DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Diajukan oleh :
Nama : RAHMAT RAMADHAN Nim : 20110610153
Bagian : PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN
Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Rahmat Ramadhan
NIM : 20110610153
Judul Skripsi : DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Dengan ini menyatakan bahwa penulisan skripsi ini berdasarkan hasil
penelitian, pemikiran dan penerapan dari diri saya sendiri. Jika terdapat karya orang
lain, maka saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila dikemudian hari
terdapat pernyataan yang tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang
berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya tanpa adanya paksaan
dari pihak manapun.
Yogyakarta, 3 Januari 2017
MOTTO
If You Fail To Plan, You Are Planning To Fail (Rahmat Ramadhan)
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya
bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari
sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain). Dan hanya kepada
tuhanmulah engkau berharap (Q.S Al-Insyirah, 6-8)
“As you Cannot do what you want, Want what you can do (Leonardo da Vinci)”
“Orang yang berprestasi jarang berdiam diri dan menungu sesuatu terjadi,
Orang itu bergerak dan mengerjakan sesuatu” (Andrea Verrocchio)
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan menucapkan syukur Alhamdulillah berkat rahmat serta izin dari
Allah S.W.T ku persembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang saya
sayangi kepada :
1. Keluargaku Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Suparmin Latief dan Ibu
Sherlifa, motivator terbesarku dalam hidup yang tak pernah jemu
mendoakan dan menyayangi diriku atas semua pengorbanan dan
kesabaran mengantarku hingga ke Perguruan tinggi.
2. Kakak kandungku drg. Purwanti Nancy dan Suaminya kakak drg.
Ferry Yudha yang selalu memberikan support, menceramahi, serta
selalu memberikan support agar selalu menyelesaikan studiku di
KATA PENGANTAR
BismillahirrahmanirrahimPuji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia,
dan Hidayahnya yang telah membuat bumi sebagai hamparan yang luas, dan langit
sebagai atapnya. Shalawat serta salam kita panjatkan atas junjungan Nabi besar
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari jurang kenistaan menuju
bukit yang terang benerang hingga saat ini. Berkat izin Allah SWT penulis mampu
menyusun skripsi ini yang berjudul “DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT
BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG IMFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK” untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata 1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Selesainya skripsi ini berkat bantuan serta bimbingan yang tulus dan ikhlas
dari beberapa pihak. Dan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih, secara
khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada
:
1. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. Selaku dosen pembimbing skripsi I dan
selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
yang telah memberi kesempatan penulis untuk menulis skripsi.
2. Mukhtar Zuhdy,S.H., M.H. Selaku dosen pembimbing skrispsi II atas segala
saran dan kritik yang bermanfaat selama membimbing penulis. Tak lupa
dukungan-dukungan dalam memberikan masukan kepada penulis agar
dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh karyawan dan staff Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta Bapak Maman, Pak Ardhani, Pak Dirman, Pak Heru, Pak
Djoko, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya yang telah
membantu dan memberikan informasi selama saya kuliah dan menyusun
skripsi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Kepada semua dosen fakultas hukum yang tidak lelah memberikan ilmu dan
mengajari saya selama ini.
5. Keluargaku tersayang Bapak Suparmin Latief dan Ibu Sherlifa, Kakakku
Purwanti Nancy dan kakak iparku Muhammad Ferry Yudha.
6. Saudaraku Annisya Pricilia Kartika, Reizsa Yoan Kartika, Farah Fadillah
Ulfa, dan Rizki Ramadhan.
7. Pacarku yang selalu sabar dan bawel Dini Yuniyanti SH yang selalu
mendoakan, dan ceramahnya untuk selalu memberikan support agar dapat
menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk keluarga kontrakan barokah II Kholis Arrohman,Rahmanda
hasibuan,Rhendy Hermanto, Aziz Yuliansyah, Abdul, Joni, Sadam, dan Tyo
9. Untuk sahabat SMAku Andika Anggiriawan, Magestha Hikma Putra, Gaga
Candra Pradipta, Nurul Innayah, Ichak Baskoro, Faisya Ayu, Leonita
10.Sahabat-sahabat seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi dan selalu
memberi support Andrae Sutrisno, Raga, Isa Diandra, Thony Duta, Danu
Panji beserta istrinya Windi Arya.
11.Untuk Keluarga besar Travellaw yang terlebih dahulu meningalkan saya
dengan cepat setelah Wisuda, Ani Widi Astuti, Riska Wijayanti, Rinna
Masitoh, Fikri, Yoyok, Ika Lusiati, Ayu Afiatul Kamala, Jamilatul
Maulidiya, Septine Yuspita Widia, Muchtar Beby, Dian Solihatun.
12.Untuk seluruh sahabat Travellaw yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Yang akan selalu merindukan kebersamaan kita selama ini, Traveling,
Camping, Touring dan kegiatan lainnya.
13.Untuk Warga Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Cangkringan Merapi dan
Mentor motor Trail saya Mas Eko yang membuat saya menyukai olahraga
motor trail.
14.Teman teman selama kuliah yang saya rindukan, Ibnu, Tarina, Bulan,
Rahmi harahap, Erlita wandani, Renita, Arie Suryawiata,Naseha
Elkarima,Mia Elvina, Novelya Niken, dan yang tak bisa kusebutkan satu
persatu.
15.Sahabat NDOBOS CREW, Ahmad, pak de Cholis, Adi Setya, Aziz
Nuzula, Guntur, Hifzan, Khairul Anwar, Syafaat, dan mereka yang tak bisa
saya sebutkan satu persatu.
16.Sahabat sahabat KKN 30 dan Warga Kalakijo, Pajangan, Bantul yang telah
17.Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu baik materiil maupun non materiil sehingga skripsi ini dapat
Tersusun.
Yogyakarta, 3 Januari 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... 1
MOTTO ... 2
HALAMAN PERSEMBAHAN ... 3
KATA PENGANTAR ... 4
ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ... 8
BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.
C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
D. Tinjauan Pustaka ... Error! Bookmark not defined.
E. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
F. Sistematika Penulisan Skripsi ... Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK... Error! Bookmark
not defined.
A. Pengertian Data Elektronik ... Error! Bookmark not defined.
B. Klasifikasi Bukti Elektronik ... Error! Bookmark not defined.
C. Pengaturan Mengenai data Elektronik ... Error! Bookmark not defined.
BAB IIIError! Bookmark not defined. PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK
DALAM PERKARA PIDANA ... Error! Bookmark not defined.
A. Pengertian pembuktian ... Error! Bookmark not defined.
B. Sistem pembuktian... Error! Bookmark not defined.
C. Alat-alat bukti menurut KUHAP ... Error! Bookmark not defined.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... Error! Bookmark not defined.
A. Penerapan Pembuktian Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Elektronik Dalam
Perkara Pidana Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik ... Error! Bookmark not defined.
B. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... Error! Bookmark not defined.
BAB V PENUTUP ... Error! Bookmark not defined.
B. Saran ... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.
A. Buku-Buku ... Error! Bookmark not defined.
B. Peraturan Perundang-undangan ... Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK
Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh sulitnya lembaga hukum seperti pengadilan dalam hal melaksanakan pembuktian perkara pidana yang berhubungan dengan Data Elektronik. Karena mengingat bahwa sarana dan prasarana yang dimiki oleh lembaga hukum kita belum cukup memenuhi standar kelayakan di lembaga-lembaga hukum di Indonesia maupun mengatasi permasalahan yang ada yang berkaitan dengan Data Elektronik. Tujuan penulisan skripsi ini untuk dapat mengetahui bagaimana penerapan pembuktian data elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan bagaimana kekuatan alat bukti elektronik dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik data elektronik yang dimaksud dengan data elektronik menurut undang-undang nomor 11 tahun 2008.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian normatif. Dalam penulisan skripsi ini, penelitan normatif dilakukan dengan cara meneliti asas-asas hukum pidana dan asas-asas hukum acara pidana. Dalam penelitian ini dilakukan dengan meneliti penerapan hukum terhadap perkara pidana yang berhubungan dengan Data elektronik dan kemudian metode analisis penelitian menggunakan metode deskriptif, metode analisis yang digunakan untuk memaparkan suatu fenomena secara rinci dan jelas.
Data elektronik yang dimaksud menurut undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik adalah alat bukti yang memiliki Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang hasil dari cetak (hard copy) dari perkara pidana yang berhubungan dengan Data Elektronik. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang apabila terjadi peristiwa kongkrit. Dalam penafsiran hukum bukti elektronik ke dalam bentuk barang bukti atau alat bukti surat maupu petunjuk ini menggunakan metode penemuan hukum interpretasi Ekstensif.
Pembuktian data elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut UU ITE tidak lepas dari keberadaan alat bukti pada KUHAP. Kekuatan alat bukti elektronik dalam UU ITE dapat dikatakan sebagai perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah dan dapat dihadirkan di persidangan setelah hakim melakukan penemuan hukum dan menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahSistem pembuktian era teknologi informasi sekarang ini mengahadapi
tantangan besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitan
dengan upaya pemberantasan kejahatan di dunia maya (cyber Crime).1Khususnya
di Indonesia perkembangan teknologi informasi semakin pesat dan pengunaannya
pun semakin banyak tetapi perkembangan ini tidak diimbangi dengan
perkembangan produk hukumnya. Data atau informasi elektronik kemudian diolah
dan di proses dalam satu sistem elektronik dalam bentuk digital. Dengan kemajuan
informasi yang pesat, diiringi dengan terjadinya perikatan antara pihak yang
dilakukan dengan pertukaran informasi untuk melakukan transaksi perdagangan
secara elektronik di ruang lingkup dunia maya.
Transaksi elektronik sering disebut sebagai “online contract” yang
sebenarnya adalah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan
jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer-based
information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan
jasa telekomunikasi (telecommunication-based), yang selanjutnya difasilitasi oleh
keberadaan jaringan komputer global internet.2 Kerap timbul dampak negatif dari
1 Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005, Cyber law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama, Hlm 97.
2
perkembangan teknologi informasi tersebut, salah satu contohnya yaitu seperti
pencemaran nama baik melalui dunia maya atau sosial media. Secara teknis,
informasi dan/atau sistem informasi itu sendiri sangat rentan untuk tidak berjalan
sesuai sebagaimana seharusnya atau malfunction, dapat diubah–ubah ataupun
diterobos oleh pihak lain. Untuk melindungi kerahasiaannya, diperlukan keamanan
data, keamanan komputer serta jaringannya.
Berbagai jenis media berbasis teknologi sebagai saluran informasi dan
komunikasi seakan tidak mau kalah untuk melakukan inovasi-inovasi yang
menawarkan banyak fasilitas penunjang aktifitas manusia. Komputer dan internet
adalah media yang sangat populer dan paling banyak menarik perhatian
masyakarakat sekarang ini. Dengan sebuah komputer yang tersambung dengan
jaringan internet, aktifitas manusia dibidang yang terkait dengan komputer seperti
di bidang perdagangan, industri, maupun pemerintahan dapat dilakukan secara
cepat, mudah, praktis, dan tanpa batas.
Diberbagai negara, akses internet secara bebas dapat dengan mudah untuk
didapatkan. Dengan biaya yang terjangkau, pengguna internet bukan saja dari
golongan menegah keatas, namun juga telah merambah hingga golongan menegah
kebawah. Siapapun dapat mengakes internet tanpa terkecuali. Sistem pengoprasian
internet yang dengan mudahnya dijalankan menjadi faktor pendorong dekatnya
terknologi internet dengan masyarat luas kini.
Pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang
semakin pesat mendorong pula munculnya kejahatan didalamnya. Kejahatan
dengan internet ini biasa disebut dengan kejahatan mayantara atau dalam bahasa
inggrisnya Cyber Crime. Cyber Crime merupakan suatu ancaman yang timbul
dimana seseorang mempunyai akses illegal ke dalam jaringan komputer, merusak
jaringan, mengubah suatu tampilan dengan tampilan lain yang merugikan banyak
pihak dan pencemaran nama baik oleh beberapa orang. Disinilah lahirnya
perilaku-perilaku menyimpang dengan memanfaatkan teknologi yang lebih canggih sebagai
alat untuk mencapai tujuan, dengan melakukan kejahatan.
Latar belakang munculnya kejahatan mayantara ini mayoritas didorong
dengan motif lain seperti motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensial
menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Para pelaku kejahatan mayantara
dapat melirik celah yang memungkinkan melakukan kejahatan tersebut denga aman
dan terlepas dari jeratan hukum. Kejahatan mayantara menjadi peluang bagi pelaku
untuk melakukan tindak pidana mayantara serta minimnya aturan hukum yang detil
yang mengatur tindak pidana mayantara. Aturan yg mengatur tentang kejahatan
mayantara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Banyak kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang
sangat canggih, dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus
untuk mengungkap suatu kejahatan.3 Kegiatan perbankan yang memiliki potensi
kejahatan di dunia maya antara lain yaitu layanan online shoping yang memberikan
fasilitas pembayaran melalui kartu kredit (Credit Card Fraud). Terdapat kejahatan
3
dunia maya yang berhubungan dengan nama domain. Nama domain (domain name)
digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan dan merk dagang. Namun banyak
orang yang mencoba menarik keuntungan dengan mendaftarkan domain nama
perusahaan orang lain dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih mahal.
Pekerjaan ini mirip dengan calo karcis. Istilah yang sering digunakan adalah
cybersquatting.
Kasus klikbca merupakan kasus domain name yang memanfaatkan kesalahan
ketik yang mungkin dilakukan oleh nasabah. Steven Haryanto membeli
domain-domain yang serupa www.klikbca.com dimana isi dari tiap situs palsu tersebut
sangat mirip dengan situs asli BCA. Kunci dari keberhasilan dari kasus ini adalah
apabila terjadi salah ketik oleh nasabah. Berdasarkan hal ini, kasus klikbca.com
merupakan “typosquatting”.4 Dengan adanya penyalahgunaan didalam transaksi
elektronik tersebut karena terbentuk dari suatu proses elektronik, akan
menyebabkan objeknya berubah, barang menjadi data elektronik dan alat buktinya
pun bersifat elektronik.
Mengacu pada ketentuan hukum positif di Indonesia, ada beberapa peraturan
Perundang-undangan yang telah mengatur mengenai alat bukti elektronik (digital
evidence) sebagai alat bukti yang sah dimuka pengadilan. Salah satu contohnya
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Terhadap
tindak pidana yang telah memiliki aturan hukum yang mengatur mengenai alat
bukti elektronik (digital evidence) bukanlah suatu masalah. Namun, bagi perbuatan
4
Hukum online____, klikbca.com typosquatting atau phishing?, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4936/klikbca.com-typosquatting-atau-phishing?
melanggar hukum yang belum memiliki aturan hukum khusus mengenai bukti
elektronik sebagai alat bukti dalam elektronik sebagai alat bukti yang sah dimuka
pengadilan, oleh karena itu diperlukan kecakapan aparat penegak hukum untuk
melihat dan menerjemahkan bukti elektronik yang ada menjadi alat-alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana sebagai alat bukti yang sah di muka pengadilan.
Mengingat bahwa pada asasnya, hakim tidak dapat menolak setiap perkara yang
diajukan ke persidangan dengan dalil yang tidak ada dasar hukumnya. Berdasarkan
uraian diatas, penulis memilih judul skripsi yaitu: “Data Elektronik Sebagai Alat
Bukti Dalam Perkara Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi Dan Transaksi Elektronik”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat di rumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana Penerapan Pembuktian Data Elektronik sebagai alat bukti
elektronik dalam perkara pidana menurut Undang-Undang No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
2. Bagaimana kekuatan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan Data Elektronik sebagai alat bukti elektronik
dalam pemeriksaan perkara pidana menurut Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008.
2. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.
D. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan umum tentang data elektronik
Dalam pengertian informasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu akar dari
informasi tersebut yaitu, data. Menurut Turban, Rainer dan Potter “Data are raw
facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that
are captured, recorded,stored, and classified, but not organized to convey any
specific meanning”. Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum
terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam
dan disimpan.5
Pengertian informasi menurut Turban, Rainer dan Potter, “information is a
collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a
recipient, for example, if we include costumer names with bank ballances, we would
have useful information.” “Contoh informasi ialah saldo rekening bank yang
disertai dengan identitas pemegang rekening”.6 Dengan kata lain, informasi
5 Turban,Rainer, dan Potter., Introduction to Information Technology “Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta,Rajagrafindo Persada, Hlm. 31 (terjemahan bebas penulis)
bersumber dari data yang telah diproses. Sedangkan yang dimaksud dengan
informasi elektronik, ataupun tanda tangan elektronik.
Data/Informasi yang telah diolah oleh sistem informasi secara elektronik
tersebut, akan tersimpan didalam suatu media tertentu, yang dinamakan dokumen
elektronik. Sistem penyimpanan data dan/atau informasi elektronik yang
berbasikan komputer dinamakan Databases dan data yang dikomunikasikan
melalui media telekomunikasi dinamakan Data Messages. Apabila kita merujuk
pada Keppres No.8 Tahiun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (“UUDP”), dapat
kita cermati pengertian Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau
keterangan yang dibuat dan/atau diterima oleh perusahaan dalam rangka
pelaksanaan kegiatannya baik tertulis diatas kertas atau sarana lain maupun terekam
dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Adapun yang
menarik dari keberadaan Undang-Undang Pokok Kearsipan dan Dokumen
perusahaan diatas ialah terbukanya pemahaman mengenai keberadaan suatu
informasi Yang tersimpan secara elektronik (arsip elektronik).
Definisi mengenai kejahatan komputer atas penyalahgunaan komputer
dibagi dua bidang utama. Pertama, penggunaan komputer sebagai alat untuk
melakukan kejahatan, seperti pencurian. Kedua, komputer tersebut merupakan
objek atau sasaran dari tindak kejahatan tersebut, seperti sabotase yang
menyebabkan komputer tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pencurian
data atau pencemaran nama baik.
Menurut Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya ”
Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan
kepastian hukum bagi seseorang. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan
terpenuhi dua syarat yaitu :
a. Alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen).
b. Keyakinan hakim (overtuiging des rechters).
Disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa,
dalam arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama. Sesuai
dengan ini, kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige overtuiging),
atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah (wettige
bewijsmiddelen).
Hanya satu bukti saja, umpama dengan keterangan sorang saksi, tidak
memperoleh bukti yang sah, tetapi harus dengan keterangan beberapa alat bukti.
Dengan demikian kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dalam
arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain bukti yang demikian diperlukan
juga keyakinan hakim yang harus diperoleh atau ditimbulkan dari “alat-alat bukti
yang sah”
Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah dapat dilihat dalam Pasal 184
a. Keterangan saksi;
Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi dimuka
persidangan. Terkecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 186
KUHAP, yaitu :
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau
bersama-sama sebagai terdakwa.
b. Keterangan ahli;
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang
kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Didalam Pasal 186
KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi seorang ahli adalah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tidak diberikan penjelasan
yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut
KUHAP.
Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara
limitatif, didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti sarat yang terdiri
dari 4 butir
d. Petunjuk;
Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam
Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian
petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, yang menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
dan siapa pelakunya
e. Keterangan terdakwa.
Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1)
KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendri. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang
dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai
hal yang di dakwakan kepadanya. Keterangan teerdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa dia bersalah melakukan perbuatan yang
3. Tinjauan umum tentang pembuktian dalam perkara pidana
Menurut Pitlo, “pembuktian adalah, suatu cara yang dilakukan oleh suatu
pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya”.7 Pembuktian
tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan,
merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana.8
Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian,
dapat diuraikan sebgai berikut :9
a. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden)
b. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau
(bewijsmiddelen)
c. Penguaraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepda hakim
disidang pengadilan (bewijsvoering)
d. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam rangkaian
penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht)
e. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk
membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast)
7 Edmon Makarim, Op.Cit, Hlm. 417
8 Andi Hamzah, 2005, hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 245 9 Bambang Poernomo, 2006, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta,
f. Bukti minimum yang diperlukan Dalam pembuktian untuk mengikat
kebebassan hakim (bewijsminimum)
Pada dasarnya pembuktian dilakukan sejak adanya suatu peristiwa hukum.
Apabila ada unsur-unsur pidana atau bukti awal telah terjadinya tindak pidana
barulah dari proses tersebut dilakukan penyidikan , dan dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam Pasal 1 angka 13, penyidikan ialah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. “menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah
ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”10
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin(ajaran)11. Penelitian ini dilakukan dengan
mengumpulkan bahan hukum, baik primer, sekunder ataupun tersier.
2. Sumber Data
10 M. Yahya Harahap, Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 273
Dalam jenis penelitian hukum normatif diperlukan bahan hukum yang berupa
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, dan bahan non
hukum.
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat seperti : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
,Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,,Undang-Undang-,Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
b. Bahan hukum sekunder yaitu kajian teoritis yang berupa pendapat
hukum, ajaran (doktrin), dan teori hukum sebagai penunjang bahan
hukum primer yang didapat dari hasil penelitian, buku teks, rancangan
undang-undang, dan jurnal.
c. Bahan hukum tersier atau bahan non hukum adalah bahan penelitian
yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus
atau ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Narasumber
Penulis melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang dianggap
kompeten dengan permasalahan yang diteliti. Narasumber adalah orang yang ahli
dibidangnya yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara mengajukan pertanyaan
langsung. Dalam hal ini narasumber yang di wawancarai adalah bapak Ayun
Kristiyanto S.H hakim di pengadilan negeri Sleman Yogyakarta.
Data sekunder yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara
melakukan studi pustaka. Studi pustaka akan dihimpun dari semua peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal imiah
yang berkaitan dengan permasalahan.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif.yaitu data sekunder berupa Teknik analisis data yang akan digunakan
dalam menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu
kasus yang diteliti kemudian dihubungkan dengan bahan-bahan hukum sekunder
yang diperoleh dari studi kepustakaan, guna memperoleh pemahaman yang lebih
jelas dalam menjawab permasalahan yang diajukan.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Bab I pendahuluan, pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode
penelitian.
Bab II tinjauan umum berkaian dengan data elektronik sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Bab ini akan membahas tentang pengertian tentang data
elektronik, klasifikasi bukti elektronik, dan peraturan mengenai data elektronik.
Bab III berkaitan dengan Pembuktian Data Elektronik dalam perkara pidana, bab ini membahas tentang teori pembuktian, jenis-jenis alat alat buktii menurut
KUHAP, pengertian barang bukti, dan Unsur Pembuktian yang Menimbulkan
Bab IV dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan analisis yang dimaksud dengan Data Elektronik menurut Undang-Undang tentang
Informasi Teknologi Elektronik No. 11 tahun 2008 dan dan juga pernerapan Data
Elektronik
Bab V dalam bab ini akan berisi kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya dan berisi saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK
A. Pengertian Data ElektronikMenurut Turban, Rainer dan Potter, “data are raw facts or elementary
description of things, event, activities and transaction are the captured, recorded,
stored and classified, but not organized to convey any specific meaning. Example
of data would include bank ballances”. ”Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta
awal yang belum terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan dan transaksi yang
ditangkap, direkam, disimpan dan terklarifikasi tapi tidak terorganisir untuk dapat
menyatakan arti khusus apapun. Contoh data ialah catatan saldo rekening bank. 1
Pengertian informasi menurut Turban, Rainer dan Potter, “information is a
collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a
recipient, for example, if we include costumer names with bank ballances, we would
have useful information.” Informasi ialah kumpulan dari fakta (data) yang
terorganisir dalam suatu bentuk atau. Contoh informasi ialah saldo rekening bank
yang disertai dengan identitas pemegang rekening. 2
Dengan kata lain, informasi bersumber dari data yang telah diproses.
Informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, dan atau dokumen elektronik,
surat elektronik, atau tanda tangan elektronik. Suatu data/informasi yang telah
diolah oleh sistem informasi secara elektronik tersebut akan tersimpan didalam
sautu media tertentu secara elektronik, yang dinamakan dokumen elektronik.
Sistem penyimpanan data/atau informasi elektronik yang berbasiskan
komputer dinamakan Database dan data yang dikomunikasikan melalui media
telekomunikasi dinamakan Data Messages. Data Messages inilah yang menjadi
landasan utama terbentuknya suatu kontrak elektronik, baik dalam hubungan
dengan kesepakatan mengenai persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan
kontrak elektronik, bik dalam hubungannya dengan kesepakatan mengenai
persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan kontrak (terms and conditions)
ataupun yang berkaitan dengan substansi kontrak itu sendiri.3
Sejauh ini telah ada beberapa teknik yang ditawarkan dan dianggap cukup
mampu untuk memberikan jaminan keautentikan dan integritas dari suatu data
messages. Teknik yang dimakasud ialah teknik kriptografi (cryptography) yaitu
sautu teknik pengamanan serta penjaminan keautentikan data yang terdiri dari dua
proses, yaitu yang pertama enkripsi (encryption : proses yang dilakukan untuk
membuat suatu data menjadi tidak terbaca oleh pihak yang tidak berhak karena
data-data tersebut telah dikonversikan kedalam bahasa sansi atau kode-kode
tertentu) dan yang kedua deskripsi (descryption) yang merupakan kebalikan dari
enkripsi, yaitu proses menjadikan informasi atau data yang telah di-enkrpsi tersebut
menjadi dapat terbaca oleh pihak yang berhak. “Dalam metode kriptografi
konvensional, enkrisi dan deskripsi biasanya dilakukan dengan menggunakan
3 M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta,Tim Kemas Buku, Hlm.
pasangan kunci tertentu yang disebut dengan kunci pribadi yang bersifat personal
dan rahasia (private key) dan kunci umum (public key)”.4
B. Klasifikasi Bukti Elektronik
Menurut Hakim Mohammed Chawki dari Computer Crime Research Centre
mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi dalam tiga kategori, yaitu :”5
1. Real or Physical Evidence (Bukti nyata atau Fisik) yang terdiri dari
benda-benda yang nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan disentuh.
Dalam undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1)
menyebutkan :
a.) Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik dan atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah
1.) Testamentary Evidence
Atau juga disebut Hearsay Evidence(Bukti Desas Desus) dimana
kesaksian saksi dapat diberikan selama persidangan, didasarkan pada
pengamatan pribadi atau pengalaman dari ahli yang dapat diberikan
selama dalam persidangan. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan
peraturan dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa
keterangan ahli dinilai sebgai alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian jika keterangan yang diberikan tentang suatu hal
berdasarkan keahlian khusus dalam bidang yang dimilikinya dan
4 M. Arsyad Sanusi, Op.Cit, Hlm 205
5 Judge Mohammed Chawki, 10 Maret 2004, Source : Computer Crime Research Centre,
“The Digital Evidence in The Information Era”, http://www.crime-research.org/articles/chawki1,
berupa keterangan menurut pengetahuannya secara murni.6
Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak
terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk
mengimbanginya dengan kualits metode pembuktian yang memerlukan
pengetahuan dan keahlian.7
2.) Circumstantial Evidence(Bukti-bukti)
Pengertian dari Circumstantial Evidence atau bukti-bukti adalah yang
didasarkan pada komentar, atau pengamatan dari realitas yang
cenderung untuk mendukung kesimpulan, tetapi tidak untuk
membuktikannya.
C. Pengaturan Mengenai data Elektronik
1. Pengaturan data elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang ini berisi tujuh poin penting yang merevisi UU ITE,
terutama melalui UU baru ini Pemerintah juga berwenang memutus akses
dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus
akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. UU
baru ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat,
sehingga mereka dapat lebih cerdas dan beretika dalam menggunakan
Internet. Dengan demikian konten berunsur SARA, radikalisme, dan
pornografi dapat diminimalisir.
Awalnya UU ITE disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di
Indonesia melalui ekonomi dijital dan perdagangan di dunia maya
(e-commerce) di Indonesia. Kemudian di tengah perjalanan terjadi banyak
polemik dan kasus yang menimbulkan pro kontra terhadap pasal-pasal di UU
ITE, terutama terkait dengan penggunaan media sosial. Pasal-pasal tersebut
dianggap mengancam kebebasan berekspresi pengguna Internet.
Beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:8
1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan
mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3
(tiga) perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan,
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik”. Mendistribusikan adalah mengirimkan dan/atau
menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik
kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui Sistem
Elektronik. Mentransmisikan adalah mengirimkan Informasi
8
Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada
satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Membuat dapat diakses
adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan
mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat
diketahui pihak lain atau publik.
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan
delik umum.
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu
pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur
dalam KUHP.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan pada pasal 29
sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak
Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman
kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua)
ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula
mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan
dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang.
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5)
dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai
berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus
mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan
kembali dengan ketentuan KUHAP.
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan
Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam,
disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU
ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan
tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem
6. Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak
untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus
Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah
kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan
penetapan pengadilan.
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan
mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak
relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari
segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi
elektronik (Memberikan landasan yang kuat bagi pemerintah untuk
mencegah penyebarluasan konten negatif di internet) dengan
menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan
Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang;
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau
memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk
melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang
b. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tanggal
24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah berusaha untuk
mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media alat penyimpan informasi
yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin
keaslian dokumen yang dialihkan atau di transformasikan.
c. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 26 A, adanya perluasan mengenai sumber perolehan
alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan
keterangan terdakwa. Tetapi, menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2001,
bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa Informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu tidak terbatas pada data penghubung
elektronik, surat elektronik, telegram, faksimili, dan dari dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yan tertuang diatas kertas, benda fisik maupun
selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik,yang berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang
Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
perdagangan orang ini mengatur mengenai alat bukti sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2) Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan apa atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada :
a) Tulisan, suara atau gambar;
b) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
c) Huruf, tanda, angka, simbol yang memiliki makna atau dapat
BAB III
PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA
PIDANA
A. Pengertian pembuktian
Menurut Pirlo yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang
dilakukam oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan
kepentingannya1.Menurut Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang ddikemukakan
oleh para pihak dalam suatu persengketaan2.
Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian,
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan
pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar
2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau.
3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada
hakim di siding pengadilan
4. Kekuatan pembuktian dalam , masing-masing alat-alat bukti dalam
rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan
1 Pirlo dikutip oleh Edmon makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, Hlm. 417
5. Pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan
tentang dakwaan dimuka sidang pengadilan
6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat
kebebasan hakim
Dalam hukum pembuktian dikenal istilah notoire feiten notorious (generally
known) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu
dibuktikan dalam pemeriksaan siding pengadilan.3 Dalam hal ini tercantu, dalam
Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi, “hal yang secara umum diketahui tidak perlu
dibuktikan”. Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara
umum sudah diketahui ditinjau dari segi hukum sudah diketahui” ditinjau dari segi
hukum, tiada lain dari pada “perihal” atau “keadaan tertentu”, yang sudah demikian
mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menumbulkan akibat yang pasti
demikian”.4
Proses pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam suatu peradilan,
karena merupakan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hasil
pembuktian menjadi salah satu faktor penentu bagi sebuah putusan hakim, begitu
pula dalam perkara pidana yang terjadi atau dilakukan melalui dan atau
menggunakan media teknologi informasi atau dikenal dengan sebutan cybercrime,
proses pembuktian menjadi penentu bagi seorang Terbukti atau tidaknya perbuatan
terdakwa sebagai perbuatan pidana dan terbukti atau tidaknya unsur kesalahan
terdakwa, sangat ditentukan oleh hasil pembuktian dalam perkara tersebut.
Sistem pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), alat bukti yang ada belum memuat mengenai alat bukti elektronik.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP jenis alat bukti ada lima yaitu, keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Kenyataan saat ini banyak
sekali muncul kejahatan yang berkaitan dengan dunia maya yang menggunakan
bukti elektronik untuk mengungkap proses pembuktian perkara pidana.
B. Sistem pembuktian
Pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum apabila ada
unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak pidana), dari proses tersebut
dilakukan penyelidakan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang
undang ini), dan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian
dalam Pasal 1 angka 13 penyelidikan ialah seragkaian tindakan penyidik dalama
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini untuk mencari serta mengumpukan
bukti yang dengan demikian bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.5 Ilmu pengetahuan
hukum, mengenai empat system pembuktian, yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction in Time)
Suatu sistem pembuktian yang bersifat subjektif, yakni untuk menentukan
bersalah atau tidaknya terdakwa hanya berdasarkan keyakinan hakim semata.
Putusan hakim tidak didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh
undang-undang, hakim hanya mengikuti hati nurani saja. Keyakinan hakim dapat diperoleh
dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam siding
pengadilan. Hakim dapat juga mengabaikan hasil pemeriksaan alat-alat butki itu,
dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. System
ini seolah-olah menyerahkan nasib terdakwa kepada keyakinan hakim sepenuhnya.
Menurut Yahya Harahap, keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran
sejati dalam sistem pembuktian ini.6Menurut Andi Hamzah, sistem pembuktian ini
dianut oleh peradilan jury di Perancis. “praktek peradilan jury di perancis membuat
pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan yang
aneh.”7 “Wirjono Prodjodikoro mengatakanbahwa system pembuktian ini pernah
dianut di Indonesia., yaitu pada pengadilan distrik dan kabupaten, Sistem ini
memungkinkan hakim menyebur apa saja yang menjadi dasar keyakinannya,
misalkan keterangan dukun.”8
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
6Ibid, Hlm 277
7 Andi Hamzah, op. cit, Hlm. 230-231
Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang
ditunjukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa garus berpedoman
pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang.9 Sistem ini berbanding terbalik dengan Conviction in Time, dimana
keyakinan hakim disampingkan dalam sistem ini. Menurut sistem ini,
undang-undang menetapkan secara limitative alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai
hakim. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan
oleh undang-undang, hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun
hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar.
Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua
pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan peraturan pembuktian
yang keras. “sistem ini disebut juga dengan teori sistem pembuktian formal
(formele bewijstheorie).”10 “Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk
dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain
dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagipula
keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah
sesuai dengan keyakinan masyarakat.” 11
3. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonee)
9 Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Persada, Hlm.
421
Menurut sistem pembuktian ini, hakim dapat menghukum seseorang
terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang berssangkutan terbukti
kebenarannya dengan keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang
berdasarkan atas suatu rangkaian pemikiran (logika), hakim wajib menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan yang menjadi dasar keyakinannya atas kesalahan
terdakwa12. Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak
ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.
4. Sistem pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettelijk Bewijstheorie)
Sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim semata. Hasil penggabungan ini dapat dirumuskan “salah
tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh hakim yang didasarkan kepada cara
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.” “sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negative ini merupakan suatu keseimbangan antara
sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.”13 Dalam sistem atau teori
pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif ini, pemidanaan
didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan
perundang-undangan dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar
keyakinan hakim ini bersumber pada peraturan undang-undang14.
5. Sistem Pembuktian yang diterapkan di Indonesia
12 Edmon Makarim, Op.Cit, Hlm. 422 13 M. Yahya Harahap, Op.Cit, Hlm. 278
Dalam perkara pidana di Indonesia pengaturan masalah sistem pembuktian
sesungguhnya sangatlah jelas. Sistem ini mengaatur suatu proses terjadi dan
bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan
perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik
kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya melakukan perbuatan pidana yang
didakwakan kepadanya.
Kegiatan pembuktian ini diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum,
karena kebenaran yang mutlak sangat sulit untuk ditemukan dalam proses untuk
menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui
ukuran yang layak melalui pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang
dalam hubungan dengan perkara pidana. Oleh karena itu hakim harus hati-hati,
cermat dan matang dalam menilai dan mempertibangkan maslaah pembuktian.
Sistem pembuktian yang dianut di KUHAP adalah sistem pembuktian negatif
berdasarkan undang-undang. Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ia dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi. Dari Ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
“keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan dibanding dengan
keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak dominan, namun hakim
tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya berdasarkan pada
keyakinan saja karena keyakinan hakim harus didasarkan dan lahir dari keberadaan
alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup.15
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan dibenarkan
mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja.
Pembuktian diluar jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1), tidak
mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian yang mengikat.
Sedangkan yang dimaksud dengan dua alat bukti yang sah haruslah
memperhatikan urutan alat bukti menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yaitu :
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan Ahli;
c. Bukti surat;
d. Bukti petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Pasal 185 KUHAP menyatakan bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti
ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah perbuatan yang
dilakukan didakwakan kepadanya. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau
keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi
itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat maupun rekaan, yang
dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari
saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti yang kedua setelah
keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa
keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan
keterangan ahli menurut KUHAP.
Alat bukti surat dijelaskan dalam Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana
tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Surat keterangan dari seorang ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. surat lain yang hanya dapat
Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang disebutkan didalam Pasal 184
KUHAP. Dalam Pasal 188 KUHAP disebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan
yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk bisa diperoleh dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan
pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 KUHAP yang menjelaskan
bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
yang lain.
C. Alat-alat bukti menurut KUHAP
Dalam kasus pidana yang terkait dengan data elektronik, proses penegakan
hukum tidak begitu saja dilepaskan dengan dalih kesulitan pada proses pembuktian.
konvensional yang ketentuannya jelas dan tegas. Upaya yang dapat ditempuh
adalah penelusuran bukti-bukti yang berkaitan dengan perbuatan pelaku pidana
melalui jalur KUHAP. Artinya, disini kita tetap menggunakan alat bukti berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Kesalahan pelaku dapat terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah. Alat-alat bukti ini harus mampu membuktikan telah terjadi suatu perbuatan dan
pembuktian adanya akibat dari perbuatan pidana.
1. Keterangan Saksi
Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 angka 26 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 16
Testimonium De Auditu adalah keterangan yang diberikan oleh saksi terkait
suatu peristiwa, bukan berdasarkan penglihatan maupun pendengaran langsung,
melainkan mendengar dari orang lain yang disebut juga dengan kesaksian tidak
langsung.17
Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) merupakan asas yang
menolak kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara
pidana, keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh
16 Hukum online, 2014, Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalam-perkara-pidana, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.
dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara
keseluruhan terbukti. Prinsip ini secara tegas dianut oleh KUHAP dalam
pembuktian [Pasal 185 ayat (2)].18
Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi di muka persidangan.
Terkecuali menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP. Yaitu :
1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa;
2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai tedakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat
ketiga;
3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai yang bersama-sama
sebgai terdakwa.
Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh
Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau
jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan
rahasia jabatannya seperti seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang
diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat
18
Luthfi Widagdo Eddyono, Unus Testis Nullus Testis,