• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.3. Pembangunan Ekonomi Regional

3.3.2. Pendapatan Regional

Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun (Sukirno, 1985). Sedangkan menurut Tarigan (2004), pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis. Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah :

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau provinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak langsung netto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan produk domestik regional bruto (PDRB).

2. Produk Domestitk Regional Netto (PDRN)

PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan,

hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung netto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor.

Dalam perhitungan pendapatan regional dengan pendekatan nilai produksi, perlu dicermati agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting). Menurut Tarigan (2004) pendapatan masyarakat di suatu wilayah atau provinsi paling mudah dilihat dari nilai tambah suatu kegiatan produksi atau jasa yang meliputi upah atau gaji, laba, sewa tanah, bunga uang yang dibayarkan (berupa bagian dari biaya), penyusutan, dan pajak tidak langsung netto.

1. Upah dan gaji

Upah dan gaji mencakup semua balas jasa dalam bentuk uang maupun barang dan jasa kepada tenaga kerja yang ikut dalam kegiatan produksi selain pekerja keluarga yang tidak dibayar.

2. Laba

Laba atau keuntungan adalah total nilai penjualan dikurangi dengan biaya- biaya yang dikeluarkan. Laba merupakan pendapatan bagi pengusaha.

3. Sewa Tanah

Sewa tanah adalah balas jasa yang diberikan kepada pemilik tanah atau lahan tempat dilakukannya proses produksi.

4. Bunga uang

Bunga uang adalah balas jasa terhadap modal yang digunakan dalam proses produksi.

5. Penyusutan

Pengertian penyusutan disini adalah penyusutan barang-barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi. Penyusutan merupakan nilai penggantian terhadap penurunan nilai barang modal tetap yang digunakan dalam proses produksi.

6. Pajak tidak langsung netto

Pajak tidak langsung (indirect tax) adalah pajak yang dikenakan atau dibebankan oleh pemerintah terhadap produsen berkenaan dengan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa yang mereka kenakan pada pada pembiayaan produksi. Sedangkan pajak tidak langsung netto diperoleh dengan cara mengurangi pajak tidak langsung dengan subsidi.

Metode perhitungan pendapatan regional secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua metode, yaitu metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau data asli yang menggambarkan kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Sedangkan metode tidak langsung menggunakan data yang bersumber dari data nasional yang dialokasikan ke masing-masing daerah.

Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Soediyono, 1992; Tarigan, 2004), sebagai berilut :

1. Pendekatan Pengeluaran

Pendekatan pengeluaran adalah cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total

penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (investasi), perubahan stok, dan ekspor netto (total ekspor dikurangi dengan total impor).

Total penyediaan (total barang dan jasa yang tersedia) di dalam negeri adalah total barang yang diproduksi ditambah impor dikurangi ekspor, karena yang akan dihitung hanyalah nilai barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri saja, maka total konsumsi harus dikurangi dengan nilai impor kemudian ditambah dengan nilai ekspor. Penjumlahan keenam unsur di atas disebut sebagai produk domestik regional bruto (PDRB).

2. Pendekatan Produksi

Perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap- tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Untuk memudahkan perhitungan dan ketersediaan data, sektor-sektor produksi ini biasanya dikelompokkan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) atau Klasifikasi Komoditi Indonesia (KKI). Dalam konteks penyusunan neraca I-O atau SAM, sektor-sektor produksi bisa dipecah menjadi 11 sektor, 66 sektor atau 172 sektor, sesuai dengan kebutuhannya. Untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan adalah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor.

Dalam menghitung PDRB dengan cara ini, yang dijumlahkan hanyalah nilai tambah produksi atau value added yang diciptakan masing-masing sektor. Dengan cara ini dapat dihindarkan perhitungan double counting. Disamping itu, dengan cara ini juga akan menunjukkan sumbangan yang sebenarnya dari tiap-tiap sektor dalam menciptakan produksi regional. Dalam konteks analisis I-O, perhitungan PDRB dapat dilihat pada kwadran III, dan secara matematika dapat disajikan dalam persamaan berikut :

PDRB = VA1 + VA2 + VA3 ………… + VAn, atau ∑ = = n i i VA PDRB 1 i n i i NBZ VA PDRD ( ) 1 ∑ + = = ... (3.4) dimana :

VA : nilai tambah sektor produksi regional i : jumlah sektor produksi regional

Dengan memasukkan kondisi lingkungan dalam model ini, maka persamaannya akan menjadi :

... (3.5) NBZ adalah manfaat bersih dari situasi lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan produksi. Manfaat bersih ini bisa bernilai negatif atau positif, tergantung dari apakah kegiatan produksi tersebut menimbulkan biaya lingkungan yang lebih besar atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan manfaat yang dihasilkannya.

3. Pendekatan Penerimaan

Dengan cara ini pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-

barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung netto.

Perhitungan metode pendapatan regional dengan cara tidak langsung dilakukan dengan cara mengalokasikan pendapatan nasional (produk domestik bruto/PDB) ke masing-masing bagian wilayah, misalnya mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu. Alokator yang dapat digunakan adalah: nilai produksi bruto atau netto setiap sektor/ sub sektor, jumlah produksi fisik, tenaga kerja, penduduk, dan alat ukur tidak langsung.

3.4. Teori Kutub Pertumbuhan

Pada dasawarsa pertama pertengahan abad ke 20 (dekade 50-an) muncul teori-teori yang menyatakan pentingnya peranan pusat-pusat pertumbuhan,

diantaranya adalah: (1) teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) oleh

François Perroux, (2) teori kutub pembangunan yang terlokalisasi (localized development theory) oleh Boudeville, dan (3) teori titik pertumbuhan (growth point theory) oleh Albert Hirschman

Kutub pertumbuhan didefinisikan sebagai suatu gugus industri yang mampu membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dalam suatu sistem ekonomi tertentu, mempunyai kaitan yang kuat melalui hubungan input–output di sekitar leading industry (propulsive industry atau industrial matrik).

Menurut Perroux dalam Adisasmita (2005), terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep pertumbuhan, yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Perroux menganggap bahwa industri pendorong sebagai titik awal dan merupakan elemen

esensial untuk pembangunan selanjutnya. Ada tiga ciri pokok yang mendasari industri pendorong, yakni :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai

pengaruh yang kuat, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang cepat.

3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus

penting, sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit ekonomi lainnya.

Peranan kutub pertumbuhan dalam pembangunan wilayah adalah sebagai penggerak pertumbuhan, yakni menyebarkan hasil-hasil pembangunannya ke wilayah pengaruh. Namun pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa peranan kutub pertumbuhan ini mengalami kegagalan, karena wilayah pusat pertumbuhan berada di kota-kota besar yang merupakan pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, memiliki daya tarik yang cukup kuat bagi urbanisasi. Akibatnya, terjadi dampak negatif terhadap wilayah pengaruh, yang oleh Myrdal disebut backwash effect.

Teori Kutub Pertumbuhan merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan kebijaksanaan pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan diberbagai negara. Pada awalnya, konsep ini dianggap penting karena memberikan kerangka rekonsialiasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota) dan hinterland-nya Tetapi dalam praktek tidak seperti yang

diharapkan karena wilayah pusat dampak tetesan (trickle down effect) kepada

(backwash effect) sehingga pengurasan sumberdaya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol.

Gunnar Myrdal (1957) mengemukakan bahwa besarnya backwash effect yang lebih besar daripada spread effect akan menyebabkan ketimpangan

antardaerah. Backwash effect disebabkan oleh adanya migrasi tenaga kerja dan

modal dari daerah miskin ke daerah kaya. Sedangkan spread effect disebabkan

oleh meningkatnya market share dari produk pertanian dan akan merangsang ke

arah kemajuan teknik. Pendapat Myrdal didukung oleh Hirchman (1968) bahwa

terjadinya trickle down effect dari daerah core ke daerah periphery yang lebih

kecil daripada polarization effect akan menyebabkan semakin tingginya ketimpangan pendapatan antaradaerah.

3.5. Pertumbuhan Regional

Pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja titik tekanan analisis pertumbuhan regional lebih diletakkan pada perpindahan faktor (factor movements). Arus modal dan tenaga kerja yang mengalir dari satu daerah ke daerah lain membuka peluang bagi perbedaan tingkat pertumbuhan antar daerah. Dalam analisis dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat jauh lebih tinggi daripada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional ataupun sebaliknya. Dalam kaitan factor movement antarwilayah, model pertumbuhan Harrod-Domar dapat digunakan untuk analisis pertumbuhan regional.

Asumsi-asumsi khusus yang mendasari model Harrod-Domar adalah: hasrat menabung (s), tingkat pertumbuhan penduduk (n), dan koefisien-koefisien dalam produksi adalah konstan. Untuk mencapai pertumbuhan mantap (steady

growth), ke dua macam input tersebut harus memenuhi syarat-syarat keseimbangan, yakni: tingkat pertumbuhan modal (k) dan tingkat pertumbuhan penduduk (n) harus sama dengan tingkat pertumbuhan output (g) atau (g = k = n). Dalam keseimbangan, tabungan yang direncanakan harus terus menerus sama dengan investasi yang direncanakan. Berkaitan dengan k dapat dirumuskan sebagai berikut: v s K Y K S K I = ⋅ = = Y S ... (3.6)

dimana v adalah rasio modal-output. Pertumbuhan mantap tercapai apabila

dipenuhi syarat g = n = s/v. Karena s, v, dan n ditentukan secara independent maka pertumbuhan mantap hanya dapat tercapai secara kebetulan.

Ekonomi regional bukanlah ekonomi tertutup melainkan ekonomi terbuka (open economic). Ini berarti, perekonomian suatu daerah adalah perekonomian terbuka, dimana impor dan tabungan merupakan kebocoran (leakages), sedangkan ekspor dan investasi merupakan suntikan (injection). Kelebihan produksi dan tabungan suatu daerah dapat disalurkan ke daerah-daerah lain, yang tercermin dari net-ekspor. Selanjutnya, jika penduduk suatu daerah mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja pada tingkat pertumbuhan yang sedang berlangsung, maka migrasi netto dapat membantu menyeimbangkan n dan g.

Syarat keseimbangan bagi perekonomian terbuka adalah:

S + M = I + X ... (3.7) dapat dirumuskan kembali menjadi

(s + m)Y = I + X atau

Y X m s Y I − + =( )

Ekspor suatu daerah (Xi

= = = = 1 1 j j j ij ij m Y M X

) dapat dirumuskan sebagai impor daerah-daerah lain, sebagai berikut:

dengan demikian, persamaan pertumbuhan suatu daerah dapat dirumuskan kembali menjadi: i j i i ij i i i v Y Y m m s g

= − + = 1 / ) (

Walaupun tabungan suatu daerah cenderung lebih besar dari investasi, namun tingkat pertumbuhan modalnya dapat tetap sama dengan tingkat pertumbuhan ourput, asalkan selisih tabungan dan investasi tersebut diimbangi oleh surplus ekspor. Kelebihan tenaga kerja dapat diserap melalui migrasi-keluar dan kekurangan tenaga kerja dapat dipenuhi melalui migrasi-masuk. Syarat keseimbangannya adalah: gi = ni ± ri i j ij i i P R P R r

= = = 1 ... (3.11) dimana r adalah tingkat migrasi yang merupakan jumlah netto dari migrasi-keluar dan migrasi-masuk dalam tiap periode waktu sebagai persentase dari jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Dari sudut pandang sistem, sebagai keseluruhan, dapat dirumuskan sebagai berikut:

dimana:

r = tingkat migrasi

R = migrasi masuk dan keluar P = jumlah penduduk.

... (3.8)

...(3.9)

...(3.10)

Walaupun syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam suatu daerah agak kurang restriktif, namun pertumbuhan mantap mungkin masih tetap, lebih merupakan pengecualian daripada merupakan kelaziman. Selanjutnya, pencapaian syarat-syarat keseimbangan di suatu daerah dapat mengubah syarat-syarat keseimbangan di daerah-daerah lain dan hal ini akan menimbulkan pantulan- pantulan lebih lanjut terhadap tingkat pertumbuhannya sendiri. Pertumbuhan mantap disetiap daerah yang merupakan komponen dari sistem yang bersangkutan tidak dapat diprediksi dari model seperti itu. Ada atau tidaknya tendensi ke arah pertumbuhan mantap (steady state) tergantung pada apakah arus modal dan tenaga kerja antarwilayah (interregional) bersifat menyeimbangkan atau tidak dan hal-hal ini tidaklah ditentukan di dalam model tersebut.

Selain model Harrod-Domar, model-model pertumbuhan neoklasik juga telah digunakan secara luas dalam analisis regional, yang antara lain oleh Borts (1960), Borts dan Stein (1964), dan Romans (1965). Namun demikian, beberapa diantara asumsi-asumsi mereka tidak tepat. Asumsi tentang full employment yang terus-menerus seringkali tidak dapat diterapkan dalam sistem multiregional dimana persoalan-persoalam regional timbul karena adanya perbedaan-perbedaan geografis dalam tingkat penggunaan sumberdaya. Asumsi persaingan sempurna tidak dapat diterapkan dalam perekonomian ruang (space economy) dimana oligopoli, monopoli murni, atau persaingan monopolistik adalah tipe-tipe struktur pasar yang lebih lazim (Richardson, 2001). Model neoklasik menarik perhatian ahli-ahli teori ekonomi regional karena model tersebut mengandung teori tentang mobilitas faktor disamping teori pertumbuhan. Implikasi dari persaingan

sempurna adalah bahwa modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor tersebut berbeda-beda.

Syarat-syarat pertumbuhan mantap dalam model neoklasik relatif kurang restriktif dibanding model Horrad-Domar. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya kemungkinan subsitusi antara modal dan tenaga kerja, yang berarti adanya fleksibilitas dalam rasio modal-output. Tingkat pertumbuhan barsumber dari: (1) akumulasi modal, (2) pertumbuhan penawaran tenaga kerja, dan (3) residu, yang dapat diartikan sebagai kemajuan teknologi, tetapi yang mencakup segala sesuatu yang meningkatkan efisiensi dari sumber-sumber yang stoknya sudah tertentu. Apabila diasumsikan bahwa tingkat kemajuan teknologi adalah fungsi dari waktu, maka fungsi produksinya adalah:

Yi = fi(K, L, t) ………(3.13)

Persamaan (3.13) dapat diderivasi menjadi: Yi = αiki + (1 – αi)ni p K Y MPK i i i =α = + T ………(3.14) Dimana, Y, k, n, dan T masing-masing adalah tingkat pertumbuhan output, tingkat pertumbuhan modal, tingkat pertumbuhan tenaga kerja, dan kemajuan teknologi.

Sedangkan α adalah bagian yang dihasilkan oleh faktor modal dan (1 – α) adalah

bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal.

Model neoklasik menghendaki pertumbuhan kapasitas penuh. Untuk itu diperlukan suatu mekanisme untuk menyamakan investasi dengan tabungan dalam kondisi full employment. Dengan demikian, syarat pertumbuhan mantap adalah:

dimana, MPK = marginal productivity of capital. Jika p sudah tertentu dan α konstan maka Y dan K harus tumbuh dengan tingkat yang sama.

Syarat keseimbangan bagi keseluruhan sistem adalah:

... (3.16)

sekalipun demikian tabungan yang dihasilkan suatu daerah secara individual tidak mesti sama dengan investasinya; sebab suatu daerah akan mengimpor modal jika tingkat pertumbuhan modalnya lebih kecil dari rasio tabungan domestik terhadap modal.

Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa analisis pertumbuhan regional neoklasik mengandung teori mobilitas faktor. Cara untuk menjelaskan hal ini secara tepat adalah dengan komparatif statik. Asumsikan bahwa dua daerah menghasilkan output homogen, biaya transportasi nol, pasar tenaga kerja sudah tertentu dan tidak ada kemajuan teknologi, fungsi produksi identik dan increasing retur to scale. Dengan asumsi tersebut maka produk marginal tenaga kerja (MPLi)

adalah fungsi langsung tetapi besifat terbalik dari produk marginal modal (MPKi

Adapun daerah yang K/L nya rendah terdapat upah riil yang rendah tetapi MPK yang tinggi. Akibatnya modal akan mengalir dari daerah yang upahnya tinggi ke daerah yang upahnya rendah, karena akan memberikan balas jasa terhadap modal yang lebih ringgi. Sebaliknya, tenaga kerja akan mengalir dari ). Hal ini bisa dilihat dari rasio modal tenaga kerja (K/L). Dengan asumsi persaingan sempurna, MPL adalah sama dengan upah riil. Karena tiap daerah menghasilkan output yang homogen dan dengan fungsi produksi yang identik, maka di daerah dimana K/L lebih tinggi terdapat upah riil yang lebih tinggi dan MPK yang lebih rendah.

= = = 1 1 i i i i S I

daerah yang upahnya rendah ke daerah yang upahnya tinggi. Mekanisme ini pada akhirnya menciptakan balas jasa faktor-faktor produksi yang sama di semua daerah. Implikasinya, pendapatan per kapita regional akan mengalami proses konvergensi. Sejalan dengan ini, prediksi dari Harrod-Domar menyatakan bahwa apabila syarat-syarat pertumbuhan mantap tidak dipenuhi, akibat yang paling mungkin terjadi adalah perbedaan-perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan semakin bertambah besar.

Kelemahan teori mobilitas faktor adalah: apabila asumsi-asumsi komparatif statik dilepas maka prediksinya tidak dapat dipastikan akan berlaku. Dalam analisis dinamik, perbedaan-perbedaan regional dalam tingkat pertumbuhan penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi haruslah diperhitungkan. Pertumbuhan alamiah yang cepat di daerah-daerah upah rendah dapat mencegah kenaikan pendapatan dan bergesernya fungsi MPK ke kanan di daerah-daerah upah-tinggi, sehingga dapat mengakibatkan mengalirnya modal ke

dalam (capital inflows) di daerah-daerah tersebut, dan bukannya mengalir keluar.

Bahkan di dalam kerangka model komparatif statik pun, daerah-daerah upah- tinggi masih tetap dapat tumbuh paling cepat apabila asumsi-asumsi identiknya fungsi produksi regional dan komuditas tunggal dilepas. Kesukaran-kesukaran lainnya adalah: (1) kemungkinan bahwa perbedaan-perbedaan hasil sektor tidak mendorong berpindahnya faktor-faktor, terutama faktor tenaga kerja atau berpindahnya faktor itu karena kekuatan-kekuatan lain, dan (2) mobilitas faktor tidak dapat dianalisis secara komprehensif di dalam kerangka model dua faktor. Dengan demikian, konvergensi dalam pertumbuhan regional masih tetap merupakan persoalan yang belum terjawab (Richardson, 2001).

Dokumen terkait