BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
B. Secara Non Penal
2) Pendekatan Budaya Etika
Pendekatan budaya atau cultural ini perlu dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cyber crime dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan computer melalui media pendidikan. Pentingnya pendekatan budayaini, khususnya upaya mengembangkan kode etik dan perilaku (code of behavior and ethics) terungkap juga dalam pernyataan IIIC sebagai berikut:67
67
Ibid.
IIIC members are also committed to participate in the development of code behaviour and ethics around computer and Internet use, and in campaigns for the need for ethical and responsible online behaviour. Given the international reach of Internet crime, computer and Internet users around the world must be made aware of the need for high standards of conduct in cyber space (Anggota IIIC adalah juga merasa terikat dengan mengambil bagian di dalam pengembangan etika dan perilaku kode di sekitar komputer dan Internet penggunaan, dan di dalam kampanye untuk kebutuhan akan perilaku online bertanggung jawab dan etis. Dengan jangkauan internasional kejahatan Internet, komputer dan para pemakai Internet di seluruh bumi harus dibuat sadar akan kebutuhan yang sangat tinggi dalam melakukan kejahatan di ruang cyber.)
Ketidaksiapan hukum dan polri dalam penegakan hukum cyber crime ini menyebabkan pencegahan dengan menggunakan teknologi dan budaya menjadi alat yang ampuh. Hal ini terungkap dari korban hacking yang merasa nyaman dengan pendekatan teknologi untuk menanggulangi cyber crime. Ketika situs mereka dirusak, mereka menggunakan teknologi dalam memperbaikinya dan mengantisipasinya dengan menggunakan sistem pengamanan yang ketat.
3. Pendekatan Hukum.
Meskipun hukum pidana digunakan sebagai ultimum remidium atau alat terakhir apabila bidang hukum yang lain tidak dapat mengatasinya, tetapi harus disadari bahwa hukum pidana memiliki keterbatasan kemampuan dalam menanggulangi kejahatan.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut dikemukakan oleh Barda nawawi Arief sebagai berikut:68
68
Barda Nawawi, Loc Cit, hal. 46-47.
1. sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
2. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (subsistem) dari sarana control social yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah psikologis, politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);
3. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurierenam symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”;
4. sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
5. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
6. keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
7. bekerjanya/berfungsingnya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan memerlukan “biaya tinggi”.
Keterbatasan-keterbatasan hukum pidana inilah yang tampaknya dialami oleh Polri yang menggunakan hukum pidana sebagai landasan kerjanya. Sebab kejahatan yang kompleks ini terlambat diantisipasi oleh Polri sehingga ketika terjadi kasus yang berdimensi baru mereka tidak secara tanggap menanganinya. Untuk itu, pencegahan kejahatan tidak melulu harus menggunakan hukum pidana. Agar penegakan hukum cyber crime ini dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau penal yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan penegakan hukum.
Dalam Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer-related crimes sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa menghimbau Negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan computer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:69
69
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Kencana Predana Group, Jakarta, 2007), hlm. 238-239.
1. Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana 2. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan
komputer
3. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer
4. Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hokum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber crime
5. Memperluas rule of ethics dalam penggunaan computer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika
6. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.
4. Pendekatan Global.
Perangkat hukum internasional sudah dibentuk dengan adanya beberarapa kongres-kongres PBB, dan hal tersebut wajib untuk diratifikasi oleh Negara anggota. Langkah yang ditempuh adalah memasukkan cybercrime dalam sistem hukumnya masing-masing.70 Dalam rangka menanggulangi cybercrime, Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai Computer Related Crimes dan International Industry Congres (IIIC) 2000 Millenium Congres di Quebec pada tanggal 19 September 2000 dan Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime anda The Treatment of Offenders, mengajukan beberapa kebijakan antara lain :71
70
Dewi Lestari, Kejahatan Komputer 9 Cybercrime ),
71
Barda Nawawi Arief, Dalam United Nations ( eight UN Congres On The Prevention Of Crime And The Treatment Of Offenders Report ), 1991, hal. 141.
1. Menghimbau Negara-negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan computer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut: a. Melakukan modernisasi hukum pidana meteriil dan hukum acara pidana; b. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan komputer; c. Melakukan langkah-langkah untuk membuat warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum sensitive terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan computer (cybercrime); d. Memperluas rules of ethics dalam penggunaan computer dan mengajarkannya dalam kurikulum informatika; e. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cybercrime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban, dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cybercrime.
2. Menghimbau negara-negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam upaya penanggulangan cybercrime.
3. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan (committee on Crime Preventon And Control) PBB untuk :
a. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu Negara anggota menghadapi cybercrime di tingkat nasional, regional dan internasional
b. Mengembangkan penelitian dan analisa lebih lanjut guna menemukan cara-cara baru menghadapi problem cybercrime di masa depan;
c. Mempertimbangkan cybercrime sewaktu meninjau pengimplementasian perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama di bidang penanggulangan kejahatan.
Kebijakan penanggulangan cybercrime yang digariskan dalam Resolusi PBB sebagaimana diuraikan di atas cukup komprehensif. Penanggulangan tidak hanya melalui kebijakan penal (hukum pidana meteriil dan formil), tetapi juga
kebijakan non penal.72
Secara internasional, PBB telah menghimbau Negara-negara anggota untuk menanggulangi cybercrime dengan sarana penal, namun dalam kenyataannya tidaklah mudah. Dokumen Kongres PBB X/2000 sendiri mengakui bahwa ada beberapa kesulitan dalam menanggulangi cybercrime dengan sarana penal, antara lain:
Kebijakan non penal yang dikembangkan adalah upaya mengembangkan dan pengamanan perlindungan computer dan tindakan-tindakan pencegahan (computer security and prevention measures), yakni tindakan pencegahan dengan teknologi.
73
1. Perbuatan jahat yang dilakukan berada di lingkungan elektronik. Oleh karena itu penanggulangan cybercrime memerlukan keahlian khusus, prosedur investigasi dan kekuatan/dasar hukum yang mungkin tidak tersedia di Negara yang bersangkutan;
2. Cybercrime melampaui batas-batas Negara, sedangkan supaya penyidikan dan penegakan hukum selama ini dibatasi dalam wilayah territorial negaranya sendiri;
3. Struktur terbuka dari jaringan komputer internasional memberi peluang kepada pengguna untuk memilih lingkungan hukum (Negara) yang belum mengkriminalisasikan cybercrime. Terjadi “data havens” (Negara tempat berlindung/singgahnya data, yaitu Negara yang tidak memprioritaskan pencegahan penyalahgunaan jaringan komputer) dapat menghalangi usaha Negara lain untuk memberantas kejahatan itu.
Persoalan di atas sebenarnya berkaitan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy). Marc Ancel mendefinisikan kebijakan hukum pidana sebagai ilmu
72
Ibid.
73
sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dalam hal ini hukum pidana) dirumuskan secara lebih baik.74
Kebijakan hukum pidana terkait erat dengan proses kriminalisasi terhadap suatu perbuatan. Dalam Kongres PBB/X/2000 disebutkan bahwa dalam jaringan komputer global, kebijakan criminal Negara mempunyai pengaruh langsung pada masyarakat internasional. Para penjahat cyber dapat mengarahkan aktifitas elektroniknya melalui suatu negara yang belum melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dilakukan itu dan oleh karenaya ia merasa aman dan terlindungi oleh hukum yang berlaku di negara tersebut. Kendatipun suatu negara tidak mempunyai kepentingan nasional khusus dalam melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan tertentu, seyogyanya dipertimbangkan untuk melakukan langkah sebagai upaya menghindari negara tersebut menjadi data haven (tempat berlindungnya data) dan menjadi terisolasi secara internasional. Harmonisasi hukum pidana subtantif mengenai cybercrime merupakan hal yang esensial apabila kerjasama internasional harus dicapai oleh beberapa negara yang berbeda.75
74
Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1999) hal. 3.dapat dijumpai d
Kekhawatiran terhadap kejahatan mayantara di dunia sebetulnya telah dibahas secara khusus dalam suatu lokakarya (yaitu, yang diorganisir oleh UNAFEI selama kongres PBB X/2000 berlangsung.
penanggulangan penyalahgunaan computer/html.
75
Adapun kesimpulan dari “workshop on crimes to computer networks” adalah sebagai berikut:76
Dari uraian di atas diketahui bahwa sebenarnya cybercrime khususnya kejahatan hacking adalah sebuah isu hukum internasional. Perbedaannya adalah di beberapa negara anggota PBB sudah meratifikasi hasil kongres internasional mengenai kejahatan ini dalam sebuah regulasi peraturan perundang-undangan secara khusus, sedangkan di Indonesia belum diatur secara khusus mengenai kejahatan tersebut.
a. CRC (computer related crime) harus dikriminalisasikan;
b. Diperlukan hukum acara yang tepat untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap penjahat cyber (cybercrimes);
c. Harus ada kerjasama antara pemerintah dan industri terhadap tujuan umum pencegahan dan penanggulangan kejahatan komputer agar internet menjadi tempat yang aman;
d. Diperlukan kerjasama internasional untuk menelusuri/mencari para penjahat di internet;
e. PBB harus mengambil langkah/tindak lanjut yang berhubungan dengan bantuan dan kerjasama tekhnis dalam penanggulangan CRC.
7 6
Teguh Arifiyadi, Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (II),http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1 &id=BRT061002182401, diakses tgl. 30 November 2009.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.
1. Pemalsuan Data apabila dikaitkan dengan delik-delik yang ada dalam KUHP, maka data diddling dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenangnya memalsukan surat / pemalsuan surat. Data yang tersimpan dalam media disket atau sejenisnya dapat disamakan dengan media surat / media tertulis asalkan data yang tersimpan tersebut dapat diwujudkan ke dalam bentuk tulisan / naskah. Dengan demikian si pelaku perbuatan pemalsuan data dengan sarana komputer dapat diancam dengari pidana berdasarkan Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Sedangkan bila ditinjau dari Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersirat perbuatan pemalsuan data yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat(1), (2), dan (3); Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 32 ayat (1), (2), dan (3) .
2. Faktor-faktor penyebab tindak pidana pemalsuan data di Indonesia terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut :
a. Faktor Sosial Ekonomi disebabkan karena internet merupakan produk ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan ekonomi dunia yang dilakukan oleh masyarakat internasional yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, oleh karena itu orang – orang memanfaatkan celah – celah kemanan jaringan internet untuk mendapatkan apa yang diinginka dalam hal ini keuntungan material dengan jalan yang tidak legal sehingga keamanan jaringan ( security network ) sangatlah diperlukan.
b. Faktor Penegakan Hukum, faktor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan pemalsuan data. Hal ini dilatarbelakangi sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi ( internet ) ,sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjarat pelaku , terlebih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat kompleks.
c. Faktor Perkembangan IPTEK kejahatan yang menggunakan hi-tech, jangkauannya sangat luas serta pelaku rata – rata mempuyai intelektualitas yang tinggi dan mempunyai komunitas tersendiri, sehingga untuk pembuktiannya membutuhkan penyidik yang mengerti dibidang teknologi.
3. Upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia dapat diatasi dengan upaya penal yaitu dimana hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk melindungai hak azasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar tercapai keseimbangan, ketertiban, ketentraman, dan keamanan dalam menjaga kehidupan masyarakat. Untuk penegak hukum terhadap kejahatan teknologi informasi maka ada beberapa tindakan yang dilakukan, seperti membuat peraturan perundang – undangan baru atau menambah beberapa pasal dalam peraturan perundang – undangan yang telah ada dan menentukan yurisdiksinya. Selain upaya penal sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka upaya non penal pun masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan.
Dalam hal ini, penanggulangan tindak pidana pemalsuan secara non penal dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan – pendekatan antara lain :
a). Pendekatan Teknologi
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengamankan system informasi berbasis internet yang telah dibangun yaitu:
1. Mengatur akses (access control). 2.Menutup service yang tidak digunakan. 3. Memasang Proteksi.
4. Firewall.
5. Pemantau adanya serangan. 6. Pemantau integritas system. 7. Audit: Mengamati berkas log. 8. Back up secara rutin.
9. Penggunaan enkripsi untuk meningkatkan keamanan. 10. Telnet atau shell aman
b). Pendekatan Budaya Etika.
Pendekatan budaya atau cultural ini perlu dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cyber crime dan menyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan computer melalui media pendidikan.
c). Pendekatan Hukum.
Melakukan Modernisasi hukum pidana material dan hukum acara pidana, mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan computer, melakukan langkah-langkah untuk membuat peka warga warga masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum, terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan computer, melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat penegak hokum mengenai kejahatan ekonomi dan cyber
crime, memperluas rule of ethics dalam penggunaan computer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika dan mengadopsi kebijakan perlindungan korban cyber crime sesuai dengan deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cyber crime.
d). Pendekatan Global.
Computer related crime ( kejahatan terkait dengan komputer) harus dikriminalisasikan, diperlukan hukum acara yang tepat untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap penjahat cyber (cybercrimes), harus ada kerjasama antara pemerintah dan industri terhadap tujuan umum pencegahan dan penanggulangan kejahatan komputer agar internet menjadi tempat yang aman, diperlukan kerjasama internasional untuk menelusuri/mencari para penjahat di internet, dan PBB harus mengambil langkah/tindak lanjut yang berhubungan dengan bantuan dan kerjasama tekhnis dalam penanggulangan ( kejahatan terkait dengan komputer).
B. SARAN.
1. Dalam rangka penegakan hukum dalam tindak pidana pemalsuan di bidang berteknologi ini maka sangat penting segera mempersiapkan penegak hukum yang menguasai teknologi informasi dengan cara antara lain:
1. Mengursuskan para penegak hukum untuk meningkatkan kemampuan di bidang inforamsi teknologi.
2. Mengupayakan mendapatkan bantuan pendidikan di bidang teknologi dari Negara – Negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Prancis, dan Inggris.
3. Melakukan recruitment outsourcing (perekrutan orang-orang yang berpengalaman) dari kalangan individu, swasta, perguruan tinggi yang mempunyai komitmen ingin membantu penegakan hukum.
4. Meningkatkan upaya penyidikan dan kerja sama internasional, Karena perbuatan kejahatan ini bersifat borderless sehingga diperlukan kerja sama dengan Negara lain untuk masalah pembuktian maupun aturan hukum yang akan berlaku. Terhadap kasus-kasus penggunaan nomor-nomor kartu kredit secara tidak sah yang terjadi dan sedang dalam proses penyidikan Polri, tersangka dapat divonis sebagaimana kejahatan yang dilakukannya. Untuk itu,yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
a) Mengadakan penelitian ulang terhadap TKP, para saksi dan berkas-berkas perkara cyber crime yang sedang ditangani oleh para penyidik Polri.
b) Sworn written affidafit (sumpah tertulis) / BAP Sumpah untuk saksi dan korban yang berada di luar negeri dilakukan dengan bantuan US Secret Service dan disosialisasikan kepada PU dan pengadilan untuk menjadi alat bukti yang sah dalam proses pengadilan.
c) Melakukan koordinasi dengan jaksa pengiriman internasional dalam hal pengungkapan perkara.
d) Melibatkan saksi ahli dari AKKI (Asosiasi Kartu Kredit Indonesia).
2. Bahwa dengan adanya undang – undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang telah disahkan diharapkan pemerintah dapat menerapkan pelaksanaan dari undang – undang ITE tersebut agar kejahatan berteknologi dapat diminimalisirkan.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 2006. Tindak Pidana Mayantra: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
A.Buku – buku.
_________________.1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
_________________. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Predana Media Group. Jakarta.
Atmasasmita, Romli. 2007. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama. Bandung.
Barrbridge, I David. 1993. Komputer dan Hukum(cetakan pertama). Sinar Grafika Jakarta.
Chazawi, Adam. 2001. Kejahatan terhadap Pemalsuan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Hamzah, Andi . 1987. Aspek –aspek Pidana diBidang Komputer(cetakan pertama). Sinar Grafika. Jakarta.
_______________. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. _______________. 1996. Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Komputer. Sinar
Grafika. Jakarta.
Harahap, M Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Hukum (edisi Kedua). Sinar Grafika. Jakarta.
H.A.K. Moch.Anwar. 1980. Hukum Pidana bagian khusus(KUHP bukuII). Alumni. Bandung.
Makarim, Edmund. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
M Arief, Dikdik dan Elisatris Gultom. 2005. “Cyberlaw” Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama. Bandung.
Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.
Raharjo, Agus. 2002. Cyber crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. PT. Citra Aditya Utama. Bandung.
Randi, Yusuf. 2000. Proteksi terhadap kriminalitas dalam bidang computer. Refika Aditama, Bandung.
Santoso Topo dan Eva Achjani. 2001. Kriminologi. PT Raja Grafindo Perdasa. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Wahid, Abdul. 2002. Kriminologi dan Kejahatan Kontempore. Lembaga Penerbitan Fakultas Hukum UNISMA. Malang.
Wahid, Abdul dan Mohammad Labib. 2005. Kejahatan Mayatara (Cyber Crime). PT. Refika Aditama, Jakarta.
Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B.Peraturan Perundang-undangan.
Heru Sutadi. Apa yang bisa diperbuat? http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/opi01html.2003.
C.Internet/Website
H. Heru Soepraptomo S.H., Kejahatan computer dan siber serta antisipasi pengaturan pencegahannya di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis Volume 12, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2001, hal. 6.dapat diakses melalui
http:
http:// www. underlaw98.tripod.com/azam3.pdf.
“Bukti Digital, Kunci Penguah Kejahatan cyber” di akses pada 10-10-2009 pada 10:10 WIB.
http:// www.geocities.com / bokur 2001 / alat bukti elektronik masih dipertanyakan. Html. Oleh ICT “Alat Bukti Elektronik Masih Dipertanyakan” diakses pada tanggal 29-10-2009 pada 15:19 WIB.
http:// www.budi.insan.co.id/courses/e17010/2003/rahmadi-report.pdf
Teguh Arifiyadi, Cyber Crime dan Upaya Antisipasinya Secara Yuridis (II),
diakses pada 30 November 2009 jam 19.45 WIB.
http://www.depkominfo.go.id/portal/?act=detail&mod=artikel_itjen&view=1 &id=BRT061002182401
Wisnusubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer (Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1999) hal. 3.dapat dijumpai d
, diakses tgl. 30 November 2009.
penanggulangan penyalahgunaan computer/html.
Dewi Lestari, Kejahatan Komputer 9 Cybercrime ),
Ny.Tien Saefullah “Yurisdiksi sebagai upaya penegakan hukum dalam kegiatan cyberspace” Cyberlaw: Suatu pengantar. Pusat Studi Cyberlaw, UNPAD, Bandung, 2000, hal.100. dapat dijumpai di
Yusuf Ardi, “ Meroket Bisnis e-commerce” kompas, 21 Juli 2000 dapat dijumpai d
space.
E. Saefullah Wiradipadja dan Danrivanto Budhijanto, “ Prespektif Hukum Internasional tentang Cyberlaw”, Cyber law: Suatu pengantar, pusat studi cyberlaw, UNPAD Bandung,2002. Dapat diakses di law&ct=result&oi=spell&sa-x&ei=_LdJS56G4imgAPmGPxR&cd=1&resnum=0.
Bakat Purwnto, Bentuk Kejahatan Baru Akibat Perkembangan IPTEK, BPHN, Departemen Kehakiman, 1995, hal.4, dapat diskes di
Adenan M, Kejahatan Kerah Putih sebagai tindak pidana, BPHN, Departemen Kehakiman, 1995, hal 74. Dapat diakses di
TB. Ronny R. Nitibaskara, Problema Yuridis “ Cyber Crime “ ,dapat dilihat dalam situs http://
D.Majalah dan Lain-lain
Legal Review, Cyber crime di Indonesia ; setelah wacth list, Kini Terancam di Blokir, 31 Agustus – 30 September 2004, No. 24. Th. II, hal.31.
Institute Komputer Indonesia(IKI) Pengenalan Komputer (Introduction to computer). 1981. Jakarta.
Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia(LPKIA), Mengenal Dunia Komputer. 1986. Jakarta.
Arief, Barda Nawawi.1991. Dalam United Nations (eight UN Congres On The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders Report).