• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Kultural

Dalam dokumen INOVASI PENDIDIKAN NONFORMAL. (Halaman 119-128)

Pendekatan kultural adalah pendekatan lain yang digunakan dalam rangka menyebarluaskan inovasi PNF. Pendekatan ini dapat dimaknai bagai transfer dan transformasi kebaruan kepada kelompok sasaran dengan mengutamakan keterlibatan mereka. Pendekatan ini memandang bahwa proses penerapan inovasi pendidikan sekaligus pemerolehan sesuatu yang inovatif dilakukan berdasarkan pada budaya (kultur) kelompok sasaran. Pada pokoknya, pendekatan ini dilakukan dengan menjunjung tinggi budaya dari kelompok sasaran baik yang bersifat material maupun non material. Kebudayaan sendiri dapat dimaknai sebagai apa yang dimiliki oleh suatu masyarakat baik berupa nilai-nilai dan keyakinan, perilaku yang sudah disepakati dan menjadi milik bersama, dan berbagai bentuk hasil produk fisik. Kebudayaan yang

dimiliki suatu masyarakat akan membentuk kepribadian seorang individu, sehingga individu akan berperilaku sesuai dengan norma- norma yang berkembang di dalam masyarakat sebagai makhluk sosial.

Pendekatan budaya berusaha memahami bahwa individu, organisasi atau masyarakat yang dipandang perlu melakukan perubahan adalah entitas yang memiliki harapan, keinginan, kemampuan, dan keterbatasan yang mana mereka memiliki daya untuk menentukan jalan hidupnya. Pandangan humanis sangat kuat dalam proses penerapan inovasi ini. Sebagaimana pemikiran Geertz (1973) bahwa untuk memahami masyarakat dapat ditinjau dari perpektif yang luas, yang menekankan bahwa the individual has a right to choose whether or not they will be included in a certain group--including the work group. This right to choose comes from their own ways of knowing about the world. Pendekatan ini pun menekankan pada proses pengembangan inovasi harus dapat dilakukan dengan membangun kesadaran dan pemahaman bersama melalui proses interaksi yang humanis dan dialogis, dan tidak mendasarkan pada penggunakan pendekatan berbasis mekanisme, aturan formal maupun petunjuk teknis. Dalam hal ini, tiada pandangan bahwa suatu pemikiran merupakan pemahaman yang dominan dari individu atau kelompok. Hal lain adalah nilai bersama baik nilai instrumental maupun nilai ending (ideal) harus dibangun atas kesadaran bersama yang mengarahkan pada perilaku organisasi dalam mencapai tujuan.

Pemikiran yang hampir sama dikemukakan oleh Freire (1972) yang memberikan gambaran bahwa upaya untuk memajukan masyarakat harus dimulai dengan penyadaran concizatiou . Menurutnya, segala pembaharuan atau inovasi pendidikan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu membangun kesadaran masyarakat atau kelompok sasaran atas dunianya. Kata dunia dimaknai sebagai sesuatu yang ada di sekitar kelompok

sasaran yang dapat berpotensi sebagai kekayaan atau sebaliknya sebagai sesuatu yang dipandang menghambat. Dunia pun dimakna sebagai pandangan kelompok sasaran atas apa yang terjadi dalam kehidupannya, harapan-harapannya, masalah yang dihadapi, dan bagaimana memperoleh suatu solusi untuk mengembangkan dirinya. Dunia pun dimaknai sebagai proses sosial yang mereka jalin dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik dalam lingkungan sosial maupun dengan lingkungan alam semesta. Lebih jauh, Freire menekankan bahwa kelompok sasaran harus menyadari akan dunia yang selama ini mengekangnya sehingga mereka tidak dapat mengoptimalkan potensinya. Oleh karenanya, perlu dikembangkan kesadaran kritis dari masyarakat akan dunia melalui pembelajaran yang berorientasi pada kehidupannya yaitu pembelajaran berbasis masalah (problem solving based learning).

Penerapan inovasi pendidikan nonformal yang telah direncana dengan menggunakan pendekatan ini tidak mensyaratkan suatu mekanisme yang kaku, namun lebih fleksibel sesuai dengan kondisi kelompok sasaran. Pendekatan ini dilakukan dengan tahapan: pertama, pembaharu sebagaimana individu yang ditugaskan untuk mengembangkan pendidikan nonformal atau memberikan pemahaman yang berguna bagi kelompok sasaran terlebih dahulu memiliki keinginan dan kesadaran untuk dapat melaksanakan suatu pembaharuan. Pembaharu harus memiliki pemahaman yang baik mengenai substansi inovasi yang akan disebarkan, mengetahui dan memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikannya, dan sekaligus memahami karakteristik kelompok sasaran yang akan dikembangkan baik mereka yang ada di organisasinya maupun yang ada di luar organisasnya.

Kedua, pembaharu melakukan hubungan dan komunikasi secarah humanis dengan kelompok sasaran. Dalam hal ini, pembaharu masuk ke lingkungan kehidupan kelompok sasaran dengan tidak membawa pemikiran bahwa dirinya sebagai seorang

yang memiliki kemampuan tertentu, dan tetap memiliki keyakinan bahwa kelompok sasaran adalah mereka yang memiliki kemampuan yang harus dihargai. Pembaharu melakukan interaksi yang didasarkan pada kesederajatan, terbuka, dan selalu menjunjung harkat dan martabat mereka. Melalui proses ini, pembauran gagasan atau konsep yang dimaksudkan untuk terinternalisasi oleh kelompok sasaran akan dengan mudah diterima tanpa menimbulkan gejolak penolakan yang mungkin kuat terjadi. Pada tahap ini pun, gagasan pembaharuan diperkenalkan secara baik dan tidak merubah tatatan sistem yang ada di dalam kehidupan.

Tidak menutup kemungkinan, dalam proses interaksi ini, inovasi apa yang akan disampaikan kepada kelompok sasaran membutuhkan bukti atau hasil langsung yang dirasakan. Oleh karenanya, pembaharu harus dapat berfungsi sebagai figur yang dalam memberikan contoh atau pengalaman nyata kepada kelompok sasaran. Sebagai contoh, tanaman sorgum (sejenis tanaman padi/jagung) yang dikembangkan oleh masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak lepas dari peranan seorang wanita yang berasal dari luar wilayah, yang mana dirinya memandang bahwa sorgum merupakan suatu tanaman yang baik dibudidayakan di kawasan dimaksud karena daya tahan akan kekeringan. Dirinya tergerak untuk mengembangkan masyarakat setempat yang dipandangnya sangat miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup sekaligus ketergantungan pada beras dan sayannya, tanaman pagi tidak dapat tumbuh setiap tahun di wilayah timur Indonesia. Ia, memberanikan diri untuk mengajak masyarakat sekitar agar menanam sorgum. Pada awalnya, apa yang dilakukannya tidak secara otomatis diikuti oleh warga masyarakat, namun dengan penerapan langsung yaitu membudidayakan sendiri sorgum dan hasilnya memuaskan akhirnya apa yang dilakukannya dicontoh dan ditiru oleh warga masyarakat. Sampai saat ini,

pemahaman mengenai budidaya tanaman ini dikembangkan dan terbukti mampu mensejahterakan warga masyarakat.

Tahap selanjutnya, pembaharuan yang telah ditularkan kepada kelompok sasaran akhirnya harus dapat diketahui apakah mampu memberikan suatu manfaat yang berhasil atau sebaliknya tidak memberikan suatu yang positif pada kemajuan kelompok saaran. Sebagaimana dipahami bahwa titik tolak kebermaknaan dari pendekatan ini adalah terbangunnya kesamaan nilai, persepsi, dan tindakan, maka dalam melakukan evaluasi terhadap penerapan inovasi pendidikan harus dilakukan dengan tetap perpedoman pada pemahaman bahwa keberhasilan pembaharuan ada pada persepsi kelompok sasaran. Oleh karenya, penanyakan pendapat mereka mengenai aktivitas penerapan inovasi pendidikan dengan mekanisme saling berbagi pengetahuan, pendapat dan pengalaman dapat dilakukan. Dalam hal ini, kelompok sasaran dan pembaharu harus membangun kesempatan untuk melakukan refleksi bersama. Pemikiran lain menjelaskan bahwa penerapan pendekatan kultur dalam suatu organisasi sangat tergantung pada kemampuan pembaharu (biasanya pemimpin organisasi) yang ada di dalamnya. Kotter (1997) memberikan gambaran mengenai mekanisme pembaharuan dilakukan dalam suatu organisasi yaitu:

a) menetapkan makna urgensi b) membentuk koalisi pengarah, c) mengembangkan visi dan strategi, d)mengkomunikasikan visi perubahan,

e) memberdayakan banyak orang untuk melakukan tindakan, f) menghasilkan keuntungan jangka pendek,

g) mengkonsolidasikan pencapaian-pencapaian dan menghasil- kan lebih banyak perubahan, dan

h)mencanangkan pendekatan-pendekatan baru ke dalam kultur.

Hal lain adalah seorang pembaharu harus dapat berfungsi sebagai penggerak hati kelompok sasaran untuk melakukan perubahan dengan cara:

a) menetapkan standar-standar yang jelas,

b) membangun harapan agar melakukan sesuatu yang terbaik, c) memberikan perhatian,

d) memberikan pengakuan,

e) menceritakan sesuatu yang berguna atau berhasil, f) membuat perayaan bersama-sama atas keberhasilan, dan g) memberikan sebuah contoh

(Kouzes & Posner, 2008)

Syarat penerapan pendekatan ini adalah antara pembaharu dan kelompok sasaran harus terbangun suatu keterbukaan dalam komunikasi dan interaksi sehingga diperoleh pemahaman yang sama, terjadi klarifikasi nilai yang belum dipahami bersama sehingga standar nilai menjadi satu atau tunggal, terbangun suatu kesepatakan (aggreement) bersama, dan adanya peluang untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan penerakan inovasi pendidikan nonformal.

Pendekatan kultural memiliki kekuatan dan kelemahan. Kelebihan dari pendekatan ini adalah menekankan pada keterlibatan penuh kelompok sasaran. Kelompok sasaran dipandang sebagai entitas yang dapat menentukan dirinya melalui keterlibatan penuh dalam penerapan inovasi pendidikan sehingga terhindari dari perlakuan yang tidak humanistik dan cenderung mekanistik. Kelompok sasaran dipandang sebagai individu atau kelompok masyarakat yang dapat memahami kebutuhan dirinya, memahami masalah yang dihadapi, dan mengetahui bagaimana mencari solusi serta dapat melaksanakan tindakan untuk mengatasi masalahnya. Dalam hal ini, ada keyakinan bahwa kelompok sasaran adalah subyek aktif yang memiliki keinginan

berkembang, dan memiliki kemampuan untuk menentukan nasibnya sehingga pengembang masyarakat akan memposisikan mereka sebagai mitra dalam mencapai tujuan kehidupannya. Hasil penerapan inovasi dipandang cukup bermakna karena ukuran keberhasilan dirasakan atas apa yang terjadi sebagai suatu dampak dari penerapan konsep inovasi yang disetujui dan didukung oleh para pihak yang terlibat.

Keuntungan lain adalah kegagalan dalam penerapan inovasi sedini mungkin dapat dipahami karena adanya keterlibatan bersama serta tanggung jawab atas kegagalan menjadi milik bersama. Kelompok sasaran akan memiliki pandangan positif terhadap kegiatan inovasi pendidikan nonformal dimana mereka dapat memiliki persepsi dan harapan-harapan yang baik guna mengembangkan diri dan lingkungannya. Akibat persepsi yang baik ini, tidak menutup kemungkinan mereka akan dengan suka rela mendukung dan terlibat langsung dalam proses pengembangan. Hasil akhirnya adalah terjadi kebersamaan dan komitmen yang kuat terhadap tindakan pengembangan.

Kelamahan dari pendekatan ini adalah pertama, memerlukan waktu yang lebih lama mengingat perubahan kultur pada dasarnya merubah pola perilaku dan keyakinan yang mungkin perubahan pada hal-hal ini tidak dengan mudah terjadi dan dalam waktu yang singkat. Budaya yang sudah mendarahdaging dalam perilaku kelompok sasaran tidak dengan sendiri akan memudar atau melemah sehingga hal ini dapat menghambat terjadinya proses perubahan. Kedua, tidak adanya prinsip umum yang berlaku pada semua kelompok sasaran sehingga sifat generalitas dari inovasi ini masih lemah karena penerapan dengan pendekatan ini lebih menekankan pada karakteristik yang khusus kelompok sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa penyebarluasan aktivitas pembaharuan tidak akan terjadi secara massal dan dalam waktu yang cepat, namun terjadi secara perlahan dengan mekanisme

suatu pembaharuan akan digunakan oleh kelompok sasaran lain yang memiliki kepentingan dan/atau karakteristik yang tidak jauh berbeda. Ketiga, kemungkinan terjadi konflik kepentingan dengan kelompok sasaran dapat terjadi. konfliks dapat terjadi dalam setiap kegiatan pengembangan disebabkan perbedaan persepsi, kekhawatiran terjadi peralihan yang tidak pasti, dan bahkan ada perasaan merasa terganggu akan status sosial dari kelompok sasaran.

Bab VI berusaha membahas kasus dalam dunia pendidikan nonformal yang dipandang sebagai bentuk inovasi pendidikan yang telah dan sedang berjalan di Indonesia. Kasus dimaksud mengenai sebuah program pendidikan nonformal yaitu Program Pendidikan Desa Vokasi yang dikembangkan oleh pemerintah, dan sebagai inisiasi dari pemerintah dalam konteks mengembangkan warga masyarakat agar lebih produktif. Melalui pemahaman pada kasus- kasus dimaksud, diharapkan mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang bermakna dengan melihat best practice inovasi dalam pendidikan nonformal.

Dalam dokumen INOVASI PENDIDIKAN NONFORMAL. (Halaman 119-128)