• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pendidikan Karakter

2.1.1.1Pengertian Pendidikan Karakter

Thomas Lickona dalam Wibowo mendefinisikan karakter merupakan sifat

alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral (2012: 32). Wynne

dalam Mulyasa (2011: 3) bahwa karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti

to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Pendapat yang sama

diungkapkan Samani&Heriyanto bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir

dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam

lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (2011: 41). Lebih lanjut, Hamid

Hasan mengungkapkan bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau

kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan

(Virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (2010: 3).

Berdasarkan pengertian mengenai karakter yang telah dikemukakan diatas,

maka dapat diambil kesimpulan bahwa karakter merupakan sifat/kepribadian yang

tampak dalam diri seseorang dan merupakan hasil dari sebuah proses

penginternalisasian nilai dalam pribadi orang tersebut. Karakter akan tampak dari

perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lingkup keluarga,

Karakter dalam diri seseorang tidak terbentuk secara instan. Seperti yang

diungkapkan oleh Samani dan Heriyanto bahwa karakter tidak diwariskan, tetapi

sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran

dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakkan (2012:41). Pendapat

yang sama diungkapkan oleh Ahmadi dan Munawar bahwa sifat-sifat itu bukan

bawaan lahir, tetapi diperoleh setelah lahir, yaitu hasil dari kebiasaan sejak dari

kecil atau sebagai hasil dari pengaruh pendidikan/lingkungan sejak kecil

(2005:159-160). Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa

karakter yang ada dalam diri seseorang bukan merupakan hal yang didapatkan

secara instan namun memerlukan sebuah pembiasaan yang dapat dilakukan

melalui pendidikan.

Koesoema berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan dinamika

pengembangan kemampuan yang berkesinambungan dalam diri manusia untuk

mengadakan internalisasi nilai-nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif, stabil

dalam diri individu (2007: 104). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Sri

Judiani bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan

nilai-nilai karakter pada peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan

karaktersebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan

dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis,

produktif dan kreatif (Zubaedi, 2011: 17).

Megawangi berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan sebuah

usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak

dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat

yang sama diungkapkan oleh Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin yang menyebutkan

bahwa:

Earliner we offered the image of character development as the engraving

upon oneself of one’s own moral essence, often with the help of others. The

individual becomes the sculptor of his or her own best possible self. Becoming an artist or a person of character is a developmental process. It takes knowledge. It takes effort and practice. It takes support, example (both good and bad), encouragement, and sometimes inspiration. In short, it takes what we are calling character education (1999:13).

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

terdapat dua hal penting dalam pendidikan karakter yaitu (1) pendidikan karakter

merupakan proses penanaman nilai supaya peserta didik dapat bertindak sesuai

dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, (2)

pendidikan karakter mengajak siswa untuk membangun pengetahuan, kesadaran,

dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai yang diajarkan.

2.1.1.2Tujuan Pendidikan Karakter

Mulyasa mengungkapkan pendidikan karakter bertujuan untuk

meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada

pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan

seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan

(2012:9). Pendapat yang sama diungkapkan oleh Amri bahwa pendidikan karakter

bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di

sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia

peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang, sesuai standar kompetensi

lulusan (2011: 31).

Kesuma (2011: 9) menjelaskan bahwa pendidikan karakter dalam setting

nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi

kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang

dikembangkan, (2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian

dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah, (3) membangun koneksi yang

harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab

pendidikan karakter secara bersama.

Said Hamid, dkk dalam Zubaeda (2011: 18) memaparkan adanya lima

tujuan pendidikan karakter: (1) mengembangkan kalbu/nurani/afektif peserta didik

sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa, (2)

mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan

dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, (3)

menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai

generasi penerus bangsa, (4) mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi

manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan, (5) mengembangkan

lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur,

penuh kreativitas, dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan

penuh kekuatan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk

mengarahkan pencapaian proses dan hasil pendidikan pada pembentukan karakter

peserta didik dan mengoreksi perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang

dikembangkan, sehingga dapat membentuk manusia yang utuh, baik dari segi

2.1.1.3Nilai-nilai yang Terkandung dalam Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter mengandung nilai-nilai yang harus dikembangkan

dalam pribadi peserta didik. Zubaedi (2011: 74-75) mengemukakan nilai-nilai

pendidikan karakter berdasarkan rujukan dari tujuan pendidikan nasional, antara

lain: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7)

mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11)

Cinta Tanah air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14)

Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial,

(18) Tanggung Jawab.

Selain itu Kemendiknas (2011) mengungkapkan 25 karakter yang harus di

integrasikan dalam pendidikan karakter antara lain: (1) kereligiusan, (2) kejujuran,

(3) kecerdasan, (4) tanggung jawab, (5) kebersihan dan kesehatan, (6)

kedisiplinan, (7) tolong-menolong, (8) berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif,

(9) kesantunan, (10) ketangguhan, (11) kedemokratisan, (12) kemandirian, (13)

keberanian mengambil resiko, (14) berorientasi pada tindakan, (15) berjiwa

kepemimpinan, (16) kerja keras, (17) percaya diri, (18) keingintahuan, (19) cinta

ilmu, (20) kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, (21) kepatuhan

terhadap aturan-aturan sosial, (22) menghargai karya dan prestasi orang lain, (23)

kepedulian terhadap lingkungan, (24) nasionalisme, (25) menghargai

keberagaman.

Dalam penelitian ini peneliti akan mengembangkan karakter kesantunan

dan menghargai yang bersifat sosial dan karakter cermat yang lebih bersifat

a. Kesantunan

Samani memaknai kesantunan sebagai kebiasaan berperilaku sopan

santun, berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormatnya kepada

orang lain (2011:119). Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa

yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan

pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009: 4). Kesantunan merupakan salah

satu hal yang penting dan memiliki keterkaitan yang kuat dalam

pembelajaran Bahasa Indonesia. Widharyanto mengungkapkan bahwa

pengembangan materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang

berpotensi mengandung rasa bahasa, tidak dapat mengabaikan

pandangan-pandangan dasar tentang kesantunan berbahasa (2013: 75).

Leech dalam Widharyanto menegaskan bahwa dalam praktik

berbahasa santun terdapat sejumlah prinsip, yakni (1) kerendahan hati

(modesty), (2) menjaga perasaan (tact), (3) memberikan persetujuan (approbation), (4) memberikan simpati (sympathy), (5) kemurahan hati (generosity), dan kesepakatan (agreement). Pranowo berpendapat mengenai indikator kesantunan antara lain: (1) perhatikan suasana

perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra

tutur berkenan (angon rasa), (2) pertemukan perasaan Anda dengan

perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama dikehendaki

karena sama-sama diinginkan (adu rasa), (3) pertemukan perasaan Anda

dengan perasaan mitra tutur sehingga isi komunikasi sama-sama

dikehendaki kerena sama-sama diinginkan (adu rasa), (3) jagalah agar

di hati (empan papan), (4) jagalah agar tuturan memperhatikan rasa

ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (sifat hormat), (5) jagalah

agar tuturan selalu memperhatikan bahwa mitra tutur diposisikan pada

tempat yang lebih tinggi (sikap hormat). (6) jagalah agar tuturan selalu

memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga

dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira).

Berdasarkan penjelasan mengenai kesantunan di atas maka

seseorang dapat dikatakan mengunakan bahasa yang santun dalam menulis

setidaknya memenuhi beberapa kriteria diantaranya (1) pemilihan kata

yang mencerminkan rasa santun dan (2) memperhatikan suasana perasaan

teman (menjaga perasaan).

b. Cermat

Kecermatan merupakan bagian dari karakter kecerdasan.

Kemendiknas (2011) mendefinisikan kecerdasan sebagai “kemampuan

seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat”. Sementara itu Samani dan Hariyanto berpendapat bahwa cerdas yaitu

berfikir secara cermat dan tepat, bertindak dengan penuh perhitungan,

rasa ingin tahu yang tinggi, berkomunikasi efektif dan empatik (2011:

51).

Berdasarkan definisi dari kecerdasan dapat dikatakan bahwa

karakter kecerdasan memuat kecermatan. Karakter kecermatan

diturunkan oleh karakter kecerdasan. Penelitian ini akan lebih

Hidayatullah mendefinisikan cermat memiliki arti jeli, tepat, teliti

berhati-hati dalam menjalankan tugas, dan penuh minat (2010: 81).

Samani dan Heriyanto memaknai kecermatan sebagai benar-benar teliti

dan hati-hati, membuat perhitungan dengan akurat, baik dalam bersikap

maupun bertindak (2011: 127). Berdasarkan pengertian tersebut peneliti

dapat mengembangkan 2 indikator yang digunakan untuk mengukur

sikap cermat yaitu teliti dan tepat. Siswa dapat dikatakan cermat apabila

ia teliti dalam mengoreksi kesalahan tanda baca dalam sebuah surat dan

tepat dalam menggunakan kalimat dan tanda baca pada saat menulis

surat.

c. Menghargai

Menghargai dalam KBBI berarti harga, menghormati,

mengindahkan, dan memandang penting terhadap suatu hal diartikan

(2008:483). Samani dan Heriyanto (2011: 55) memberi penjelasan

mengenai cara menjadi orang yang menghargai seperti berikut (1)

perlakukanlah orang lain seperti halnya engkau ingin diperlakukan, (2)

jadilah orang yang beradap dan sopan, (3) dengarlah apa yang dikatakan

oleh orang lain, (3) jangan menghina orang, atau memperolok-olokkan

atau memangil dengan julukannya, (4) jangan pernah mengancam atau

memalak orang lain, (5) jangan menilai orang sebelum mengenalnya

dengan baik.

Uraian diatas dijadikan dasar bagi peneliti untuk mengembangkan

yang sedang berbicara. Indikator kedua adalah memberikan respon

positif terhadap pendapat teman.

Dokumen terkait