Ha pendapatan rata-rata Rp 6.589.300/Ha/Tahun, untuk 2 Ha pendapatan rata-rata Rp 4.425.045/Ha/Tahun serta skala usaha minimum untuk perkebunana karet rakyat berada pada skala usaha 1 Ha, dimana petani akan mengeluarkan biaya rata-rata yang lebih efisien dengan hasil produksi yang lebih banyak dan memberikan pendapatan yang menguntungkan kepada petani.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting peranannya di dalam
perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. Hal
tersebut dapat dilihat dengan jelas dari peranan sektor pertanian di dalam
menampung penduduk serta memberikan kesempatan kerja kepada penduduk,
menciptakan pendapatan nasional dan menyumbangkan pada keseluruhan produk.
Berbagai data menunjukkan bahwa di beberapa negara yang sedang berkembang
lebih 75% dari penduduknya berada di sektor pertanian dan lebih 50% dari
pendapatan nasionalnya dihasilkan dari sektor pertanian serta hampir seluruh
ekspornya merupakan bahan pertanian (Todaro, 2000).
Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan dengan nilai ekonomis tinggi.
Oleh karena itu, tidak salah jika banyak yang beranggapan bahwa tanaman karet
adalah salah satu kekayaan Indonesia. Karet yang diperoleh dari proses
penggumpalan getah tanaman karet (lateks) dapat diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb
Tabel 1. Produksi Perkebunan Rakyat Menurut Jenis Tanamannya di Sumatera Utara
No. Jenis Tanaman Produksi (Ton)
1. Karet 280.445,65
2. Kelapa Sawit 5.428.535,14
3. Kopi
Sumber: Dinas Perkebunan 2011
Dari Tabel 1 dapat dilihat jumlah produksi perkebunan karet rakyat sebesar
280.445,65 Ton dan merupakan hasil perkebunan rakyat kedua terbanyak setelah
kelapa sawit.
Untuk melihat produksi dan sentra perkebunan karet rakyat di Sumatera Utara
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Rakyat Komoditi Karet per Kabupaten di Provinsi Sumatera Utara
No Kabupaten/Kota Skala Usaha (Ha) Produksi
(Ton)
1 Deli Serdang 6.925,20 5.441,52
2 Langkat 42.340,00 33.183,30
3 Simalungun 13.380,14 11.263,37
4 Karo 56,20 29,65
5 Dairi 249,70 117,49
6 Tapanuli Utara 8.551,09 4.710,41
7 Tapanuli Tengah 32.180,50 19.815,00
8 Tapanuli Selatan 25.101,50 7.791,90
9 Labuhan Batu 21.817,23 20.582,51
10 Labuhan Batu Utara 22.341,00 23.931,37
11 Labuhan Batu Selatan 26.229,00 26.226,26
12 Asahan 7.548,86 7.635,74
13 Mandailing Natal 71.880,28 61.292,02
14 Toba Samosir 433,00 315,00
15 Humbang Hasunduntan 4.063,20 2.079,90
16 Pak-pak Bharat 1.783,00 577,46
17 Samosir - -
18 Serdang Bedagai 11.552,20 9.461,65
19 Padang Lawas Utara 38.099,00 21.593,00
20 Batu Bara 386,00 190,54
Jumlah 378.309,95 280.445,65
Sumber: Dinas Perkebunan 2011
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa luas areal perkebunan karet rakyat di Kabupaten
Langkat pada tahun 2011 mencapai 42.430 Ha, dengan produksi 33.183,30 ton.
Data tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Langkat menempati posisi kedua
setelah Kabupaten Mandailing Natal dalam hal luas areal dan produksi karet
Tabel 3. Luas Areal dan Produksi Karet Rakyat di Kabupaten Langkat Tahun 201
No. Kecamatan Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
1. Bahorok 6.260,00 7.956,60
11. Batang Serangan 4.731,00 5.913,42
12. Sawit Seberang 1.212,00 1.631,70
13. Padang tualang 1.265,00 1.696,47
Sumber: Kabupaten Langkat Dalam Angka 2012
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa di Kabupaten Langkat, karet terdapat di semua
kecamatan. Kecamatan Salapian merupakan kecamatan dengan luas lahan dan
produksi terbesar di Kabupaten Langkat yaitu 8.587,00 Ha dengan hasil produksi
11.394,62 ton.
Pengelolaan yang kurang baik atau seadanya juga turut membuat produktivitas
diremajakan dengan klon baru. Bahkan, klon baru yang mampu menghasilkan
produksi lebih baik dari klon sebelumnya jarang dikenal oleh petani karet rakyat
tersebut. Pengetahuan tentang peralatan dan teknologi pengolahan yang masih
sangat sederhana juga berimbas pada mutu karet olahan yang dihasilkan. Mutu
yang tidak memenuhi standar menyebabkan harga jual karet olahan menjadi
rendah dan hanya dapat memasuki sebagian pasar saja (Anonimus, 2011).
Harga jual yang rendah menyebabkan penerimaan yang diterima petani
berkurang. Dimuat dalam situs http://www.bisnis-sumatra.com tanggal 25 Maret
2013 disebutkan bahwa sejak bulan Agustus 2012, harga jual karet terus melemah.
Bahkan di provinsi Sumatera Utara yang memiliki hasil komoditi perkebunan
yang melimpah, hal ini cukup mencemaskan petani yang mengusahakan komoditi
perkebunan mengingat harga kelapa sawit yang juga dalam beberapa waktu
terakhir mengalami penurunan dari sekitar Rp 1.000 per kilogram menjadi Rp 600
per kilogram. Harga karet pada akhir bulan Juli 2012 masih berada di kisaran Rp
18.000 per kilogram, namun pada bulan Maret 2013 masih tertahan pada harga
sekitar Rp 8.000-10.000 per kilogram. Bahkan, beberapa bulan sebelumnya di
beberapa daerah sempat tertahan pada harga Rp 5.000-6.000 per kilogram.
Fluktuasi harga jual karet ini disebabkan oleh faktor cuaca yang tidak stabil
(ekstrem), krisis luar negeri, harga ekspor yang menurun, lemahnya harga minyak
dunia, dan faktor lainnya.
Sementara itu, data dari Dinas Perkebunan menunjukkan bahwa harga lump
mangkok (cup lump), yang juga merupakan bahan olahan karet (bokar) juga
secara alami di dalam mangkok pengumpul lateks setelah kurang lebih 3 jam
disadap. Perkembangan harga rata-rata lump mangkok dapat dilihat di Tabel 3
berikut.
Tabel 4. Perkembangan Harga Rata-Rata Lump Mangkok
No. Tahun Harga Rata-rata (Rp/kg)
Tingkat Kabupaten Tingkat Provinsi
1. 2008 13.218,80 21.135,42
2. 2009 7.136,42 14.878,08
3. 2010 19.331,00 26.240,00
4. 2011 18.765,00 33.644,00
Sumber: Dinas Perkebunan, 2012
Menurut Tohir (1991), tingkat kesejahteraan petani sering dikaitkan dengan
keadaan usahatani yang dicerminkan oleh tingkat pendapatan petani. Penerimaan
yang berkurang akan diikuti dengan semakin rendahnya pendapatan yang diterima
petani. Pendapatan yang rendah tentunya dapat menyurutkan semangat kerja
petani dalam mengusahakan usahatani karetnya, salah satunya misal petani eng
gan melakukan penyadapan. Jika karet tidak disadap, maka produksi ataupanen
akan menurun. Produksi yang menurun tentunya akan berimbas pula dengan
semakin menurunnya pendapatan yang diterima petani.
Total pendapatan petani dapat bersumber dari pendapatan petani dari usahataninya
dan pendapatan petani dari luar usahataninya. Menjelaskan bahwa pendapatan
petani dari usahataninya adalah sebagian dari pendapatan kotor yang karena
tenaga keluarga dan kecakapannya memimpin usahanya dan sebagaian bunga dari
dari keluarganya. Pendapatan petani dari usahataninya juga dapat diperhitungkan
Tabel 5. Pendapatan Usahatani Karet Rakyat Per Ha di Kabupaten Langkat
Sampel Luas Lahan
(Ha)
Pendapatan Per Ha (Rp)
21. 1,00 18.481.000,00
22 2,00 18.346.000,00
Total 37,50 420.581.229,17
Rata-rata 1,25 14.019.374,31
Sumber: Affandi,Ulpan.2011
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan petani karet rakyat di
kabupaten Langkat Rp 14.019.374,31/ha/tahun dan dengan rata-rata luas lahan
1,25 Ha, sedangkan pendapatan pada suatu perusahaan perkebunan swasta yang
perkebunan rakyat ini dapat dikatakan masih dibawah dari pendapatan perkebunan
swasta. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian di daerah langkat untuk
meningkatan pendapatan petani tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan
penelitian, yaitu:
1) Berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian?
2) Berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar di daerah penelitian?
3) Berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan kebutuhan hidup
petani perkebunan karet rakyat?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui berapa produksi perkebunan karet rakyat per hektar di
daerah penelitian
2) Untuk menganalisis berapa pendapatan petani perkebunan karet rakyat per hektar
di daerah penelitian
3) Untuk menganalis berapa skala usaha minimum untuk memenuhi skala efisien dan
1.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Sebagai bahan informasi bagi petani dalam mengelola dan mengembangakan
usaha taninya.
2) Sebagai informasi bagi pemda setempat dalam membuat kebijakan
3) Sebagai bahan informasi atau referensi untuk pengembangan ilmu bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN
KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan Aspek Agronomi Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) mulai dikenal di Indonesia sejak zaman
penjajahan Belanda. Awalnya, tanaman karet ditanam di Kebun Raya Bogor
sebagai tanaman yang baru dikoleksi. Selanjutnya, karet dikembangkan sebagai
tanaman perkebunan dan tersebar di beberapa daerah di Indonesia
(Suwarto, 2010).
Tanaman karet, merupakan anggota famili phorbiaceae. Berbentuk pohon, tinggi
10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Tanaman karet
mengalami gugur daun sekali setahun pada musim kemarau, di Sumatera Utara
terjadi pada bulan Februari-Maret. Setelah gugur daun, terbentuk bunga bila
tanaman karet telah berumur 5-7 tahun, tergantung pada tinggi tempat diatas
permukaan laut. Masa produktif tanaman karet adalah 25-30 tahun
(Sianturi, 2001).
Sekarang sudah banyak ditemukan klon tanaman karet. Klon yang dianjurkan
untuk ditanam dalam skala besar diantaranya adalah klon AVROS, PBM 1, BPM
24, GT 1, LCB 1320, PR255, PR 261, PR 300, RRIM 600, dan RRIM 712. Untuk
rakyat, sebaiknya menggunakan klon AVROS 2037, BPM1, BPM 24, GT 1, PR
261, PR 300, dan PR 303 (Setiawan, 2000).
Sesuai dengan habitat aslinya di Amerika Selatan, karet merupakan tanaman yang
cocok ditanam di daerah tropis. Daerah tropis yang baik ditanami tanaman karet
mencakup luasan antara 15°LU-10° LS. Suhu harian yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangannya adalah 25-30°C. Tanaman karet dapat
tumbuh dengan baik pada ketinggian 1-600 m dpl. Curah hujan yang cukup antara
2.000-2.500 mm/tahun adalah salah satu kondisi yang disukai oleh tanaman karet.
Dalam sehari, tanaman karet membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang
cukup yaitu antara 5-7 jam per hari (Suwarto, 2010).
Perawatan pada tanaman belum menghasilkan (TBM) akan berpengaruh pada saat
penyadapan pertama. Perawatan yang intensif dapat mempercepat awal
penyadapan. Perawatan tanaman belum menghasilkan (TBM) meliputi kegiatan
penyulaman, penyiangan, pemupukan, seleksi dan penjarangan, pemeliharaan
tanaman penutup tanah, serta pengendalian hama dan penyakit. Kematian tanaman
karet setelah penanaman masih dapat ditolerir sebanyak 5%. Penyiapan bibit
untuk penyulaman dilakukan bersamaan dengan penyiapan bibit untuk penanaman
agar diperoleh keseragaman bibit yang tumbuh. Penyulaman dilakukan pada saat
tanaman berumur atau sampai dua tahun. Tahun ketiga tidak ada lagi penyulaman
Pemupukan pada TBM mempunyai tujuan untuk memperoleh tanaman yang
subur dan sehat, sehingga lebih cepat tercapainya matang sadap dan agar tanaman
cepat menutup sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. Pemberian pupuk
secara berkala dan dengan frekuensi yang tinggi dapat mengurangi kehilangan
hara disebabkan proses pencucian dan dosis pupuk tanaman dapat diserap akar
tanaman lebih efesien (Setiawan, 2000).
Tanaman karet disebut tanaman menghasilkan yaitu memasuki tahun kelima dari
siklus hidup karet. Pada tahun ini tanaman karet sudah mulai disadap. Namun
adakalnya dari sejumlah pohon karet yang berumur empat tahun itu ada pohon
yang belum bisa disadap. Menurut teori, tanaman karet yang bisa disadap pada
usia empat tahun itu belum 100%. Biasanya dari 476 pohon, yang benar-benar
matang sadap hanya sekitar 400 pohon (Tim Penulis, 2008).
Pada tanaman menghasilkan (TM) pemupukan mempunyai dua tujuan yaitu untuk
meningkatkan hasil dan mempertahankan serta memperbaiki kesehatan dan
kesuburan pertumbuhan tanaman pokok. Pemberian pupuk dilakukan 2 kali setiap
tahun. Pemupukan tanaman produktif yang dilakukan dengan dosis yang tepat dan
teratur dapat mempercepat pemulihan bidang sedapan, memberi kenaikan
produksi 10-20%, meningkatkan resistensi tanaman terhadap gangguan hama
penyakit dan tingkat produksi yang tinggi dapat dipertahankan dalam jangka
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet
(mendedes, menoreh, tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi
karet. Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6
tahun, tergantung pada kesuburan pertumbuhannya (Setyamidjaja, 1993).
Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas
kambium dengan menggunakan pisau sadap. Bentuk irisan berupa saluran kecil,
melingkar batang arah miring ke bawah. Melalui saluran irisan akan mengalir
lateks selama 1-2 jam sesudah itu lateks akan mengental (Setiawan, 2000).
Dalam pelaksanaan penyadapan harus diperhatikan ketebalan irisan, kedalaman
irisan, waktu pelaksanaan dan pemulihan kulit bidang sadap. Tebal irisan yang
dianjurkan 1,5-2 mm, kedalaman irisan yang dianjurkan 1-5 mm dari lapisan
kambium. Penyadapan hendaknya dilakukan pada pagi hari antara pukul
05.00-06.00 pagi. Sedang pengumpulan lateksnya dilakukan antara pukul 08.00-10.00
pagi. Kulit pulihan bisa disadap kembali setelah 9 tahun untuk kulit pulihan
pertama dan dapat disadap kembali pada bidang yang sama setelah 8 tahun untuk
kulit pulihan kedua (Tim Penulis, 1999).
2.1.2 Tinjauan Aspek Sosial-Ekonomi Karet
Keadaan sosial ekonomi petani karet mempunyai hubungan dengan hasil produksi
karet rakyat. Ini berarti, usaha peningkatan produksi dan mutu karet rakyat secara
peningkatan produksi dan mutu hasil kebun menjadi tidak berarti, jika keadaan
sosial ekonominya tidak berubah. Untuk itu usaha yang sering dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi petani karet adalah
melalui peningkatan pendapatan (Sadikin dan Irwan, 2005).
1. Faktor Sosial Petani
a. Umur
Pada petani yang lebih tua mempunyai kemampuan berusahatani yang lebih
berpengalaman dan keterampilannya lebih baik, tetapi biasanya lebih konservatif
dan lebih mudah lelah. Sedangkan petani muda mungkin lebih miskin dalam
pengalaman dan keterampilan tetapi biasanya sifatnya lebih progresif terhadap
inovasi baru dan relatif lebih kuat. Dalam hubungan dengan perilaku petani
terhadap resiko, maka faktor sikap yang lebih progresi terhadap inovasi baru
inilah yang lebih cenderung membentuk nilai perilaku petani usia muda untuk
lebih berani menangung resiko.
b. Tingkat Pendidikan
Model pendidikan yang digambarkan dalam pendidikan petani bukanlah
pendidikan formal yang acap kali mengasingkan petani dari realitas. Pendidikan
petani tidak hanya berorientasi kepada peningkatan produksi petanian semata,
tetapi juga menyangkut kehidupan sosial masyarakat petani. Masyarakat petani
optimis pada masa depan, lebih efetkif dan pada akhirnya membawa pada keadaan
yang lebih produktif.
Rendahnya tingkat petani dan keterbatasan teknologi modern merupakan dua
faktor penyebab utama yang menyebabkan kemiskinan di sektor pertanian di
Indonesia. Keterbatasan dua faktor produksi tersebut yang sifatnya komplementer
satu sama lain mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas yang pada akhirnya
membuat rendahnya tingkat pendapatan riil petani sesuai mekanisme pasar yang
sempurna.
c. Pengalaman Bertani
Belajar dengan mengamati pengalaman petani lain sangat penting, karena
merupakan cara yang lebih baik untuk mengambil keputusan dari pada dengan
cara mengolah sendiri informasi yang ada. Misalnya seorang petani dapat
mengamati dengan seksama dari petani lain yang lebih mencoba sebuah inovasi
baru dan ini menjadi proses belajar secara sadar. Mempelajari pola perilaku baru,
bisa juga tanpa disadari (Soekartawi, 2005).
2. Faktor Ekonomi
a. Luas Lahan
Luas lahan yang selalu digunakan dalam skala usaha pertanian tradisional karena
komunitas yang ditanam oleh petani tradisional selalu seragam yakni padi,
kacang-kacangan dan tanaman keras yang sejenisnya. Dengan demikian pedoman
Kebun kelapa sawit, Karet, Kopi misalnya juga bisa menggunakan acuan luas
lahan untuk menentukan skala usahanya.
Ketersediaan lahan garapan yang dimiliki petani yang jauh dibawa skala usaha
ekonomi menjadi salah satu penyebab yang membuat rendahnya pendapatan
petani di Indonesia. Baik didaerah perkotaan maupun daerah pedesaan, jumlah
petani miskin yang tidak memiliki lahan jauh lebih banyak dibandingkan dengan
petani miskin yang memiliki lahan.
b. Jumlah Tanggungan Keluarga
Ada hubungan yang nyata yang dapat dilihat melalui keengganan petani terhadap
resiko dengan jumlah anggota keluarga. Keadaan demikian sangat beralasan,
karena tuntutan kebutuhan uang tunai rumah tangga yang besar, sehingga petani
harus berhati-hati alam bertindak khususnya berkaitan dengan cara-cara baru yang
riskan terhadap risiko. Kegagalan petani dalam berusaha tani akan sangat
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang besar seharusnya memberikan dorongan yang kuat untuk berusaha tani
secara intensif dengan menerapkan teknologi baru sehingga akan mendapatkan
pendapatan (Soekartawi, 2002).
c. Curahan Tenaga Kerja
Faktor utama masalah ketenagakerjaan adalah produktivitas. Semakin produktif
pekerja akan semakin besar pendapatan yang diperoleh. Jika seluruh tenaga kerja
menjadi produktif. Jika produktivitas itu disertai dengan efesien, maka unit
kegiatan tersebut akan memperoleh laba usaha yang sangat besar. (Rahardi, 2003).
Setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja,
oleh karena itu dalam analisa ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan
tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja
kerja yang dibutuhkan dan juga menentukan macam tenaga kerja yang bagaimana
yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai seperti yang telah
diketahui bahwa skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya berapa tenaga
yang diperlukan (Soekartawi, 2005).
2.2.Landasan Teori
Teori Produksi
Produksi merupakan hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan
memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian, kegiatan produksi
tersebut adalah dengan mengkombinasikan berbagai masukan berbagai masukan
untuk menghasilkan keluaran (Agung dkk.,2008).
Daniel (2002) dalam usahatani faktor produksi mencakup tanah, modal dan tenaga
kerja. Tanah merupakan faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanpa tanah rasanya
mustahil usaha tani dapat dilakukan. Dalam tanah dan sekitar tanah banyak lagi
faktor yang harus diperhatikan, katakan luasnya, topografinya, kesuburannya,
keadaan fisisknya, lingkungannnya, lerengnya, dan lain sebagainya. Dengan
mengetahui keadaan semua mengenai tanah, usaha pertanian dapat dilakukan
Faktor produksi mempunyai peranan penting dalam melaksanakan usahatani. Pemilikan
lahan yang semakin luas memberikan potensi yang besar dalam mengembangkan
usahatani. Modal juga mempunyai peranan penting, digunakan untuk membeli sarana
produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan lain-lain. Faktor produksi ini sangat
mempengaruhi besar-kecilnya biaya yang dikelurakan dan produksi yang diperoleh.
Dalam berbagai pengalaman menunujukkan bahwa faktor produksi lahan, tenaga kerja
dan modal adalah faktor penting diantara faktor produksi lainnya (Soekartawi, 1995).
Tanah/lahan menurut Fauzi 2008, dalam arti sesungguhnya bukan termasuk
modal, karena tanah bukan buatan manusia atau hasil produksi. Orang awam
menganggap tanah sebagai modal utama atau satu-satunya modal bagi petani. Hal
ini karena tanah mempunyai fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi
dari tanah adalah:
1) Dapat diperjual belikan
2) Dapat disewakan,
3) Dapat dijadikan jaminan kredit.
Teori Biaya Produksi
Produksi berlangsung dengan jalan mengolah atau mendayagunakan masukan
(input) menjadi keluaran (output). Pemenuhan masukan (input) merupakan
pengorbanan biaya yang tidak dapat dihindarkan untuk melakukan
kegiatan produksi. Biaya produksi adalah sejumlah pengorbanan ekonomis yang
harus dikorbankan untuk memproduksi suatu barang.
analisis fungsi biaya, yaitu: Pertama, aspek usahatani merupakan unit analisis biaya.
Kedua, harga masukan (input) dan produksi (output) sebagai variabel faktor-faktor yang mempengaruhi biaya (Hartono, 2002).
Biaya rendah menurut teori ekonomi dapat diwujudkan melalui pencapaian skala usaha
yang ekonomis (economies of scale) yang diilustrasikan/dicirikan dengan semakin menurunnya biaya per satuan produk (AC= long run average cost). Menurunnya AC disebabkan oleh jumlah biaya tetap (FC= fixed cost) yang dibebankan secara lebih menyebar terhadap jumlah produksi yang lebih banyak.
Menurut Setiawan, H.D. dan Andoko (2005) untuk mencapai tingkat efisiensi biaya yang
optimal, diperlukan suatu skala ekonomi untuk luasan perkebunan karet yang akan
dikelola. Dalam tingkat skala usaha yang optimal tersebut, seluruh komponen biaya tetap
(fixed cost) akan berfungsi secara maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi skala usaha adalah sebagai berikut:
- Jangka waktu tanaman karet mulai menghasilkan lateks
- Jangka waktu produktif tanaman karet
- Biaya investasi kebun untuk mencapai skala ekonomi
Soekartawi (1995) biaya merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya
variabel yang dikeluarkan selama satu tahun.
TC = FC + VC
dimana:
Biaya tetap tidak berubah walaupun adanya perubahan tingkat keluaran. Biaya ini
tetap harus dibayar meskipun tidak ada keluaran (produksi), dan hanya dapat
dihapus dengan sama sekali menutupnya. Sedangkan biaya variabel adalah biaya
yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan variasi keluaran (produksi) yang
dihasilkan. Semakin besar keluaran yang dihasilkan, maka biaya variabel juga
semakin besar (Pindyck, R.S. dan Daniel, L.R.).
Biaya Rata-Rata dapat dihitung dengan membagikan biaya total (TC) dan produksi
selama satu tahun.
Menurut Soekartawi (2002) penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi
yang diperoleh dengan harga jual.
TR = Y . Py
Dimana :
TR = total penerimaan
Y = produksi yang diperoleh Py = harga Y
Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) didefinisikan sebagai nilai produk
total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak
dijual. Pengeluaran total usahatani (total farm expense) didefenisikan sebagai nilai
antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan
bersih usahatani (Soekartawi, 1986).
Pendapatan merupakan selisih antara total penerimaan dengan total biaya.
Pd = TR-TC
dimana:
Pd = pendapatan
TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya)
Besarnya pendapatan yang diterima merupakan balas jasa atas tenaga kerja, modal
yang dipakai, dan pengelolaan yang dilakukan. Balas jasa yang diterima pemilik
faktor produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu misalnya satu musim tanam
atau satu tahun. Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang,
perbedaan pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada
yang masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat
diubah sama sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim dan jenis tanah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan perbaikan
untuk meningkatkan pendapatan adalah luas lahan usaha, efisiensi kerja, dan
efisiensi produksi.
Teori Skala Usaha Ekonomis
Koutsoyiannis (1975) menyatakan bahwa unsur skala ekonomis dan efisiensi di
fungsi produksi usahatani. Output dari suatu kegiatan produksi dapat ditingkatkan
melalui berbagai cara, antara lain dengan mengubah jumlah dan atau komposisi
dari input-inputnya. Dalam jangka pendek, pencapaian skala usaha ekonomis pada
masing-masing skala, dapat dijelaskan melalui gambar berikut:
Gambar 1. Proses Penurunan Biaya Rata-rata Melalui Peningkatan Jumlah Produk
Sistem produksi yang mula-mula menunjukkan increasing returns to scale,
kemudian constant returns to scale, dan kemudian diminishing returns to scale
akan menghasilkan kurva LRAC yang berbentuk U seperti ditunjukkan pada
Gambar 2. Penurunan Kurva Amplop dari Biaya Rata-Rata Jangka Panjang dan Jangka Pendek
Perhatikan bahwa dengan kurva LRAC yang berbentuk U, usahatani yang paling
effisien untuk setiap tingkat output biasanya tidak akan beroperasi pada SRAC
minimum, seperti yang bisa dilihat pada Gambar 2, kurva SRAC usahatani 3 lebih
rendah. Secara umum, pada saat increasing returns to scale terjadi, usahatani
yang mempunyai biaya terkecil untuk menghasilkan suatu output akan beroperasi
lebih rendah dari kapasitas penuhnya.
Hanya untuk satu tingkat output dimana LRAC minimum, sebuah usahatani yang
optimal akan beroperasi pada titik minimum dari kurva SRAC-nya. Pada semua
tingkat output dalam kisaran dimana decreasing returns to scale terjadi, usahatani
yang paling efisien akan beropersi pada suatu tingkat output yang sedikit lebih
besar dari pada kapasitasnya.
Bentuk kurva LRAC tidak hanya penting karena implikasinya bagi penentuan
skala usahatani, tetapi juga karena ia mempengaruhi tingkat persaingan potensial
yang akan tejadi dalam suatu industri, keadaan yang mula-mula increasing returns
to scale dan kemudian constant returns to scale sering dijumpai. Dalam
industri-industri seperti itu, kurva LRAC-nya berbentuk L. Biasanya, persaingan
cenderung akan lebih keras di dalam industri yang mempunyai kurva LRAC yang
berbentuk U dan pada yang berbentuk L atau kurva LRAC yang berslope
biaya minimum efficient scale (MES) dari sebuah usahatani. MES ini
didefinisikan sebagai tingkat output dimana LRAC adalah minimum. MES akan
terdapat pada titik minimum kurva LRAC yang berbentuk U .
Skala ekonomis berbentuk kurva long run average cost (LRAC) memiliki ekstrim
minimum. Pada titik inilah usahatani beroperasi pada ongkos produksi per-unit
paling rendah atau minimum efficient of scale (MES) dan dari bawah kurva MC
memotong kurva LRAC dititik minimum. Koefisien fungsi (function coefficient
atau FC) yang digunakan dalam analisis ekonomi, merupakan perbandingan
antara marginal cost dan average cost. Apabila FC = AC/MC > 1, berarti
usahatani telah berproduksi pada skala economies of scale. Sementara jika FC=1,
biaya yang paling minimum dikeluarkan untuk menghasilkan produk yang
diproduksi, tetapi jika FC<1, maka usahatani beroperasi pada diseconomies of
scale.
2.3 Kerangka Pemikiran
Karet tidak hanya diusahakan oleh perkebunan-perkebunan besar milik negara
yang memiliki areal mencapai ratusan hektar, tetapi juga diusahakan oleh swasta
di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Untuk itu sebagian besar petani
memilih karet sebagai sumber pendapatan bagi keluarganya.
Dalam meningkatkan produksi karet, petani memerlukan faktor-faktor produksi.
Faktor produksi ini sangat mempengaruhi besar-kecilnya biaya yang dikelurakan
dan produksi yang diperoleh. Dalam berbagai pengalaman menunujukkan bahwa
faktor produksi lahan, tenaga kerja dan modal adalah faktor penting diantara
faktor produksi lainnya.
Petani akan memperoleh penerimaan dari hasil penjualan produksi karet.
Penerimaan merupakan hasil perkalian antara produksi dengan harga jual pada
saat itu yang dinilai dengan rupiah setelah memperoleh penerimaan, untuk
mengetahui pendapatan bersih maka perlu diketahui biaya produksi. Pendapatan
bersih diperoleh setelah mengurangkan penerimaan dengan biaya produksi.
Harga jual dipengaruhi oleh harga jual produksi fisik. Produksi fisik dikali dengan
harga jual disebut total penerimaan. Penerimaan maupun pendapatan akan
mendorong petani untuk mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan seperti
biaya produksi selanjutnya, tabungan dan pengeluaran lain untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Petani karet memerlukan biaya untuk memperoleh produksi yang maksimal.
Semua pengeluaran yang digunakan dimasukkan kedalam biaya produksi. Adapun
biaya produksi ini meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Selisih antara total
Petani Karet
Biaya Produksi Penerimaa
Pendapatan Produksi
Biaya Rata-Rata
Perkebunan Karet Rakyat
Biaya Minimum Kerangka penelitian ini, digambarkan sebagai berikut:
n
Keterangan:
:Menyatakan Hubungan
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran
2.4 Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan landasan teori yang sudah disusun, maka diajukan hipotesis yang
akan diuji sebagai berikut :
SRAC
LRAC
Skala Efisien
1. Pendapatan petani karet rakyat tergolong rendah
2. Luas usahatani karet yang seharusnya dimiliki petani untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup petani dan keluarganya berada pada skala usaha di titik
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten
Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Daerah penelitian ditetapkan secara purposive
(Hartanto, 2004) dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut terdapat potensi
karet yang diusahakan rakyat. Dari pra survei yang telah dilakukan, lokasi tersebut
sangat representatif dari segi akses dan peluang untuk mendapatkan data yang
diinginkan.
3.2 Metode Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah petani karet rakyat di desa Naman Jahe,
Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Sampel adalah bagian dari populasi yang
akan diteliti dan yang dianggap dapat menggambarkan populasi. Adapun besar
sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan metode Slovin. Menurut Slovin dalam
pengantar metode penelitian Sevilla (1993), besarnya sampel dapat diperoleh
dengan rumus:
� = �
1 +��2
Dimana :
Menurut ketua ppl desa Naman Jahe, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat
jumlah populasi petani karet rakyat di daerah penelitian adalah sebanyak 103 Orang.
Maka didapat besar sampel penelitian sebagai berikut :
N n =
N (d)2+ 1
103 n =
103 (0,1)2 + 1
= 50 Orang
3.3 Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari petani karet melalui wawancara dengan
berpedoman pada kuisioner, dimana sampel memberikan jawaban berdasarkan
pilihan yang tersedia atau mengisi langsung dalam kuisioner. Selain itu, peneliti
juga melakukan pengamatan langsung terhadap objek studi.
Data sekunder yang dikumpulkan antara lain gambaran lokasi umum lokasi
penelitian, data demografi, data luas areal, produksi, produktivitas, harga karet di
provinsi Sumatera Utara, dan data jumlah populasi petani karet. Data sekunder
diperolah dari instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik, Dinas Perkebunan,
Kantor Kepala Desa, buku literatur serta media internet yang sesuai dengan
3.4.Metode Analisis Data
Untuk masalah (1) dijelaskan secara deskriptif sesuai dengan keadaan yang ada di
daerah penelitian.
Untuk masalah (2) menurut Soekartawi (2002) mengenai besar pendapatan petani
karet rakyat digunakan rumus :
Pd = TR-TC
dimana:
Pd = pendapatan
TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya)
Untuk masalah (3) mengetahui skala usaha minimum perkebunan karet rakyat,
digunakan metode analisis skala ekonomi dengan menggunakan pendekatan
analisis Minimum Efficient Scale (MES), yaitu metode yang menentukan tingkat
output yang memberikan kemungkinan biaya rata-rata terendah melalui kurva
Long Run Average Cost (LRAC).
Dalam kurun waktu tertentu kurva SRACberubah sesuai dengan perubahan skala
unit usaha, maka kurva biaya jangka panjang (LRAC) dapat diturunkan dengan
menggambar sebuah kurva amplop pada setiap kurva biaya rata-rata jangka
Gambar 4. Kurva LRAC
Dengan interpretasi:
a. Jika kurva LRAC menurun, berarti skala usaha memperoleh economic of
scale.
b. Jika kurva LRAC berada pada bagian terendah, berarti skala usaha mencapai
minimum efficient scale (MES).
c. Jika kurva LRAC mengalami kenaikan, berarti skala usaha mengalami
diseconomies of scale.
3.5Defenisi dan Batasan Operasional
Untuk menjelaskan dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian, maka
dibuat definisi dan batasan operasional sebagai berikut :
3.5.1 Defenisi
2. Perkebunan Karet Rakyat adalah usahatani tanaman perkebunan karet yang
diusahakan oleh rumah tangga dan tidak berbentuk badan usaha/badan
hukum.
3. Produksi adalah hasil yang diperoleh dari karet dan siap untuk dijual
4. Biaya Produksi adalah biaya tetap dan biaya tidak tetap yang dikeluarkan
petani selama melakukan kegiatan usahatani.
5. Penerimaan adalah harga jual lateks dikali dengan jumlah produksi.
6. Pendapatanadalah penerimaan petani dikurang biaya produksi.
7. LRAC (Long Run Average Cost)adalah kurva yang menggambarkan kondisi
usahatani perkebunan karet rakyat pada masing-masing skala usaha.
8. SRAC (Short Run Average Cost) adalah kurva yang menggambarkan kondisi
biaya rata-rata produksi terhadap keluaran apabila tingkat modal usahatani
perkebunan karet rakyat tetap.
9. Skala usaha minimum adalah skala usaha terkecil yang mengeluarkan biaya
yang efisien dengan produksi yang lebih banyak.
3.5.2 Batasan Operasional
1. Penelitian dilakukan di desa Naman Jahe, kecamatan Salapian, kabupaten
Langkat.
2. Sampel penelitian ini adalah petani karet.
BAB IV
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN
4.1. Luas dan Topografi Desa
Desa Naman Jahe terletak di Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, Propinsi
Sumatera Utara dengan luas wilayah 107.5 Ha dan mempunyai topografi
hamparan berada pada ketinggian 0-150 mdpl dengan suhu rata-rata 30℃ . Jumlah
penduduk di Naman Jahe sebanyak 3.743 jiwa.
Desa Naman Jahe berjarak 3 km dari ibukota Kecamatan Salapian, 70 km dari
ibukota kabupaten / kota, lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan dengan
kendaraan bermotor 5 jam, dengan lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten 2
jam. Adapun batas-batas dari Desa Naman Jahe adalah sebagai berikut:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Minta Kasih
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Langkat
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kuala
• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bandar Telu
4.2 Keadaan Penduduk
Penduduk Desa Naman Jahe sampai tahun 2011 berjumlah 3.743 jiwa meliputi
jumlah rumah tangga sebanyak 1.057 KK. Distribusi penduduk menurut
kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Naman Jahe Tahun 2011
No Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 0-6 419 11,2
2 7-12 462 12,34
3 13-19 373 9,96
4 20-64 1.880 50,22
5 > 65 609 16,27
Total 3.743 100
Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbesar berada di kelompok
usia produktif (20-64 tahun) dengan jumlah 1.880 jiwa atau 50,22%. Sementara
itu, kelompok usia non produktif (balita, anak-anak, dan remaja) yaitu usia 0-6
tahun sebanyak 419 jiwa atau 11,2% , usia 7-12 tahun sebanyak 462 atau 12,34%
dan usia 13-19 tahun sebanyak 373 jiwa atau 9,96 % . Untuk usia manula pada
kelompok umur > 65 adalah berjumlah 609 jiwa atau 16,27%.
Mata pencaharian penduduk di Desa Naman Jahe cukup beraneka ragam
walaupun sebahagian besarnya berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Untuk
Tabel 7. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Naman Jahe Tahun 2011
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Petani 800 67,51
2 Buruh Tani 100 8,43
3 Pegawai Negeri Sipil 155 13,08
4 Pensiunan 65 5,48
5 Wiraswasta 25 2.1
6 Lainnya 40 3,37
Total 1.185 100
Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011
Tabel 7 menunjukkan bahwa penduduk di daerah penelitian memiliki beragam
pekerjaan dan mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani yaitu
sebesar 800 jiwa (67,51%) dan sebagai buruh tani sebanyak 100 jiwa (8,43%),
sedangkan sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 155 jiwa (13,08%), Pensiunan
sebanyak 65 jiwa (6,48%), wiraswasta sebanyak 25 jiwa (2,1%) dan lainnya
sebanyak 40 jiwa (3,37%).
Dari tabel 8 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan penduduk paling tinggi
adalah tamatan SMP sebesar 362 jiwa (49,65%), tamat SD 260 jiwa (35,66%),
tamat SMA 12 jiwa (1,64%), dan jumlah penduduk yang tamat perguruan tinggi
Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat dari Tabel 8:
Tabel 8. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2011
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Tamat SD 260 35,66
2 Tamat SMP 362 49,65
3 Tamat SMA 12 1,64
4 Tamat Perguruan Tinggi 95 13,03
Total 729 100
Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011
4.3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terdapat di suatu daerah akan mempengaruhi
perkembangan dan kemajuan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Semakin baik sarana dan prasarananya, maka akan mempercepat laju
perkembangan daerah tersebut.
Tabel 9 menunjukkan bahwa sarana dan prasarana di Desa Naman Jahe yang
dibutuhkan oleh masyarakat sudah dapat terpenuhi baik dibidang pendidikan,
kesehatan, peribadatan, dan trasnsportasi. Sarana perekonomian seperti koperasi
unit desa, pasar tempat memasarkan produk hasil pertanian belum tersedia di desa
tersebut. Walaupun sebagian besar petani mengaku tidak terkendala dalam hal
pernmodalan namun bagaimanapun dengan adanya KUD atau lembaga
pembiayaan usahatani lainnya pasti memberikan kontirbusi dalam pengembangan
produksinya, petani telah memiliki agen-agen atau pedagang pengumpul yang
datang ke desa tersebut untuk melakukan pembelian langsung ke petani.
Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Naman Jahe dapat dilihat pada Tabel
9.
Tabel 9. Sarana dan Prasarana di Desa Naman Jahe 2011
No Sarana dan Prasarana Jumlah (unit)
1 Sarana Pendidikan: - SD 2 Sarana Kesehatan:
- Poliklinik
- Balai Pengobatan Masyarakat
1 2 3 Sarana Peribadatan:
- Mesjid - Mushola
8 2 4 Sarana Transportasi:
- Jalan Aspal - Jalan Tanah
21 Km 13 Km
Sumber : Desa Naman Jahe Dalam Angka, 2011
4.4. Karakteristik Sampel
Tabel 10 menunjukkan umur rata-rata petani sample adalah 49 tahun dengan
rentang 25-72 tahun. Hal ini berarti bahwa secara umum petani berada pada usia
produktif dalam usahatani. Tingkat pendidikan yang ditempuh petani pada
umumnya adalah 9 tahun pendidikan formal dengan rentang 6-17 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa petani pada daerah penelitian ini masih memiliki tingkat
Pengalaman bertani petani Naman Jahe yaitu rata-rata 28 tahun dengan
rentang5-52 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman bertani petani sudah cukup
lama sehingga dianggap memiliki pengalaman panjang dalam bidang pertanian.
Jumlah tanggungan setiap petani pada daerah ini adalan 2 Jiwa dalam rentang 1-5
jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki jumlah tanggungan yang
sedang. Jumlah tanggungan keluarga akan berpengaruh terhadap pendapatan
keluarga dan ketersediaan lapangan kerja terutama terhadap anak usia produktif
15–60 tahun. Rata–rata luas lahan usahatani karet petani sampel adalah 0,784 Ha
dengan rentang 0,5-3,5 Ha. Hal ini menunjukkkan bahwa petani sampel termasuk
petani yang memiliki lahan cukup kecil untuk mengusahakan kebun karet.
Karakteristik sampel dalam penelitian ini meliputi luas lahan usahatani, tingkat
pendidikan, umur, jumlah tanggungan dan pengalaman bertani. Lebih jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Petani Karet Rakyat Sampel Desa Naman Jahe
No Uraian Satuan Rataan Rentang
Sumber: Data diolah dari lampiran 1
Selain dari karakteristik tersebut, peneliti juga menemukan beberapa kondisi
petani karet yang ada di daerah penelitian, antara lain:
- Ada beberapa petani yang membeli lahan yang sudah ditanami karet ada
juga yang mulai dari pembibitan mengusahakan lahannya
- Ada petani yang tidak melakukuan pemupukan dalam satu tahun terakhir
karena mahalnya harga pupuk
- Ada beberapa petani yang juga menjadi agen karet di desa
- Ada beberapa petani yang tidak hanya mengusahakan karet tetapi juga
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Produksi Perkebunan Karet Rakyat
Dalam penanaman karet dikenal dua istilah replanting dan newplanting.
Replanting merupakan penanaman ulang tanaman karet setelah tanaman yang
lama dianggap tidak ekonomis lagi. Sedangkan newplanting merupakan
penanaman bukaan baru yang sebelumnya tidak ditanami karet. Di desa Naman
Jahe, umumnya areal tanaman karet berasal dari areal hutan. Pengolahan tanah
dimulai dari pembabatan pohon-pohon yang tumbuh. Pembabatan dilakukan
dengan cara manual dengan menggunakan alat-alat seperti cangkul, parang dan
babat. Proses pembukaan lahan diawali dengan membabat semak-semak dan
pohon-pohon kecil serta menebang pohon-pohon besar, kemudian dibakar
sehingga lahan bersih yang kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan
menggunakan cangkul, lalu dilakukan pembuatan lubang tanam secara tunggal .
Bibit yang akan ditanam adalah bibit yang mempunyai 2-3 payung daun dengan
jarak tanam yang bervariasi. Jarak tanam yang digunakan petani sampel dapat
dilihat pada Tabel 11.
Untuk mendapatkan hasil yang baik diperlukan sistem penanaman yang sesuai.
Sistem tanam yang digunakan petani pada umumnya monokultur atau tanaman
karet sebagai tanaman utama dan tidak ada tanaman lain yang dibudidayakan
diantara tanaman karet. Hasil produksi tanaman karet tergantung pada jumlah
pokok batang karet, jumlah pokok karet berbeda-beda setiap usahatani yaitu
tergantung pada jarak tanam yang digunakan setiap petani. Jarak tanam juga tidak
bagus jika terlalu rapat, karena akan menghalang masuknnya penyinaran matahari.
Pemeliharaan tanaman karet di daerah penelitian sangat jarang dilakukan.
Umumnya petani membiarkan saja tanaman karet dan sangat jarang atau pun
sedikit sekali yang memberikan perawatan khusus umumnya dalam pengendalian
penyakit. Penyakit yang sering menyerang tanaman adalah disebabkan oleh jamur
yang bisa membuat tanaman mati atau ketika penanaman baru tanaman karet mati
muda dan menular/berjangkit sesama pohon lain dan menyebabkan pohon lain
juga terserang.
Pemeliharaan yang dilakukan petani yaitu penyiangan gulma. Penyiangan yang
dilakukan petani yaitu secara manual dan secara kimiawi. Penyiangan secara
manual yaitu pembersihan rumput dan lalang menggunakan parang babat untuk
disiangi disekeliling tanaman karet atau disepanjang barisan tanaman dengan cara
dibabat. Sedangkan secara kimiawi yaitu menggunakan obat-obatan. Jenis yang
digunkan adalah herbisida Round up dan gramoxone dengan menggunakan
Perawatan yang diberikan petani berupa pemberian pupuk dengan frekuensi 1-2
kali satahun dan ada juga yang tidak memberikan pupuk sama sekali dengan
membiarkan saja tanamannya. Umumnya petani menggunakan pupuk Urea,
SP-36, Ponska. Perbandingan antara petani yang menggunakan pupuk dan petani
yang tidak menggunakan pupuk dalam budidaya karet dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Perlakuan Pupuk Dalam Usahatani Karet di Desa Naman Jahe Tahun 2013
No Pemupukan Frekuensi / Tahun Jumlah sampel
1 Dilakukan 1-2 Kali 36
2 Tidak Dilakukan - 14
Jumlah 50
Sumber : Data Primer
Kekurangan unsur hara pada tanaman karet pada umumnya berhubungan erat
dengan kebutuhan unsur untuk pertumbuhan dan penyadapan. Tanda-tanda
kekurangan unsur hara bisa diperhatikan dari penampakan tanaman.
Pada daerah penelitian perlakuan pemupukan juga terdapat dijumpai, hal ini
disebabkan karena harga pupuk yang mahal serta karena umur tanman yang sudah
tua, yang menyebabkan petani merasa tidak perlu lagi dilakukan pemupukan.
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet
merupakan mata rantai pertama dalam proses produksi karet. Penyadapan
dilaksanakan di kebun produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang
batang yang disadap adalah modal utama untuk berproduksinya tanaman karet.
Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang sangat merugikan baik
bagi pohon itu sendiri maupun bagi produksinya.
Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6 tahun,
tergantung pada kesuburan pertumbuhannya. Penyadapan yang dilakukan di
daerah penelitian adalah dengan sistem empat hari sadap dan satu hari untuk
mengumpulkan hasil. Jadi penyadapan dilkakukan empat hari dalam seminggu
pada hari normalnya. Tetapi ada juga yang tidak sampai dalam empat hari dalam
seminggu, bisa saja dua atau tiga hari penyadapan dalam seminggu, ini
disebabkan karena faktor cuaca misalnya musim penghujan atau hari kurang
cerah, sehingga petani tidak bisa atau sulit dalam mengadakan penyadapan.
Penyadapan dilakukan dengan mengiris kulit batang tanaman karet dengan dalam
irisan ± 2 mm. Penyadapan dilakukan empat hari dalam seminggu dan biasanya
petani menyadap pada pagi hari dengan waktu penyadapan sekitar 3-4 jam, dan
setelah 4 hari melakukan penyadapan dalam ukuran normalnya selanjutnya 1 hari
untuk pengumpulan hasil getah karet (cup lump). Pengumpulan hasil dilakukan
dengan mangkuk penampung yang biasanya digunakan petani dari tempurung
kelapa dan getah dalam keadaan menggumpal. Biasanya mangkuk penampung
getah karet dapat menampung sebanyak 90 gr getah karet. Biasanya petani
mengumpulkan hasil produksi (getah karet) setiap hari kamis karena hari jumat
diadakannya pasar getah yang diadakan pada siang hari. Hasil produksi (getah
karet) akan dijual kepada pedagang pengumpul ataupun agen yang mana
pengolahan. Untuk mengetahui produksi perkebunan karet rakyat per hektar dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Produksi dan Produktivitas Getah Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013
Sumber: Data Primer diolah dari Lampiran 11
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, produksi setiap tanaman karet yang
dimiliki petani berbeda-beda, hal ini dikarenakan jumlah pokok tanaman karet
setiap lahan berbeda yaitu jumlahnya dihitung berdasarkan jarak tanam yang
digunakan. Rendahnya hasil produksi pada perkebunan rakyat ini disebabkan
karena rata-rata umur tanaman karet di daerah penelitian tergolong sudah tua yang
mengakibatkan sedikitnya jumlah getah karet yang dihasilkan dari pokok batang
tanman karet serta kurangnya perhatian petani akan tanamannya untuk melakukan
pemupukan secara rutin.
Skala luas lahan yang lebih kecil lebih efisisen dari skala luas lahan yang lebih
besar (economic of scale). Hal ini disebabkan karena tanaman pada lahan yang
tidak terlalu luas memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan luas lahan
yang luas, yaitu untuk skala usaha lebih kecil sama dengan satu produktivitasnnya
sebesar 90.078 kg/ha/tahun, sedangkan untuk skala usaha besar dari satu sebesar
212.173 kg/ha/tahun. Luas pertanaman yang luas menuntut perawatan yang
memiliki cukup waktu, biaya, dan tenaga kerja untuk merawat dan
membudidayakan tanaman karet dengan baik.
5.2 Pendapatan Petani Perkebunan Karet Rakyat
Sarana Produksi
Di daerah penelitian umur tanaman karet pada umumnya berkisar antara 11
sampai 37 tahun. Hal ini berpengaruh pada pemakaian sarana produksi termasuk
pupuk serta penggunaan tenaga kerja yanag berbeda pada pada tanaman karet
yang lebih muda. Pemberian pupuk pada tanaman karet yang lebih tua, dosisnya
lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman yang masih muda sehingga
kebutuhan tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit, selain itu tanaman yang
sudah tua juga membutuhkan perawatan yang lebih sedikit. Seperti yang telah
diketahui di daerah penelitian umur tanaman karet sejumlah besar sudah tergolong
tanaman tua.
Sarana produksi petani karet di Desa Naman Jahe terdiri dari jumlah pokok
(batang), atau jumlah bibit karet, pupuk, dan obat-obatan yang dapat dilihat pada
Tabel 14. Rata-Rata Penggunaan Sarana Produksi Pada Usahatani Karet Rakyat di Desa Naman Jahe Tahun 2013
No uraian per/ Petani/ tahun per/ha/tahun
1 Jumlah pokok Sumber : Diolah dari Lampiran 2
Hasil produksi tanaman karet di daerah penelitian berupa getah karet, yaitu
diperoleh dari hasil sadapan batang atau pokok tanaman karet. Hasil produksi atau
getah karet bisa banyak dihasilkan tergantung dari jumlah batang atau pokok
tanaman karet yang ditanam petani. Semakin banyak pokok karet yang dimiliki
petani semakin banyak pula getah karet yang dihasilkan. Pada tanaman karet
menghasilkan mulai dari umur lima tahun. Untuk mendapatkan hasil yang banyak
terlebih dahulu diperhatikan jarak tanam serta kebutuhan bibit atau pokok karet
yang akan ditanam.
Kebutuhan bibit tanaman karet tiap hektar berbeda-beda pada setiap petani, hal ini
dipengaruhi oleh jarak tanam yang digunakan. Jarak tanam yang umum
digunakan yaitu 3 m x 7 m dimana dengan jarak tersebut dapat menghasilkan 460
bibit/batang karet. Disamping bibit yang di tanam langsung, disiapkan pula bibit
untuk sulaman sebanyak 5 % dari jumlah yang akan ditanam maka kebutuhan
bibit yang akan ditanam yaitu sebanyak 500 batang (Tim Penulis, 2008).
Sedangkan pada daerah penelitian jarak tanam terkecil yaitu 2.5 m x 5 m dengan