• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Koefisien Alpha Dan Multidimensionalitas Data

I. Pembahasan

1. Perbandingan Ketepatan Estimasi Reliabilitas

Berdasarkan hasil perbandingan ketepatan estimasi terhadap reliabilitas murni didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan ketepatan estimasi yang signifikan antar koefisien reliabilitas. Meskipun selisih bias estimasi antar koefisien reliabilitas cukup rendah yang terlihat dari nilai selisih yang bergerak pada nilai desimal kedua (∆≈0,0), uji statistik perbandingan ketepatan estimasi melalui anava menunjukkan perbedaaan yang signifikan. Uji lanjut melalui post hoc didapatkan pengkategorian koefisien reliabilitas berdasarkan ketepatan estimasinya pada model yang ditetapkan.

Koefisien Reliabilitas Komposit yang dikembangkan oleh Raykov (1998) untuk mengatasi beberapa kelemahan Koefisien Cronbach Alpha, menjadi estimator yang memiliki ketepatan yang tinggi untuk diaplikasikan pada model-model pengukuran teori klasik. Dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori dalam pendekatan model persamaan struktural (SEM), koefisien ini mengasumsikan bahwa seperangkat butir merupakan representasi dari faktor umum (common factor) yang tunggal. Penggunaan asumsi faktor tunggal ini merupakan salah satu Koefisien Reliabilitas Komposit kelebihan jika dibanding dengan Koefisien Cronbach Alpha. Karena terbatas pada

varian butir dan varian skor Koefisien Alpha dalam hal ini hanya belum menjangkau representasi faktor umum yang tunggal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh McDonald (1981) yang mengatakan bahwa Koefisien Alpha belum mampu menjelaskan varian konstrak latent (common latent variance) di dalam data.

Selain Reliabilitas Komposit, koefisien lain yang memiliki ketepatan cukup tinggi adalah Koefisien Guttman Lambda-5. Koefisien Guttman Lambda-5 adalah penyempurnaan Koefisien Guttman Lambda-1 yang merupakan lower bound estimator. Estimasi yang terlalu rendah dari Koefisien Guttman Lambda-1 kemudian diatasi oleh Guttman (1945) dengan menambahkan pembagian akar kuadrat pangkat dua rerata kovarian butir dengan varian skor total ( Sij /Sx2) sehingga koefisien Guttman Lamda-5 diformulasikan dalam persamaan 2

1

5 =λ + Sij /Sx

λ . Dalam penelitian ini estimasi reliabilitas yang terlalu rendah oleh Koefisien Guttman Lamda-1 teratasi oleh dengan adanya penambahan unsur baru tersebut sehingga Koefisien Guttman Lamda-5 menjadi salah satu estimator yang memiliki ketepatan estimasi reliabilitas murni yang cukup tinggi.

Koefisien Cronbach Alpha dalam penelitian ini memiliki nilai estimasi yang setara dengan Koefisien Revelle Beta dan Koefisien Lambda-3. Koefisien ini konsisten mengestimasi pada batas bawah dengan daya ketepatan yang moderat kecuali pada model korelasi antar sesatan. Meskipun memiliki daya estimasi yang setara, dibanding dengan Koefisien Revelle Beta dan Koefisien Lambda-3, Koefisien Alpha memiliki kelebihan dalam kesederhanaan prosedur komputasi yang menggunakan varian butir dan varian skor total. Hasil penelitian mengenai ketepatan estimasi Koefisien Alpha ini didukung oleh pernyataan Callender dan Osburn (1979) yang mengatakan bahwa

Koefisien Alpha menghasilkan estimasi yang sama dengan Koefisien Guttman Lamda-3 dan cenderung mengestimasi pada batas bawah (underestimate).

Pada model konjenerik, Koefisien Feldt merupakan estimator yang memiliki ketepatan yang paling tinggi diantara koefisien lain dalam penelitian ini. Koefisien Feldt yang merupakan penjabaran dari Koefisien Flanagan menekankan pada varian dan kovarian data. Hasil penelitian ini yang membuktikan bahwa dalam kasus model konjenerik, Koefisien Feldt memiliki ketepatan yang lebih tinggi dibanding dengan Koefisien Alpha juga dibuktikan oleh Sedere dan Feldt (1976) serta Feldt dan Charter (2003). Dalam penelitiannya dengan menggunakan data simulasi berupa 60 butir dengan ukuran sampel sebesar 100, 200 dan 400 yang dibelah dalam dua jenis belahan sama panjang dan tidak sama panjang, didapatkan kesimpulan bahwa Koefisien Feldt memiliki daya ketepatan estimasi yang lebih tinggi dibanding Koefisien Alpha. Pada kasus belahan sama panjang dengan reliabilitas hipotetik sebesar 0,7 dengan 1500 replikasi didapatkan rata estimasi Koefisien Feldt sebesar 0,6967 sedangkan rata-rata estimasi Koefisien Alpha sebesar 0,6945. Pada kasus belahan tidak sama panjang dengan reliabilitas hipotetik sebesar 0,9 didapatkan rerata estimasi Koefisien Feldt sebesar 0, 8979 dan rata-rata Koefisien Alpha sebesar 0,8970.

Di bawah Koefisien Feldt terdapat Koefisien Reliabilitas Komposit dan Koefisien Guttman Lambda-5 yang juga memiliki ketepatan yang kurang lebih setara dibanding dengan Koefisien Feldt. Tingginya ketepatan estimasi kedua koefisien reliabilitas tersebut dibanding koefisien lain sama dengan temuan dalam model paralel atau kesetaraan nilai tau. Ketiga koefisien antara lain Koefisien Feldt, Koefisien Reliabilitas Komposit dan Koefisien Guttman Lambda-5 direkomendasikan untuk dipakai oleg peneliti untuk mengestimasi reliabilitas pada kasus model konjenerik.

Pada model korelasi antar sesatan, semua reliabilitas yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki ketepatan estimasi yang moderat. Rata-rata estimasi bergerak pada estimasi pada batas atas (overestimate). Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Drolet dan Morisson (2001) yang mengatakan bahwa nilai koefisien alpha dapat melambung ketika korelasi antar sesatan terjadi di dalam data. Dalam teori klasik diasumsikan bahwa sesatan bersifat acak sehingga tidak memiliki kaitan dengan besarnya sesatan pada butir lain serta besarnya skor murni. Berdasar asumsi tersebut Helms et.al (2006) menyimpulkan bahwa ketika antar skor tampak memiliki korelasi maka peneliti dapat mengatakan bahwa hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan antar skor murni. Koefisien Guttman Lambda-1 dan Koefisien Wang yang pada ketiga model pengukuran lainnya menghasilkan ketepatan estimasi yang paling rendah dibanding dengan koefisien lain, pada model ini memiliki estimasi yang lebih tepat dibanding dengan koefisien lain. Hasil penelitian ini merekomendasikan kepada peneliti yang mencurigai adanya korelasi antar sesatan dalam data yang didapatkan disarankan untuk menggunakan Koefisien Guttman Lamda-1 atau Koefisien Wang.

Secara umum koefisien yang dilibatkan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Kelompok Koefisien pertama menggunakan pendekatan varian-kovarian seperti Koefisien Alpha, Koefisien Guttman Lambda, Koefisien dan Reliabilitas Maksimal dan kelompok koefisien kedua yang menggunakan pendekatan analisis faktor baik eksploratori maupun konfirmatori adalah Koefisien Heise-Bohrnsted Omega, Reliabilitas Komposit dan Reliabilitas Konstrak. Hasil perbandingan estimasi menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan ketepatan antar kedua pendekatan tersebut.

Dalam penelitian ini koefisien yang mampu mengadopsi model pengukuran yang ditetapkan akan memiliki ketepatan etimasi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schmidt et.al (2003) yang mengatakan bahwa sebuah koefisien reliabilitas lebih tepat dipakai dibanding dengan koefisien yang lain dikarenakan koefisien tersebut memiliki model yang tepat dalam menjelaskan berbagai proses sesatan, misalnya sesatan acak, sesatan sementara (transient error) dan faktor spesifik.

Feldt dan Charter (2003) mengatakan bahwa ketika reliabilitas skor tes diestimasi dengan menggunakan metode konsistensi internal, membagi tes menjadi dua belahan adalah upaya untuk ekuaivalensi muatan (content equivalence) tes. Jika kedua bagian adalah bersifat paralel maka koefisien Spearman-Brown sangat tepat diterapkan untuk mengestimasi reliabilitas skor tes. Jika kedua belahan memiliki perbedaan nilai deviasi standar dan bersifat tau-ekuivalen maka koefisien alpha Cronbach lebih tepat digunakan, namun jika panjang kedua belahan ekuivalen dan butir di dalamnya bersifat heterogen maka model konjenerik perlu diterapkan. Feldt (2000) menemukan bahwa alpha menghasilkan reliabilitas yang bias ketika diterapkan pada skala yang memiliki panjang berbeda. Smith (1974 dalam Vehkalahti, 2000) merekomendasikan peneliti untuk menggunakan koefisien omega Armor jika hendak dikenakan kepada konsistensi internal yang menekankan pada satu dimensi.

2. Perbandingan Ketepatan Model Antar Model Teori Skor Murni Klasik.

Perbandingan ketepatan model dilakukan terhadap empat model teori skor murni klasik, yaitu model paralel, kesetaraan nilai tau (tau equivalent), konjenerik (congeneric) dan korelasi antar sesatan (correlated error). Data yang dipakai terdiri dari tiga kategori yaitu data simulasi dan data empirik yang didapatkan dari survei dengan menggunakan skala psikologis yaitu 25 butir dari Coopersmith Self Esteem Inventory

(CSEI). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model korelasi antar sesatan dan model konjenerik memiliki nilai ketepatan model yang lebih tinggi dibanding dengan model paralel dan model kesetaraan nilai tau.

Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa pernyataan peneliti yang mengkaji mengenai model konjenerik dan korelasi antar sesatan (Werst et.al, 1973; Raykov, 2001; Kano dan Azuma, 2002, Graham, 2006). Model konjenerik memiliki persyaratan asumsi yang lebih moderat dibanding dengan model paralel dan kesetaraan nilai tau. Model konjenerik mengasumsikan bahwa tiap item tunggal mengukur satu atribut yang sama akan tetapi memungkinkan memiliki tingkat ketepatan ukur dan muatan sesatan yang berbeda (Graham, 2006). Perbedaan tingkat ketepatan ukur dan variasi sesatan tersebut sangat tepat diaplikasikan pada instrumen ukur psikologi yang mengukur performansi tipikal. Berbeda dengan instrumen tes fisik yang dapat dikendalikan kesetaraan ukur tiap sub tes secara eksak, instrumen ukur psikologi relatif sulit untuk dikendalikan kesetaraan ukur tiap subtesnya. Hal ini dapat disebabkan oleh hambatan dalam membuat sub tes yang benar-benar setara dalam mengukur atribut yang sama. Dalam skala psikologis, antara satu butir pernyataan dengan butir pernyataan lainnya berpotensi besar untuk memiliki ketepatan ukur yang berbeda. Faktor perbedaan semantik kalimat pernyataan dan perbedaan persepsi subjek terhadap pernyataan tersebut mendukung potensi bahwa sub tes yang mengukur atribut sama akan memiliki ketepatan ukur yang berbeda satu dengan lainnya.

Model korelasi antar sesatan dalam penelitian ini memiliki ketepatan model yang paling tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Bollen (1980) yang menemukan bahwa model korelasi antar sesatan lebih tepat dibandingkan dengan model lain. Pada penelitian ini, analisis melalui model persamaan struktural baik pada

data simulasi maupun pada data CSEI menghasilkan nilai indeks modfiikasi (modification indices) yang besar pada korelasi antar sesatan. Artinya model akan memiliki ketepatan yang tinggi jika korelasi antar sesatan dilibatkan dalam model. Namun demikian peningkatan nilai ketepatan model yang terlihat dari tingginya nilai GFI dan rendahnya RMSEA mengalami perubahan yang tidak signifikan. Misalnya pada data simulasi didapatkan perubahan nilai GFI dari 0,998 menjadi 0,999 dan nilai RMSEA dari 0,0039 menjadi 0,0001. Dengan menggunakan uji statistik melalui

chi-square ditemukan tidak ada perbedaan ketepatan antara model korelasi antar sesatan

dan model konjenerik (χ2=6,62 ; p>0,05). Pada data empirik melalui data CSEI didapatkan hasil yang sedikit berbeda. Dengan menggunakan uji statistik chi-square ditemukan adanya perbedaan ketepatan model yang signifikan. Hal ini terjadi karena sampel yang digunakan adalah sampel dengan ukuran besar (N=5000) sehingga uji

chi-square kurang tepat digunakan. Melalui indeks ketepatan yang tidak terpengaruh ukuran

sampel yaitu GFI dan RMSEA didapatkan keterangan bahwa perbedaan ketepatan model antar kedua model memiliki nilai yang setara. Pada model korelasi antar sesatan diperoleh nilai GFI=0,99 dan RMSEA sebesar 0,069 sedangkan pada model konjenerik didapatkan nilai GFI=0,88 dan RMSEA sebesar 0,075. Artinya kedua model dapat menggambarkan variasi data yang dianalisis dengan tepat.

Penelitian ini menghasilkan indeks ketepatan model korelasi antar sesatan lebih tinggi dibanding dengan model lain akan tetapi melalui uji mendetail didapatkan kesimpulan tingginya ketepatan model tersebut tidak jauh beda dengan model teori skor murni klasik, misalnya model model konjenerik. Aplikasi model korelasi sesatan dalam evaluasi hasil pengukuran merupakan satu alternatif pendekatan dalam kajian psikometri. Sampai saat ini perdebatan mengenai hal tersebut masih hangat. Lucke

(2005) mengatakan bahwa aplikasi model korelasi antar sesatan dalam evaluasi hasil pengukuran psikologis adalah sesuatu yang cenderung tidak realistis (Lucke, 2005), di sisi lain Bollen (1980) mengatakan bahwa model korelasi antar sesatan merupakan pendekatan inovatif.

Dokumen terkait