• Tidak ada hasil yang ditemukan

َ قاأ ٌة

E. Tinjauan Pustaka

5. Pendekatan Penelitian

Living Qur’an dapat dikategorikan sebagai kajian atau penelitian ilmiah dalam berbagai fenomena social yang terkait dengan kehadiran Al-Qur’an di tengah komunitas muslim tertentu atau lain yang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Fenomena Living Qur’an juga bisa dikatakan sebagai Qur’anisasi kehidupan, artinya yaitu memasukkan Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an tersebut dipahami kedalam semua aspek kehidupan manusia, atau menjadikan kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk mewujudnya Qur’an di bumi. Living Qur’an yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur’an disikapi dan direspon oleh masyarakat muslim di dalam realitas kehidupan menurut konteks budaya dan pergaulan social.

Dalam konteks kajian Living Qur’an, manusia memperlakukan dan mempelajari Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi petunjuk.

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yaitu pendekatan yang diartikan sebuah studi yang berusaha untuk menemukan makna dari suatu fenomena dari pengalaman baik dalam aspek inderawi, konseptual, moral, estesis dan religius. Fenomenologi merupakan pendekatan yang dimulai oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Martin Heidegger untuk mempelajari dan memahami pengalaman hidup manusia.25 Fenomenologi berupaya

25 Helaluddin, Mengenallebih dekat dengan Pendekatan Feenomenologi:Sebuah Penelitian Kualitatif, (T.Tp.: T.pn., t.t), h. 7.

22 dalam menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang akan suatu konsep. Pendekatan fenomenologi merupakan analisis yang berusaha mencari pemahaman dengan melakukan pengamatan partisipasi, wawancara terbuka dan dokumen pribadi. Dalam pendekatan fenomenologi terdiri dari tiga tahapan pertama tahap pralapangan, kedua tahap di lapangan dan tahap analisis data.26 Fenomenologi pertama kali dicetuskan secara intens sebagai kajian filsafat oleh Edmund Husserl, sehingga Edmund Husserl dipandang sebagai Bapak Fenomenologi.27 Istilah fenomenologi datang dari bahasa Yunani yaitu phenomenon, berarti sesuatu yang tampak, terlihat dikarenakan berkecukupan. Istilah dalam bahasa Indonesia yaitu gejala. Dalam bahasa Yunani phainestai yang berarti menunjukkan dan menampakkan diri sendiri. Dalam istilah, fenomenologi adalah ilmu (logos) tentang apa yang tampak.

Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarkan fenomena atau segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.28 Edmund Husserl mendefinisikan fenomenologi sebagai science of pure phenomena.29 Edmund Husserl belajar filsafat dari gurunya, yaitu Franz Brentano (1838-1917), Edmund Husserl semakin tertarik terhdap filsafat dari gurunya tersebut, juga sangan terpengaruh dengan pemikiran fenomenologi. Pendiri aliran fenomenologi adalah Franz Brentano, gurunya Edmund Husserl sendiri. Faranz Husserl

26 Farida Nugrahani, Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa, h. 183.

27 O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.” Mediator 9, No. 1, (Juni 2008): h. 164.

28 Syamsul Amal, “Metode Bracketing Edmund Husserl.” Dialektika 12, No. 01, (2019), h. 78.

29 Moh. Nadhir Mu’ammar, “Analisis Fenomenologi Terhadap Makna dan Realita.”

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 13, No. 1 (Juni 2017), h. 125.

23 adalah seorang psikologi empiris, ia melakukan penelitian mengenai jiwa manusia yang sengaja dilakukannya sebaai upaya menentang premis idealisme. Edmund Husserl menentang keras dan sekaligus mengkritik positivism (saintisme), pragmatism yang saat itu ingin menguasai dunia ilmiah. Aliran-aliran yang di tentang oleh Edmund Husserl karena mereka tidak mengakui akan geist (roh/jiwa) dan benar-benar menyingkirkan dari dunia ilmiah, lalu merekajuga menolak peran intuitif dalam memperoleh kebenaran ilmiah. Edmund Husserl kemudian malah memasukkan geist dan metode intuitif sebagai sarana mencapai kebenaran ilmiah.30

Masalah pengetahuan, atau lebih tepatnya kebenaran ilmu pengetahuan, merupakan persoalan yang secara langsung dibidik Edmund Husserl. Ia menyatakan, “Rechtsanspruch auf Gegestandlichkeit”: kita mengerti dan dalam pengertian tersebut kita berkata bahwapengertian itu mempunyai objek. Untuk menemukan pemecahan soal ini maka harus dilihat pendirian sehari-hari dalam mengalami pengertian. Mungkin di dalamnya terdapat hal-hal yang menggelapkan, mempersukar atau merintangi tercapainya kebenaran.

Manusia memiliki pendirian yang biasa dan spontan (naturliche Einstellung). Dengan ini Edmund Husserl memulai paparannya tentang pendirian sehari-hari dalam mengalami pengertian hewan-hewan, manusia, barang-barang, dunia dan seterusnya, semua itu diakui sebagai objektif. Pengalaman-pengalaman kesukaran ini melahirkan beragam teori tentang hakikat pengertian dan kebenaran Edmund Husserl adalah yakin, bahwa teori-teori yang ada pada saat itu tidak berhasil menerangkan pengertian. Edmund Husserl sudah

30 Hardiansyah A, “Teori Pengetahuan Edmund Husserl.” Substantia 15, No. 2, (Oktober 2013), h. 230.

24 mampu memformulasikan pengalaman filosofisnya ke dalam ilmu pengetahuan yang rigorus-apodiktif, yaitu “fenomenologi”.31

Fenomenologi Edmund Husserl bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena. Metode yang digunakan untuk mencari yang esensial adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presuppositionlessness). Pada hubungan ini Edmund Husserl menjelaskan:

“..that at first we shall put out of action the conviction we have been accepting up to now, including all our science. Let the idea guiding our meditation be at Cartesian idea of science that shall be established as radically as genuine, ultimately all-embracing science.

(.. yang pertama, kita harus menghilangkan dari tindakan kita semua keyakinan yang kita miliki sampai sekarang, termasuk semua pengetahuan kita. Biarkan ide itu menuntun semua meditasi kita pada pertama kalinya menjadi ide Cartesian mengenai sesuatu ilmu yang akan dikukuhkan secara radikal dan murni yang pada akhirnya merangkul semua isi pengetahuan).32

Edmund Husserl meyakini bahwa fenomena terdapat dalam consciousness atau kesadaran seseorang kepada siapa fenomena tersebut menampakkan diri dalam bentuknya yang asli. Edmund Husserl menyatakan bahwa setiap fenomena akan selalu terdiri dari aktifitas subjektif dan objek sebagai focus. Aktifitas subjektif selalu mengarah pada objek. Aktifitas subjektif menginterpretasikan, memberi identitas dan membentuk makna dari objek. Maka dari itu,

31 Moh. Nadhir Mu’ammar, “Analisis Fenomenologi Terhadap Makna dan Realita.”

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 13, No. 1 (Juni 2017), h. 127-129.

32 Syamsul Amal, “Metode Bracketing Edmund Husserl.” Dialektika 12, No. 01, (2019), h. 81.

25 aktifitas subjektif dan objek sebagai focus tidak bisa dipisahkan.

Dengan begitu untuk dapat memahami objek seseorang harus kembali kepada subjek. Maka, fenomena hanya dapat diamati melalui orang yang mengalami fenomena tersebut.33

Fenomenologi berupaya untuk mengungkapkan tentang makna dari pengalaman seseorang. Makna mengenai sesuatu yang dialami seseorang akan sangat tergantung bagaimana orang berhubungan dengan sesuatu itu. Fenomenologi berkaitan dengan penampakan suatu objek, peristiwa, atau suatu kondisi dalam persepsi masyarakat.

Pengetahuan berasal dari pengalaman yang disadari dalam persepsi.34 Edmund Husserl menginginkan dalam mengkaji fenomenologi melalui berbagai aspek yang bersifat faktual.

Edmund Husserl mengatakan fenomenologi akan selalu kekal walau dunia tidak ada lagi, karena fenomenologi membicarakan struktur konsitusi makna yang memungkinkan kesadaran bukan membicarakan sesuatu yang eksistensi factual. Edmund Husserl menginginkan sesuatu fenomenologi sebagai sesuatu yang murni, yang tidak berkaitan dengan sesuatu yang emperies. Fenomenologi ilmu yang membicarakan tentang esensi-esensi kesadaran dari suatu objek sebagai penghubung kesadaran. Edmund Husserl berpendapat bahwa realita tidak mempunyai kepastian, karena sesuatu yang ada didunia belum ada satupun yang dapat dipahami secara utuh. Berarti bahwa tidak ada satupun realita yang tampak secara definitive.35

33 Imalia Dewi Asih, “Fenomenologi Husserl: Sebuah Cara “Kembali ke Fenomena”.”

Jurnal Keperawatan Indonesia 9, No. 2, (September 2005), h. 77.

34 O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi.” h. 166.

35 Abdul Hafiz Alfatoni, “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Fenomenologi Edmund Husserl.” Pandawa 3, No. 3 (September 2021), h. 501-502.

26 Fenomenologi dari pandangan filsuf sebelum Edmund Husserl memiliki bermacam pandangan: Pertama, J.H Lambert ia tokoh pertama yang menggunakannya untukmenyatakan teori penampakan.

Kedua, Immanuel Kant memberi nama bagian keempat dari karyanya dengan Metaphysical Principles of Natural Science sebagai Phenomenology. Ia mengurai gerak dan diam sebaai karakteristik umum yangmenandai adanya tiap gejala. Ia juga menyiratkan adanya perbedaan dengan Edmund Husserl dalam memaknai fenomena.

Immanuel Kant mengatakan, fenomena adalah bagian dari nomena.

Logika berpikir ini dipakai Immanuel Kant untuk mengatasi kekacauan pemikiran yang mencampuradukkan antara objek dari rasio murni dan objek dari rasio praktis. Ketiga, Hegel dalam Phenomenology of the Spirit menggunakannya untuk merinci tahap-tahap yang meningkatkan manusia Barat pada akal budi universal.

Keempat, Willian Hamilton memerlukan fenomenoogi empiris tentang roh manusia sebagai titik berangkat pengetahuan objektif.36

Kajian living Qur’an menggunakan teori pendekatan fanomeologi diharapkan dapat mengungkapkan tentang makna atau pengalaman seseorang yang di dapat dari rutinitas membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam Jum’at yang dilakukan oleh santri di Pondok Pesantren Wali Peetu 2.

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi karena memiliki tahapan-tahapan yang dibutuhkan pada penelitian ini dan juga serasi dengan metode penelitian yang digunakan. Rutinitas

36 Moh Dahlan, “Pemikiran Fenomenologi Edmund Husserl dan Aplikasinya Dalam Dunia Sains dan Studi Agama.” UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 13, No. 1 (Januari-Juni 2010), h. 23.

27 membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam Jun’at merupakan suatu fenomena yang terjadi di Pondok Pesantren Wali Peetu 2.

Dengan menggunakan teori ini penulis akan mengungkap resepsi dari rutinas membaca surah Al-Waqi’ah setiap malam Jum’at di Pondok Pesantren Wali Peetu 2. Untuk menggali kesadaran terdalam para subjek dari pengalaman tersembunyi dalam suatu rutinitas, sehingga mendapatkan resepsi dari realitas yang tampak dan diungkapkan dalam bentuk deskriptif, dengan memfokuskan pada fenomena tersebut tanpa disertai prasangka penulis.

Dokumen terkait