• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. TEORI SKOR MURNI KLASIK

1. Pendekatan Estimasi Reliabilitas Teori Skor Murni Klasik

Tonigan (2000) mengatakan ada tiga terminologi yang menggambarkan reliabilitas hasil pengukuran, yaitu stabilitas (stability), kesetaraan (equivalency), and dan konsistensi internal (internal butir consistency). Stabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran melalui pengulangan pengukuran, kesetaraan adalah hasil yang sama dari dua alat tes paralel dan konsistensi internal adalah konsistensi hasil skor tiap komponen tes. Leech et.al (2005) mengatakan bahwa reliabilitas dapat diestimasi jika komponen yang diukur adalah sebanding (comparable). Bentuk perbandingan tersebut adalah perbandingan antar waktu yang diturunkan menjadi pendekatan tes ulang, perbandingan antar bentuk tes yang diturunkan menjadi pendekatan paralelisme, dan perbandingan antar komponen tes yang diturunkan menjadi pendekatan konsistensi internal.

a. Pendekatan Tes Ulang

Relabilitas tes ulang diestimasi melalui koefisien korelasi antara skor dari tes yang sama. Jika diberikan kepada individu dari populasi yang sama maka diharapkan akan mendapatkan koefisien reliabilitas sebesar 1 (ρxx’=1). Karena tidak ada pengukuran yang kosisten secara mutlak karena sesatan pengukuran akan selalu muncul maka koefisien reliabilitas sebesar 1 tidak mungkin didapatkan. Pada model ini koefisien reliabilitas didapatkan melalui korelasi pada level skor tes, bukan level skor subtes atau level skor butir (Wu, in press). Kovarian antar pada tataran skor tes lebih ditekankan dibanding kovarian antar butir.

Tonigan (inpress) mengatakah bahwa teknik statistik yang digunakan untuk menghitung reliabilitas tes ulang adalah korelasi moment tangkar (product momment) dan korelasi antar kelas (interclass correlation). Meskipun dapat dikenakan pada model tes ulang akan tetapi perspektif dalam melihat stabilitas hasil pengukuran antar kedua teknik ini berbeda. Teknik korelasi melihat melalui kesamaan urutan kedua pengukuran pada distribusi yang dimiliki sedangkan korelasi antar kelas melihat melalui pembagian varian pada beberapa komponen. Dalam kancah penelitian, teknik korelasi lebih banyak dipakai dibanding korelasi antar kelas.

Azwar (2004) melihat kelemahan estimasi reliabilitas pada tipe ini berkaitan dengan Isu efek bawaan (carry over) dan kontaminasi setelah individu dikenai tes kedua. Isu efek bawaan dan kontaminasi telah merusak apa yang diasumsikan oleh teori klasik yang menyatakan bahwa sesatan kedua tes tidak memiliki korelasi. Adanya efek bawaan menyebabkan sesatan pengukuran kedua tes menjadi berkaitan. Hopkins (2000) melihat bahwa reliabilitas tes ulang sensitif terhadap heterogenitas sampel yang dipakai. Semakin heterogen sampel yang dipakai maka semakin besar potensi adanya diskrepansi hasil antar dua pengukuran

. SKOR MURNI Skor Tampak 1 Eror Skor

Tampak 2 Tampak 3 Skor

Eror Eror SKOR MURNI Skor Tampak 1 Eror Skor

Tampak 2 Tampak 3 Skor

Eror Eror

Tes Waktu Pertama Tes Waktu Kedua

Gambar 2.1. Model Pendekatan Tes Ulang b. Pendekatan Tes Paralel

Tipe reliabilitas tes ulang disusun untuk mengatasi permasalahan yang ada pada tipe reliabilitas tes paralel berkaitan dengan isu efek bawaan atau kontaminasi. Dengan adanya pembedaan kisi-kisi butir tes maka isu tersebut dapat diatasi. Crocker dan Algina (1986) mengatakan bahwa reliabilitas tes paralel disebut juga dengan reliabilitas form pengganti (alternate form). Nilai reliabilitas pada tipe ini didapatkan dari korelasi antar skor yang didapatkan dari kedua tes. Semakin besar korelasi skor maka semakin besar reliabilitas skor yang didapatkan. Pemakaian teknik korelasi tersebut didasarkan pada asumsi teori klasik yang mengatakan bahwa kedua tes mengukur pola skor murni yang sama dan memiliki muatan sesatan yang sama pula.

Gambar 2. Model Pendekatan Tes Paralel

Tonigan (2000) mengatakan bahwa reliabilitas tes paralel mengkaji seberapa jauh dua hasil pengukuran dari tes paralel menghasilkan skor yang setara. Statistik yang digunakan dalam mengkaji adalah korelasi product moment dan koefisien ICC. Potensi

SKOR MURNI Skor Tampak 1 Eror Skor

Tampak 2 Tampak 3 Skor

Eror Eror SKOR MURNI Skor Tampak 1 Eror Skor

Tampak 2 Tampak 3 Skor

Eror Eror

Tes Form A Tes Form B

bias muncul lebih dikarenakan ingatan individu yang dikenai tes dapat direduksi pada model ini. Tipe estimasi reliabilitas dengan tes paralel memunculkan beberapa isu tentang ketepatan dalam mengestimasi reliabilitas. Isu tersebut yaitu, pertama adalah isu mengenai penyusunan tes paralel yang relatif sulit. Meskipun didasarkan pada blue print penyusunan alat ukur yang sama namun dapat dimungkinkan muatan yang dikandung oleh kedua tes tidak serta merta menghasilkan skor murni yang setara pada tataran empirik. Hopkins (2000) memberikan contoh bahwa individu yang sama dikenai pengukuran berbeda oleh penguji yang berbeda akan sesatan pengukuran akan meningkat yang terkait kalibrasi dengan kalibrasi skor yang didapat. Dapat disimpulkan bahwa isu yang muncul dalam pengujian dengan tes paralel adalah isu kesetaraan dua form alat tes yang di pakai.

b. Pendekatan Konsistensi Internal

Schmitt (1996) mengatakan bahwa konsistensi intenal adalah keterkaitan antar butir dalam sebuah tes. Konsistensi membutuhkan adanya homogenitas antar item, namun syarat ini tidak cukup kuat untuk mendukung tingginya konsistensi internal. Azwar (2004) mengatakan bahwa konsistensi internal adalah metode penyajian tunggal yang melihat konsistensi antar bagian di dalam sebuah tes. Reliabel dalam pengertian ini berarti adalah konsistensi hasil antara satu bagian tes dengan bagian lainnya yang membentuk tes secara keseluruhan. Sebuah hasil pengukuran dikatakan konsisten secara internal jika antara butir satu dan butir yang lain memiliki keterkaitan yang tinggi. Keuntungan menggunakan pendekatan ini lebih pada masalah ekonomis karena cukup dengan sekali pengukuran (single trial) maka reliabilitas sudah dapat diestimasi.

Beberapa ahli melihat konsitensi secara operasional ditunjukkan dengan adanya homogenitas butir di dalam tes. Nunnally (1980) misalnya, melihat bahwa pendekatan

konsistensi internal mendasarkan pada homogenitas item. Ditambahkan juga bahwa pada pendekatan ini sumber sesatan tidak berkaitan dengan sampling sesatan saja tetapi berkaitan dengan sampling faktor situasional yang menyertai administrasi tes. Lewis (2004) juga menitikberatkan pengertian konsistensi internal pada homogenitas butir di dalam tes.

Konsep konsistensi internal dan reliabilitas dapat memiliki makna yang berbeda dalam aplikasinya. Sebuah butir dapat memiliki konsistensi yang tinggi jika dikaitkan dengan butir lainnya, akan tetapi memungkinkan memiliki reliabilitas yang rendah. Memaksimalkan nilai reliabilitas belum tentu meningkatkan konsistensi internalnya. Dua komponen tes dikatakan konsisten secara internal apabila korelasi keduanya sama besarnya dengan korelasi dengan konstraknya. Selain homogenitas, konsistensi internal ditunjukkan dengan hubungan yang erat antara satu butir dan butir lainnya di dalam sebuah alat ukur. Dalam penelitian ini penulis tidak membedakan reliabilitas dan konsistensi internal seperti yang dikatakan oleh Ping (2004). Penulis melihat bahwa konsistensi internal merupakan salah satu pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas.

Strickland (1999) mengatakan bahwa konsistensi internal didasarkan pada

domain-sampling model, yaitu butir yang dilibatkan dalam analisis terkait secara

konseptual antara satu dengan lainnya. Secara operasional keterkaitan tersebut ditampakkan dalam korelasi antar butir yang tinggi. Pendapat ini sesuai dengan Baker (2004) yang mendefinisikan konsistensi internal adalah seberapa jauh skor dari pengukuran berkorelasi dengan skor murni berdasarkan pada semua butir yang memungkinkan untuk dilibatkan pada alat ukur yang dipakai. Devit et.al (1998) mengatakan bahwa konsistensi internal adalah ukuran seberapa jauh item-item dalam

sebuah alat ukur memiliki kesamaan dalam mengukur sebuah atribut. Internal konsistensi mengevaluasi variasi performansi item-item yang berbeda pada sebuah tes.

Devit et.al (1998) menambahkan bahwa untuk mencapai konsistensi internal, setiap skor yang diperoleh individu harus dinilai melalui jenjang yang sama agar dapat dibandingkan dengan skor subjek lainnya. Konsistensi internal terlihat dari jika subjek satu memperoleh skor pada butir kesatu lebih tinggi dibanding dengan butir kedua, maka subjek yang lain diharapkan skornya sesuai dengan pola tersebut. Skor yang didapatkan tidak harus sama akan tetapi memiliki pola (pattern of scores) yang sama. Pengertian yang dijelaskan oleh Leech et.al (2005) mendukung pernyataan tersebut bahwa reliabilitas dapat diestimasi jika hasil pengukuran satu dengan lainnya, atau satu komponen dengan komponen lainnya adalah sebanding (comparable). Lucke (2005) mengatakan bahwa reliabilitas adalah konsistensi internal yang ditambah dengan deviasi relatif dari kesetaraan skor murni. Internal konsistensi menjadi informasi sebuah reliabilitas pengukuran jika butir dan skor murni bersifat homogen.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan reliabilitas konsistensi internal melihat sejauh mana komponen yang termuat di dalam tes berkaitan antara satu dengan lainnya. Setiap komponen di dalam tes dilihat sebagai sebuah tes tersendiri dan hubungan antar tes ini menjadi perhatian untuk menentukan koefisien reliabilitas. Penentuan jenis komponen ini bervariasi, mulai dari penentuan berdasarkan level butir hingga level dimensi (teslet). Jumlah komponen yang diuji juga bervariasi, mulai dari pembelahan tes menjadi dua belahan (split-half), tiga komponen, maupun sebanyak butir tersebut atau sejumlah k komponen.

Dokumen terkait