• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Pendidikan Al- Qur’an Bagi Anak Balita

0. Kedudukan Anak dalam Al-Qur’an

Mempunyai anak-anak yang sholih adalah dambaan dan kebanggaan setiap orang tua. Mereka adalah buah hati, pelipur lara, penerus cita-cita orang tuanya. Namun tidak dipungkiri kenyataan hidup di dunia ini bahwa ada juga anak-anak yang malah membuat orang tuanya sengsara karena perbuatannya.

Di dalam Al-Qur’an, kedudukan anak ada empat (Haidaravisina52.blogspot.co.id/210401204 -macam-kedudukan-anak-menurut-alquran.html?m=0), yaitu:

a. Dalam QS Al-Anfaal 8: 28

ٌمْيِظَعٌرْجَا ُهَدْنِع َالله َّنَاَّو ٌةَنْتِف ْمُكُدَلاْوَاَو ْمُكَلاَوْمِا آَمَّنَا آْوُمَلْعاَو

Artinya: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Sebagai Fitnatun (fitnah/cobaan). Fitnah yang dapat terjadi pada orang tua adalah manakala anak-anak yanng terlibat dalam perbuatan negatif. Seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, minum-minuman keras dan lalin-lain yang membuat susah dan resah orang tuanya. b. Dalam QS Al-Kahfi 08: 42

َّو اًباَوَث َكِّبَر َدْنِع ٌريَخ ُتَحِلَّصلا ُتَيِقَبْلاَو اَيْنُّدلاِةوَيَحْلا ُةَنْيِز َنْوُنَبْلاَو ُلاَمْلا

ًلََمَاٌرْيَخ

Artinya: ”Harta dan anak-anak adalah perhisan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

Sebagai ziinatun (hiasan untuk kedua orang tuanya). Perhiasan yang dimaksud adalah bahwa orang tua merasa sangat senang dan bangga dengan berbagai prestasi yang diperoleh oleh anak-anaknya, sehingga diapun akan terbawa baik namanya di depan masyarakat.

24

c. Dalam QS Al-Furqan 25: 74

َنْيِقَّتُمْلِل اَنْلَعْجَّو نُيْعَا َةَّرُق اَنِتَّيِّرُذَو اَنِجاَوْزَا ْنِم اَنَل ْبَه اَنَّبر َنْوُلْوُقَي َنْيِذَّلاَو

اًماَمِا

Artinya: “Dan orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami anugerahkan

lah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Sebagai Qurrata A’yun (penyejuk hati kedua orang tuanya). Kedudukan anak yang terbaik adalah manakala anak menyenangkan hati dan menyejukkan mata kedua orang tuanya. Mereka adalah anak-anak yang apabila disuruh untuk beribadah, seperti shalat, mereka segera melaksanakannya dengan suka cita. Apabila diperintahkan belajar, mereka segera menaatinya. Mereka juga anak-anak yang baik budi pekerti dan akhlaknya, ucapannya santun dan tingkah lakunya sangat sopan serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

d. Dalam QS At-Taghabun 24: 04

ْنِم َّنِا آوُنَمَا َنْيِذَّلا اَهُّيآَي

مُه ْوُرَذْح اَف ْمُكَل اً وُدَع ْمُكِدَلاْوَاَو ْمُكِجاَوْزَا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berati-hatilah kamu terhadap mereka...”

Sebagai ‘aduwwun (musuh orang tuanya). Yang dimaksud anak sebagai musuh adalah apabila ada anak yang menjerumuskan orang tuanya

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya orang tua diperkarakan oleh anaknya akibat perebutan harta warisan, anak yang menuntut hal berlebihan diluar kesanggupan orang tuanya bahkan sampai membunuh na’udzubillah.

Mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan

penidikan anak, secara etimologi (bahasa) ditemukan enam macam ungkapan dalam menyebutkan anak, yaitu: al-awlad, al-banun, al-atfal, al-ghiman, al-ghulam dan al-wildan. Dua istilah yang pertama memiliki konotasi makna yang berlawanan; al-awlad berkonotasi makna negatif dan al-banun berkonotasi positif, sehingga memiliki implikasi tersendiri dalam pendidikan anak.

Pertama: istilah al-awlad, biasanya dikaitkan dengan konotasi makna yang pesimis, sehingga anak memerlukan perhatian khusus dalam hal penjagaan, perhatian dan pendidikan. Atyat-ayat tersebut misalnya:

لآَو ْمُهُلاَوْمَأ َكْبِجْعُت َلََف

اَيْنُّدلا ِةوَيَحْلا ىِف اَهِب مُهُبِّذَعُيِل ُالله ُدْيِرُي اَمَّنِإ ْمُهُدَلْوَأ

َنْوُرِفَك ْمُهَو ْمُهُسُفْنَأ ُقَهْزَتَو

Artinya: “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesunggunya Allah SWT. menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (QS. At-Taubah: 55).

26

Ayat tersebut sebagai titik tolak untuk mencurahkan tenaga dan pikiran dalam rangka memperbaiki anak melalui pendidikan, seingga mereka dapat menjadi perantara (wasilah) untuk memperdekat kepada Allah swt, bukan seballiknya menjadi bencana khususnya bagi orang tua, dan umumnya bagi masyarakat.

Kedua, ayat-ayat dengan ungkapan al-banun yang mengandung arti/pemahaman optimis, sehingga dapat menimbulkan kebanggaan dan ketentraman khusus dalam hati. diantaranya ayat berikut ini:

ًلََمَأ ٌرْيَخَو اًباَوَث َكِّبَر َدْنِع ٌرْيَخ ُتَيِقَبلاَو اَيْنُّدلا ِةوَيَحْلا ُةَنيِز َنْوُنَبْلاَو ُلاَمْلَا

Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang keka;l lagi saleh adalah lebi baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 42)

Berdasarkan ayat diatas, istilah al-awlad dan al-banun menandakan anak potensial menjadi impian yang menyenangkan, manakala diberi pendidikan dengan baik, dan sebaliknya akan menjadi mala petaka jika tidak dididik. Inilah kemungkinan yang ditimbulkan, yaitu rasa optimistis dan pesimistis. Hal ini juga membawa pada pemahaman bahwa manusia dilahirkan dengan fitrah dapat dididik yang juga berpotensi menjadi tidak terdidik karena diabaikan pendidikannya (Huda, 2111: 1).

6. Urgensi Pendidikan Al-Qur’an Bagi Anak Balita

Usia lahir sampai memasuki pendidikan dasar merupakan masa keemasan sekaligus masa kritis dalam tahapan kehidupan, yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Mansur, 2115: 08). Masa ini merupakan waktu yang tepat dalam menanamkan pendidikan agama, khususnya pendidikan Al-Qur’an.

Mendidik Al-Qur’an kepada anak sejak dini merupakan kewajiban

orang tua yang harus dipenuhi. Apalagi “belajar di waktu kecil laksana

melukis di atas batu dan belajar di waktu besar laksana melukis di atas

pasir”. Orang tualah yang mengukir anaknya sendiri dengan pendidikan itu. Masyarakat bila menyemarakan kegiatan pendidikan Al-Qur’an pada

anak-anak, mereka akan terhindar dari sikap tidak mengacuhkan, sikap meninggalkan, atau sikap membelakangi Al-Qur’an (Syarifuddin, 2114:

02).

Tersebut dalam Syarifuddin (2114: 20), Ibnu Khaldun menunjuk pentingnya menanamkan pendidikan Al-Qur’an kepada anak-anak ini. Menurutnya, pendidikan Al-Qur’an merupakan fondasi seluruh kurikulum

pendidikan di dunia islam, karena Al-Qur’an merupakan syiar agama yang

mampu menguatkan akidah dan mengokohkan keimanan (Mukadimah Ibnu Khaldun:420). Dengan menanamkan kecintaan anak teradap

Al-Qur’an sejak dini, maka kecintaan itu akan bersemi pada masa dewasanya kelak, mengalahkan kecintaan anak terhadap hal lain, karena masa kanak-kanak itulah masa pembentukan karakter yang utama. Anak ibaratnya

28

adalah imbalan yang masih polos dan putih. Bila sejak dini ditanamkan kecintaan terhadap Al-Qur’an maka benih-benih kecintaan itu akan membekas pada jiwanya dan kelak akan berpengaruh pada perilakunya sehari-hari, berbeda bila kecintaan itu ditanamkan secara terlambat di masa dewasa.

Pada saat bayi dilahirkan sudah dibekali Tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya setelah pengaruh pendidikan di luar kandungan (Mansur, 2115: 17). Program pendidikan Al-Qur’an pada anak dengan demikian telah bisa dimulai sejak

usia balita, tepatnya sejak usia empat tahun. Pada usia itu diyakini anak telah siap menerima pendidikan Al-Qur’an. Sebelum usia 4-2 tahun pun, anak sebenarnya dapat dididik Al-Qur’an, hanya saja teknisnya informal, misalnya melalui aktivitas memperdengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, melatih mengeja huruf-huruf hijaiyah, serta kegiatan pramembaca lainnya kepada anak. Menurut para pakar psikologi pendidikan, menjelang usia dua tahun, anak mulai memiliki kemampuan mengenal nama benda-benda. Sementara sejak genap berusia dua tahun hingga tiga tahun anak telah memiliki kesiapan untuk membaca (Syrifuddin, 2114: 23). Dan perkembangan jiwa anak pada usia empat atau lima tahun ketika menginjak usia taman kanak-kanak, ia mulai gemar menghafal doa-doa pendek yang diajarkan oleh gurunya di sekolah atau keluarganya di rumah (Huda, 2111: 55).

Pada usia dini tersebut, anak mulai suka meniru apa yang dikatakan atau dilakukan orang tua. Itu adalah kesempatan yang baik untuk memperdengarkan bacaan Al-Qur’an dengan rutin dan melatih anak

mengeja huruf-huruf hijaiyah secara berulang-ulang, bacaan itu akan mudah dicerna dan diserap oleh otak si anak. Dari sini, bila bacaan dan materi Al-Qur’an disuguhkan kepada suatu generasi muda dengan benar,

maka sekitar dua puluh tahun kemudian akan lahir generasi yang qur’ani, yang elegan, bersahaja, dan progresif (Syarifuddin, 2114: 02).

Dalam Huda (2111: 27), secara spesifik Rasulullah saw menegaskan kewajiban mendidik Al-Qur’an teradap anak dalam haditsnya,

لاَصِخ ِث َلََث ىَلَع ْمُكَدَلاْوَأ اْوُبِّدَأ

:

ِنآْرُقْلا ِةَءارِق َو ِهِتْيَب ِل آ ِّبُح َو ْمُكِيِبَن ِّبُح

(

ىناربطلا هاور

)

Artinya: “Didiklah anak-anakmu dengan tiga perkara: mencintai Nabimu, mencintaai keluarga Nabi, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Thabarani).

Ringkasnya, Rasulullah saw. sangat memperhatikan pengajaran dasar-dasar iman, rukun islam, hukum Syari’at, cinta kepada Rasulullah saw., keluarganya, para sahabat dan pemimpin, serta Al-Qur’anul Karim

kepada anak sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terdidik dengan iman secara sempurna, aqidah yang mendalam, dan kecintaan kepada para sahabat yang mulia (Ulwan, 0180: 055)

31

Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai bimbingan dan pengarahan-pengarahan yang sifatnya mendidik didasari dengan nilai-nilai Al-Qur’an (Mansur, 2115:

038). Dengan mengajarkan Al-Qur’an termasuk kegiatan yang mulia karena menjadi bagian dalam meneladani karakter Allah SWT. Rasulullah memberikan perhatian dan penghargaan yang besar terhadap kegiatan mengajar dan mendidik Al-Qur’an, sebagaimana sabda belliau:

َمَّلَع َو َنآْرُقْلا َمَّلَعَت ْنَم ْمُكُرْيَخ

ُه

(

ىرخبلا هاور

)

Artinya: “Sebaik-baik kamu adalah orang yang belajar Al-Qur’an

dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) (Syarifuddin, 2114: 40).

Selain mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya, umat manusia juga disarankan untuk menghafal Al-Qur’an. Sebab dengan menghafal Al-Qur’an merupakan salah satu perbuatan yang sangat terpuji

dan mulia (Wahid, 2102: 044). Dengan mengajarkan al-Qur’an pada anak

berarti telah menanamkan pendidikan keimanan dalam hati anak, sehingga akan tumbuh menjadi mukmin yang taat. Termasuk dalam pendidikan keimanan adalah menciptakan suasana beribadah dalam keluarga, sehingga anak dapat mengenal Allah, mencintai Nabi-Nya, dan mencintai al-Qur’an

sebagai wahyu-Nya yang suci (Mustaqim, 2115: 12).

3. Proses Pendidikan Al-Qur’an

Al-Qur’an telah melakukan proses penting dalam pendidikan manusia sejak diturunkannya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad

SAW. Ayat-ayat tersebut mengajak seluruh manusia untuk meraih ilmu pengetahuan melalui pendidikan membaca (Syafri, 2104:57). Untuk itu, bagi anak yang masih usia balita sangat baik untuk diajarkan membaca, khususnya membaca Al-Qur’an. Karena, “membaca” dalam maknanya

adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi serta syarat utama membangun peradaban (Syarifuddin, 2114: 21). Nabi Muhammad pun memulai belajar dengan membaca, jadi membaca merupakan pembelajaran awal yang efektif dalam memulai proses pendidikan.

Anak usia dini mempunyai sifat suka meniru. Di sinilah peran orang tua untuk memberikan contoh yang baik bagi anak, misalnya mengajak anak untuk ikut berdoa, membaca surat-surat pendek Al-Qur’an

dan hadits-hadits pendek (Mansur, 2115: 51). Dalam hal ini bukan hanya orang tua yang berperan dalm memberi contoh yang dapat ditiru oleh anak, tetapi juga pendidik.

Sebagai sebuah proses, pendidikan akan mencapai hasil yang baik apabila dilakukan secara periodik dan berkesinambungan (Mustaqim,

2115: 21). Sehingga, hal terpenting dalam kegiatan membaca Al-Qur’an

ini adalah rutinitas atau keistiqamahan, yaitu membacanya sedikit demi sedikit tetapi dengan terus menerus. Seperti dalam pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit. Karenanya, hendaknya kita menumpahkan perhatian sepenuhnya kepada pengajaran Al-Qur’an kepada anak-anak kita, baik di tangan sendiri maupun oleh pengajar khusus di rumah, di

32

masjid, atau pusat-pusat pengajaran Al-Qur’an. Jika kita dapat melaksanakan tugas ini secara baik, berarti kita telah melaksanakan kewajiban terhadap anak-anak, mengikatnya dengan Al-Qur’an, terhadap mental dan spiritual, dibaca dan diamalkan ajarannya (Ulwan, 0180: 208).

Dalam proses pengajaran Al-Qur’an ini pula, sang anak akan merasakan pengaruh besar. Di mana proses penanaman ruh Al-Qur’an

berlangsung di dalam jiwanya. Secara tidak disadari, pola berpikir anak dan indra lainnya terarahkan pada pola yang terdapat dalam Al-Qur’an. Secara perlahan-lahan pula anak akan mulai terikat dengan segala apa yang tersirat dalam Al-Qur’an itu (Hafizh, 0117: 038).

4. Pentingnya mempelajari Al-Qur’an Menurut Para Ulama

Allah SWT. memberikan jaminan bahwa Al-Qur’an akan

senantiasa mudah dipelajari, tidak susah dan berat, apalagi utopis, asal ada kemauan, keseriusan, dan kesungguhan dalam mempelajarinya, meski asalnya berbahasa langit.

ِناَءْرُقْلا َنِم َرَّسَيَت اَم اوُءَرْقاَف

....

Artinya: “...Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari

Al-Qur’an...” (Al-Muzammil: 21)

Berkata Al-Hafizh As-Suyuti, “Pengajaran Al-Qur’an pada anak

merupakan dasar pendidikan Islam pertama yang harus diajarkan pertama kali padanya. Ketika anak masih berjalan pada fitrahnya selaku manusia suci tanpa dosa, merupakan lahan yang paling terbuka untuk mendapatkan

cahaya hikmah yang terpendam di dalam Al-Qur’an, sebelum hawa nafsu yang ada dalam diri anak mulai mempengaruhinya dan mengajaknya pada kesesatan dalam bentuk maksiat.”

Berkata pula Ibnu Sina di dalam kitabnya Al-Siyasah, “Apabila

anak telah mampu mengucapkan sesuatu atau meniru ucapan orang lain, dan dia sadar serta faham terhadap apa yang dia ucapkan, maka mulailah dia diajari membaca Al-Qur’an dan pengetahuan tentang agama.” (Hafizh,

0117: 038)

Berkata Ibrahim bin Sa’id Al-Jauhari, “Aku melihat seorang anak

berusia empat tahun yang dibawa ke majelis Al-Ma’mun, ia mampu menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan dan mampu mengutarakan

pandangan, padahal saat itu ia selalu menangis apabila merasakan lapar.” Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman Al -Asbahani berkata, “Aku telah menghafal Al-Qur’an pada usiaku yang

kelima. Dan aku pernah menemui Abu Bakar Al-Muqri untuk membacakan hafalanku ketika masih berusia empat tahun.” (Hafizh, 0117:

045)

Berkata Abu ‘Asim: “Aku pergi ke rumah Ibnu Juraij dengan

membawa anakku yang saat itu masih berusia tiga tahun agar ia dapat belajar Al-Qur’an dan hadis kepadanya. Aku mengatakan, ‘Tidak ada

masalah apabila seorang anak diajarkan Al-Qur’an dan hadis pada usia tiga

34

Sa’ad bin Abi Waqash ra. Berkata: “Kami mengajar anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah saw. sebagaimana kami mengajarkan surat Al-Qur’an kepada mereka.” Di dalam buku Ihya’u ‘Ulumi ‘d-din, Imam Al-Ghazali memberikan wasiat sebagai berikut: “Dengan

mengajarkan Al-Qur’anul Karim kepada anak, hadits-hadits akhbar, hikayat orang-orang baik, kemudian beberapa hukum agama.”

5. Metode pembelajaran Al-Qur’an

Salah satu metode agar diperoleh kemudahan dalam mempelajari Al-Qur’an adalah membaca berulang-ulang (muraja’ah), menyimaknya dari orang lain, dan bertadarus sedikit demi sedikit asal tekun dan rutin. Dalam mengajari anak dengan diulang-ulang. Pengulangan ini memiliki tujuan untuk mengingatkan dan menekankan pentingnya nilai-nilai yang dimaksud. Contoh lainnya adalah banyaknya kisah-kisah Nabi terdahulu, adanya dialog-dialog dalam sebuah ayat, dan lain sebagainya. Interaksi ini memperlihatkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan, namun di sisi lain merupakan bentuk proses pendidikan yang dilakukan Al-Qur’an untuk umat manusia. Al-Qur’an, meskipun bukan digolongkan buku ilmu pengetahuan, namun seluruh ayatnya memuat prinsip-prinsip pendidikan sebagai pegangan manusia untuk dipelajari. (Syafri, 2104:23)

Menurut Syarifudin (2114:80), prinsip pengajaran Al-Qur’an pada

dasarnya bisa dilakukan dengan berbagai metode. Diantara metode-metode itu ialah sebagai berikut:

a. Guru membaca terlebih dahulu, kemudian disusul anak atau murid. Dengan metode ini, guru dapat menerapkan cara membaca huruf dengan benar melalui lidahnya.

b. Murid membaca di depan guru, sedangkan guru menyimaknya. Metode

ini dikenal dengan metode sorogan atau ‘ardul qira’ah ‘setoran bacaan’. c. Guru mengulang-ulang bacaan, sedang anak atau murid menirukannya

kata per kata dan kalimat per kalimat juga secara berulang-ulang hingga terampil dan benar. Setelah itu, hafalan dilestarikan dengan mengulang-ulangnya secara rutin kapan dan dimana saja.

Dari ketiga metode ini yang paling cocok diterapkan kepada anak yang berusia balita adalah metode yang terakhir. Karena pada usia balita belum maksimal dalam melafalkan Al-Qur’an ketika membaca, tetapi dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an yang diperdengarkan berulang-ulang akan lebih mudah direkam di dalam otak dan anak bisa menghafalnya. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa awal ilmu adalah diam, kedua mendengar, ketiga mengafal, keempat berfikir, dan kelima mengucapkan. Proses menghafal dengan demikian sudah dapat dilakukan sebelum anak mengerti dan berpikir.

Mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak memerlukan pembekalan dalam bentuk perbuatan, agar mereka menyadari nilai yang terkandung pada sesuatu yang diajarkan kepada mereka. Pada saat yang sama, nilai-nilai itu akan senantiasa eksis dalam memori mereka (Riyadh,

36

Al-Qur’an harus mempelajari langkah-langkah yang benar, yang dapat membantu anak-anak untuk mencintai dan menghafalkan Al-Qur’an. Langkah-langkah tersebut antara lain seorang guru dapat bergaul dengan baik, lembut kepribadiannya, tegas dalam kelembutannya, mempunyai budi pekerti yang terpuji, berwawasan luas, dan mencintai pekerjaannya, untuk mentransfer rasa mencintai Al-Qur’an kepada muridnya (Riyadh,

2117: 70).

Pada fase ini kita dapat memotivasi anak dengan mengiming-imingi hadiah untuknya jika dia sukses dan berperilaku baik. Hadiah itu bisa berupa Al-Qur’an digital, sehingga dia dapat mengulang bacaan ayat Al-Qur’an minimal sekali setelah orang yang membaca ayat tersebut selesai membacakannya, atau berupa kaset Al-Qur’an yang dapat

mengajarkan Al-Qur’an secara lengkap, atau berupa CD tilawah

Al-Qur’an yang dipasang pada perangkat komputer, sehingga hadiah ini memungkinkan untuk mampu menghafalkan Al-Qur’an ((Riyadh, 2117:

12). Sering mendengarkan Al-Qur’an melalui kaset, CD, atau mendengarkan guru atau senior Anda yang fasih membaca Al-Qur’an akan mempengaruhi dan membantu Anda untuk mempercepat dalam menghafal Al-Qur’an. Sebab, apabila Anda sering mendengarkan Al-Qur’an lewat

kaset, CD, atau guru, otak Anda akan familier dengan ayat-ayat Al-Qur’an

(Wahid, 2102: 013).

Kiat-kiat yang perlu ditindaklanjuti pendidik agar anak balita mencintai dan menghafalkan Al-Qur’an antara lain:

a. Bersabar terhadap anak

Pendidik harus memiliki kesabaran dalam mengajari anak yang berada dalam usia 3-5 tahun ini, terlebih dalam mengajarkan

Al-Qur’an. Jika dalam usia ini anak tidak mau menghafal Al-Qur’an, maka pendidik harus membiarkannya, sampai anak itu benar-benar merasa siap untuk menghafal Al-Qur’an. Walau begitu, pendidik harus terus membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepadanya.

b. Menciptakan metode baru dalam memberikan pelajaran kepada anak. Metode yang baru harus diciptakan untuk memotivasi anak agar menghafal Al-Qur’anul Karim. Misalnya dengan memasukkan pembelajaran Al-Qur’an dalam permainan yang disukai anak.

c. Harus memperhatikan perbedaan-perbedaan pada diri anak.

Adanya perbedaan antar manusia, ini merupakan kebijaksanaan Allah. Perbedaan inilah yang menuntut seorang pendidik untuk dapat memahami kemampuan anak-anak, dan memperlakukan masing-masing mereka sesuai dengan kadar kemampuannya. Melalui cara inilah akan dapat dipetik hasil dari mempelajari Al-Qur’anul Karim. d. Menggunakan kisah-kisah Al-Qur’an

Mendengarkan kisah-kisah merupakan unsur yang sangat penting dalam usia 3-5 tahun ini. Oleh karena itu pendidik harus menyeleksi kisah-kisah Al-Qur’an yang sesuai dengan pemahaman dan nalar si anak tetapi dengan bahasa yang sesuai juga. Misalnya kisah tentara bergajah, kelahiran Nabi Muhammad, dan lain-lain.

38

e. Menggunakan beberapa slogan yang dapat memprogram anak-anak agar mencintai dan menghafalkan Al-Qur’an.

Dalam Wahid (2102: 011), penggunaan slogan yang dapat memprogram anak-anak agar mencintai dan menghafalkan Al-Qur’an

merupakan suatu hal yang mungkin dilakukan, seperti: a. Aku mencintai Al-Qur’anul Karim

b. Al-Qur’anul karim adalah firman Allah.

c. Allah mencintai orang yang mencintai Al-Qur’an

d. Aku suka mengafal Al-qur’an.

Tidak ada waktu lagi bagi orang tua dalam menanamkan kecintaan anak pada Al-Qur’an kalau tidak pada saat usia mereka masih

kecil. Pada saat kertas putih yang ada dalam jiwanya masih kosong belum terisi apa pun oleh pengaruh lingkungannya kelak, maka pendidikan Al-Qur’an ini yang merupakan sarana paling ideal dalam membentuk anak menjadi sosok manusia sempurna yang hidupnya selalu berlandaskan Al-Qur’an.

39

BAB III

PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Gambaran Umum Taman Pengasuhan Anak (TPA) Assalam

0. Sejarah Pendirian

Pada bulan Mei-Agustus 2110 Mustofa AY dan Tim Pembelajaran Al-Qur’an sejak Dalam Kandungan mengadakan

pembinaan ibu hamil di Kecamatan Ambarawa Kab. Semarang setiap hari selasa yang diikuti oleh 772 peserta. Dari kegiatan itu dibutuhkan sebuah pusat informasi dan pendidikan. Tempat inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal berdirinya Yayasan Assalam Bandungan.

Tanggal 31 Desember tahun 2110 dilaksanakan serah terima sebidang tanah dan rumah pusaka keluarga Mustofa AY kepada Yayasan

Dokumen terkait