• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Kerangka Teori

1.5.2 Implementasi Kebijakan

1.5.2.3 Pendekatan Model George C. Edwards

Pendekatan yang digunakan oleh George C. Edwards III terhadap implementasi kebijakan ada empat faktor atau variabel kritis dalam

mengimplementasikan kebijakan publik, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi atau sikap, dan struktur birokrasi.

1) Komunikasi

Secara alami, komunikasi ini membutuhkan keakuratan, dan komunikasi mesti secara akurat pula diterima oleh para implementor. Jika kebijakan harus diimplementasikan secara tepat, ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun mereka mesti juga jelas. Aspek lain dari ukuran implementasi adalah konsistensinya. Keputusan kontradiksi mengacaukan dan membuat frustasi staf administratif dan memaksa kemampuannya untuk mengimplementasikan kebijakan secara efektif.

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi reistensi dari kelompok sasaran.

Secara umum, semakin terdesentralisasi implementasi kebijakan publik, semakin mungkin terjadi distorsi ketika proses transmisi terjadi, sehingga informasi yang berkembang menjadi kurang akurat di tangan implementator. Desentralisasi biasanya berarti bahwa sebuah keputusan mesti dikomunikasikan melalui beberapa level otoritas sebelum mencapai mereka

yang akan melakukannya. Lebih banyak langkah sebuah komunikasi mesti bertentangan dari sumber aslinya, semakin lemah sinyal yang utama yang akan diterima.

2) Sumber Daya

Sumberdaya bisa menjadi suatu faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial.

Kemungkinan sumberdaya yang paling esensial dalam mengimplementasikan kebijakan adalah staf. Dalam sebuah era dimana “pemerintah besar” berada dalam serangan dari semua arahan, hal ini mungkin nampak mengejutkan untuk belajar bahwa sebuah sumber pokok kegagalan implementasi adalah staf yang tidak cukup.

Informasi merupakan sumber esensial kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi ini datang dalam dua bentuk. Pertama adalah informasi berkenaan dengan bagaimana melakukan sebuah kebijakan. Implementasi perlu tahu apa yang harus dikerjakan ketika mereka diberikan petunjuk untuk bertindak. Bentuk informasi esensial kedua adalah data dalam bentuk peraturan pemerintah.

Para implementor mesti tahu apakah orang lain yang terlibat di dalam mengimplementasikan kebijakan melengkapi undang-undang yang dipelukan sebagai dasar legitimasi. Sumber lain yang penting dalam implementasi

adalah kewenangan (otoritas). Kewenangan ini beragam dari program ke program dan masuk dalam berbagai bentuk berbeda, hak untuk mengeluarkan jaminan, membawa kasus ke pengadilan, mengeluarkan perintah untuk para pejabat lain, menarik dana dari sebuah program, memberikan dana, staf, dan bantuan teknik untuk yuridiksi pemerintah tingkat lebih rendah, mengeluarkan cek untuk para warga, membeli barang dan jasa, atau memungut pajak. Kebijakan yang memerlukan pengawasan atau peraturan pemerintah dari yang lainnya di dalam sektor publik atau private adalah pengawasan atau peraturan, karenanya kewenangan merupakan faktor yang krusial juga.

Berbagai fasilitas fisik mungkin juga menjadi sumber kritis dalam implementasi. Seorang implementor mungkin memiliki staf cukup, mungkin memahami apa yang ia duga harus dikerjakan, memiliki otoritas untuk mengamalkan tugasnya, namun tanpa bangunan perlu, peralatan, persediaan, dan bahkan implementasi ruang hijau tidak akan berhasil.

3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Banyak kebijakan jatuh dalam “sone apathi”. Kebijakan ini kemungkinan akan diimplementasikan secara meyakinkan karena para implementor tidak

memiliki perasaan kuat mengenainya. Kebijakan lain, bagaimanapun juga, akan mengalami konflik langsung dengan tinjauan kebijakan atau kepentingan implementor secara pribadi atau organisasional.

Disposisi implementor menimbulkan rintangan serius terhadap implementasi kebijakan. Namun jika personalia yang ada tidak mengimplementasikan kebijakan dengan cara dimana para pejabat puncak kehendaki, mengapa mereka tidak digantikan dengan orang-orang yang lebih responsif terhadap para pemimpin. Salah satu cara untuk meningkatkan berbagai kesempatan bahwa kebijakan akan diimplementasikan secara tepat adalah memilih implementor yang bernilai yang memungkinkan terhadap kebijakan itu. Dangan kata lain, mengesampingkan personalia yang tengah ada yang mungkin menolak terhadap sebuah kebijakan dan memakai yang lain.

Teknik potensial lainnya untuk berhubungan dengan masalah disposisi implementor adalah untuk merubah disposisi implementor yang tengah ada melalui manipulasi insentif. Karena orang pada umumnya bertindak dalam kepentingannya, manipulasi insentif oleh pembuat kebijakan tingkat tinggi mungkin mempengaruhi berbagai tindakannya. Dengan meningkatkan keuntungan atau biaya perilaku khusus mungkin membuat para implementor lebih atau kurang memungkinkan untuk memilihnya sebagai suatu cara memajukan kepentingan kebijakan pribadi, organisasional, dan substantif.

4) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Dua karakteristik utama dari birokrasi ini adalah prosedur pengoperasian standar (sandard operating procedure/SOP) dan fragmentasi. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-type, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Aspek kedua dari struktur birokrasi yang dipertimbangkan adalah fragmentasi. Fragmentasi merupakan pembagian tanggungjawab untuk sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit organisasional. Kelanjutan fragmentasi pemerintah tersebar luas. Dalam bidang kesejahteraan, lebih dari 100 program pelayanan manusia federal diselenggarakan oleh 10 departemen dan dinas berbeda. Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat memiliki tanggungjawab untuk program Bantuan atas Anak-Anak Tanggungan, Departemen Perumahan dan Pembangunan Perkotaan memberikan bantuan perumahan untuk orang miskin, Departemen Pertanian menjalankan program merk pangan, dan Departemen Tenaga Kerja mengelola program pelatihan tenaga kerja dan memberikan bantuan dalam mendapatkan pekerjaan. Semakin banyak aktor dan dinas yang terlibat dengan kebijakan khusus dan semakin seling bergantung keputusannya, semakin sedikit probabilitas implementasi berhasil.

Sifat dari kebijakan publik juga merupakan sebuah faktor dalam memproduksi fragmentasi. Kebijakan luas, semacam yang berhubungan dengan proteksi lingkungan, adalah multidimensional dan rancu dengan dimensi kebijakan lain, semacam pertanian, transportasi, rekreasi, dan energi. Dengan begitu, agen-agen pemerintah tidak bisa dengan mudah diorganisir seputar suatu bidang kebijakan.

Komunikasi

Sumberdaya

Implementasi

Disposisi

Struktur Birokrasi

Gambar : 1.1 Bagan Faktor Penentu Implementasi menurut G.Edwards III

Dokumen terkait