• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

3. Pendidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi dalam Dharma Kesuma dkk adalah, “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.”27

Definisi lainnya dikemukakan oleh Fakry Gaffar dalam Dharma Kesuma dkk: “Sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu.”28

Hal tersebut didukung pula oleh definisi yang dikemukakan oleh Agus Prasetyo dan Emusti Rivasintha dalam Syamsul Kurniawan yang mendefinisikan pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan YME, diri

27

Dharma Kesuma dkk, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011, hlm. 5.

28

sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan

kamil.29

b. Dimensi Pendidikan Karakter

Terdapat empat dimensi pendidikan karakter yang digunakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai dasar penguatan pendidikan di sekolah. Berikut adalah tabel mengenai keempat dimensi tersebut:30

Tabel 1. Dimensi Pendidikan Karakter

Olah pikir Cerdas (cerdas kata, angkah, cerdas gambar, musik, mengatur diri, berhubungan dengan orang lain, flora dan fauna, dan eksistensial), kritis (ingin tahu, reflektif, terbuka) kreatif (produktif, inovatif, dan ber-Iptek)

Olah rasa Ramah, apresiatif atau menghargai, suka penolong, sederhana, rendah hati, tidak sombong, bijak, pemaaf, mudah kerja sama, gotong royong, peduli, mengutamakan kepentingan umum, beradab, sopan santun, nasionalis

Olah hati Beragama, alim, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, integritas, loyal, tulus, ikhlas, empati, murah hati, berjiwa besar, teguh pendirian

Olah raga Disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, ceria, gigih, bekerja keras, berdaya saing.

29

Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi & Implementasinya secara Terpadu di Lngkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, & Masyarakat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013, hlm. 30.

30

Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar & Implementasi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hlm. 59.

Berdasarkan tabel di atas, kemudian dikembangkan lagi menjadi nilai-nilai karakter sebagai berikut:31

Tabel 2. Nilai-nilai Karakter

Nilai Deskripsi

Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan, orang lain yang berbeda dari dirinya.

Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

Rasa ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

Semangat kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Cinta tanah air Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

31

Nilai Deskripsi Menghargai

prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Bersahabat/

Komuniktif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja dengan orang lain.

Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

Gemar membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin member bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Nilai-nilai tersebut kemudian dikristalisasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang tertuang dalam Konsep Dasar Penguatan Pendidikan Karakter. Hasil pengristalisasian tersebut disebut sebagai nilai utama, diantaranya adalah, (1) Religius; (2) Nasionalis; (3) Mandiri; (4) Gotong royong; (5) Integritas.32

c. Nasionalisme, Patriotisme, dan Kejujuran 1) Nasionalisme

Menurut Hans Kohn, nasionalisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara

32

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Konsep Dasar Penguatan Pendidikan Karakter, hlm. 5.

kebangsaan.33 Di sisi lain menurut Muhammad Imarah dalam Aman, cinta tanah air atau nasionalisme adalah fitrah asli manusia dan sama dengan kehidupan, sedangkan kehilangan rasa cinta tanah air sama dengan kematian.34

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme berasal dari kata nasional dan isme yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki rasa kebangaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangsa.35

Nasionalisme dalam penelitian ini adalah sikap politik dan sikap sosial dari sekelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan yang ditandai dengan adanya suatu penghormatan kepada simbol-simbol negara, mecintai persatuan, kebhinekaan, dan tanah air.

2) Patriotisme

Patriotisme dilihat dari arti bahasanya yaitu yun = partris = tanah air, artinya rasa kecintaan dan kesetiaan seseorang pada tanah air, artinya rasa kecintaan dan kesetiaan seseorang pada tanah air dan bangsanya, kekaguman pada adat dan kebiasaannya, kebanggaan terhadap sejarah dan kebudayaannya serta sikap pengabdian demi kesejahteraannya.36

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), patriotisme adalah sikap seseorang yang bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan

33

Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlangga, 1984, hlm. 11.

34

Aman, Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah, Yogyakarta: Ombak, 2011, hlm. 38.

35

Retno Listyarti, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA dan MA Kelas X, Jakarta: Esis. 2007, hlm. 26-27.

36

kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air.37 Patriotisme mengandung arti sifat kepahlawanan atau jiwa kepahlawanan, yaitu suatu sikap yang berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara, pengorbanan tersebut menyangkut pengorbanan harta maupun jiwa raga.38

Patriotisme adalah suatu paham yang menunjuk pada suatu sikap untuk mencintai tanah air atau sikap yang rela berkorban demi kejayaan bangsa yang ditandai dengan rela berkorban, kesetiaan, dan bela negara.

3) Kejujuran

Menurut Dharma Kesuma dkk, jujur sebagai sebuah nilai merupakan keputusan seseorang untuk mengungkapkan (dalam bentuk perasaan, kata-kata dan/atau perbuatan) bahwa realitas yang ada tidak dimanipulasi dengan cara berbohong atau menipu orang lain untuk keuntungan dirinya. Kata jujur identik dengan “benar” yang lawan katanya adalah “bohong”. Makna jujur lebih dikorelasikan dengan kebaikan (kemaslahatan). Kemaslahatan memiliki makna kepentingan orang banyak, bukan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya, tetapi semua orang yang terlibat.39

Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain yang ditandai dengan sikap kepercayaan, tanggung jawab, keterbukaan, dan kesadaran.

37

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (daring), Republik Indonesia: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016.

38

Retno Listyarti, op. cit., hlm. 29.

39

Kodsinco dalam Muhammad Yaumi menguraikan beberapa hakikat dari kejujuran sebagai berikut:40

a) Ketika kita mengatakan yang benar, kita sedang melakukan kejujuran.

b) Kita melakukan kejujuran ketika kita bertindak sesuai dengan yang dipikirkan. c) Kita jujur ketika mengatakan yang benar sekalipun orang lain tidak setuju. d) Hiduplah setiap hari dengan kejujuran, Anda akan lebih berbahagia dan

membuat bahagia setiap orang di sekitar Anda.

4. Konstruktivisme

Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar.41 Demikian pula yang diungkapkan oleh von Glasersfeld dalam Paul Suparno bahwa pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita sendiri, maka konstruktivis menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang kepada yang lain karena setiap orang membangun pengetahuan pada dirinya.42

Konsep belajar konstruktivisme menurut Jean Piaget dalam Baharuddin dkk yaitu bahwa manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda.43 Pengalaman yang sama akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda yang kemudian pengalaman tersebut akan

40

Muhammad Yaumi, op. cit., Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hlm. 65-66.

41

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter: Konstruktiviisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm.161.

42

Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 20.

43

Baharuddin, dkk, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015, hlm. 166.

dihubungkan dengan kotak-kotak atau struktur pengetahuan dalam otak manusia.44

Aliran konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang, melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa.45

Peran guru pada pendekatan konstruktivisme ini lebih sebagai mediator dan fasilitator bagi siswa, yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini:46

a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya. Guru perlu menyemangati siswa dan menyediakan pengalaman konflik.

c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat diberlakukan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.

Berdasarkan penjelasan di atas, konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman. Pengalaman yang diperoleh tersebut kemudian dikonstruksi oleh siswa menjadi sebuah pengetahuan. Jadi proses pembelajaran dalam konstruktivisme bukanlah proses pemindahan pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri melalui pengalaman-pengalaman yang ia peroleh. Dalam proses pembelajaran seperti ini, peran guru tidak lagi dominan

44

Ibid., hlm. 166-167.

45

Abdul Kadir, dkk, Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2014, hlm. 130.

46

untuk memberikan pengetahuan, melainkan guru sebagai fasilitator dan mediator bagi siswa.