• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORETIS

3. Memotivasi Guru

2.2.8 Pengertian Supervisi Kepala Sekolah

2.2.8.1 Pendekatan Supervisi Direktif

Yang dimaksud dengan pendekatan supervisi direktif adalah pendekatan terhadap masalah yang bersifat secara langsung. Supervisor memberikan arahan langsung. (Sahertian;200;46). Dalam hal ini perilaku supervisor lebih dominan. Pada supervisi ini berdasarkan pemahaman terhadap psikologi behaviorisme. Prinsip behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks yaitu, respon terhadap rangsangan/stimulus. Pendekatan supervisi ini memandang bahwa guru memiliki kekurangan, maka perlu diberikan rangsangan agar ia bereaksi.

Pada pendekatan direktif ini supervisor lebih aktif memperhatikan segala hal terutama kekurangan dalam pembelajaran yang selanjutnya supervisor memberikan penjelasan-penjelasan dengan didahului pertanyaan kepada guru yang mengalami kesulitan dalam hal proses pembelajaran. Pola ini dianggap kurang efektif dan mungkin pula kurang manusiawi, karena kepada guru yang disupervisi tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas mereka. Pola ini, supervisor mengambil sepenuhnya tanggung jawab supervisi (Mantja;200,179). Beranggapan bahwa dengan tanggung jawab itu, ia dapat melakukan perubahan perilaku mengajar dengan memberikan pengarahan yang jelas terhadap rencana kegiatan, yang dapat dievaluasi. Lucio dan McNeil (1979) telah mengonseptualisasikan pola ini dengan mengadaptasikannya dari teori reinforcement menurut Skiner ke dalam proses kesupervisian. Mereka mengemukakan bahwa supervisi yang efektif harus harus mengembangkan alat pengukuran dan penilaian yang sistematik terhadap keberhasilan guru. Walaupun pendekatan supervisi ini kurang efektif, namun temuan penelitian menunjukan bahwa memang terdapat guru yang lebih suka disupervisi dengan pendekatan direktif. Brown (1962) melaporkan bahwa guru memberikan reaksi yang menyenangkan terhadap pendekatan supervisi ini dengan menunjukan perbaikan dalam proses pengajaran mereka. Selanjutnya, ia menemukan juga adanya guru yang diklasifikasikan sebagai neorotik dan tingkat kecemasannya rendah (menurut skala kepribadian) memberikan reaksi yang menyenangkan terhadap pendekatan supervisi ini. Brown berkesimpulan bahwa tidak semua guru gampang patah semangat atau tidak mampu menerima kritik secara langsung. Karena itu

supervisor seharusnya tidak perlu khawatir untuk melakukan supervisi pendekatan direktif terhadap para guru tertentu.

Fuller menyatakan, bagi para guru baru, pendekatan supervisi direktif lebih baik karena mereka merasakan supervisor lebih tekun memperhatikan penampilan mengajar mereka. Dengan cara itu mereka dapat mengharapkan lebih banyak informasi guna perbaikan penampilan mengajar mereka. Blumberg (1970), seorang pakar supervisi nondirektif melaporkan bahwa ketika ia memperhatikan rekaman pertemuan supervisi pada hakekatnya adalah pendekatan direktif. Mereka menggunakan 45% dari waktu pertemuan untuk berbicara (kepada guru), dan 65% dari pembicaraan itu pada hakekatnya adalah supervisi direktif. Supervisor sedikit sekali memberikan pujian dan semangat yang mendorong guru. Supervisor bahkan menggunakan sebagian besar dari waktu percakapan itu untuk memberikan pertimbangan (pendapat). Supervisi direktif lebih cocok untuk latar (setting) sekolah yang menuntut guru untuk memenuhi tugas-tugas pengajaran secara ketat, demikian kata Harris (1976). Ia melaporkan bahwa supervisi dengan pendekatan direktif dapat diterima baik oleh para guru yang tidak dimotivasi untuk melakukan perubahan-perubahan positif, dan yang tidak bisa bekerja sama dengan supervisor. Ginkel (1983) dalam penelitiannya yang mengkaji hubungan antara pendekatan supervisi yang lebih disukai guru dan tingkat konseptualnya, menemukan bahwa para guru yang dikategorikan tingkat konseptualnya rendah saja yang menyukai pendekatan supervisi direktif.

Supervisi memang perlu memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu guru mengembangkan perilaku mengajar yang efektif, namun hal itu

tidak memberikan sumbangan yang bermanfaat, apabila dilakukan secara direktif, demikian penelitian Calhoun (1985). Penemuan ini memang menarik, karena temuan itu menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa supervisi dengan pendekatan direktif dianggap kurang efektif. Tetapi Hemphill (1985) dan Ngugi (1985) berkata lain bahwa pendekatan supervisi direktif lebih disukai oleh golongan bukan kulit putih, dan guru pria (Rossicone, 1985) perlu diperhatikan memilih pendekatan supervisi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwi (2001) ditemukan bahwa supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan intensitas penerapan pendekatan supervisi direktif disejumlah sekolah SMP dengan kategori: rendah, sedang, dan tinggi memiliki frekuensi relatif berturut-turut rendah 27,14%, sedang 42,86% dan tinggi 30%. Dari data tersebut artinya bahwa supervisor dalam melakukan supervisi dengan pendekatan direktif intensitasnya sedang.

Supervisi dengan pendekatan direktif didasarkan atas asumsi bahwa mengajar terdiri dari sejumlah ketrampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah ditetapkan bagi semua guru, agar unjuk kerja mengajar lebih efektif. Glickman berpendapat bahwa guru baru ternyata lebih suka disupervisi dengan pendekatan direktif, karena berhasil memperbaiki perilaku mengajarnya. Guru baru lebih suka apabila supervisor menjelaskan masalahnya dan kemudian menunjukan cara pemecahannya. Jelas bahwa supervisi dengan pendekatan direktif bermanfaat untuk kasus-kasus yang spesifik. Jika kita bandingkan pada prototipe Glickman, guru yang disupervisi dengan pendekatan ini adalah guru baru dengan asumsi daya abstraknya rendah dan komitmennya rendah atau guru

tidak bermutu. Perilaku supervisor pada pendekatan supervisi direktif adalah sebagai berikut:

(1) Clarifying (menjelaskan)

Penjelasan terhadap masalah guru yang disupervisi dan bertanya untuk mendapatkan gambaran yang jelas. Seorang supervisor tidak lagi menunggu guru mengemukakan keluhan-keluhan atau kekurangan, tetapi supervisor langsung memberikan beberapa kekurangan yang dialami guru yang kemudian menjelaskan permasalahan tersebut bagaimana cara menyelesaikannya.

2) Presenting (menampilkan)

Mengemukakan ide-ide tentang informasi yang seharusnya dikumpulkan dan bagaimana mengumpulkannya.

(3) Directing (mengarahkan)

Memberikan petunjuk kepada guru mengenai usaha apa yang diperlukan sesudah data terkumpul dan dianalisa. Dari hasil pengumpulan data selama melakukan supervisi maka seorang supervisor akan dapat memberikan arahan yang seharusnya guru tersbut lakukan demi kebaikan proses yang akan menghasilkan pembelajaran yang baik.

(4) Demonstrating (mendemonstrasikan)

Mendemonstrasikan kepada guru mengenai tingkah laku mengajar yang patut ditiru dan menganjurkan guru juga melihat teman lain yang mengajar di kelas lain.

(5) Standardizing (menstandarkan)

(6) Reinforcing (menguatkan)

Dengan menggunakan berbagai cara untuk memberikan dorongan psikologis. Dari keenam perilaku inilah, seseorang akan dapat mengetahui pendekatan supervisor yang sedang melaksanakan tugas supervisi dengan pendekatan direktif, dimana supervisor bertindak aktif untuk memberikan dorongan-dorongan kepada guru yang disupervisi. Namun tetap harus diingat bahwa tahapan atau langkah-langkah pelaksanaan supervisi tetap seperti yang sudah tertera pada paparan diatas. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan supervisi tersebut ialah untuk meningkatkan kemampuan guru (Sahertian, 1992:62).