• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORETIS

3. Memotivasi Guru

2.2.8 Pengertian Supervisi Kepala Sekolah

2.2.8.2 Pendekatan Supervisi Nondirektif

Pelaksanaan pendekatan supervisi nondirektif bertolak pada asumsi dasar bahwa guru mampu menganalisa dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan pelajarannya sendiri. Kecuali kalau guru merasa bahwa ia membutuhkan bantuan dan ia ingin memikul tanggung jawab bagi perbaikan proses belajar mengajar. Oleh karena itu supervisor harus tahu dalam kedudukannya sebagai fasilitator agar lebih banyak mengggunakan cara-cara yang bersifat struktural dan birokratis. Ini bukan berarti supervisor harus pasif dan guru mempunyai hak mengajar yang otonom.

Yang dimaksud dengan pendekatan supervisi non direktif ataiutidak lansung adalah cara pemecahan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukan permasalahan, tetapi ia terlebih dahulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan oleh

guru-guru. Ia memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada guru yang mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Pendekatan supervisi nondirektif ini berdasarkan pemahaman psikologis humanistik. Psikologi humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu. Oleh karena pribadi guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan permasalahan yang dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan masalahnya, supervisor mencoba mendengarkan, memahami apa yang dialami guru-guru.

Pendekatan supervisi non direktif ini berangkat juga dari premis bahwa belajar pada dasarnya adalah pengalaman pribadi, sehingga pada akhirnya individu harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Bagi guru, pemecahan masalah itu tidak lain dari pada upaya memperbaiki dan meningkatkan pengalaman belajar siswa dikelas. Peranan supervisor disini adalah mendengarkan, tidak memberikan pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri, dan pengalaman-pengalaman guru diklarifikasi (Glickman;1985).

Penelitian Blumberg, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama Amidon (1965) menunjukan bahwa kerangka kerja teoritik-teoritik banyak diilhami oleh model konseling non direktif, dengan model iti, Blumberg menerapkan sistem pendekatan supervisi non direktif yang menghasilkan perubahan perilaku mengajar guru kelas dengan menghindarkan konfrontasi langsung antara supervisor dan guru. Penelitian bersama Amidon dilakukan untuk mempelajari persepsi para guru terhadap interaksi mereka dengan supervisor. Mereka menemukan bahwa dalam wawancara supervisi para guru suka mengevaluasi interaksi keduanya. Interaksi itu akan menyenangkan jika mereka

merasakan supervisor suka mendengarkan dengan perhatian atau sifat yang positif. Sebaliknya, jika mereka merasakan pola supervisor menguasai pembicaraan atau mengkritik, mereka mengganggap wawancara itu menjadi kurang proaktif. Karena itu supervisor yang menunjukan perilaku nondirektif, seperti mendengarkan atau merefleksikan ungkapan-ungkapan guru, lebih disukai daripada yang menunjukan perilaku direktif, seperti menguasai pembicaraan dan mengkritik.

Dalam penelitian yang lain, Blumberg (1967) menemukan bukti yang menunjukan bahwa para guru lebih suka jika supervisor menggunakan pendekatan non direktif dalam wawancara supervisi. Para guru merasa bahwa bentuk pertemuan semacam itu lebih efektif. Ditemukan juga bahwa supervisor yang menggunakan pendekatan direktif kurang disenangi para guru, ketimbang yang menggunakan pendekatan non direktif. Dalam pendekatan direktif, guru merasa kurang bebas untuk memulai diskusi dengan supervisornya, jika dibandingkan dengan diskusi yang dilakukan oleh supervisor non direktif. Disimpulkan juga, supervisor dan guru membutuhkan kepekaan untuk berkomonikasi yang lebih baik. Karena itu, supervisor seharusnya menggunakan pendekatan non direktif dalam wawancara supervisi untuk menghasilkan komonikasi yang lebih efektif.

Blumberg (1968) dalam penelitiannya menemukan bukti yang lebih mendukung keefektifan pendekatan supervisi non direktif, dengan menyimpulkan bahwa jika supervisor menekankan refleksi, atau bertanya untuk memperoleh informasi guna membuka komonikasi wawancara supervisi mereka, para guru menilainya sebagai pertemuan supervisi yang positif. Bila supervisor lebih banyak

bicara dalam pertemuan itu, para guru menilai interelasi pertemuan itu kurang positif atau malahan negatif.

Dalam hubungannya dengan hal berbicara dalam supervisi, Krajewski (1976) salah satu pakar supervisi klinik dalam penelitiannya menemukan bahwa para supervisor yang sedikit berbicara atau memberikan komentar, bahkan memberikan pujian dan merefleksikan gagasan-gagasan guru, lebih berhasil ketimbang supervisor yang tidak terlatih menggunakan pendekatan supervisi non direktif.

Penelitian Blumberg bersama Weber (1968), mereka menyimpulkan bahwa morale para guru berkorelasi dengan perilaku kesupervisian. Jika perilaku supervisi direktif dari supervisor rendah dan perilaku supervisi non direktifnya tinggi, maka morale guru tinggi. Sebaliknya, jika para supervisor berperilaku supervisi direktif tinggi dan rendah dalam perilaku supervisi non direktifnya, maka morale guru menjadi rendah.

Dalam mengkaji pendekatan supervisi yang lebih disukai, Ginkel dan Rossicone (1985) menemukan bahwa pendekatan non direktif menempati peringkat pertama diantara dua pendekatan supervisi lainnya, yaitu direktif dan kolaboratif. Blumberg dan Amindon (1968) membenarkan bahwa sebagian besar guru lebih menyukai pendekatan non direktif, karena dengan pendekatan non direktif mereka merasa memperoleh pemahaman baik sebagai guru maupun sebagai individu. Hasil penelitian ini lebih memperkuat temuan Blumberg dan Weber (1968) yang menyimpulkan bahwa ”Experienced teacehers did not view directive behaviour as positive”. Kesimpulan yang menyatakan , bahwa guru yang

telah berpengalaman mengajar, memandang perilaku memerintah bukan hal yang positif. Dari kesimpulan tadi dapat dikatakan bahwa guru yang berpengalaman lebih menyukai disupervisi dengan pendekatan non direktif. Penemuan ini didukung oleh penelitian Ngugi (1984) dan Zonka yang merujuk pada Glickman (1986).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudarwi (2001) ditemukan bahwa supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah dengan intensitas penerapan pendekatan supervisi nondirektif disejumlah sekolah SMP dengan kategori: rendah, sedang, dan tinggi memiliki frekuensi relatif berturut-turut rendah 26,43%, sedang 46,43% dan tinggi 27,14%. Dari data tersebut artinya bahwa supervisor dalam melakukan supervisi dengan pendekatan non direktif intensitasnya sedang.

Dari uraian hasil penelitian tersebut diatas maka dalam pendekatan supervisi non direktif, perilaku supervisor dapat ditunjukan sebagai berikut

(1) Listening (mendengarkan)

Supervisor dalam hal ini mau belajar mendengarkan problem yang dihadapi guru dan menunjukkan perhatian kepada guru-guru. Supervisor harus menunjukkan empati kepada guru melalui senyuman berarti, menganggukkan kepala, menghargai dengan kata-kata halus.

(2) Clarifying (menjelaskan)

Supervisor menanyakan pendapat guru terhadap apa yang harus diperbaiki. menjelaskan problem guru tersebut melalui uraian bagian-bagian dan pertanyaan.

(3) Encouraging (menguatkan)

Supervisor perlu mendorong dan memberanikan guru-guru untuk menganalisis problema-problema selanjutnya. Kata-kata mendorong itu misalnya: teruskan, apalagi, silahkan.

(4) Presenting (menyajikan)

Bilamana guru bertanya yang sifatnya memberi saran, maka supervisor memberikan beberapa alternatif jawaban tetapi putusan pada guru yang bersangkutan.

(5) Problem Solving (pemecahan masalah)

Hal yang sangat penting, supervisor menanyakan kepada guru untuk menetapkan rencana kerja selanjutnya, misalnya:

- Apa yang akan anda kerjakan?

- Apa yang dapat saya upayakan agar dapat membantu anda?

Dalam supervisi non direktif gurulah yang menentukan langkah-langkah bila akan diadakan percakapan antara supervisor dan guru. Jadi bukan inisiatif supervisor seperti pada pendekatan supervisi direktif, tetapi guru yang berperan untuk mengambil inisiatif. Hanya saja tentang tahapan pelaksanaannya tidak berbeda dengan pendekatan supervisi yang lain.