• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru agama ideal dalam perspektif Konstruksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Guru agama ideal dalam perspektif Konstruksi"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

GURU AGAMA IDEAL

DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Ahmad Syarif NIM. 103011026623

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NNEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ahmad Syarif

NIM. : 103011026623

Jur./Fak. : PAI/FITK Jenis Kelamin : Pria

Status : Lajang

Alamat : Jl. H. Som No. 38 Rt. 02 Rw. 01 Kel. Pondok Pucung Kec. Pondok Aren - Tangerang - Banten Pos: 15229

Dengan ini menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jxakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya sendiri dan merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 29 September 2007 M 17 Ramadhan 1428 H

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi berjudul: “Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)UIN Syarif Hidayatullah Jakara, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyah pada 25 Oktober 2007 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam.

Jakarta, Oktober 2007 Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan) Taggal Tanda Tangan

Drs. H. Abd. Fattah Wibisono, MA

NIP. 150 236 009 . . . . . . Sekretaris (Sekretaris Jurusan)

Drs. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag.

NIP. 150 299 477 . . . . . . Penguji I

Drs. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag.

NIP. 150 299 477 . . . . . . Penguji II

Dra. Hj. Djunaidatul Munawarah, M.Ag.

NIP. 150 228 871 . . . . . .

Mengetahui Dekan,

(4)

ABSTRAKSI

Pendidikan sebagai sebuah solusi dari permasalahan kehidupan manusia, telah banyak berperan dalam membangun dan membentuk mentalitas dan karakteristik insan manusia. Dengan munculnya persoalan kehidupan yang semakin kompleks, maka semakin berkembanglah teori-teori dalam pendidikan sebagai konsekuensi logis dari sebuah kemajuan zaman.

Konstruktivisme sebagai salah satu paham dalam filsafat pendidikan, memiliki penawaran yang khas dalam proses pembelajaran. Penawaran yang khas tersebut berlaku pada guru dan siswa. Teori belajar ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya dapat dikonstruk melalui proses belajar aktif, sehingga siswa menjadi pusat dari kegiatan belajar itu sendiri. Sedangkan guru berusaha memfasilitasi dan menjadi mediator dalam proses tersebut.

Dalam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, terdapat beberapa karakteristik materi yang diajarkan, mulai dari materi yang bersifat normatif hingga materi yang bersifat informatif. Konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam pembelajaran, dapat digunakan pada materi-materi yang memiliki karakteristik kontektual dan bukan pada wilayah ritual yang sifatnya formalis. Dengan demikian, diharapkan siswa dapat mengambil hikmah dan makna dari setiap materi PAI yang diajarkan, sehingga terpatri dalam jiwa siswa akan ajaran-ajaran agama dan selanjutnya menjadi amalan dalam kehidupannya.

Guru agama dalam perspektif konstruktivisme hendaknya memiliki kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para siswa. Mereka hendaknya memiliki sifat yang terpuji serta memahami fungsi dan peran utamanya sebagai mediator dan fasilitator.

Dalam perjalanannya, proses tersebut hendaknya ditopang dengan hal-hal yang berkaitan, baik itu yang bersifat intern maupun ekstern, seperti kompetensi, sikap, dan perilaku guru yang baik, jalur birokrasi yang bersih, kesejahteraan yang cukup, dan sarana prasarana yang mendukung. Dengan demikian seorang guru agama dapat menjalankan tugasnya secara baik dan maksimal, sehingga terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta diridhai Allah SWT..

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. yang dengan pertolongan-Nya hamba dapat menulis setetes dari lautan ilmu-Nya yang teramat luas. Shalawat dan salam selalu mengalir kepada Rasulullah Muhammad SAW. yang merupakan makhluk Allah yang pertama dan utama. Semoga hamba selalu istiqomah dalam menjalankan syari’at yang dibawanya.

Dalam perjalanan menyusus skripsi ini, penulis menemukan beberapa kendala, mulai dari alotnya lobi dengan dosen seminar proposal skripsi hingga kurangnya bahan yang ada. Tetapi penulis berusaha sekuat mungkin untuk menyusun skripsi ini dengan baik.

Pada bulan yang baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Kajur. dan Sekjur. beserta staff Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak A. Syafi’I, M.Ag. dan Ibu Siti Khadijah, S.Ag. yang telah dengan baik membimbing penulis.

5. Para Bapak dan Ibu Dosen serta segenap karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibunda tercinta, Bunda Maisyah yang selalu menyokong penulis dalam melewati proses pencarian makna hakiki.

7. Nenek, Bapak, adik-adik, dan orang-orang yang pernah membantu penulis dalam mengarungi kehidupan ini.

(6)

9. Keluargaku di PAI, khususnya kelas B angkatan 2003 dan kawan-kawan seperjuangan di Tarbiyah.

10.Keluargaku di HMI Cabang Ciputat, khususnya komisariat Tarbiyah yang sudah menemani penulis dalam mengenal kebenaran obyektif. 11.Dan pihak-pihal lain yang telah membantu penulis dalam menyusun

skripsi ini, maafku yang telah merepotkan dan tak dapat mencantumkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari baik, bahkan sempurna. Untuk itu penulis akan selau membuka diri jika ada saran, koreksi dan kritik yang membangun dalam rangka perbaikan. Akhirnya hanya pada Allah SWT. sajalah penulis berpasrah, semoga kemuliaan dan keridhaan-Nya terpancar keseluruh jagad raya ini.

Jakarta, 30 September 2007

(7)

DAFTAR ISI

Abstraksi . . . i

Kata Pengantar . . . ii

Daftar Isi . . . iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . . . 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah . . . . 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . 5

D. Metode Penelitian . . . 5

E. Sistematika Penelitian. . . . 6

BAB II KONSTRUKTIVISME A. Sejarah Singkat Konstruktivisme . . . 8

B. Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme . . . 9

C. Macam-macam Konstruktivisme . . . 11

D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme . . . 13

E. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar lainnya . . . 14

F. Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran . . . . 17

G. Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat Anak . . . .. . . 18

H. Ayat al-Qur’an tentang Konstruktivisme . . . 27

BAB III PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH A. Pendidikan Agama Islam . . . 29

(8)

C. Karakteristik Materi PAI dalam

Perspektif Konstruktivisme . . . 43

BAB IV GURU AGAMA IDEAL DALAM PERSPEKTIF

KONSTRUKTIVISME

A. Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . . 46 B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam . . . 47 C. Kode Etik Guru . . . 49 D. Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . . 51 E. Sifat Guru Agama yang Dibutuhkan

dalam Perspektif Konstruktivisme . . . 56 F. Tugas dan fungsi Guru Agama dalam

Perspektif Konstruktivisme . . . . . . . 57 G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme

Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . . . 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan . . . 70 B. Saran. . . . 71

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah pendidikan sama usianya dengan sejarah manusia itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan pendidikan bersamaan dengan keberadaan manusia. Keduanya tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, melainkan saling melengkapi. Pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada di dalamnya, karena manusia merupakan subyek dan obyek pendidikan. Artiya, manusia tidak akan bisa berkembang secara sempurna bila tidak ada pendidikan.1

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menjadikan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, antara lain pendidik atau guru, sarana prasarana, manajemen sekolah, serta situasi dan kondisi dalam proses pembelajaran.

Guru merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan progam pembelajaran. Sebagai figure center, guru memiliki peranan yang sangat signifikan. Tindak tanduk mereka menjadi referensi siswa dalam bertindak dan dijadikan tolok ukur moralitas dalam sebuah institusi sekolah. Oleh karena itu, perkataan, sikap, dan perbuatan guru hendaknya menjadi hal yang semestinya menjadi perhatian yang serius dari stakeholder pendidikan.

”Profesi” guru telah hadir cukup lama di negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi, latar belakang, tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami perubahan. Bahkan, ada yang secara lugas mengatakan bahwa sosok guru telah berubah dari tokoh yang digugu dan ditiru, dipercaya telah dijadikan

1

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Hal. 85

(10)

panutan, diteladani, agaknya telah menurun menjadi oknum yang wangu lan kuru, kurang pantas dan kurus, di tengah-tengah pelbagai bidang pekerjaan dalam masyarakat yang semakin terspesialisasikan.

Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan nasional. Di mana di dalamnya guru menempati posisi utama dan penting. Memang harus diakui dan tak dapat disangkal, selama ini peran guru diperlakukan kurang taat asas dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang teramat penting, namun tanpa disertai kesediaan untuk menghargai mereka sebagaimana mentinya.2

Masyarakat sebagai salah satu stake holder pendidikan terkadang memiliki pengakuan yang rendah terhadap profesi guru. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan

2. kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru

3. Banyak guru yang kurang menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot.

Hal di atas disebabkan oleh banyaknya temuan di sekolah atau madrasah, seorang guru kurang dapat menjadi teladan bagi muridnya. Sering kali mereka mengeluarkan sikap yang tidak bersahabat, perkataan yang kurang santun bahkan kasar, perbuatan fisik yang kurang mendidik, dan sebagainya.

Sudah seharusnya keramahan, kelembutan, kesabaran, kecerdasan, dan keikhlasan, menjadi modal awal bagi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Karena, dengan modal inilah, seorang guru dapat memberikan pembelajaran yang efektif dan efisien, karena lebih dapat diterima oleh peserta didik. Terlebih guru

2

(11)

agama, ia semestinya menjadi referensi utama moralistas dalam prilaku sehari-hari, baik bagi para peserta didik, maupun bagi para guru-guru lainnya. Guru agama hendaknya memiliki profesionalitas yang tinggi dalam menjalankan profesinya dengan menjadikan dirinya sebagai teladan, minimal di lingkungan sekolah. Sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan efektif, dan siswa dapat belajar dengan baik dan menjadi seorang pemikir yang handal. Cara belajar seperti inilah yang lebih mengutamakan aktifitas belajar siswa dan sejalan dengan kurikulum yang sedang dikembangkan oleh pemerintah, yaitu Kurikulum Tingkat Sartuan Pendidikan (KTSP).

Ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah jalan untuk mengubah dunia dari primitif menjadi modern, dari jahiliyah menjadi auflklarung (pencerahan), dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari negatif menjadi positif, dan begitu terus selanjutnya.

Banyak sekali para ilmuwan mengembangkan toeri-teori pendidikan, mulai dari zaman dahulu hingga sekarang. Beberapa teori telah dicetuskan, di antaranya adalah konstruktivisme. Filsafat belajar konstruktivisme merupakan hasil pengembangan dari teori belajar pengembangan kognitif. Teori ini menitikberatkan kepada pendekatan proses belajar dengan mempergunakan reasoning, insight, atau berpikir dan siswa diajak berpikir induktif dan deduktif.3

Teori pengembangan koginitif ini merupakan salah satu bahasan dalam psikologi. Psikologi sebagai pengetahuan paradigmatis yang merupakan hasil pengembangan dari induk pengetahuan, yakni filsafat, menjelaskan tentang tingkah laku makhluk hidup, khususnya manusia. Dan dalam konteks konstruktivisme psikologi membahas bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.

Jadi, filsafat sebagai induk pengetahuan menjadi awal dari terbentuknya struktur paradigmatis ilmu psikologi yang kemudian melahirkan teori pengembangan kognitif. Dari teori inilah kemudian konstruktivisme menemukan bentuknya dalam dunia pendidikan.

3

(12)

Konstruktivisme pada dasarnya merupakan sebuah teori tentang bagaimana orang belajar. Teori ini memandang seseorang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam konteks pembelajaran, siswa dipandang sebagai individu yang aktif membangun pemahamannya sendiri dan pengetahuan dunia sekitarnya dengan mengalami sendiri dan merefleksikan pengalaman tersebut.

Dalam Konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Ia sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih metode dan teknik yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, guru seharusnya mengetahui hakikat mata pelajaran itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan mata pelajaran tersebut menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar.4

Berangkat dari hal inilah, maka dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, seorang guru agama hendaklah memahami hakikat mata pelajaran pendidikan agama Islam, memahami hakikat anak didik dalam perspektif Islam, dan memahami cara mengajarkannya dengan metode-metode yang lebih konstruktif. Dengan demikian. Maka akan terciptalah pendidikan yang lebih efektif, efisien, dan bermartabat.

Dari realitas tersebut, maka penulis tergerak untuk menyusun sebuah tulisan yang kemudian menjadi pedoman penulis dalam menjalankan profesi keguruan. Tulisan ini dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Guru agama ideal merupakan suatu kebutuhan yang mestinya terpenuhi dalam pembentukan moralitas siswa. Hal ini disebabkan guru agama merupakan

4

(13)

referensi moralitas kehidupan beragama, minimal di lingkungan sekolah. Dengan demikian, banyak hal yang harus dibahas dalam penelitian ini mengenai profil guru agama dalam perspektif konstruktivisme. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi masalah yang menjadi obyek penelitian dan cakupan yang akan diteliti.

Adapun masalah yang akan diteliti dan dibahas adalah masalah-masalah seperti definisi, tugas dan fungsi, syarat, peran, dan sifat guru agama dalam perspektif konstruktivisme.

2. Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam pembahasan penelitian ini, maka perlu dilakukan pembatasan masalah pada pembahasan guru agama ideal dalam perspektif konstruktivisme. Dalam hal ini penulis hanya berusaha mengetahui guru agama Islam ideal dalam perspektif konstruktivisme yang berkaitan dengan tugas, syarat, peran, dan sifat guru agama dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah

3. Perumusan Masalah

Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana guru agama yang ideal di sekolah dalam perspektif konstruktivisme?

b. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi profesionalisme guru agama dalam perspektif konstruktivisme?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui guru agama ideal dalam perspektif konstruktivisme

(14)

2. Kegunaan Penelitian

Sedangkan kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Sebagai salah satu kewajiban dalam melaksanakan tugas akhir perkuliahan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta

b. Sebagai bahan pertimbangan calon guru agama dan guru agama itu sendiri, khususnya dalam meningkatkan profesionalitasnya

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bermaksud mengadakan deskripsi mengenai data-data5 tentang konstruktivisme dan menganalisis serta mensintesiskan data tersebut dalam kaitannya dengan profil guru agama.

Kemudian dalam teknik pengumpulan data, penulis berusaha menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, menganalisis, dan mensintesiskan data-data yang tedapat dalam buku-buku, kitab-kitab, majalah, surat kabar, dan sumber lain yang berkaitan dengan tema pembahasan skripsi ini. Dalam konteks ini yang dideskripsikan adalah mencari format baru profil guru agama.

Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007

E. Sistematika Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:

5

(15)

Bab I Pendahuluan, terdiri Latar Belakang, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Sistematika Penelitian.

Bab II Sejarah Singkat Konstruktivisme, Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme, Macam-macam Konstruktivisme, Prinsip-prinsip Konstruktivisme, Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar lainnya, Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran, Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat Anak

Bab III Pendidikan Agama Islam di Sekolah, terdiri dari Pendidikan

Agama Islam, Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah, dan

Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme

Bab IV Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme, meliputi Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam, Kode Etik Guru, Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, dan Tugas dan fungsi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme

(16)

BAB II

KONSTRUKTIVISME

A. Sejarah Singkat Konstruktivisme

Menurut Von Glasersfeld sebagaimana yang telah dikutip oleh Paul Suparno,6 pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok tentang konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah kemudian yang menjadi cikal bakal konstruktivisme.

Pada sekitar tahun 1710, Vico dalam karyanya De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafat dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa, mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini, karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksinya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subyek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Akan tetapi sayangnya bahwa Vico, menurut banyak pengamat, tidak membuktikan teorinya.

Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan “membuat sesuatu”, Vico mengatakan bahwa “matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi”. Ia beralasan bahwa, “Dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika.” Kemudian orang itu sendirilah yang menciptakan

6

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 24

(17)

matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat mengeti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena Tuhanlah yang menciptakan mereka. Oleh karena itu bagi Vico, mekanika adalah kurang pasti daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan tarap-tarap pengetahuan manusia.

Kemudian Rorty lebih lanjut menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme. Terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman/fenomena baru.

Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dalam lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah pendapat Piaget juga dipengaruhi oleh pendapatnya Vico.7

B. Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme

Secara etimologi, konstruktivisme memiliki akar kata yaitu konstruktif, yang dalam bahasa inggris (constructive) artinya “yang membangun.”8 Sedangkan dalam kamus ilimiah berarti “kehidupan merancang dan membangun.”9 Dan konstruktif juga menurut psikologi dapat dipakai untuk pemikiran yang

7

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 24-25 8

John M. Echols dan Hassan Syadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. XXIV, h. 142

9

(18)

menghasilkan kesimpulan baru.10 Dalam konteks filsafat pendidikan, kostruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.

Konstruktivisme juga dapat diartikan sebagai suatu paham yang mengatakan bahwa, siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Dalam proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang telah ia miliki untuk membina pengetahuan baru.11

Lebih lanjut, konstruktivisme merupakan suatu madzhab psikologi yang berorientasi pada pemberian struktur terhadap konsep-konsep primer tentang belajar, yang terutama bertolak dari “kaca mata” peserta didik (valuing students point of view). Teori tersebut mengkaji masalah relevansi konsep belajar berkenaan dengan konstruk konsep yang muncul dan makin berkembang.

Apabila Piaget sebagai pelopor madzhab ini berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan adalah hasil konstruksi belajar, maka ternyata bahwa akal budi manusia (human mind) merupakan struktur kognitif yang berupa perangkat dinamis yang karena interaksi dengan lingkungannya dapat berubah dalam menanggapi duniannya. Ini berarti bahwa guru dalam mengenal muridnya harus memahami cara muridnya mengkonstruksi dunia yang perkembangannya tumbuh dari dalam dirinya.12

Menurut Tran Vui, kostruktivime adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa belajar adalah merefleksikan pengalaman-pengalaman sendiri. Konstruktivime mempunyai beberapa tujuan, di antaranya dalah sebagai berikut:

a. Adanya motivasi untuk siswa yang berorientasi pada pemahaman bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri.

10

James Drever, Kamus Psikologi; (judul asli: The Penguin Dictionary of Psychology), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 77

11

http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/03konstruk1.pdf

12 Conny R. Semiawan, Makalah tentang Suatu Orientasi tentang Kurikulum Berbasis

(19)

b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaan-pertanyaanya.

c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap.

d. Mengembangkan kemampuan sisiwa untuk menjadi seorang intelektual atau pemikir yang mandiri.

e. Konstruktivisme lebih menekankan pada proses belajar, yakni bagaimana belajar itu sendiri.13

C. Macam-Macam Konstruktivisme

Von Glaserfeld sebagai mana dikutip oleh Paul Suparno membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa.

1. Konstruktivisme radikal

Para kaum konstruktivis mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan.14

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Sementara yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.

Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.15

13

http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm 14

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 15

(20)

2. Realisme hipotesis

Selain konstruktivisme radikal, juga terdapat konstruktivisme realisme hipotesis. Paham ini memandang bahwa pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas.16 Menurut Manuvar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.17

3. Konstruktivismeyang biasa

Sedangkan konstruktivisme yang biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek.

Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan konstruktivisme sosiologis.

1. Konstruktivisme psikologis personal dengan tokohnya Piaget, menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara pribadi (subjek) dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Orang itu sendirilah yang kemudian membentuk suatu pengetahuan baru.

2. Sosiokulturalisme dengan tokohnya Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk, baik secara pribadi maupun oleh interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu, maka orang itu akan membentuk pengetahuannya.

3. Sedangkan konstruktivisme sosiologis menyatakan bahwa, pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak diperhatikan.18

16

http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 17

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 26 18

(21)

D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme

Dalam filsafat konstruktivisme, terdapat beberapa hal yang menjadi landasan dan prinsip paham ini dalam kaitannya dengan pembelajaran. Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri, baik secara personal maupun sosial.

2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid itu sendiri untuk menalar.

3. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.

4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar.

5. Siswa hendaknya dihadapi dengan masalah-masalah yang relevan.

6. Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.

7. Mencari dan menilai pendapat sisiwa.

8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi tanggapan siswa. 9. Menilai belajar siswa dalam konteks pengajaran.19

Sedangkan dalam praktiknya, demikian Norazizah bt Ahmad berpendapat, seorang guru yang menerapkan pembelajaran konstruktivistik harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Siswa diberi peluang berbagi persepsi antara satu sama lain.

2. Siswa diberi peluang mengemukakan pandangan tentang suatu konsep. 3. Siswa didorong untuk menghormati pandangan alternatif teman mereka. 4. Semua pandangan siswa dihormati dan tidak dipandang rendah.

5. Pembelajaran berpusat kepada siswa.

6. Guru mengutamakan keterampilan saintifik dan keterampilan berpikir. 7. Siswa didorong melakukan refleksi proses pembelajaran yang dilaluinya

19

(22)

8. Siswa diminta menghubungkan gagasan yang telah mereka miliki dengan gagasan yang baru.

9. Siswa didorong mengemukakan hipotesis.

10.Guru tidak menyampaikan informasi secara terus-menerus kepada murid . 11.Siswa banyak berinteraksi dengan siswa lain dan guru

12.Guru harus tanggap terhadap kebutuhan, bakat dan minat siswa.

13.Siswa digiatkan belajar secara bekerja sama (kooperatif dan kolaboratif)20

E. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar Lainnya.

Selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini, konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna Ausuble, dan Teori Skema.

1. Teori Belajar Konsep

Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Filsafat ini menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa yang mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari.

Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep ini sangat membantu, karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dan benar. Konstrutivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan, karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengertian” dalam

20

(23)

memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.21

2. Teoti Bermakna Ausubel

Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.

Teori belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa menjadi aktif.

3. Teori Skema.

Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sehingga dapat menjadi lebih luas dan berkembang.22

4. Konstrtivisme, Behaviorisme, dan Maturasionisme

Konstruktivisme berbeda dengan behavorisme dan maturasionisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, maka konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, maka konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang

21

http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm 22

(24)

lengkap. Menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia sudah berumur tua, tetap dan tidak akan berkembang pengetahuannya.

Dalam teori ini, kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis dalam menganalisis sesuatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.

Kadang-kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori pencarian sendiri (inquiry approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat secara lebih teliti, kedua teori ini berbeda dan tidak sama. Dalam banyak hal kedua teori ini memiliki kesamaan, seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme tetapi tidak semua konstruktivis sepakat dengan metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlebih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri. Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.23

F. Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran.

Jika dilihat dengan menggunakan “kaca mata” pendidikan, pendekatan konstruktivisme memiliki implikasi terhadap pembelajaran. Implikasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya, namun masih ada sebagian siswa yang belum paham ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti

23

(25)

dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah, maka mereka akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan.

2. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan dibangun oleh para siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya.

3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung model-model itu.

4. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masing-masing konsep materi, sehingga guru dalam mengajar bukannya menguliahi, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa, tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan

5. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa atau peserta didik.

6. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 7. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar

yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa atau peserta didik.24

Kemudian, yang menjadi faktor pendukung model pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman yang memadai tentang teori kependidikan.

2. Tuntutan kultur masyarakat modern terhadap perubahan paradigma

24

(26)

pendidikan.

3. Sumber-sumber yang melimpah melalui teknologi informasi. 4. Perencanaan yang baik dalam pengelolaan pendidikan. 5. Kebijakan otoritas pendidikan.25

G. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat

Anak Didik

1. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar

Dalam hal belajar, konstruktivisme memiliki pandangan-pandangan sebagai berikut:

a. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. b. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit,

aktifitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi.

c. Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif dalam menginterpretasikannya.

d. Akal (mind) berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau yang ada dalam dunia nyata sehingga hasilnya bersifat unik dan individualistik26

Menurut kaum konstruktivisme, belajar adalah merupakan proses aktif siswa atau pelajar dalam mengkonstruk arti baik itu teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar merupakan proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari denga pengertian yang sudah dimengerti seseorang, sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:

1. Belajar berarti membentuk atau mengkonstruk makna. Makna diciptakan

25

Syarif Mughni, Makalah tentang Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivisme dan Kontekstual; Sebuah Refleksi dalam Upaya Membangun Citra Madrasah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26

(27)

siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruk arti itu dipengaruhi dari apa yang telah mereka alami.

2. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan konstruksi, baik secara kuat, maupun lemah.

3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan itu sendiri, suatu pengembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Proses belajar yang terjadi pada saat skema seseorang mengalami keraguan yang merangsang pemikiran seseorang yang lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequibrium) adalah situasi yang baik untuk mengacu belajar.

5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman pengajar dunia fisik dan lingkungannya.

6. Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah ia ketahui seperti konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.27

Proses pembelajaran dalam konstruktivisme menggunakan strategi-strategi yang tepat untuk efektifitas kegiatan tersebut. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam pembelajaran, strategi belajar merupakan bagian yang penting yang harus diperhatikan. Apabila salah strategi, maka proses belajarpun akan kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dipilih strategi yang tepat dalam proses pembelajaran. Dalam konstruktivisme, ada delapan strategi yang harus diperhatikan, strategi-strategi itu adalah sebagai berikut:

1. Penyajian isi (content) menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna (transfer of learning) dan mengikuti urutan dari keseluruhan kepada bagian-bagian atau dari yang sifatnya general kepada yang sifatnya spesifik.

2. Pembelajaran lebih banyak difokuskan untuk melayani pertanyaan atau pandangan siswa atau si-belajar.

27

(28)

3. Aktifitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

4. Pembelajaran berorientasi dan lebih menekankan pada proses.

5. Evaluasi menekankan pada penyusunan secara aktif yang melibatkan integrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata.

6. Evaluasi yang menggali dan menimbulkan munculnya berfikir devergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban yang benar.

7. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktifitas belajar bermakna serta menerapkan yang dipelajari dalam konteks nyata.

8. Evaluasi juga menekankan pada proses belajar kelompok.28

Kemudian salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivistik ialah penggunaan siklus belajar. Ada tiga macam siklus belajar, yaitu deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif yang menunjukkan suatu kontinum dari sains deskriptif ke sains eksperimental.

Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi). Sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi (misalnya mengendalikan variable, penalaran korelasional, penalaran hipotesis-deduktif). Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediet, menghendaki pola-pola penelaran deskriptif, tetapi pada umumnya melibatkan pula pola-pola tingkat tinggi. Ketiga siklus belajar yang telah diuraikan di atas, tidak sama efektifnya dalam menimbulkan disekuilibrium, argumentasi dan penggunaan pola-pola menalar untuk menyelami konsepsi-konsepsi atau miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat pada para siswa.

Dalam siklus belajar deskriptif para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksploration); guru memberi nama pada pola itu (pengenalan istilah atau konsep); kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa

28

(29)

usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka. Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, Apa?, tetapi tidak menimbulkan pertanyaan, Mengapa?

Dalam siklus belajar empiris-induktif para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentrasfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini (pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru, atau kedua-duanya. Dalam bimbingan guru para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek (cocok) dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep). Dengan perkataan lain, pengamatan-pengamatan yang dilakukan secara deskriptif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih lanjut, yaitu mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Karena itu diberi nama empiris-induktif.

Bentuk siklus belajar yang ketiga, yaitu hipotesis-deduktif, dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedang yang lainnya diterima, dan konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan, dapat diterapkan pada situasi-situasi lain di kemudian hari (aplikasi konsep). Merumuskan hipotesis-hipotesis memalui deduksi logis dengan hasil empiris, diperlukan dalam siklus belajar ini, karena itu diberi nama hipotesis-deduktif.

(30)

mampu mengemukakan konsepsi atau gagasan yang sudah mereka miliki dan menguji serta mendiskusikan gagasan-gagasan tersebut secara terbuka.29

2. Makna Mengajar dalam Perspektif Konstruktivisme

Bagi kaum konstruktivisme mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan sesuatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya sendiri. Mengajar berarti partisipasi pelajar dalam membentuk pengetahuannya sendiri, membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar itu sendiri.30

Menurut Piaget sebagaimana dikutip oleh Ratna Wilis Dahar, berpendapat bahwa dalam mengajar, seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan demikian mengajar dianggap bukan sebagai proses di mana gagasan-gagasan guru dipindahkan kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan si anak yang sudah ada yang mungkin keliru atau bahkan “salah”.31

Dalam pengajaran, berdasarkan model konstruktivisme terdapat lima tahap pengajaran, yaitu sebagai berikut:32

No. Tahap Tujuan Kaidah

1 Orientasi Menimbulkan minat dan menyediakan suasana

Lakukan penyelesaian masalah secara benar, guru menunjukkan caranya, tayangan film, video dan surat kabar 2 Pencetusan

gagasan

Supaya murid dan guru paham tentang idea

lakukan diskusi dalam kumpulan kecil,

29

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), Cet. II, h. 167 30

http://www.depdiknas.go.id 31

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori ..., h. 167

32

www.teachersrock.net/Ciri

(31)

terdahulu pemetaan konsep dan laporan

3 Penentuan gagasan awal

i. Pernjelasan dan pertukaran

ii.Penghadapan pada situasi konflik

iii. Pembinaan gagasan baru

iv. Penilaian

Mewujudkan kesadaran tentang gagasan

alternatif yang berbentuk ilmiah. Menyadari bahwa gagasan-gagasan yang ada perlu disesuaikan, dikembangkan atau diganti dengan gagasan yang lebih ilmiah.

Mengenal pasti gagasan-gagasan alternatif dan memeriksa secara kritis gagasan-gagasan yang ada dan menguji validitas gagasan-gagasan yang ada

Penyesuaian,

pemgembangan atau penukaran gagasan

Menguji validitas untuk gagasan-gagasan baru yang dibina

diskusi dalam kumpulan kecil dan membuat laporan

Perbincangan, pembacaan, msukan guru.

Melakukan kerja proyek, eksperimen, guru

menunjukkan cara

(32)

gagasan gagasan yang telah dibina dalam situasi baru dan biasa

proyek

5 Perenungan kembali

Menyadari tentang perubahan gagasan siswa. Siswa dapat membuat refleksi sejauh manakah gagasan awal mereka telah berubah

Penulisan kendiri, perbincangan kesimpulan, catatan peribadi dan lain-lain.

3. Hakikat Anak (Siswa) dalam Perspektif Konstruktivisme

Banyak sekali teori-teori belajar yang ada, dan salah satu yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor, anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

(33)

perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keketidak-seimbangan.

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:

1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, melainkan memiliki tujuan

2. Belajar mempertimbangkan optimalisasi proses keterlibatan siswa.

3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal.

4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.

5. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.33

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara.

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut ini ada tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga

33

(34)

disebut sebagai tahap perkembagan mental. Ruseffendi mengemukakan sebagai berikut:

1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama.

2. Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan

3. Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).34

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky dijelaskan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.35

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak, Poedjiadi berpendapat sebagai berikut:

1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah

34

http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/Konstruktivisme.htm 35

(35)

dalam kehidupan sehari-hari, dan

3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.36

Untuk mencapai tujuan dari pendekatan konstruktivisme itu sindiri, maka dalam peroses pembelajaran, seorang murid sejatinya memiliki peran-peran yang semestinya dilakukan. Peran-peran iutu adalah sebagai berikut:

4. Pelajar membangun sendiri pengetahuannya, dengan cara mencari sendiri arti dari yang mereka pelajari.

5. Pelajar sendirilah yang bertanggungjawab atas hasil lpelajarannya.

6. Pelajar harus menggabungkan pengertian yang lama dengan pengertian yang baru.

7. Pelajar harus membuat penalaran dari apa yang mereka ketahui dengan apa yang mereka perlukan dengan pengalaman yang baru.

8. Setiap pelajar diharapkan mengerti akan kekhasannya sendiri, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu.

9. Pelajar harus menemukan sendiri cara belajar yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang berbeda dengan teman yang lain, sehingga dimungkinkan menggunakan bermacam-macam cara yang cocok dengan kekhasannya itu.37

H. Ayat al-Qur’an tentang Konstruktivisme

Pada dasarnya praktik pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme sudah ada sejak lama, yakni dari zaman nabi Adam as.. akan tetapi dalam al-Qur’an tercatat bahwa proses itu secara gamblag dijelaskan dalam surat al-An’am ayat 76-79 yang menceritakan tentang proses pencarian nabi Ibrahim akan Tuhannya. Ayat dimaksud adalah sebagai berikut:

36

http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/Pembelajaran%20Matematika%20Menurut%20 Teori%20Belajar%20Konstruktivisme.htm

37

(36)

 ☺

⌧ ⌧

⌧ ☺

☺ ☺

⌧ ☺

☺ ⌧

⌧ ☺

⌦ ☺

(37)

BAB III

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH

A. Pendidikan Agama Islam

Secara umum pendidikan agama Islam memiliki makna sebagai upaya sadar dan terencana yang dilakukan peserta didik dalam rangka mempersiapkan peserta untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.38 Dan dalam kurikulum pendidikan agama Islam ditambahkan dengan “dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujudlah kesatuan dan persatuan bangsa.”

Sedangkan menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama Islam memiliki definisi sebagai berikut:

Suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.

Pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyikininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat kelak.39

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah ialah segenap usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik di sekolah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik menjadi

38 Abdul Majid, S. Ag. dan Dian Andiani, S. Pd., Pendidikan Gama Islam Berbasis

Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 132

39

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VI, h. 86

(38)

insan yang dapat mengetahui, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh dan dengan penuh kesadaran.

Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak yang dicapai.

2. Murid yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam.

3. Guru pendidikan agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.

4. Pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat berbangsa dan bernegara.40

B. Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme

Islam sebagai sebuah ajaran dan sekaligus agama sangat

apresiatif dengan akal manusia. Bahkan Islam mengakui akal manusia

sebagai salah satu sumber atau sarana untuk mendapatkan pengetahuan.

Tetapi sebagai indera, akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan,

40

(39)

sehingga membutuhkan bantuan. Jadi, indera dan akal diakui sebagai

sumber atau sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi keduanya

tidak bisa dimutlakkan. Keduanya tidak bisa diharapkan mampu

memecahkan seluruh persoalan yang hadapi manusia. Karena kondisi

keduanya yang serba terbatas itulah, akhirnya ilmu dalam Islam dirancang

dan dibangun disamping melalui kedua sumber tersebut juga berdasarkan

kekuatan spiritual yang bersumber dari Allah SWT. berupa wahyu.41

Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah

memuat materi yang bersumber dari ketiga hal tersebut, yakni akal,

indera, dan wahyu. Dalam konteks konstruktivisme, materi pendidikan

agama Islam yang memiliki karakteristik akliyah dan indrawi secara penuh

dapat digunakan, sedangkan yang bersifat transenden (wahyu) secara

penuh tidak dapat digunakan dalam pendekatan konstruktivisme. Hanya

pada hal-hal yang bersifat kontekstual saja pendekatan tersebut dapat

digunakan, sedangkan hal-hal yang bersifat literal-tekstual dan ritual, tidak

dapat digunakan.

Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, berikut

disebutkan kemapuan dasar mata pelajaran pendidikan agama Islam

dalam kurikulum 2004. penjabarannya adalah sebagai berikut:

41

(40)

Beriman kepada Allah SWT. dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal.

Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat

al-Qur’an serta mengetahui hokum bacaannya dan mampu

mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunah.

Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat dan tabi’in serta mampu mengambil hikmah dari sejaran perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan.

Mampu mengamalkan system muamalat Islam dalam tata

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.42

Dari penjabaran di atas, kita dapat melihat beberapa kemampuan

yang harus dicapai oleh siswa setelah melalui proses pembelajaran.

Dalam kaitannya dengan pendekatan konstruktivisme, maka kita harus

mengidentifikasi materi pendidikan agama Islam di sekolah yang dapat

digunakan dalam pendektan tersebut dan mana yang tidak dapar

digunakan pendekatan tersebut.

Dalam hal-hal itulah, seorang guru berperan utama sebagai

mediator dan fasilitator kepada para siswa dalam usahanya mengkonstruk

pengetahuan atau pemahamannya dari ajaran-ajaran atau konsep-konsep

42

(41)

agama yang disediakan di sekolah untuk mendapat kan konstruksi

nilai-nilai religius yang dapat dijadikan referensi untuk menjalankan ajaran

agama secara kaffah (holistik).

C. Materi Pendidikan Agama di Sekolah

Materi pendidikan agama Islam di sekolah merupakan integrasi dari materi-materi atau beberapa mata pelajaran yang berdiri sendiri yang terdapat di madrasah. Jika di madrasah terdapat bagian-bagian materi yang terpisah antara satu dengan yang lainnya dan tiap-tiap bagian merupakan suatu kajian yang khusus yang menjadi suatu mata pelajaran, maka di sekolah materi-materi tersebut dilebur menjadi satu dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam.

Mata pelajaran yang diajarkan di madrasah adalah fiqh, akidah akhlak, sejarah kebudayaan Islam, dan Qur’an hadits. Sedangkan di sekolah, materi-materi yang berkaitan dengan agama diintegrasikan menjadi satu bidang studi dan diajarkan dengan alokasi waktu resmi dua jam perminggu.

(42)

Hadits, maka pendidikan agama Islam sudah berubah lagi wajahnya menjadi sangat teknis43 dan kontekstual.

Secara lebih rinci, materi mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dapat diuraikan menjadi bagian-bagian sebagi berikut:

1. Akidah/keimanan

Akidah atau keimanan memiliki makna yaitu, secara etimologi berarti ikatan, sangkutan. Sedangkan secara terminologi akidah berarti iman, keyakinan. Karena itu akidah selalu berhubungan dengan rukun iman yang enam, yakni iman kepada Allah SWT.; iman kepada para malaikat; iman kepada kitab-kitab Allah; iman kepada para rasul-rasul Allah; iman kepada hari kiamat; dan iman kepada Qadha dan Qadar.44 Ilmu yang membahas tentang akidah secara khusus dibahas dalam disiplin ilmu kalam (ilmu tauhid, ushuluddin), atau dalam bahasa ilmiah disebut dengan teologi. Pembahasan mengenai aqidah atau keimanan ini memiliki karakteristik dogmatik doktriner.

Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal dokmatik-doktriner adalah sebagai berikut:

a. Sekolah dasar45

Kelas Materi

Kelas I Hafal enam rukun iman Dua kalimat syahadat

Kelas II Lima Asmaul Husna Arti Asmaul Husna Kelas III --

43

A. Syafi’I, Makalah tentang Implementasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI); Suatu Kajian Awal, dipresentasikan pada seminar Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

44 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 134

45

(43)

Kelas IV Sepuluh sifat-sifat wajib bagi Allah Nama-nama malaikat serta tugas-tugasnya

Kelas V

Nama-nama kitab suci Allah serta nama-nama rasul yang menerimanya

Nama-nama Rasul Allah SWT. Nama-nama rasul ulul azmi Membedakan antara nabi dan rasul

Kelas VI Iman kepada hari akhir

Iman kepada qadha dan qadhar

b. Sekolah Menengah Pertama46

Kelas Materi

Kelas VII

Iman kepada Allah SWT.

lima Asmaul Husna (Azas, Wahhab, al-Fattah, al-Qayyum, dan al-Hadi)

Iman kepada malaikat

Kelas VIII Iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Iman kepada Rasul Allah SWT.

Kelas IX

Iman kepada hari akhir

Beberapa hal yang berkaitan dengan hari akhir Adanya pembalasan amal baik dan buruk

c. Sekolah Menengah Atas47

Kelas Materi

Kelas X

Iman kepada Allah SWT. Sifat-sifat Allah SWT.

Asmaul Husna (al’Adlu, Ghaffar, Hakim,

46 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs., (Jakarta:

Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003) / http://www.puskur.net/inc/smp/PendidikanAgamaIslam.pdf 47

(44)

Malik, al-Hasib) Iman kepada malaikat

Kelas XI

Fungsi iman kepada rasul-rasul Allah SWT. Dalil naqli dan aqli tentang fingsi iman kepada rasul-rasul Allah

Tanda-tanda penghayatan terhadap fungsi iman kepada rasul-rasul Allah SWT. dalam kehidupan sehari-hari

Iman kepada kitab-kitab Allah SWT.

Kelas XII

Iman kepada hari akhir Dalil naqli tentang hari akhir Iman kepada qadha dan qadhar

Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang sifat-sifat Allah. Dalam pembahasan ini seorang guru hendaknya memediasi siswa untuk mengkonstruk pemahamannya akan hikmah mengetahui sifat-sifat Allah, yakni menjadikan akhlak Allah sebagai cerminan dari akhlak manusia. Contohnya Allah Maha Pengasih, maka manusia hendaknya harus dapat saling berbagi dengan manusia yang lainnya.

2. Akhlak

Akhlak adalah sikap yang menimbulkan kelakuan baik atau buruk.

Berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, budi

pekerti. Kata khuluk berkaitan dengan kata khalik dan makhluk yang

memiliki makna bahwa, perbuatan dan sikap manusia memiliki hubungan

dengan Tuhan sebagai pencipta (khalik) dan dengan sesama ciptaan

(45)

tumbuhan, dan alam lain yang menjadi ciptaan Tuhan.48 Ilmu yang

membahas akhlak menusia kepada Allah disebut ilmu tasawuf dan ilmu

yang membahas akhlak manusia dengan manusia dan alam di sebut

dengan ilmi akhlak. Pembahasan akhlak ini memiliki karakteristik normatif.

Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan

agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang.

Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan

dengan hal normatif adalah sebagai berikut:

a. Sekolah dasar49

Kelas Materi

Kelas I

Hidup bersih, jujur, kasih saying Dermawan, rajin

Adab belajar, adab makan dan minum Adab sebelum dan sesudah tidur

Kelas II

Berprilaku rendah hati, sederhana, dan hormat kepada orang tua

Adab mandi dan buang air

Kisah Nabi Adam AS. Dan Nabi Muhammad SAW.

Kelas III Sikap percaya diri, tekun, dan hemat.

Kelas IV

Kisah Nabi Ibrahim AS. dan puteranya Nabi Ismail AS.

Sikap hormat dan santun kepada guru Sikap hormat dan santun kepada tetangga. Kelas V Kisah Nabi Ayub AS. ketika menderita sakit

48

Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama...h. 135 49

(46)

Sikap disiplin dan tolong menolong Menghindari perilaku mencuri Menghindari sikap lalai.

Kelas VI

Pengertian dan contoh-contoh tanggungjawab Kisah Nabi Musa AS.

Kisah Nabi Isa AS.

Ajaran Islam tentang silaturahmi

b. Sekolah Menengah Pertama50

Kelas Materi

Kelas VII

Berhati lembut, setia, kerja keras, tekun, dan ulet Sabar dan tawakkal

Hasad, suudzan, khianat dan jubun.

Kelas VIII

Tata cara bergaul dengan orang tua, guru, yang lebih tua, teman sebaya, dan lawan jenis Sifat egois dan pemarah

Sifat dendam dan munafik Tata karma dalam kehidupan

Kelas IX

Qana’ah dan toleransi Peduli terhadap lingkungan Takabbur (sombong)

Minuman keras (khamar, narkoba dan sejenisnya

c. Sekolah Menengah Atas51

50

(47)

Kelas Materi

Kelas X

Husnuzhzhan kepada Allah SWT. Akhlak karimah terhadap diri sendiri Akhlak karimah terhadap lingkungan Hasad, riya dan aniaya

Kelas XI

Taubat kepada Allah SWT.

Raja’ (mengharap keridhaan Allah SWT.) Ajaran tentang larangan perilaku tercela Ajaran tentang tolong menolong

Ajaran tentang menghargai karya orang lain.

Kelas XII

Ajaran tentang perilaku terpuji

Riddah, israf, ghibah, mengadu domba dan fitnah Ajaran tentang tasamuh

Pandangan Islam tentang ilmu

Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang sifat-sifat terpuji dan tercela. Seorang guru hendaknya

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor Yang Mendukung Upaya Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Membentuk Kepribadian Siswa di MTsN Malang 1 adalah: 1 Adanya pembelajaran pendidikan Agama Islam di madrasah;

Dengan judul skripsi Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga Perspektif Ahmad Tafsir, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam

Berkaitan dengan hak asasi manusia, terdapat dua pandangan yang berbeda tentang larangan perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam: Pertama, kelompok yang

1. Model-model Pendekatan Agama dalam proses mediasi terhadap perkara perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten Malang. Tugas utama seorang mediator adalah mendamaikan para

Amin Abdullah menggarisbawahi lima tugas utama pendidikan (agama) Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), dalam menghadapi keragaman agama, yaitu

Jika kita menganut pluralisme agama dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap

pendidikan agama Islam dalam membentuk sikap religius siswa, dengan mendeskripsikan nilai-nilai religius yang ditanamkan guru pendidikan. agama Islam kepada siswa, dengan

strategi yang digunakan guru pendidikan agama Islam tersebut dengan cara. bagaimana strategi guru pendidikan agama Islam dalam membentuk