BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.8 Tingkat Urbanisasi
2.8.2 Pendekatan konsep dan teori urbanisasi
Pendekatan teori mengenai urbanisasi menggunakan suatu paradigma
yaitu sistem keruangan atau spatial system sebagai suatu titik tolak. Paradigma
yang dimaksud didasarkan pada pandangan adanya suatu sistem keruangan yang
lengkap (complete spatial system) yang melihat pusat dan tepi (core and
periphery) sebagai satu sistem.
Konsep pusat-tepi dikemukakan oleh Friedman yang membagi dunia ini
dalam pusat yang dinamis dan daerah tepi yang statis, teori ini menekankan
analisanya pada hubungan yang erat dan saling mempengaruhi antara
pembangunan kota (core) dan desa (periphery). Menurut teori ini gerak langkah
pembangunan perkotaan akan lebih banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa
disekitarnya. Sebaliknya corak perkembangan daerah pedesaan tersebut juga
sangat ditentukan oleh arah pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek
interaksi antar daerah (spatial interaksi) sangat ditonjolkan. Friedman
mengusulkan adanya empat wilayah (region) yaitu:
1. Core-region, merupakan konsentrasi ekonomi metropolitan dengan memiliki kapasitas inovasi dan perubahan yang tinggi. Wilayah ini memiliki jaringan
dari metropolis sampai ke daerah pedesaan.
2. Upward-Transisitin Region adalah daerah tepi dari pusat. Wilayah ini mengandung sumber atau resource yang dapat dikembangkan.
3. Resource-Frontier Region merupakan daerah-daerah tepi yang digunakan untuk pemukiman baru.
4. Downward-Transition Region merupakan daerah-daerah yang mengalami stagnasi atau daerah-daerah yang mengalami kemunduran.
Dari empat wilayah tersebut dapat diketahui daerah yang paling parah
keadaannya adalah Downward-Transition Region. Wilayah-wilayah semacam ini
dapat merupakan sumber migran bagi kota-kota terdekat.
Paradigma yang mendasarkan pada sistem keruangan atau spatial system
yang terdiri dari pusat wilayah dan daerah tepi dapat digambarkan seperti gambar
dibawah ini. Sistem keruangan dalam paradigma ini dibagi dalam pusat wilayah
atau inti wilayah dengan simbol (I), dan daerah tepi dengan simbol (D). Pusat
wilayah ini memiliki potensi aktivitas ekonomi dan penanaman modal (E),
kemampuan inovasi dibidang sosial-budaya dan teknologi (S), kekuatan di bidang
pemerintahan dan politik (P) dan daya dorong-tarik migrasi (M).
Gambar 2.4
Paradigma Urbanisasi
Keterangan :
I = pusat atau inti wilayah
D D D D P I M S E
D = daerah tepi
E = aktivitas ekonomi
S = potensi sosial budaya
P = kekuatan politik
M = migrasi
Penjelasan mengenai skema diatas adalah sebagai berikut:
a. Banyaknya kegiatan di bidang ekonomi dan perdagangan serta kemungkinan
penanaman modal di pusat wilayah banyak menarik modal daerah tepi untuk
dikembangkan di kota atau di pusat wilayah. Arusnya akan lebih besar arus
ke pusat wilayah dibanding arus dari pusat wilayah ke daerah tepi.
b. Kemampuan inovasi di berbagai bidang yang dimiliki oleh pusat wilayah
banyak yang mengalir mempengaruhi daerah pedesaan atau daerah tepi.
c. Demikian pula halnya pengaruh pemerintahan pusat banyak yang mengarah
ke pedesaan baik berupa berbagai anjuran dan informasi pembangunan dan
pengembangan daerah pedesaaan dan daerah tepi.
d. Kemudian mengenai daya dorong-tarik migrasi yang dapat mempengaruhi
pola pemukiman dipusat wilayah maupun di daerah tepi banyak dipengaruhi
oleh daya tarik kota, karena adanya berbagai potensi pengembangan yang
tersimpan dipusat wilayah. Daya tarik inilah yang menyebabkan tingkat
urbanisasi menjadi semakin membesar.
Teori ini dikemukakan oleh Perroux (1950) yang mengamati adanya
suatu mekanisme-mekanisme yang menyebarluaskan aspek-aspek pengembangan
ekonomi yaitu yang disebut dengan istilah growth pole atau ”kutub
pertumbuhan”. Growth poles atau kutub-kutub pertumbuhan ini memiliki
pengaruh dalam pengembangan tata ruang dan pengembangan wilayah. Ini berarti
dapat terjadi adanya perubahan-perubahan nilai sosial ekonomi dari suatu tempat
tertentu, atau kota-kota tertentu yang berada dalam wilayah kutub pertumbuhan
itu.
Menurut Perroux, suatu pusat pertumbuhan didefenisikan sebagai suatu
konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang semuanya saling berkaitan
melalui hubungan antara input dan output serta industri utama (propulsive
industry).
Konsentrasi dan saling berkaitan merupakan dua faktor penting dalam
setiap wilayah pusat pertumbuhan karena melalui faktor ini akan diciptakan
bebagai bentuk aglomerasi ekonomi yang dapat menunjang pertumbuhan industri-
industri yang bersangkutan melalui ongkos produksi (Sirojuzilam, 2005:10).
Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan utama bagi setiap
wilayah pusat pertumbuhan selanjutnya dibagi menjadi tiga jenis yakni:
a. Scale economics yaitu semacam keuntungan yang dapat timbul karena wilayah kutub pertumbuhan memungkinkan industri yang tergabung didalamnya
beroperasi dengan skala besar karena adanya jaminan sumber bahan baku dan
b. Localization economics yang dapat timbul karena adanya saling keterkaitan antar industri sehingga kebutuhan bahan baku dan pemasaran dapat dipenuhi
dengan ongkos yang minim .
c. Urbanization yang timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi yang dapat digunakan secara bersama-sama.
Kota disini diartikan sebagai central place yang menjadi badan penyalur
atau media penyalur yang efektif, dan kutub pertumbuhan disini diartikan sebagai
mesin-mesin wilayah yang memiliki tenaga penyebar perkembangan (the regional
’engine’ of growth).
Dengan adanya teori kutub pertumbuhan ini maka arus migran dari tepi
pusat dan sebaliknya akan banyak terjadi, sehingga baik urbanisasi dalam artian
perpindahan penduduk dari desa ke kota, maupun dalam artian tumbuhnya
wilayah perkotaan akan sangat mungkin terjadi.
Daerah-daerah pedesaan yang terisolasi akan menjadi lebih terbuka
terhadap inovasi, budaya, dan teknologi baru dari kota, dan ini akan dapat
memberikan suatu dorongan kepada penduduk desa untuk mengubah cara
hidupnya yang tradisional.
2.8.3 Kaitan antara Pertumbuhan Ekonomi terhadap Tingkat Urbanisasi dan pengaruhnya pada Fertilitas
Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang akhirnya
akan menekan penduduk terutama dapat ditelusuri pada pemikiran Arthur Lewis
dan para pengikutnya. Dalam teorinya, Lewis mengasumsikan bahwa
perekonomian suatu negara pada dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu
perekonomian modern di perkotaan dengan industri sebagai sektor utama.
Disektor pedesaan terjadi kelebihan supply tenaga kerja karena jumlah penduduk
yang besar tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang tersedia. Over supply
tenaga kerja ini ditandai dengan produk marginalnya yang nilainya nol dan tingkat
upah riil yang rendah. Nilai produk marginal nol artinya fungsi produksi di sektor
pertanian (sektor pedesaan) telah sampai pada tingkat berlakunya hukum
diminishing return, yakni semakin banyak orang bekerja disektor pertanian, semakin rendah tingkat produktivitas tenaga kerja (Output per tenaga kerja).
Qp = Fp (Np)
Dalam kondisi seperti ini, pengurangan jumlah pekerja tidak akan
mengurangi jumlah output di sektor tersebut, karena proporsi tenaga kerja kerja
terlalu banyak dibandingkan proporsi input lain seperti tanah dan kapital. Akibat
over supply tenaga kerja ini, upah atau tingkat pendapatan di pertanian/pedesaan menjadi sangat rendah.
Gambar 2.5 YP Increasing return Titik optimal Fq ‘= 0 Titik optimal Fq ‘< 0 NP 0
Diminishing Return di dalam Fungsi Produksi Sektor Pertanian
Sebaliknya diperkotaan sektor industri mengalami kekurangan tenaga
kerja. Sesuai prilaku rasional pengusaha, yakni mencari keuntungan maksimal,
kondisi pasar buruh seperti ini membuat produktivitas tenaga kerja sangat tinggi
dan nilai produk marginal dari tenaga kerja positif, yang menunjukkan bahwa
fungsi produksi belum mencapai titik yang optimal yang dapat dicapai. Tingginya
produktivitas membuat tingkat upah riil per pekerja di sektor perkotaan tersebut
juga tinggi.
Perbedaan upah di sektor pertanian/desa dengan sektor industri di
perkotaan menarik banyak tenaga kerja pindah dari sektor pertama ke sektor
kedua. Maka terjadilah suatu proses migrasi dan urbanisasi. Tenaga kerja yang
pindah ke industri mendapat penghasilan yang lebih tinggi daripada sewaktu
masih bekerja di pertanian. Perpindahan ini secara tidak langsung akan
mengakibatkan penurunan penduduk pada pedesaan yang diakibatkan oleh proses
urbanisasi tersebut. para kaum urban yang telah pindah dari desa ke kota banyak
mengalami perubahan dalam hal menginginkan anak yang akhirnya akan
mengakibatkan penurunan pada fertilitas.