• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme

Bab IV Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme, meliputi Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam, Kode Etik Guru, Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, dan Tugas dan fungsi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme

BAB II

KONSTRUKTIVISME

A. Sejarah Singkat Konstruktivisme

Menurut Von Glasersfeld sebagaimana yang telah dikutip oleh Paul Suparno,6 pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok tentang konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah kemudian yang menjadi cikal bakal konstruktivisme.

Pada sekitar tahun 1710, Vico dalam karyanya De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafat dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa, mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini, karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksinya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subyek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Akan tetapi sayangnya bahwa Vico, menurut banyak pengamat, tidak membuktikan teorinya.

Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Vico mengatakan bahwa “matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi”. Ia beralasan bahwa, “Dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika.” Kemudian orang itu sendirilah yang menciptakan

6

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 24

matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat mengeti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena Tuhanlah yang menciptakan mereka. Oleh karena itu bagi Vico, mekanika adalah kurang pasti daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan tarap-tarap pengetahuan manusia.

Kemudian Rorty lebih lanjut menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme. Terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman/fenomena baru.

Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dalam lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah pendapat Piaget juga dipengaruhi oleh pendapatnya Vico.7

B. Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme

Secara etimologi, konstruktivisme memiliki akar kata yaitu konstruktif, yang dalam bahasa inggris (constructive) artinya “yang membangun.”8 Sedangkan dalam kamus ilimiah berarti “kehidupan merancang dan membangun.”9 Dan konstruktif juga menurut psikologi dapat dipakai untuk pemikiran yang

7

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 24-25 8

John M. Echols dan Hassan Syadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. XXIV, h. 142

9

Widodo, Amd. Dkk., Kamus Ilmiah Populer; Dilengkapi EYD dan Pembentukan Istilah, (Yogyakarta: Absolut, 2002), Cet. II, h. 332

menghasilkan kesimpulan baru.10 Dalam konteks filsafat pendidikan, kostruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.

Konstruktivisme juga dapat diartikan sebagai suatu paham yang mengatakan bahwa, siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Dalam proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang telah ia miliki untuk membina pengetahuan baru.11

Lebih lanjut, konstruktivisme merupakan suatu madzhab psikologi yang berorientasi pada pemberian struktur terhadap konsep-konsep primer tentang belajar, yang terutama bertolak dari “kaca mata” peserta didik (valuing students point of view). Teori tersebut mengkaji masalah relevansi konsep belajar berkenaan dengan konstruk konsep yang muncul dan makin berkembang.

Apabila Piaget sebagai pelopor madzhab ini berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan adalah hasil konstruksi belajar, maka ternyata bahwa akal budi manusia (human mind) merupakan struktur kognitif yang berupa perangkat dinamis yang karena interaksi dengan lingkungannya dapat berubah dalam menanggapi duniannya. Ini berarti bahwa guru dalam mengenal muridnya harus memahami cara muridnya mengkonstruksi dunia yang perkembangannya tumbuh dari dalam dirinya.12

Menurut Tran Vui, kostruktivime adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa belajar adalah merefleksikan pengalaman-pengalaman sendiri. Konstruktivime mempunyai beberapa tujuan, di antaranya dalah sebagai berikut:

a. Adanya motivasi untuk siswa yang berorientasi pada pemahaman bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri.

10

James Drever, Kamus Psikologi; (judul asli: The Penguin Dictionary of Psychology), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 77

11

http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/03konstruk1.pdf

12 Conny R. Semiawan, Makalah tentang Suatu Orientasi tentang Kurikulum Berbasis Konstruktivisme untuk Pendidikan Agama; Jenjang Pendidikan Dasar/Menengah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan-pertanyaanya.

c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap.

d. Mengembangkan kemampuan sisiwa untuk menjadi seorang intelektual atau pemikir yang mandiri.

e. Konstruktivisme lebih menekankan pada proses belajar, yakni bagaimana belajar itu sendiri.13

C. Macam-Macam Konstruktivisme

Von Glaserfeld sebagai mana dikutip oleh Paul Suparno membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.

1. Konstruktivisme radikal

Para kaum konstruktivis mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan.14

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Sementara yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.

Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.15

13 http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm 14 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 15

2. Realisme hipotesis

Selain konstruktivisme radikal, juga terdapat konstruktivisme realisme hipotesis. Paham ini memandang bahwa pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas.16 Menurut Manuvar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.17

3. Konstruktivismeyang biasa

Sedangkan konstruktivisme yang biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.

Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan konstruktivisme sosiologis.

1. Konstruktivisme psikologis personal dengan tokohnya Piaget, menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara pribadi (subjek) dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Orang itu sendirilah yang kemudian membentuk suatu pengetahuan baru.

2. Sosiokulturalisme dengan tokohnya Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk, baik secara pribadi maupun oleh interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu, maka orang itu akan membentuk pengetahuannya.

3. Sedangkan konstruktivisme sosiologis menyatakan bahwa, pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak diperhatikan.18

16

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 17

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 26 18

D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme

Dalam filsafat konstruktivisme, terdapat beberapa hal yang menjadi landasan dan prinsip paham ini dalam kaitannya dengan pembelajaran. Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri, baik secara personal maupun sosial.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid itu sendiri untuk menalar.

3. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar.

5. Siswa hendaknya dihadapi dengan masalah-masalah yang relevan.

6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

7. Mencari dan menilai pendapat sisiwa.

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi tanggapan siswa. 9. Menilai belajar siswa dalam konteks pengajaran.19

Sedangkan dalam praktiknya, demikian Norazizah bt Ahmad berpendapat, seorang guru yang menerapkan pembelajaran konstruktivistik harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Siswa diberi peluang berbagi persepsi antara satu sama lain.

2. Siswa diberi peluang mengemukakan pandangan tentang suatu konsep. 3. Siswa didorong untuk menghormati pandangan alternatif teman mereka. 4. Semua pandangan siswa dihormati dan tidak dipandang rendah.

5. Pembelajaran berpusat kepada siswa.

6. Guru mengutamakan keterampilan saintifik dan keterampilan berpikir. 7. Siswa didorong melakukan refleksi proses pembelajaran yang dilaluinya

19

8. Siswa diminta menghubungkan gagasan yang telah mereka miliki dengan gagasan yang baru.

9. Siswa didorong mengemukakan hipotesis.

10.Guru tidak menyampaikan informasi secara terus-menerus kepada murid . 11.Siswa banyak berinteraksi dengan siswa lain dan guru

12.Guru harus tanggap terhadap kebutuhan, bakat dan minat siswa.

13.Siswa digiatkan belajar secara bekerja sama (kooperatif dan kolaboratif)20

E. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar Lainnya.

Selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini, konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna Ausuble, dan Teori Skema.

1. Teori Belajar Konsep

Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Filsafat ini menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa yang mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.

Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep ini sangat membantu, karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dan benar. Konstrutivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan, karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengertian” dalam

20

memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.21

2. Teoti Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.

Teori belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa menjadi aktif.

3. Teori Skema.

Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sehingga dapat menjadi lebih luas dan berkembang.22

4. Konstrtivisme, Behaviorisme, dan Maturasionisme

Konstruktivisme berbeda dengan behavorisme dan maturasionisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, maka konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, maka konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang

21

http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm 22

lengkap. Menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia sudah berumur tua, tetap dan tidak akan berkembang pengetahuannya.

Dalam teori ini, kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis dalam menganalisis sesuatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.

Kadang-kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori pencarian sendiri (inquiry approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat secara lebih teliti, kedua teori ini berbeda dan tidak sama. Dalam banyak hal kedua teori ini memiliki kesamaan, seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme tetapi tidak semua konstruktivis sepakat dengan metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlebih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri. Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.23

F. Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran.

Jika dilihat dengan menggunakan “kaca mata” pendidikan, pendekatan konstruktivisme memiliki implikasi terhadap pembelajaran. Implikasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya, namun masih ada sebagian siswa yang belum paham ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti

23

dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah, maka mereka akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.

2. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan dibangun oleh para siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya.

3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu.

4. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi, sehingga guru dalam mengajar bukannya menguliahi, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa, tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan

5. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa atau peserta didik.

6. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 7. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar

yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa atau peserta didik.24

Kemudian, yang menjadi faktor pendukung model pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman yang memadai tentang teori kependidikan.

2. Tuntutan kultur masyarakat modern terhadap perubahan paradigma

24

pendidikan.

3. Sumber-sumber yang melimpah melalui teknologi informasi. 4. Perencanaan yang baik dalam pengelolaan pendidikan. 5. Kebijakan otoritas pendidikan.25

G. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat Anak Didik

1. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar

Dalam hal belajar, konstruktivisme memiliki pandangan-pandangan sebagai berikut:

a. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. b. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,

aktifitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi.

c. Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif dalam menginterpretasikannya.

d. Akal (mind) berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau yang ada dalam dunia nyata sehingga hasilnya bersifat unik dan individualistik26

Menurut kaum konstruktivisme, belajar adalah merupakan proses aktif siswa atau pelajar dalam mengkonstruk arti baik itu teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar merupakan proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari denga pengertian yang sudah dimengerti seseorang, sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:

1. Belajar berarti membentuk atau mengkonstruk makna. Makna diciptakan

25

Syarif Mughni, Makalah tentang Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivisme dan Kontekstual; Sebuah Refleksi dalam Upaya Membangun Citra Madrasah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26

siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruk arti itu dipengaruhi dari apa yang telah mereka alami.

2. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan konstruksi, baik secara kuat, maupun lemah.

3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan itu sendiri, suatu pengembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Proses belajar yang terjadi pada saat skema seseorang mengalami keraguan yang merangsang pemikiran seseorang yang lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequibrium) adalah situasi yang baik untuk mengacu belajar.

5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman pengajar dunia fisik dan lingkungannya.

6. Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah ia ketahui seperti konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.27

Proses pembelajaran dalam konstruktivisme menggunakan strategi-strategi yang tepat untuk efektifitas kegiatan tersebut. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam pembelajaran, strategi belajar merupakan bagian yang penting yang harus diperhatikan. Apabila salah strategi, maka proses belajarpun akan kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dipilih strategi yang tepat dalam proses pembelajaran. Dalam konstruktivisme, ada delapan strategi yang harus diperhatikan, strategi-strategi itu adalah sebagai berikut:

1. Penyajian isi (content) menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna (transfer of learning) dan mengikuti urutan dari keseluruhan kepada bagian-bagian atau dari yang sifatnya general kepada yang sifatnya spesifik.

2. Pembelajaran lebih banyak difokuskan untuk melayani pertanyaan atau pandangan siswa atau si-belajar.

27

3. Aktifitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

4. Pembelajaran berorientasi dan lebih menekankan pada proses.

5. Evaluasi menekankan pada penyusunan secara aktif yang melibatkan integrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.

6. Evaluasi yang menggali dan menimbulkan munculnya berfikir devergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban yang benar.

7. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktifitas belajar bermakna serta menerapkan yang dipelajari dalam konteks nyata.

8. Evaluasi juga menekankan pada proses belajar kelompok.28

Kemudian salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivistik ialah penggunaan siklus belajar. Ada tiga macam siklus belajar, yaitu deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif yang menunjukkan suatu kontinum dari sains deskriptif ke sains eksperimental.

Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi). Sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi (misalnya mengendalikan variable, penalaran korelasional, penalaran hipotesis-deduktif). Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediet, menghendaki pola-pola

Dokumen terkait