• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kriminologi Pemalsuan Data dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Kriminologi Pemalsuan Data dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KRIMINOLOGI TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA DAN KAITANNYA DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh

MARGARETHA M R SITOMPUL 060200311

Hukum Pidana

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

(2)

KAJIAN KRIMINOLOGI TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA DAN KAITANNYA DENGAN UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MARGARETHA M R SITOMPUL 060200311

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan Diketahui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 196107021989031001 Abul Khair, SH. M. Hum

Nurmalawty, SH. M. Hum

NIP. 196209071988112001 NIP. 196012221986031003 Edy Yunara, SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

(3)

DAFTAR ISI A. Latar Belakang Penulisan……….. 1

B. Permasalahan………. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……….. 6

D. Keaslian Penulisan……… 7

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan……… 8

2. Pengertian Data, Komputer, Internet, Informasi, Transaksi Elektronik,dan Dokumen Elektronik..………... 10

3. Teori-teori Sebab Terjadinya Kejahatan...……… 12

F. Metode Penelitian………. 22

G. Sistematika Penulisan………... 23

BAB II KETENTUAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA A. Jenis-jenis Tindak Pidana Pemalsuan Data……….. 26

B. Pemalsuan Data Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elktronik………... 28

C. Beberapa Ketentuan Khusus Lain Yang Berhubungan Dengan Pembuktian Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik………. 37 BAB III FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA A. Faktor Sosial Ekonomi...……….. 59 B. Faktor Penegakan Hukum…..……….. 60 C. Faktor Perkembangan IPTEK……….. 62

BAB IV UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA. A. Secara Penal……….... 64

B. Secara Non Penal 1) Pendekatan Teknologi……….. 70

(4)

3) Pendekatan Hukum……….. 77 4) Pendekatan Global………... 79

BAB V PENUTUP

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul Kajian Kriminologi Pemalsuan Data dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan judul ini didasari atas ketertarikan terhadap permasalahan tindak pidana pemalsuan data yang banyak terjadi ditengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan dampak yang buruk. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan serta masukan dari berbagai pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

5. Kedua orang tua tercinta Drs. Bona Sitompul, Apt dan T. U. H Marpaung yang senantiasa memberikan kasih sayang, cinta, pengertian dan membimbing penulis serta menyediakan segala kebutuhan penulis, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk semuanya.

6. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Nurmalawaty, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis. 8. Bapak Edy Yunara, SH. M. Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis. 9. Ibu Utary Maharany, SH. M. Hum selaku Dosen Wali penulis.

10. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing penulis dalam masa perkuliahan.

11. Buat kakakku Katarin Sitompul, Apt., Tomita Juniarta Sitompul SH, dan adik-adikku Bonita Sitompul dan Agusto Sitompul yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga penulis dapat meyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih ya.

12. Buat Frans Daniel Lumban Tobing yang telah memberikan dukungan, semangat, perhatian, waktu dan rasa sayangnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Terima kasih ya buat semuanya. You’re special in my heart.

(7)

penulis ucapkan atas semangat yang kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

14. Buat sahabat–sahabat ku Noveria Pasaribu, Theresia Novlina, Anggi Anastasya, Manutur dan teman–teman SMA ku Ika, Inggrid, Olvi, Johannes, Adel, Sanggam, Jefri, Rolla, Desi Apriliyani, Evi, Vido, Fransiska, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis tulis satu persatu. Terimakasih penulis ucapkan atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

15. Buat rekan-rekan di PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia), terima kasih penulis ucapkan atas semangat yang kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Medan, Februari 2010 Hormat saya,

Penulis

060200311

(8)

ABSTRAK

Margaretha M R Sitompul.* Nurmalawaty, SH. M. Hum.**

Edi Yunara, SH. M.Hum.***

Kajian Kriminologi Tindak Pidana Pemalsuan Data dan Kaitannya dengan Undang-Undang No 11 tahun 2008 merupakan kajian normatif tentang tindak pidana pemalsuan data yang banyak terjadi di kehidupan masyarakat sehari-hari dimana kajian kriminologi tindak pidana pemalsuan data ini mengangkat permasalahan mengenai bagaimana pemalsuan data ditinjau dari KUHP dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, faktor – faktor apa yang menyebabkan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia, dan Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk – bentuk tindak pidana pemalsuan data dalam KUHP, untuk mengetahui faktor – faktor penyebab tindak pidana pemalsuan data, dan untuk mengetahui bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka dari penelitian ini diketahui bahwa pemalsuan data apabila dikaitkan dengan delik-delik yang ada dalam KUHP, maka data diddling dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenangnya memalsukan surat / pemalsuan surat. Dengan demikian si pelaku perbuatan pemalsuan data dengan sarana komputer dapat diancam dengari pidana berdasarkan Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Sedangkan bila ditinjau dari Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersirat perbuatan pemalsuan data yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat(1), (2), dan (3); Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 32 ayat (1), (2), dan (3) .

Faktor-faktor penyebab tindak pidana pemalsuan data di Indonesia terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut faktor sosial ekonomi, faktor penegakan hukum, dan faktor perkembangan IPTEK.

Dan upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia dapat diatasi dengan upaya penal yaitu dimana hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk melindungai hak azasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar tercapai keseimbangan, ketertiban, ketentraman, dan keamanan dalam menjaga kehidupan masyarakat. Selain upaya penal sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka upaya non penal pun masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. penanggulangan tindak pidana pemalsuan secara non penal dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan – pendekatan antara lain pendekatan teknologi, pendekatan budaya etika, pendekatan hukum,dan pendekatan global.

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*Dosen/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pembimbing I.

(9)

ABSTRAK

Margaretha M R Sitompul.* Nurmalawaty, SH. M. Hum.**

Edi Yunara, SH. M.Hum.***

Kajian Kriminologi Tindak Pidana Pemalsuan Data dan Kaitannya dengan Undang-Undang No 11 tahun 2008 merupakan kajian normatif tentang tindak pidana pemalsuan data yang banyak terjadi di kehidupan masyarakat sehari-hari dimana kajian kriminologi tindak pidana pemalsuan data ini mengangkat permasalahan mengenai bagaimana pemalsuan data ditinjau dari KUHP dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, faktor – faktor apa yang menyebabkan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia, dan Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk – bentuk tindak pidana pemalsuan data dalam KUHP, untuk mengetahui faktor – faktor penyebab tindak pidana pemalsuan data, dan untuk mengetahui bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data. Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka dari penelitian ini diketahui bahwa pemalsuan data apabila dikaitkan dengan delik-delik yang ada dalam KUHP, maka data diddling dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenangnya memalsukan surat / pemalsuan surat. Dengan demikian si pelaku perbuatan pemalsuan data dengan sarana komputer dapat diancam dengari pidana berdasarkan Pasal 263 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Sedangkan bila ditinjau dari Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersirat perbuatan pemalsuan data yang diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat(1), (2), dan (3); Pasal 31 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 32 ayat (1), (2), dan (3) .

Faktor-faktor penyebab tindak pidana pemalsuan data di Indonesia terjadi karena beberapa faktor sebagai berikut faktor sosial ekonomi, faktor penegakan hukum, dan faktor perkembangan IPTEK.

Dan upaya penanggulangan tindak pidana pemalsuan data di Indonesia dapat diatasi dengan upaya penal yaitu dimana hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum pada prinsipnya mempunyai fungsi dan tugas sebagai alat untuk melindungai hak azasi setiap orang maupun kepentingan masyarakat dan negara agar tercapai keseimbangan, ketertiban, ketentraman, dan keamanan dalam menjaga kehidupan masyarakat. Selain upaya penal sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka upaya non penal pun masih diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. penanggulangan tindak pidana pemalsuan secara non penal dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan – pendekatan antara lain pendekatan teknologi, pendekatan budaya etika, pendekatan hukum,dan pendekatan global.

*Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

*Dosen/Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Pembimbing I.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan.

Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia pada milenium ketiga, antara lain ditandai dengan pemanfaatan internet yang semakin meluas dalam berbagai aktifitas kehidupan manusia, bukan saja di Negara – Negara maju tapi juga dinegara berkembang termasuk Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan Informasi sebagai komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan. Kecanggihan Teknologi Informasi ini telah memberikan fasilitas – fasilitas dan kemudahan – kemudahan yang sangat membantu pekerjaan menusia serta kebutuhan – kebutuhan lainya. Perpaduan Teknologi komputer dengan Teknologi telekomunikasi telah mampu menciptakan jaringan – jaringan atau computer network yang bersifat mendunia, aplikasinya pun kini semakin berkembang bukan hanya dilingkungan Universitas, Pusat Penelitian dan Laboratorium untuk keperluan yang bersifat ilmiah atau Riset, akan tetapi kini telah berkembang dilingkungan Perusahaan, Perbankan, Instansi Pemerintah, Militer / Hankam, Hukum dan Peradilan dan Individu atau perorangan kini ada kecenderungan bahwa berbagai kebijakan didasarkan pada sistem komputer dengan kata lain kehadiran teknologi di bidang komputer merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan untuk menunjang pembangunan nasional.

(11)

melahirkan piranti baru yang disebut dengan internet.1

Dengan melihat perubahan yang terjadi di tengah – tengah masyarakat J.E. Sahetapy menyatakan bahwa kejahatan erat kaitannya dan bahkan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri. Artinya semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya.

Kehadiran internet telah memunculkan paradigma baru dalam kehidupan manusia. Kehidupan berubah dari yang hanya bersifat nyata (real) ke realitas baru yang bersifat maya (virtual). Realitas yang kedua ini biasanya dikaitkan dengan internet.

2

Kejahatan dalam bidang teknologi informasi secara umum dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat bantunya. Dalam kejahatan ini terjadi peningkatan modus dan operandinya dari semula menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan teknologi informasi. Dampak dari kejahatan biasa yang telah menggunakan teknologi informasi ternyata berdampak cukup serius, terutama jika dilihat dari jangkauan dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Pencurian uang dengan pembobolan bank atau pembelian barang menggunakan kartu kredit curian, pencurian data melalui media internet dapat menelan korban di wilayah hukum negara lain, suatu hal yang jarang terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua, kejahatan yang muncul setelah adanya internet, dimana sistem komputer sebagai korbannya. Kejahatan yang menggunakan aplikasi internet adalah salah satu perkembangan dari kejahatan teknologi informasi. Jenis kejahatan dalam kelompok ini makin bertambah seiring

1

Abdul Wahid dan Mohammad Labib, Kejahatan Mayatara (Cyber Crime), (Jakarta: PT. Refika Aditama, 2005), hlm.103

2

(12)

dengan kemajuan teknologi informasi. Contoh dari kejahatan kelompok ini adalah perusakan situs internet, pengiriman virus atau program-program komputer yang tujuannya merusak sistem kerja komputer.3

3

Heru Sutadi, Cybercrime, Apa Yang Bisa Diperbuat?, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/opi01.html.2003

Namun disamping itu patut pula disadari bahwa perkembangan teknologi komputer tersebut dapat atau telah menimbulkan berbagai kemungkinan yang buruk baik yang diakibatkan karena keteledoran, dan kekurang mampuan maupun kesengajaan yang dilandasi karena itikad buruk. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini juga akan membawa resiko meningkatnya kejahatan di bidang teknologi informasi dengan berbagai modus baru dan muatan baru. Pencurian data / pemalsuan data, penyalahgunaan kartu kredit, penggelapan, dan pengerusakan sistem komputer. Perlunya penegakan hukum dibidang teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas teknologi dan sumber daya di Indonesia. Hal ini akan mempengaruhi citra Indonesia sebagai salah satu Negara dengan tingkat pemakaian teknologi informasi yang tinggi, serta secara tidak langsung akan meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

(13)
(14)

bernama Dani Hermansyah, pada tanggal 17 April 2004 melakukan deface dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. Dikhawatirkan, selain nama-nama partai yang diubah bukan tidak mungkin angka-angka jumlah pemilih yang masuk di sana menjadi tidak aman dan bisa diubah. Kelemahan administrasi dari suatu website juga terjadi pada penyerangan terhadap website www.golkar.or.id milik partai Golkar. Serangan terjadi hingga 1577 kali melalui jalan yang sama tanpa adanya upaya menutup celah disamping kemampuan hacker yang lebih tinggi. Dalam hal ini teknik yang digunakan oleh hacker adalah PHP Injection dan mengganti tampilan muka website dengan gambar wanita sexy serta gorilla putih sedang tersenyum. Dari realitas tindak kejahatan tersebut di atas bisa dikatakan bahwa dunia ini tidak lagi hanya melakukan perang secara konvensional akan tetapi juga telah merambah pada perang informasi

(15)

Berdasarkan hal – hal tersebut maka penulis hendak menyusun skripsi yang berjudul “ Kajian Kriminologi Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Data dan Kaitannya Dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ”

B. Permasalahan.

Berdasarkan uraian diatas timbul beberapa masalah yang perlu dikaji dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Bagaimana Pemalsuan Data ditinjau dari KUHP dan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ? 2. Faktor – faktor apa yang menyebabkan Tindak Pidana Pemalsuan Data

di Indonesia. ?

3. Bagaimana upaya penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Data di Indonesia. ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

Skripsi ini sebagai suatu karya ilmiah yang kiranya dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk – bentuk Tindak Pidana Pemalsuan data dalam KUHP.

2. Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab Tindak Pidana Pemalsuan Data.

(16)

Skripsi ini juga memnerikan menfaat yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu :

1. Manfaat Teoritis.

Dengan adanya penulisan skripsi ini kiramya dapat menambah wawasan dan kaedah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan data yang dikaitkan dengan teknologi dan informasi yang ada, serta memberi gagasan dalam upaya penanggulangan tindak pidana tersebut.

2. Manfaat Praktis.

Untuk dapat mencegah dan menanggulangi tindak pidana pemalsuan yang banyak terjadi dimasyarakat baik yang menggungakan media elektronik ataupun media lainnya. Dan juga dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum dalam membrantas tindak pidana ini dan menyadarkan masyarakat dalam peran sertanya untuk ikut dalam usaha tersebut.

D. Keaslian Penulisan.

“ Kajian Kriminologi Tentang Tindak Pidana Pemalsuan Data dan Kaitannya Dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maupun di Fakultas Hukum Universitas lain yang di Indonesia.

(17)

E. Tinjauan Kepustakaan.

1. Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan.

Perbuatan pemalsuan sesungguhnya baru dikenal di dalam suatu masyarakat yang sudah maju dimana surat, uang logam, merek atau tanda tertentu dipergunakan untuk mempermudah lalu lintas hubungan di dalam masyarakat.4

Tindak pidana mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah – olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.5

Ketidakbenaran dari sesuatu tersebut menyebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang palsu hal ini dikarenakan sipelaku menggunakan banyak cara yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam kondisi tersebut. Ketidakbenaran atau pemerkosaan terhadap kebenaran tersebut dapat dilakukan dengan cara :6

4

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian khusus (KUHP buku II), (Alumni, Bandung1980), hal 155.

5

Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, (PT Raja Grafindo Paersada, Jakarta, 2001), hal2-3

6

H.A.K. Moch. Anwar, Op Cit , hal 157 - 158.

Pemalsuan intelektuil dapat terdiri atas pernyataan atau pemberitahuan yang diletakkan dalam suatu tulisan atau surat, pernyataan atau pemberitahuan mana sejak semula adalah tidak benar dengan perkataan lain orang yang memberikan pernyataan atau pemberitahuan itu mengetahui atau memahami, bahwa hal itu tidak benar atau tidak sesuai dengan kebenaraan, hingga tulisan atau surat itu mempunyai isi tidak benar.

(18)

a. Perbuatan mengubah sesuatu benda, tanda, merkm mata uang, tulisan / huruf yang semula asli dan benar sedemikian rupa hingga benda, tanda, merk, mata uang, tulisan / surat itu menunjukkan atau menyatakan sesuatu hal yang lain dari pada yang aslinya. Benda, tanda, merk, mata uang, tulisan / surat itu telah secara materiil dipalsukan, tetapi karenanya isinya juga menjadi palsu atau tidak benar.

b. Perbuatan membuat benda, tanda, merk, mata uang atau tulisan / surat sejak semula sedemikian rupa, hingga mirip dengan yang aslinya atau yang benarnya, tetapi bukan yang asli.

Dari pengertian tindak pidana pemalsuan ini dapat ditarik 6 objek dari tindak pidana pemalsuan seperti yang terdapat dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang antra lain adalah :

1. Keterangan diatas sumpah. 2. Mata uang.

3. Uang kertas. 4. Materai. 5. Merk. 6. Surat.

(19)

menggunakan logam campuran yang sama dengan yang dimiliki oleh mata unag asli, merupakan pemalsuan baik materiil maupun intelektuil sebab penempatan tera pada mata uang adalah palsu dalam dua cara.

2. Pengertian Data, Komputer, Internet, Informasi, Transaksi Elektronik,dan Dokumen Elektronik.

a. Pengertian Data.

Data adalah informasi yang dicatat dalam suatu bentuk yang mana dapat diproses melalui peralatan yang berfungsi secara otomatis menanggapi instruksi – instruksi yang diberikan bagi tujuan tersebut.7

Defenisi ini sangat luas dan akan mencakup data yang disimpan dalam disk magnetis, pita rekam, kartu – kartu kantong, kode not balok dan lain – lain, demikian pula data yang disimpan pada memori komputer yang dapat terhapus dengan cepat.8

Data yang terdiri dari informasi yang berkaitan dengan kehidupan individu yang dapat diindentifikasikan dari informasi tersebut ( atau dari informasi itu atau informasi yang ada dalam penguasaan pengguna data ), termasuk setiap pernyataan pendapat tentang individu tetapi tidak mencakup semua indikasi tentang kehendak pengguna data yang berkaitan dengan individu tersebut.9

Istilah komputer berasal dari bahasa Inggris computer, yang kata dasarnya to compute yang berarti menghitung. Istilah komputer yang semula artinya

b. Pengertian Komputer.

Sebelum membicarakan keterkaitan antara hukum pidana dan komputer, maka perlu dikemukakan disini pengertian komputer secara sekilas dan populer.

7

David I. Bainbridge, Komputer dan Hukum (cetakan pertama), (Sinar Grafiks, Jakarta, 1993), hal.220-221.

8

Ibid.

9

(20)

penghitung, kemudian berkembang lebih luas karena istilah kalkulator khusus dipakai untuk mesin hitung, yang asal katanya to calculate10

” serangkaian atau kumpulan mesin elektronik yang bekerja secara bersama – sama dan dapat melakukan rententan atau rangkaian pekerjaan secara otomatis melalui instruksi atau program yang diberikan kepada nya.”

.

Istilah komputer ( computer ) yang semula dipkai untuk alat menghitung suara pemilihan presiden ( voting ) itu berkembang terus sesuai dengan kemajuan teknologi elektronik yang canggih.

Ada yang melukiskan komputer itu secara sederhana sebagai :

11

Institut Komputer Indonesia mendefinisikan komputer sebagai berikut : ” suatu rangkaian peralatan – prealatan dan fasilitas yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol status operating system, melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi – instruksi yang disebut program serta mempunyai internal stronge yang digunkan untuk menyimpan operating system, program dan data yang diolah. ” 12

10

Andi Hamzah, Hukum Pidana yang berkaitan dengan komputer (edisi kedua), ( Sinar Grafika, Jakarta, 1996 ), hal.1.

11

Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia – Amerika (LPKIA), mengenal duna komputer, Jakarta, 1986, hal. 12.

12

Andi Hamzah, Loc.Cit, hal 1. c. Pengertian Internet.

(21)

Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil yang biasa dipakaisecara intern dikantor – kantor, bank, atau perusahaan atau biasa disebut dengan internet, dapat juga berukuran super besar seperti internet.13

George B Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak

d. Pengertian Informasi, Transaksi Elektronik dan Dokumen Elektronik.

Dalam ketentuan umum pasal 1 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disebut kan, bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik. Tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange ( EDI ), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan menggunakan Komputer, Jaringan Komputer, dan /atau media elektronik lainnya.

Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektroni yang dibuat, diteruskan, dikrimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya

3. Teori-teori Sebab Terjadinya Kejahatan.

13

(22)

dimengerti. Upaya mencari penjelesan mengenai sebab kejahatan, sejarah peradaban manusia mencatat adanya dua bentuk pendekatan yang menjadi landasan bagi lahirnya teori - teori dalam kriminologi yaitu:14

14

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, ( PT Raja Grafindo Persada, 2001 ), hal 19-23.

A. Spiritualisme.

Dalam penjelasan tentang kejahatan, spiritualisme memiliki perbedaan mendasar dengan metode penjelasan kriminologi yang ada saat ini. Berbeda dengan teori – teori saat ini, penjelasan spiritualisme memfokuskan perhatiannya pada perbedaaan antara kebaikan yang datang dari Tuhan atau dewa dan keburukan yang datang dari setan. Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang sebagai orang yang telah terkena bujukan setan ( evill / demon ) .

Penjelasan tentang kepercayaan manusia pada yang gaib tersebut dapat kita peroleh dari berbagai literature sosisologi, arkeologi dan sejarah selama berabad – abad yang lalu.

Dalam perkembangan selanjutnya aliran spiritualisme ini masuk dalam lingkup pergaulan politik dan sosial kaum feodal. Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan ini adalah bahwa pada periode sebelumnya pada kejahatan dianggap sebagai permasalahan antara koban dan keluarga korban dengan pelaku dan keluarganya.

(23)

Metode untuk membuktikan kesalahan seeorang dalam masyarakat primitf memiliki banyak model. Menceburkan seseorang kedalam sungai dengan cara mengikatnya pada sebuah batu besar.

Meski dalam kenyataan di masyarakat , dapat dilihat secara nyata bahwa penjelasan spiritual ini ada dan berlaku dalam berbagai bentuk dan tingkat kebudayaan , namun aliran ini memiliki kelemahan . kelemahannya itu adalah bahwa penjelasan ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah.

B. Naturalisme.

Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang sudah ada sejak berabad – abad yang lalu . Adalah “ Hippocrates ” ( 460 S . M . ) yang menyatakan bahwa “ the brain is organ of the mind” . perkembangan paham rasionalisme yang muncul dari perkembangan ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan mampu membuktikan secara ilmiah . dalam perjalanan sejarah kedua model penjelasan ini beriringan meski bertolak belakang. Lahirnya rasionalisme di Eropa menjadikan pendekatan ini mendominasi pemikirn tentang kejahatan pada abad selanjutnya.

Dalam perkembangan lahirnya teori –teori tentang kejahatan , maka dapat di bagi dalam tiga mazhab atau aliran yaitu :

1. Aliran Klasik

(24)

penderitaan dan kesenangan yang menjadi resiko dari tindakan yang dilakukannya. Dalam hal ini hukuman di jatuhkan berdasarkan tindakannya , bukan kesalahannya.

Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, Cesare Bonesana Marchese de Beccaria menuntut adanya persamaan di hadapan hukum bagi semua orang dan keadilan dalam penerapan sanksi. Ia menginginkan kesebandingan antra tindakan dan hukuman yang dijatuhkan. Ini dapat diungkapkan secara tersirat dalam tulisannya “The Crimes and Punishment”.

2. Aliran Neo Klasik.

Aliran neo klasik pada dasarnya bertolak pada pemikiran mazhab klasik. Namun demikian para sarjana mazhab neoklasik ini justru menginginkan pembaharuan pemikiran dari mazhab klasik setelah kenyataannya pemikiran pada mazhab klsik justru menimbulkan ketidakadilan.

Meski mazhab neo klasik tidak dilandaskan pada pemikiran ilmiah namun aspek-aspek kondisi pelaku dan lingkungannya mulai diperhatikan. Hal tersebut yang membuatnya berbeda dengan mazhab klasik.

3. Aliran Positifis

Secara garis besar positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu: a. Determinisme Biologis yaitu teori-teori yang mendasari pemikiran bahwa perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada dalam dirinya.

(25)

C.Teori Makro (Teori yang bersifat abstrak):

a. Teori anomi.15

Teori yang mencari sebab kejahatan dari sosio-kultural dengan berorientasi pada kelas sosial. Emile Durkheim orang yang pertama kali menggunakan istilah anomi untuk menggambarkan keadaan yang disebut Deregulation didalam masyarakat (hancurnya keteraturan sosial akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai).

Robert Merton juga penganut Anomi tapi berbeda dengan Durkheim yaitu teorinya membagi norma sosial menjadi 2 jenis yakni tujuan sosial (Societal goals) dan sarana yang tersedia (Accept talk means) untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana yang dipergunakan. Tapi dalam kenyataannya tidak semua orang dapat menggunakan sarana yang tersedia sehingga digunakan berbagai cara untuk mendapatkan hal itu yang menimbulkan penyimpangan dalam mencapai tujuan.

Menurut teori anomi, keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan menimbulkan isparitas anatara harapan ( expentantions ), keinginan ( desires ) dan kemapuan untuk mencapainya. Masyarakat, yang biasanya menikmati suatu standard kehidupan tertentu, tidak lagi sanggup mencapainya atau memenuhinya.

Pada saat yang bersamaan norma – norma hukum dan social kehilangan daya ikatnya dalam masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mencapai standard kehidupan mereka sebelumnya tersebut, mereka bisa jadi ( cenderung ) melakukan perbuatan – perbuatan illegal. Jadi teori ini memprediksi bahwa pada kondisi

15

(26)

ekonomi yang buruk kejahatan – kejahatan pencurian, penipuan, perampokan cenderung meningkat.

b. Teori Konflik

Dimana masyarakat lebih bercirikan konflik daripada konsensus. Perspektif pluralis yang melihat masyarakat terdiri dari banyak kelompok, kalau perspektif konflik dalam suatu masyarakat terdapat dua kelompok yang saling berlomba untuk mendominasi masyarakat. George B Vold adalah orang pertama yang menghubungkan teori konflik dengan kriminologi. Menurut pendapatnya individu-individu terikat bersama dalam kelompok karena mereka social animals (makhluk sosial) dengan kebutuhan-kebutuhan yang sebaiknya dipenuhi melalui tindakan kolektif. Jika kelompok itu melayani anggotanya, ia akam terus hidup, tapi jika tidak maka kelompok lain akan mengambil alih.16

Dimana terdapatnya ketidaksenangan dalam penyebaran sumber-sumber langka dalam masyarakat sementara semua oang merasa berhak atas sumber Teori konflik terdiri dari:

1. Konflik Konservatif

Menekankan pada 2 hal yaitu kekuasaan dan penggunaan. Dimana konflik muncul diantara kelompok yang mencoba untuk menggunakan kontrol atas situasi atau kejadian. Mereka yang berkuasa dapat mempengaruhi pembuatan putusan juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah

2. Radikal Konflik

16

(27)

langka tersebut, inilah penyebab adanya konflik dalam masyarakat. Konflik timbul antara yang mempunyai kekuasaan dengan yang tidak mempunyai kekuasaan, seperti buruh dengan pemilik modal.

4. Teori Mikro.

Yaitu teori yang bersifat kongkrit yang berusaha menjelaskan bagaimana seorang menjadi jahat. Terkenal dengan teori sosial kontrol yang memulai pertanyaan mengapa orang mentaati norma atau tidak semua orang melanggar hukum. Jawabannya karena orang mengikuti hukum sebagai respon atas kekuatan-kekuatan pengontrol tertentu dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi kriinil ketika kekuatan yang mengontrol tersebut lemah atau hilang. Menurut Travis Hirchi dengan perfectif micro sosiological studies (social bond) ikatan sosial ada 4:17

a. Attachment.

Attachment dibagi menjadi attachment total dan attachment partial. Attachment total yaitu suatu keadaan dimana seseorang individu melepas ego yang terdapat dalam dirinya diganti dengan rasa kebersamaan, rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu mentaati hukum karena melanggar berarti menyakiti perasaan orang lain.

Attachment partial yaitu suatu hubungan antara seorang individu dengan lainnya dimana hubungan tersebut tidak didasarkan pada peleburan ego dengan ego yang lain tapi hadirnya orang lain yang mengawasi. Dari 2 hal itu dapat diketahui bahwa attachment total akan mencegah hasrat seseorang melakukan

17

(28)

deviasi sedangkan attachment partial hanya menimbulkan kepatuhan bila ada orang lain yang mengawasi bila tidak ada maka terjadi deviasi.

b. Comitment

Yaitu keterikatan seseorang pada sub sistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan. Segala kegiatan yangdilakukan bermanfaat bagi ikatan tersebut bisa berupa harta benda, reputasi, masa depan dan sebagainya

c. Involvement

Merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem konvensional . Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi kecil kemungkinan terkena deviasi. Logikanya mreka menghabiskan waktu dantenaga dalam kegiatan tersebut. Sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan dan berbuat yang melanggar hukum

d. Beliefs

Merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial, yang merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan terhadap norma atau agama akan menyebabkan orang patuh pada norma tersebut

5. Bridging Teori.

Merupakan teori yang menengahi antara makro dengan mikro teori. Terdiri atas:18

18

(29)

a. Teori sub kultur.

Sub kultur adalah suatu sub bagian budaya diantara budaya dominan dalam masyarakat yang memiliki norma-norma, keyakinan-keyakinan dan nilai-nilainya sendiri. Sub kultur timbul ketika sejumlah orang dalam keadaan serupa mendapati diri mereka terpisah dari masyarakat banyak dan kemudian secara bersama saling mendukung. Subculture mungkin terbentu dengan sesame suku atau ras minoritas, sesame penghuni daerah kumuh. Subculture hadir di dalam suatu masyarakat yang lebih besar, tidak terpisah dari masyarakat itu. Meski demikian, gaya hidup dari anggota-anggota mereka berbeda secara signifikan dengan gaya hidup budaya culture.

b. Deliquent Sub Culture

Menurut Albert Cohen deliquent subculture ( sub budaya yang nilai-nilainya bertentangan dengan nilai-nilai dari budaya dominan ) muncul di daerah kumuh. Menurut Cohen posisi keluarga muda dalam struktur sosial menentukan problem-problem yang akan dihadapi sepanjang hidupnya.19 Albert Cohen melalui suatu penelitian menyatakan bahwa perilaku deliquen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah (lower class) dan mereka lebih banyak membentuk geng, tidak terdapat alasan yang rasional bagi deliquen sub kultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan), mencari kesenangan dengan menimbulkan kegelisahan pada orang lain juga meremehkan nilai-nilai kelas menengah.

19

(30)

c. Teori Differential Opportunity.

Richard Cloward dan Llloyd Ohlin mengkobinasikan teori strain, differential asociation dan social disorganization. Semua teori itu dimulai dengan asumsi bahwa conventional means disebarkan secara tidak merata di antara kelas-kelas sosio-ekonomi bahwa kurangnya sarana-sarana itu menyebabkan frustasi bagi kalangan anak-anak kelas bawah dan bahwa tingkah laku criminal dipelajari dan dialirkan secara budaya. Menurut teori differential opportunity dari Cloward dan Ohlin, delinquent sub culture tumbuh subur di daerah-daerah kelas bawah dan mengambil bentuk tertentu yang mereka lakukan karena kesempatan untuk mendapatkan ukses secara tidak lebih tersebar secara merata dibanding kesempakatan untuk meraih sukses secara sah.20

Menurut Cohen dan Felson, terjadinya suatu peristiwa kejahatan ( direct-contact predatory crimes ) ditentukan oleh adanya konvergensi dalam ruang dan waktu oleh setidak – tidaknya 3 ( tiga ) faktor :

6. Teori Rutinitas dan Kesempatan.

Teori ini hanya untuk menjelaskan “ kejahatan kekerasan yang melibat kontak fisik langsung antara setidak – tidaknya seorang pelaku dengan setidak – tidaknya seorang korban atau objek dimana pelaku bermaksud untuk merusak / menyakiti atau mengambilnya “. ( predatory violations involving direct physical contact between at least one offender and at least one person or object which that

offender attempts to take or damage ). Teori ini tidak bermaksud menjelaskan akar ( genesis ) dari perilaku criminal.

20

(31)

1. Pelaku yang mempunyai niat ( motivated offenders ). 2. Sasaran – sasaran yang empuk ( suitable targets ).

3. Tidak adanya penjaga yang mampu / kapabel ( capable ).

Cohen dan Felson menjelaskan bahwa perubahan pola aktivitas rutin dan / pola struktur ekologi sosial / masyarakat yang mempengaruhi konfergensi ruang dan waktu dari salah satu atau kombinasi dari dua atau lebih faktor – faktor diatas akan dapat meningkat kejahatan.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan maka jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif yaitu dengan pengumpulan data secara studi pustaka ( library research ).21

Sebagaimana umumnya penelitian hukum normatif dilakukan dengan penelitian pustaka yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan

Metode pendekatan dengan pendekatan yuridis normatif mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai hubungan tindak pidana pemalsuan yang terjadi di dalam masyarakat dan mengenai faktor – faktor terjadinya tindak pidana pemalsuan dan upaya penanggulangannya.

2. Sumber Data.

21

(32)

pustaka atau data sekunder dimana data sekunder diperoleh dengan mempelajari sumber – sumber bacaan yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi. Data sekunder yang diteliti terdiri atas :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan tindak pidana pemalsuan.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum perimer antara lain berupa :

a) Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai pengertian tindak pidana pemalsuan.

b) Tulisan dan pendapat pakar kriminologi mengenai sebab – sebab terjadinya kejahatan.

3. Analisis Data.

Data yang diperoleh dari sumber – sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriftif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara komprehensif / menyeluruh untuk menjawab berbagai permasalahn yang telah dirumuskan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan.

(33)

kesatuan yang sangat berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, permasalahan dalam skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai pengertian tindak pidana pemalsuan, pengertian data, komputer, internet, informasi, transaksi elektronik, dokumen elektronik, dan teori – teori krimonologi terjadinya kejahatan, dan juga faktor – faktor serta upaya penanggulangannya.

Bab II Ketentuan Hukum tentang Pemalsuan Data.

Bab ini akan memberikan pemaparan tentang jenis – jenis tindak pidana pemalsuan data, pemalsuan data ditinjau dari KUHP dan Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Beberapa ketentuan – ketentuan khusus lain dalam Undang – Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

Bab III Faktor – faktor penyebab timbulnya Tindak pidana Pemalsuan Data.

(34)

Bab IV Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Data.

Pada bab ini penulis akan membahas bagaimana upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pemalsuan data.

Bab V Penutup.

(35)

BAB II

KETENTUAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMALSUAN DATA

A. Jenis-jenis Tindak Pidana Pemalsuan Data.

Jika kita lihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat digunakan dibidang teknologi informasi adalah; penipuan, kecurangan, pencurian dan pemalsuan data yang dilakukan oleh si pelaku. Sementara itu jika hal tersebut dilakukan dengan memanfaatkan sarana komputer, maka kejahatan tindak pidana pemalsuan data dapat berbentuk sebagai berikut:22

1. Sumpah Palsu atau Keterangan Palsu.

Suatu keterangan atas sumpah adalah suatu keterangan yang diberikan sehubungan dengan sumpah. Keterangan itu terdiri tidak hanya atas keterangan – keterangan kesaksian dalam perkara maupun dalam perkara pidana, tetapi semua pemberitahuan – pemberitahuan dalam kata – kata tentang perbuatan – perbuatan dan peristiwa – peristiwa. Keterangan itu harus diberikan diatas sumpah, pengambilan sumpah mana dilakukan sebelum keterangan itu diberikan untuk menegaskannya.

Antara sumpah janji dan pelanggarannya terdapat jangka waktu; pelanggaran terjadi setelah pemberian keterangan palsu

22

(36)

Selanjutnya keterangan itu harus palsu, tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran. Keterangan itu sudah bersifat palsu, apabila keterangan itu memuat kekurangan dalam kebenaran.

Kekurangan dalam kebenaran dapat bersifat positif atau negatif. Bersifat positif, apabila keterangan yang diberikan itu bertentangan dengan kebenaran atau tidak benar, sedangkan bersifat negatif, apabila kebenaran atas sesuatu hal disembunyikan.

2. Pemalsuan uang logam dan uang kertas Negara serta uang kertas Bank.

Perbuatan memalsukan uang terdiri atas penggantian bahan – bahan baku untuk membuat uang asli dengan bahan – bahan yang lebih rendah nilainya. Perbuatan memalsu dapat juga merupakan perbuatan mengubah tanda stempel yang mengakibatkan tulisan dalam uang itu menunjukkan nilai lain daripada yang sebenarnya, perubahan mana disertai dengan memberikan warna, menyempu mata uang perak, menunai mata uang suasa.

Pemalsuan uang kertas atau uang uang kertas bank dapat juga terdiri atas perubahan mengubah nilai yang dicetak dalam uang kertas itu. Pokoknya perbuatan pemalsuan uang itu adalah perbuatan mengubah sifat uang sedemikian rupa, sehingga uang yang asli menjadi palsu.

3. Pemalsuan Materai dan Merek ( Cap ).

Perbuatan memalsukan berati memberikan tampang yang lain daripada yang sebenarnya atau yang diterima dari pemerintah :

a) mengubah nilai yang terletak pada materainy ;

(37)

4. Pemalsuan Surat.

Membuat surat palsu adalah menyusun surat atau tulisan pada keseluruhannya. Adanya surat ini karena dibuat secara palsu. Surat ini mempunyai tujuan untuk menunjukkan bahwa surat seakan – akan berasal dari orang lain daripada penulisnya ( pelaku ). Ini disebut pemalsuan meteriil ( materiele valsheid ). Asal surat itu adalah palsu.

Perbuatan memalsukan surat dilakukan dengan cara melakukan perubahan – perubahan tanpa hak ( tanpa izin yang berhak ) dalam suatu surat atau tulisan, perubahan mana dapat mengenai tanda tangannya maupun mengenai isinya. Tidak perduli, bahwa ini sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang benar; perubahan isi yang tidak benar menjadi benar merupakan pemalsuan surat.23

1) Pemalsuan Data ditinjau dari KUHP.

B. Pemalsuan Data Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elktronik.

Perbuatan pemalsuan sesungguhnya baru dikenal didalam suatu masyarakat yang sudah maju, dimana data – data / surat, uang logam, merek atau tanda tertentu dipergunakan untuk mempermudah lalu lintas hubungan di dalam masyarakat.

Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama – tama dalam kelompok kejatahan ” Penipuan ” ; hingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran atas barang ( c.q. surat ) seakan

23

(38)

– akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran data ini orang lain terpedaya dan mempercaya bahwa keadaan yang digambarkan atas barang / surat / data tersebut adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisan / data terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.24

1) disamping pengakuan terhadap azas hak atas jaminan kebenaran/keaslian sesuatu data/surat/tulisan, perbuatan pemalsuan terhadap data/surat/tulisan tersebut harus ” dilakukan dengan tujuan jahat ”

Dalam berbagai jenis perbuatan pemalsuan yang terdapat dalam KUHP dianut :

2) berhubung tujuan jahat dianggap terlalu luas, harus diisyaratkan, bahwa pelaku harus mempunyai ” niat/maksud ” untuk menciptakan anggapan atas sesuatu yang dipalsukan sebagai yang asli atau benar.25

Suatu perbuatan pemalsuan dapat dihukum apabila terjadi perkosaan terhadap jaminan/kepercayaan dalam hal mana :26

a) Pelaku mempunyai niat/maksud dengan menggambarkan keadaan yang tidak benar itu seolah – oleh benar mempergunakan sesuatu data yang tidak asli seolah – olah asli, hingga orang lain percaya bahwa data tersebut adalah benar dan asli dan karenanya orang lain terpedaya.

b) Unsur niat/maksud tidak perlu meliputi unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain ( sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan penipuan ).

24

Ibid

25

Ibid

26

(39)

c) Tetapi perbuatan tersebut harus menimbulkan suatu bahaya umum, yang khusus dalam pemalsuan data/surat dan sebagainya, dirumuskan dengan masyarakat ” kemungkinan kerugian ” dihubungkan dengan sifat daripada data/surat tersebut.

Berbagai jenis kejahatan pemalsuan dalam KUHP meliputi :

1. Sumpah palsu Bab IX.

2. Pemalsuan mata uang dan uang kertas Negara

serta uang kertas Bank Bab X.

3. Pemalsuan materai dan merek ( Cap ) Bab XI.

4. Pemalsuan Surat Bab XII.

Ad1. Sumpah Palsu.

Pasal 242 (1) Barang siapa yang dalam hal peraturan undang – undang memerintahkan supaya memberikan keterangan atas sumpah atau mengadakan akibat hukum pada keterangan tersebut, dengan sengaja memberikan keterangan palsu atas sumpah dengan lisan atau dengan surat, oleh dia sendiri atau oleh wakilnya yang di tunjuk untuk itu pada khususnya, dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya 7 tahun.

(2) Kalau keterangan palsu atau sumpah itu di berikan dalam suatu perkara pidana dengan merugikan terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah dihukum dengan penjara selama – lamanya 9 tahun. (3) Kesanggupan atau pernyataan yang diperhitungkan oleh undang –

undang umum atau yang mengganti sumpah disamakan dengan sumpah.

Unsur –unsur:

Objektif : Pasal 242 (1).

(40)

b. Dalam hal peraturan perundang – undangan memerintahkan supaya memberikan keterangan atas sumpah atau mengadakan akibat hukum pada keterangan atas sumpah tersebut.

Subjektif : Dengan sengaja.

1. Memberikan keterangan palsu diatas sumpah. Pasal 242 (2).

2. Dalam perkara pidana.

3. Dengan merugikan terdakwa atau tersangka.

Perbuatan ini merupakan pemberian keterangan palsu diatas sumpah dalam bentuk gekwalifisir atau dalam bentuk dalam pemberatan.

Pemberian keterangan palsu diatas ini harus diberikan khusus dalam perkara pidana dan pemberian keterangan itu harus ” dapat menimbulkan kerugian ” bagi terdakwa atau tersangka.

Pasal 242 (3).

Disamakan dengan sumpah kesanggupan atau pernyataan/penguatan yang oleh undang – undang diperintahkan atau menggantikan sumpah.

Ad2. Pemalsuan uang logam dan uang kertas Negara serta uang kertas Bank.

Pasal 244. Barang siapa yang meniru atau memalsukan mata uang atau uang kertas atau uang kertas Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas atau uang kertas bank itu sebagai yang asli dan tidak dipalsukan dihukum dengan hukuman penjara selama – lamanya 15 tahun.

Ad3. Pemalsuan Materi dan Merek ( Cap ).

(41)

materai itu oleh orang lain sebagai materai yang asli atau yang tidak dipalsukan atau yang syah ;

ke-2 : Barang siapa dengan maksud yang sama membuat materai dengan memakai alat cap yang asli dengan melawan hukum.

Ad4. Pemalsuan Surat.

Kemampuan komputer tidak hanya sebagai media untuk menyimpan dan mengolah data. Kemampuan komputer juga dapat membuat gambar-gambar, foto-foto dengan hadirnya software-software seperti Corel Draw, Photo Paint,

Microsoft Photo Editor dan lain sebagainya. Hadimya jenis-jenis software di atas tidak menutup kemungkinan terjadinya pemalsuan-pemalsuan surat berharga, apalagi ditambah dengan hadimya media internel di mana setiap orang yang mempunyai kemampuan khusus dapat men-download program-program yang berisikan data tentang surat berharga seperti kartu kredit bahkan memungkinkan dilakukannya pemalsuan identitas seperti, K.T.P, SIM, akte kelahiran, paspor dan lain sebagainya.

Apabila dikaitkan dengan delik-delik yang ada dalam KUHP, maka data diddling dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenangnya memalsukan surat / pemalsuan surat. Data yang tersimpan dalam media disket atau sejenisnya dapat disamakan dengan media surat / media tertulis asalkan data yang tersimpan tersebut dapat diwujudkan ke dalam bentuk tulisan / naskah. Dengan demikian si pelaku perbuatan pemalsuan data dengan sarana komputer dapat diancam dengari pidana berdasarkan Pasal 263 KUHP.

Pasal 263 KUHP berbunyi :

(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang

(42)

tidak.

(2) Diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena

pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

Surat menurut Pasal 263 adalah segala surat yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupu n ditulis dengan mesin tik dan lain-lain. Pengertian dan lain-lain ini memungkinkan surat otentik yang dibuat atau ditulis melalui proses komputer, sehingga data atau keterangan yang ada dalam media disket atau sejenisnya dapat digunakan.

Pasal 263 (1). Unsur – unsur : Objektif :

Membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menerbitkan sesuatu hak, menerbitkan sesuatu perjanjian, menimbulkan pembebasan sesuatu hutang, diperuntukan guna menjadi bukti atas sesuatu hal.

Subjektif :

Dengan maksud untuk mempergunakan atau memakai surat itu seolah – olah asli dan tidak palsu pemakaian atau penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 263 (2). Unsur – unsur :

(43)

Subjektif : Dengan sengaja.

2) Pemalsuan Data ditinjau dari Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam jaringan ( network ), peng-copy-an data dapat dilakukan secara mudah tanpa harus melalui izin dari pemilik data. Hanya sebagaian kecil saja dari informasi dan data di internet yang tidak bisa ” diambil ” oleh para pengguna internet Pencurian bukan lagi hanya berupa pengambilan barang/material berwujud saja, tetapi juga termasuk pengambilan data secara tidak sah.

Istilah memanipulasi data ini dikenal dengan sebutan The Trojan horse yang mempunyai pengertian sebagai berikut :27

Pelaku dalam tindak pidana ini memanfaatkan fungsi internet sebagai salah satu media publiksi yang disalahgunakan untuk kepentingan sendiri atau golongannya. Teknologi informasi tersebut saat ini sangat memungkinkan pihak – pihak ( termasuk juga pers ) melakukan delik ini. Penggunaan website sebagai salah satu alat publikasi diinternet tergolong sangat efektif. Bahkan dimasa ” Suatu perbuatan yang bersifat mengubah data atau instruksi pada sebuah program, menghapus, menambah, membuat data atau pada sebuah program menjadi tidakterjangkau dengan tujuan kepentingan pribadi/kelompok”. The Trojan Horse saat ini dapat dimungkinkan dilakukan secara online ( melalui sistem jaringan ). Hal tersebut memungkinkan bagi seseorang untuk melakukan tindak pidana pemalsuan dengan sasaran sistem database perusahaan maupun perbankan yang menggunakan teknologi jaringan.

27

(44)

mendatang bukan tidak mungkin fungsi publikasi dari internet akan menjadi mediator terpenting dari suatu informasi.

Yusuf Randi dalam bukunya yang berjudul ”Proteksi terhadap kriminalitas dalam bidang komputer”28

28

Yusuf Randi, Proteksi terhadap kriminalitas dalam bidang komputer, ( Refika Aditama, Bandung, 2000), hal 80.

menyebutkan bahwa pemalsuan yang dilakukan dengan saran komputer sebagai data diddling mempunyai pengertian yakni suatu perbuatan yang mengubah data valid / sah dengan cara yang tidak sah dan dengan mengubah input / masukan data atau output / keluar data.

Apabila dikaitkan dengan delik – delik yang ada di dalam KUHP, maka data diddling dapat dikategorikan sebagai perbuatan tanpa wewenangnya memalsukan surat / pemasluan surat.

Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersirat perbuatan pemalsuan data yakni terdapat dalam :

Pasal 30

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Pasal 31

(45)

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.

(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Ketentuan pidana Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32 Undang – undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elktronik diatur dalam

Pasal 46

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).

(46)

Pasal 47

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 48

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ataudenda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

C. Beberapa Ketentuan Khusus Lain Yang Berkaitan Dengan Pembuktian Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

1. Sistem Pembuktian dalam KUHAP. Dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :

“ hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah mealkukannya.”

Kalau dibandingkan bunyi Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 294 HIR, hamper bersamaan bunyi dan maksud yang terkandung di dalamnya yang berbunyi :

(47)

telah terjadi perbuatan pidana dan bahwa tertuduhlah yang salah melakukan perbuatan itu.”

Dari bunyi Pasal tersebut, baik yang termuat pada Pasal 183 KUHAP maupun yang dirumuskan dalam Pasal 294 HIR, sama – sama menganut “ sistem pembuktian menurut undang – undang secara negatif “. Perbedaan antara

keduanya, hanya terletak pada penekanannya saja. Pada Pasal 183 KUHAP syarat “ pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah .“ leih ditekankan dalam perumusannya. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat : ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhakan pidana kepada seorang terdakwa “ sekurang – kurangya dua alat bukti yang sah.”

Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus :29

a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah.

b) Dan atas keterbuktian dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “ memperoleh keyakinan “ bahwa tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah mealkukannya.

Lalu bagaimanakah pelaksanaan sistem pembuktian menurut undang – undang secara negative dalam kehidupan penegakan hokum di Indonesia ? Menurut pengalaman dan pengamatan, Andi Hamzah baik dimasa HIR maupun setelah KUHAP berlaku, penghayatan penerapan sistem pembukt ian itu sendiri, tanpa mengurangi segala macam keluhan, pengunjingan dan kenyataan yang dijumpai. Sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, dimana di dalam

29

(48)

sistem pembuktian negatif ini terkandung suatu prinsip yaitu “ batas minimum pembuktian “. Azas minimum pembuktian ini merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan kesalahan terdakwa. Dimana azas minimum pembuktian ialah suatu prinsip yang harus dipedimani dalam menilai cukup atau tidaknya alat bukti membuktikan salah atau tidaknya terdakwa. Artinya sampai “ batas minimum pembuktian “ mana yang dapat dinilai cukup membuktikan kesalahn terdakwa.

Untuk menjelaskan masalah ini titik tolak berpijak berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Meneliti bunyi Pasal 183 KUHAP tersebut, dikemukanlah kalimat : “ dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah “ maksudnya untuk menjatuhkan pidana kepada seirang terdakwa baru boleh dilakukan oleh seorang hakim apabila kesalahan terdakwa telah dapat dibuktikan “ dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti.” Jadi “ minimum pembuktian “ yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar kepadanya dapat dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah disebutkan secara rinci atau “ limitative “ alat bukti yang sah menurut undang – undang yaitu :

a) Keterangan saksi. b) Keterangan ahli. c) Surat.

d) Petunjuk.

e) Keterangan terdakwa.

(49)

yang itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1). Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup

memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, “ sekurang - kurangnya “ atau “ palng sedikit “ dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah.

Untuk Indonesia yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh KUHAP Wirjono Prodjodikoro dalam buku yang berjudul Hukum Acara Pidana di

Indonesia berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.30

Namun pada prakteknya keyakinan kehakiman yang paling dominan dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Terutama bagi seorang hakim yang tidak berhati – hati, atau hakim yang kurang tangguh benteng iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan system pembuktian ini yang suatu imbalan yang diberikan terdakwa. Akan tetapi, kita sadar dimanakah dijumpai didunia ini suatu system yang sempurna tanpa cacat? Bagaimanapun baik atau

30

(50)

buruknya suatu system, semuanya sangat tergantung kepada manusia yang berada dibelakang system yang bersangkutan31

Dengan menggunakan bantuan peralatan teknologi yang semakin canggih, kejahatan menjadi sangat mudah, cepat, leluasa dan semakin instan untuk dilakukan. Kejahatan juga menjadi semakin merajalela. Mulai dari penipuan sederhana sampai yang sangat merugikan, ancaman tehadap seseorang atau kelompok, penjualan barang – barang illegal, sampai tindakan terorisme yang menewaskan ribuan orang melibatkan kecanggihan teknologi. Semakin meningkatnya kejahatan yang melibatkan kecanggihan teknologi mengakibatkan mulai banyaknya Negara yang merespon hal ini. Dengan membuat pusat –pusat pengawasan dan penyelidikan kriminalitas dibidang teknologi ini. Dengan pengharapan kejahatan dibidang teknologi tidak akan terus berkembang merajalela tak terkendali. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah, apa yang

2. Perluasan Cakupan Alat Bukti Dalam Kejahatan Teknologi.

Julukan zaman serba canggih bagi era ini memang tidak salah. Mulai dari mengetik dokumen, mencari informasi di internet, melakukan testing simulasi, melakukan pemeriksaan kesehatan, sampai dengan tindakan criminal penipuan dan terorisme mau tidak mau juga harus mengandalkan bantuan peralatan teknologi. Perkembangan teknologi ada sisi baik juga sisi buruknya. Sisi baiknya, antara lain pekerjaan manusia menjadi sangat terbantu. Revolusi pekerjaan mungkin saja akan terjadi nanti, dimana semua pekerjaan manusia dilakukan dan diselesaikan oleh peralatan teknologi. Namun yang menjadi salah satu dari cukup banyak dampak buruknya, adalah kejahatan mndapatkan media baru untuk bekerja.

31

(51)

bisa diselidiki dari dunia teknologi? Jika memang seseorang melakukan kejahatan, mana buktinya? Mana saksinya?32

Jejak tersebut yang kemudian dapat meningkat statusnya meliputi bukti, menjadi salah satu perangkat/ entitas hukum penting. Jejak yang ditimbulkan dari teknologi itu yang cenderung yang bersifat elektronik yang nantinya meningkat menjadi bukti elektronik tersebut yang mempengaruhi pembuktian perkara pidana, sedangkan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti dipengadilan nampaknya masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek pengadilan di Indonesia penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah dan belum bisa digunakan. Apa kendalanya? Padahal dibeberapa Negara data elektronik dalam bentuk email Oleh sebab itulah untuk menjaring pelakunya sangat sulit dikarenakan belum diterimanya dokumen elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah didalam KUHAP, padahal dalam kejahatan dibidang teknologi selalu melibatkan perangkat teknologi yang bersifat elektronik.

3. Bukti Elektronik Sebagai Bukti Dalam Kegiatan Teknologi.

Sekarang ini, dimana kemajuan teknologi semakin meningkat maka akan memberikan dampak positif maupun negatif yang menggunakannya bagi pihak yang menggunakannya. Dari sisi positif, pemanfaatan teknologi dapat memberikan fasilitas baik bagi para penggunanya sehingga dapat membantu masyarakat untuk mencari apa yang yang diperlukan. Sedang sisi negative, seiring dengan maraknya teknologi yang ditawarkan, maka dapat timbul pengaruh – pengaruh negatif bagi yang tidak dapat menyaringnya sehingga timbullah kejahatan teknologi yang sering meninggalkan jejak yang tersembunyi.

32

(52)

sudah menjadi pertimbangan bagi hakimdalam memutus suatu perkara. Kiranya, tidak perlu menunggu lama agar persoalan bukti alat elektronik termasuk email mendapatkan pengakuan secara hukum sebagai alat bukti yang sah dipengadilan. Masalah pengakuan data elektronik menjadi isu yang menantang dengan pemanfaatan teknologi disegala bidang. Beberapa Negara seperti india, cina, jepang dan Singapore telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah dipengadilan. Cina misalnya membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal contract law of the peoples Republic of China menyebutkan, “ bukti tulisan ” yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak ( perjanjian ) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai perkara seperti, telegraf, teleks, faksimili, dan email.33

Adapun yang dimaksud dengan bukti alat elektronik adalah sesuatu yang didapati dari kejahatan yang menggunakan perawatan teknologi untuk mengarahkan suatu peristiwa pidana berupa data – data elektronik baik yang berada didalam perangkat teknologi itu sendiri misalnya yang terdapat pada komputer, hard disk, copy disk, flash disk, memory card, sim card atau yang merupakan hasil print out, ataupun telah mengalami pengolahan melalui suatu perangkat network tertentu misalnya: computer dalam bentuk lain berupa jejak kopi dari suatu aktifitas penggunaan perangkat teknologi.34

Mengenai alat – alat bukti elektronik ini , Michael Chissick dan Alistair dalam buku karangan Dikdik M. Arief, dan Elisatris yang berjudul “Cyberlaw”

33

http:// www.geocities.com / bokur 2001 / alat bukti elektronik masih dipertanyakan. Html. Oleh ICT “Alat Bukti Elektronik Masih Dipertanyakan” diakses pada tanggal 29-10-2009 pada 15:19 WIB.

34

Referensi

Dokumen terkait

(3) ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan transaksi elektronis sebagaimana dimaksud pada butir (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 17

Data elektronik yang dimaksud menurut undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik adalah alat bukti yang memiliki Informasi Elektronik atau Dokumen

Walaupun tindak pidana judi online di dunia maya ( cybercrime ) belum diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundang- undangan tertentu, namun telah diatur dalam

a) Menerima surat yang telah siap untuk dikirim dari penyelenggara. b) Meneliti kebenaran alamat yang dituju. c) Mencatat surat yang akan dikirim pada buku ekspedisi.. d)

Menimbang, bahwa terhadap perbuatan Terdakwa yang telah memenuhi dan terbukti melakukan tindak pidana dari dakwaan alternatif ke-satu Penuntut Umum tersebut, namun

Pembahasan yang akan ditulis disini adalah tentang tinjauan umum politik hukum pidana, pengertian prostitusi, prostitusi dalam tindak pidana di Indonesia, terutama di dalam

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak

Menurut Pasal 1 Angka 1 UU ITE bahwa yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada