• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pendidikan dan Pelatihan

Adanya definisi pendidikan dan pelatihan yang beragam dan variatif dari beberapa sumber atau pakar, hal ini disebabkan oleh latar belakang kepakaran seseorang maupun lingkungan lainnya. Pendidikan dan pelatihan merupakan suatu cara, seperti yang dikatakan oleh Irawan (2000:7) adalah cara yang mesti dilalui untuk mencapai suatu pengembangan. Pendidikan dan pelatihan dibutuhkan oleh setiap organisasi yang berubah, bertambah dan berkembang, yang menuntut berbagai penyesuaian dalam melaksanakannya. Kondisi inipun mengharuskan dilakukannya pendidikan dan pelatihan yang relevan, baik yang diselenggarakan sendiri maupun meminta bantuan pihak luar. Pendidikan dan pelatihan juga merupakan upaya. Pendidikan dan pelatihan adalah merupakan upaya untuk mengembangkan sumber daya manusia terutama untuk pengembangan aspek kemampuan intelektual dan kepribadian manusia.

Pengertian pendidikan dan pelatihan lebih rinci diungkapkan oleh Walker (1992:112) bahwa Training and education is the principle vehicle for developing skills and abilities of employees. It is also important as away to implement strategy

because it influences employees, value, attitudes, and practice; it is a primary communications vehicle controlled by management.

Arti pentingnya pendidikan dan pelatihan dikemukakan oleh Walker (1992: 112) sebagai berikut Training and education are central elements in the process of developing employees. Training in its myriad forms skill and obtain knowledge that will help then improve their performance and further the organizations goals. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan sarana untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pegawai untuk menyelesaikan tugasnya. Pendidikan ini juga penting sebagai cara untuk melaksanakan strategi karena pendidikan dan pelatihan akan mempengaruhi nilai pegawai, sikap dan praktek.

Untuk menilai mutu pendidikan dan pelatihan maka harus ditentukan tolok ukurnya, tolok ukur mutu pendidikan dan pelatihan dapat dinilai dari dua sisi, meliputi proses dan sisi produk (outcome) yang dihasilkan. Proses pendidikan dan pelatihan dikatakan berkualitas jika memiliki sumber daya manusia, dana sarana dan prasarana yang memadai, proses belajar mengajar yang berlangsung secara efektif dan peatihan mengalami proses pembelajaran yang bermakna. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan haruslah mencapai sasaran sesuai dengan apa yang diinginkan oleh organisasi, oleh karenanya identifikasi dan analisa kebutuhan pendidikan dan pelatihan (training needs assessment) haruslah dilakukan terlebih dahulu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan bertujuan untuk:

2. Menciptakan adanya pola pikir yang sama;

3. Menciptakan dan mengembangkan metode kerja yang lebih baik; 4. Membina karier pegawai negeri sipil.

Penggolongan pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 14 tahun 1994 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, meliputi :

1. Pendidikan dan pelatihan Pra Jabatan (Pre Service Training) adalah pelatihan yang diberikan kepada calon Pegawai Negeri Sipil sebagai persyaratan dalam pengangkatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Pendidikan dan pelatihan ini dimaksudkan untuk membentuk sikap mental, kesamaan fisik, disiplin memenuhi kebutuhan kemampuan, keahlian sehingga dapat terampil dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan.

2. Pendidikan dan pelatihan dalam jabatan (In Service Training) meliputi:

a. Pendidikan dan pelatihan struktural, adalah pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Pegawai Negeri Sipil sebagai prasyarat bagi yang akan diangkat dalam jabatan struktural.

b. Pendidikan dan pelatihan fungsional, merupakan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan untuk Pegawai Negeri Sipil sebagai persyaratan bagi yang akan diangkat dalam jabatan fungsional.

c. Pendidikan dan pelatihan teknis, adalah pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan untuk memberikan keterampilan atau penguasaan di bidang teknis tertentu kepada Pegawai Negeri Sipil.

Berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan dan latihan bagi Pegawai Negeri Sipil adalah untuk meningkatkan keterampilan atau pengetahuan sesuai dengan jenis pendidikan dan latihan yang diikutinya. Selain pendidikan dan pelatihan yang telah disebutkan diatas, dibutuhkan pula pendidikan dan pelatihan tambahan yang berbentuk penataran, up grading, kursus bahkan apabila dimungkinkan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan tugas belajar. Menurut Nawawi (1990:146) bahwa penyusunan rencana pendidikan dan pelatihan tambahan antara lain harus mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut:

1. Penetapan bidang kerja yang akan diraih harus difokuskan pada tugas pokok yang menyangkut langsung produktivitas organisasi kerja yang bersangkutan.

2. Menetapkan dan memilih personel yang akan dididik dan dilatih.

3. Menetapkan isi program latihan sesuai dengan keperluan untuk meningkatkan produktivitas kerja.

4. Memilih dan menetapkan personil pelatih, yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan isi program latihan yang telah direncanakan.

5. Menetapkan tempat latihan yang harus memperhatikan sarana atau fasilitas yang dapat dipergunakan.

6. Menetapkan waktu dan lamanya latihan akan dilaksanakan.

7. Memperhiungkan dana yang diperlukan dari yang dapat disediakan dan dari mana sumbernya.

Pengembangan sumber daya manusia dilakukan dengan mengikutsertakan pegawai suatu organisasi ke dalam program pendidikan dan pelatihan tidak hanya ditujukan peningkatan pengetahuan pendidikan sebagai sistem sendiri tetapi juga pengetahuan sumber daya manusia meliputi latihan kerja sebagai suatu kesatuan sistem yang menjadi titik sentral dalam proses pengembangan sumber daya manusia. Selanjutnya bahwa pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas atau kemampuan yang menyangkut kemampuan kerja, berfikir dan keterampilan maka upaya pendidikan dan keterampilan adalah yang paling diperlukan.

Moekijat (1991:7) membandingkan pendidikan dan pelatihan sebagai berikut pendidikan pada umumnya berkaitan dengan menyiapkan calon tenaga kerja yang diperlukan oleh suatu instansi atau organisasi sedang pelatihan berkaitan dengan peningkatan kemampuan atau keterampilan karyawan yang sudah menduduki suatu pekerjaan atau tugas tertentu. Dalam suatu pelatihan orientasi atau penekanannya pada tugas yang harus dilaksanakan (job orientation), sedang pendidikan lebih pada pengembangan kemampuan umum. Pelatihan pada umumnya menekankan pada kemampuan psikomotor meskipun didasari kemampuan dan sikap sedang dalam

pendidikan kedua area kemampuan tersebut (kognitif, psikomotorik) memperoleh perhatian seimbang.

Tujuan dari pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dalam suatu organisasi adalah:

1. Memelihara, meningkatkan kecakapan dan kemampuan dalam menjalankan tugas/pekerjaan baik pekerjaan lama maupun baru dari segi peralatan maupun metode.

2. Menyalurkan keinginan pegawai untuk maju dari segi kemampuan dan memberikan rasa kebanggaan terhadap mereka.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut atau dengan kata lain bahwa pendidikan dan pelatihan itu efektif maka diperlukan pula program pendidikan dan pelatihan yang efektif dengan memposisikan kegiatan secara utuh dalam kerangka perencanaan manajemen strategis dan dilakukakan dengan tahapan-tahapan yang teratur.

Berbagai riset menunjukkan bahwa pelatihan yang efektif secara signifikan berpengaruh terhadap proses kerja yang luar biasa pesatnya. Studi yang dilakukan Tall & Hall seperti yang dikutip Irianto (2001:67) misalnya, menghasilkan kesimpulan bahwa dengan mengkombinasikan berbagai macam faktor teknik pelatihan yang benar, persiapan dan perencanaan yang matang, serta komitmen terhadap esensi pelatihan, organisasi dapat mencapai a greater competitive advantage di dalam persaingan pasar yang sangat ketat. Sekalipun demikian, penyelenggaraan pelatihan bagi peningkatan dan pengembangan kapabilitas sumber daya manusia acap

menghadapi berbagai kendala internal. Kendala ini pada akhirnya dapat menghilangkan makna program pelatihan itu sendiri sehinggaa organisasi tidak memiliki komitmen untuk memprogramnya. Ditambah pula, ada sejumlau persoalan yang dihadapi organisasi ketika mengadakan pelatihan yaitu masalah efektifitas. Untuk menyelenggarakan suatu kegiatan pelatihan sungguh dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Masalah inipun yang pada akhirnya dapat menjadi factor pertimbangan untuk menunda atau bahkan meniadakan program latihan.

Menurut Richardson, seperti yang dikutip oleh Irianto (2001:71) perencanaan strategi yang melibatkan pelatihan meliputi berbagai komponen yaitu: 1. Menentukan tingkat atau level skill karyawan sebagai user saat ini

2. Menyeleksi tempat yang paling fleksible dan menjadwalkan program secara tepat 3. Memilih dan menentukan metode pelatihan yang relevan

4. Mengumpulkan dan mengembangkan materi latihan 5. Mengevaluasi pelatihan.

Sementara itu, tingkatan keahlian (skill) perlu diidentifikasi untuk menentukan format utuh program latihan. Tingkatan skill tersebut dapat digolongkan ke dalam empat kategori, yaitu:

1. Basic Skills 2. Basic Job Skills 3. Interpersonal Skills

Berdasarkan identifikasi keempat macam tingkatan keahlian tersebut, format pelatihan dapat ditentukan apakah berorientasi pada fundamental knowledge untuk basic skills, skills development untuk basic job skills,ataukah operational proficiency untuk menunjang interpersonal skills dan broader based conceptual skills. Maka bila diamati sedemikian rupa kita menyadari bahwa peran pelatihan sangatlah penting bagi organisasi. Seperti yang dikemukakan oleh Irianto (2001:70) bahwa pelatihan pada dasarnya merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kompetensi.

Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengenai Pernyataan Standar Pemeriksaan diuraikan mengenai persyaratan pendidikan berkelanjutan yaitu :

06 Pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan menurut standar pemeriksaan harus memelihara kompetensinya melalui pendidikan profesional berkelanjutan. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan yang melaksanakan pemeriksaan menurut standar pemeriksaan, setiap 2 tahun harus menyelesaikan paling tidak 80 jam pendidikan yang secara langsung meningkatkan kecakapan profesional pemeriksa untuk melaksanakan pemeriksaan. Sedikitnya 24 jam dari 80 jam pendidikan tersebut harus dalam hal yang berhubungan langsung meningkatkan kecakapan profesional pemeriksa untuk melaksanakan pemeriksaan. Sedikitnya 24 jam dari 80 jam pendidikan tersebut harus dalam hal yang berhubungan langsung dengan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di lingkungan pemerintah atau lingkungan yang khusus dan unik dimana entitas yang diperiksa beroperasi.

07 Organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pemeriksa memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan tersebut dan harus menyelenggarakan dokumentasi tentang pendidikan yang sudah diselesaikan.

08 Pendidikan profesional berkelanjutan dimaksud dapat mencapai topik, seperti perkembangan mutakhir dalam metodologi dan standar pemeriksaan, prinsip akuntansi penilaian atas pengendalian intern, prinsip manajemen atau supervisi, pemeriksaan atas sistem informasi, sampling pemeriksaan,

analisis laporan keuangan, manajemen keuangan, statistik, disain evaluasi, dan analisis data. Pendidikan dimaksud dapat juga mencakup topik tentang pekerjaan pemeriksaan di lapangan, seperti administrasi negara, struktur dan kebijakan pemerintah, teknik industri, keuangan, ilmu ekonomi, ilmu sosial dan tekhnologi informasi.

09 Tenaga ahli intern dan ekstern yang membantu pelaksanaan tugas pemeriksaan menurut standar pemeriksaan harus memiliki kualifikasi atau sertifikasi yang diperlukan dan berkewajiban untuk memelihara kompetensi profesional dalam bidang keahlian mereka, tetapi tidak diharuskan untuk memenuhi persyaratan pendidikan berkelanjutan di atas. Akan tetapi, pemeriksaan yang menggunakan hasil pekerjaan tenaga ahli intern dan ekstern harus yakin bahwa tenaga ahli tersebut memenuhi kualifikasi dalam bidang keahlian mereka dan harus mendokumentasikan keyakinan tersebut. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 tanggal 31 Maret 2008 tentang standar audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah bentuk pendidikan berkelanjutan adalah pemeriksa harus mempunyai sertifikasi jabatan fungsional auditor (JFA), pemeriksa harus mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan dan pemeriksa wajib memiliki pengetahuan dan akses atas informasi teraktual dalam standar, metodologi, prosedur dan teknik pemeriksa. Adapun Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) auditor tersebut diklasifikasikan atas :

1. Diklat Pembentukan Auditor, yang terdiri dari : a. Diklat Pembentukan Auditor Terampil

b. Diklat Pembentukan Auditor Ahli

c. Diklat Pembentukan Auditor Ahli melalui Pindah Jalur 2. Diklat Penjenjangan Auditor

b. Diklat Penjenjangan Auditor Pengendali Teknis c. Diklat Penjenjangan Auditor Pengendali Mutu 3. Diklat Matrikulasi Auditor

a. Diklat Matrikulasi Auditor Ahli Anggota Tim b. Diklat Matrikulasi Auditor Ahli Ketua Tim

c. Diklat Matrikulasi Auditor Ahli Pengendali Teknis

Sejalan dengan hal itu, pada petunjuk teknis Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor : KEP-13.00.00-125/K/1997, setiap tambahan gelar/ijazah yang lebih tinggi yang menunjang tugas pokoknya dibidang pengawasan mendapat tambahan angka kredit yang pernah diberikan (ijazah lama) dengan angka kredit gelar/ijazah yang lebih tinggi tersebut. Angka kredit dapat dihitung sebagai berikut : a. Angka kredit ijazah D III = 50

b. Angka kredit S 1 = 75 c. Tambahan angka kredit = 25

Tambahan angka kredit sebagai unsur utama dapat diberikan apabila : a. Jurusan yang diambil ialah akuntansi atau manajemen

b. Ada ijin dari pejabat yang berwenang di bidang kepegawaian yaitu deputi bidang administrasi atau pejabat yang ditunjuk

Terhadap ijazah di luar akuntansi dan manajemen, meskipun ada ijin hanya diberikan angka kredit sebesar 5 sebagai unsur penunjang. Pada dasarnya setiap gelar kesarjanaan diakui angka kreditnya, tetapi untuk formasi jabatan fungsional auditor

gelar kesarjanaan yang memperoleh angka kredit dari unsur utama adalah untuk bidang akuntansi dan manajemen, sedangkan dibidang lainnya memperoleh angka kredit unsur penunjang.

Untuk auditor yang melanjutkan tingkat pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi maka setiap tambahan gelar/ijazah yang lebih tinggi yang menunjang tugas pokoknya dibidang pengawasan mendapat tambahan angka kredit yang ama yaitu sebesar selisih antara angka kredit yang pernah diberikan (ijazah lama) dengan angka kredit gelar/ijazah yang lebih tinggi tersebut.

2.6 Kinerja Auditor

Kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Hal ini sejalan dengan pandangan Amstrong (1998:397), Manajemen kinerja berarti mendapatkan hasil yang lebih baik dari organisasi, kelompok dan perorangan lewat pengertian dan pertimbangan yang terdiri dari pola rencana kerja untuk mewujudkan tujuan secara objektif dan sesuai dengan standar. Penjelasan dari definisi diatas bahwa kinerja merupakan suatu proses untuk pencapaian suatu hasil. Berbicara mengenai, kinerja personil erat kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang, sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau performance.

Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum

dan sesuai dengan moral maupun etika merupakan arti kinerja atau performance, hal ini diungkapkan Prawirosentoso dalam Kebijakan Kinerja Karyawan, (1997:186) yang mengartikan kinerja dalam bahasa Inggris sebagai performance.

Pengukuran harus diadakan dalam menentukan kinerja organisasi. Kinerja yang akan diukur adalah kinerja seluruh organisasi, kemudian unit-unit organisasi yang mendukungnya dan selanjutnya kinerja orang yang berperan di dalamnya. Jadi pokok utama yang harus dinilai kinerjanya adalah unsur manusia. Manusia merupakan salah satu sumber daya yang sangat berperan di dalam menentukan kinerja organisasi. Sehingga kinerja para pelaku organisasi harus dinilai.

Seorang pemimpin harus menentukan dasar ukuran untuk menilai.Oleh sebab itu maka seorang pemimpin harus menentukan standar ukurannya terlebih dahulu dengan cara sebagai berikut:

a. Menentukan sistem dan nilai standar.

b. Pelaksanaan dan pengawasan standar kinerja c. Ukuran kinerja perorangan

Penyusunan kinerja perorangan sebagai pelaku dalam organisasi diperlukan suatu standar ukuran kerja terlebih dahulu.Standar ukuran kinerja yang di buat harus sesuai dengan tujuan organisasi. Standar ukuran kinerja suatu organisasi harus diproyeksesikan ke dalam standar kinerja para pelaku dalam unit-unit kerja bersangkutan.

Setelah seluruh standar kinerja tersebut ditentukan, selanjutnya digunakan untuk dibandingkan dengan kinerja sebenarnya (actual performance). Evaluasi atas

kinerja harus dilakukan secara terus menerus agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif dan efisien. Indikator kinerja menurut Yousa dkk,(2002:47) adalah: ” Besaran atau variabel yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan” Selanjutnya menurut Kevin dalam Dwiyanto, (1995:7) mengatakan bahwa : ” Ada 3 konsep yang bisa di gunakan sebagai indikator kinerja organisasi pemerintah antara lain responsifenes,responsibility dan accontability”. Pengertian kinerja bukan hanya pada tataran keluaran (output) melainkan termasuk pula pada tataran nilai guna (outcome) dan dampak (impact) hal ini sejalan dengan pandangan Wasistino, (2002:51). Dari defenisi tersebut diatas dapat diketahui dengan jelas bahwa pengertian kinerja atau performance merupakan hasil atau apa yang keluar (output), guna (outcome) dan dampak (impact) dari sebuah pekerjaan baik secara kuantitas maupun kualitasnya setelah melalui proses.

2.7 Kualitas Auditor

Beberapa penulis memberikan pengertian mengenai auditing antara lain sebagai berikut :

Menurut Commitee of Auditing Consepts (2005), auditing adalah suatu proses sistemik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai suatu pernyataan tentang kegiatan atau kejadian ekonomis untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan, serta mengkonsumsikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Menurut Leo Herbert (2005) auditing adalah suatu proses kegiatan selain bertujuan untuk mendeteksi kecurangan atau penyelewengan dan memberikan simpulan atas

kewajaran penyajian akuntabilitas, juga menjamin ketaatan terhadap hukum, kebijaksanaan dan peraturan melalui pengujian apakah aktivitas organisasi dan program dikelola secara ekonomis, efisien dan effektif. Widagdo (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas auditor oleh Kantor Akuntan Publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 (dua belas) atribut yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1) Pengalaman melakukan audit, 2) Memahami industri klien, 3) Responsif atas kebutuhan klien, 4) Taat pada standar umum, 5) Independensi, 6) Sikap hati-hati, 7) Komitmen terhadap kualitas audit, 8) Keterlibatan pimpinan KAP, 9) Melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, 10) Keterlibatan komite audit, 11) Standar etika yang tinggi, dan 13) Tidak mudah percaya.

Hasil penelitian Widagdo (2002) menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) atribut kualitas auditor yang berpengaruh terhadap kepuasan klien antara lain pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit, dan keterlibatan komite audit. Sedangkan 5 (lima) atribut lainnya yaitu independensi, sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien.

Dokumen terkait