• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pendugaan Nilai Suhu Udara dari Landsat

Suhu udara dugaan yang diektrak dari Landsat tahun 1991, 1997 dan 2004 merupakan nilai suhu udara pada tujuh wilayah kajian, yakni Jakarta, kota Bogor, kabupaten Bogor, kota Tangerang, kabupaten Tangerang, kota Bekasi dan kabupaten Bekasi. Nilai suhu udara yang diekstrak merupakan gambaran suhu udara yang terekam pada saat pukul 10.00 WIB, saat pengambilan citra Landsat tepatnya saat akuisisi 1 Juli 1991, 20 Juli 1997 serta 23 Juli 2004.

Suhu udara terendah dari suhu udara dugaan hasil ekstrak Landsat 1991, 1997 dan 2004 menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada hasil pengukuran di 12 stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang sama, yakni stasiun Tanjung Priok, Jakarta Obs., Cengkareng, Halim Perdana Kusuma, Ciledug, Curug, Tangerang, Cibinong, Atang Sanjaya, Cimanggu, Darmaga, Kampus Baranangsiang dan Muara. Begitupula untuk suhu tertinggi didapatkan hasil pengukuran yang lebih tinggi. Sehingga mutlak dilakukan kalibrasi, agar data hasil ekstrak Landsat sesuai dengan data observasi.

Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor suhu dugaan hasil ektraks Landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK. Metode yang diterapkan adalah mencari model persamaan kedua peubah tersebut apakah berbentuk linier, kuadratik atau kubik dengan dasar nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) dan standar deviasi model (S). Koefisien determinasi yang disesuaikan merupakan koefisien determinasi yang telah memperhitungkan jumlah variabel yang dimasukkan kedalam model, sehingga dianggap lebih peka dibandingkan koefisien determinasi saja. Koefisien determinasi yang disesuaikan menunjukkan besarnya ragam atau variasi peubah respon yang dapat dijelaskan oleh peubah prediktor. Makin tinggi nilai R2adj maka makin baik model. Sebaliknya standar deviasi model, merupakan gambaran besarnya penyimpangan model, makin kecil nilai S (mendekati nol), makin baik model (Drapper dan Smith, 1992). Hasil analisis persamaan terpilih disajikan pada Tabel 9 sebagai berikut:

TAHUN Parameter STK 1991 1997 2004 KETERANGAN Hubungan Linier R2adj 93% 90% 95% S 0.53 0.62 0.46 Hubungan Kuadratik R2adj 94% 93% 96% S 0.49 0.52 0.39 Hubungan Kubik R2adj 94% 93% 98% terpilih S 0.47 0.52 0.30

Dari Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa untuk tahun 1991, 1997 dan 2004 persamaan kalibrasi yang digunakan adalah hubungan kubik karena memiliki nilai koefisien determinasi (R2adj) tertinggi dan jumlah kuadrat sisa (S) terendah. Adapun bentuk model persamaan terpilih disajikan secara grafik pada Gambar 9.

Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa untuk ketiga tahun data, secara konsisten bentuk persamaan yang menghasilkan kriteria terbaik, yaitu R2adj tertinggi dan S terendah pada persamaan non-linier kubik. Meskipun hasilnya memadai dan baik namun bila dicermati sebaran data pada Gambar 9 tersebut cenderung nilai hasil digaan ekstraksi Landsat pada ketiga tahun data dominan berada di bawah garis persamaan. Kecenderungan seperti ini dikenal dengan dugaan yang under estimated. Sehingga kalibrasi nilai dugaan mutlak dilakukan agar hasil dugaan sesuai dengan hasil observasi.

Gambar 9. Model persamaan terpilih kalibrasi suhu udara

Setelah dilakukan kalibrasi maka data suhu terkalibrasi dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut:

Tabel 10. Data suhu udara sebelum dan setelah kalibrasi wilayah JABOTABEK Tahun 1991, 1997 dan 2004

No. Kisaran Suhu Udara Sebelum Kalibrasi (oC) Rataan Suhu Udara Sebelum Kalibrasi (oC) Kisaran Suhu Udara Setelah Kalibrasi (oC) Rataan Suhu Udara Setelah Kalibrasi (oC) Tahun 1991 1. 19.7-31.9 25.8 26.2-30.7 26.7 Tahun 1997 2. 18.7-33.5 26.1 26.6-33.0 27.2 Tahun 2004 3. 18.9-33.3 26.5 26.0-32.4 27.5

Dari Tabel 10 dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Nilai kisaran suhu udara terendah dan tertinggi sebelum dikalibrasi dengan data hasil observasi pada waktu yang sama dengan pengambilan citra, terlihat pada selang yang lebih lebar. Nilai terendah tahun 1991 mencapai 19.7, tahun 1997 tercatat 18.7 dan 2004 sebesar 18.9oC, sedangkan tertinggi tercatat di tahun 1991 sebesar 31.9, tahun 1997 mencapai 33.5 sedangkan tahun 2004 tercatat sebesar 33.3oC. Nilai ini perlu dikoreksi karena tidak sesuai dengan suhu hasil observasi. Ketidaksesuaian dengan hasil observasi disebabkan adanya pengaruh pada saat pengambilan citra. Sebagai contoh akibat adanya awan berdampak pada suhu udara yang lebih rendah, sedangkan adanya bahan bangunan seperti seng berdampak pada suhu terukur lebih tinggi.

• Suhu udara setelah kalibrasi berada pada kisaran yang sesuai hasil observasi di 12 stasiun cuaca yang tersebar di kawasan JABOTABEK dengan nilai berkisar antara 26.2-30.7oC untuk tahun 1991, antara 26.6- 33.0oC ditahun 1997 dan antara 26.0-32.4oC.

• Nilai suhu udara rataan sebelum dikalibrasi juga lebih rendah dari nilai rata-rata hasil observasi sehingga sebelum dikalibrasi suhu udara rataan dari data tahun 1991 sebesar 25.8, tahun 1997 meningkat menjadi 26.1 dan tahun 2004 kembali meningkat menjadi sebesar 26.5oC. Berdasarkan data tersebut maka dapat dinilai bahwa suhu udara dugaan rata-rata dari ekstraksi data Landsat dari tiga tahun data terjadi under estimated bila

dibandingkan dengan nilai observasi hal ini terlihat pada Gambar 9, sebaran titik pada ketiga tahun data lebih dominan berada di bawah garis persamaan. Nilai suhu udara rataan setelah dikalibrasi sesuai dengan nilai rataan hasil observasi yaitu sebesar 26.7 pada tahun 1991, menjadi 27.2 pada tahun 1997 meningkat menjadi 27.5oC di tahun 2004.

Untuk lebih memperjelas distribusi atau sebaran suhu udara pada setiap lokasi, maka suhu terkalibrasi disajikan secara spasial pada Gambar 10. Tahun 1991 sebaran nilai suhu terendah (warna putih) paling luas dan mendominasi wilayah JABOTABEK, terutama di sebelah utara (adanya badan air) dan sebelah selatan (kabupaten dan kota Bogor, sebagai indikasi masih luasnya RTH) pada tahun tersebut. Warna putih makin berkurang di tahun 1997 dan 2004, hanya terlihat di sebelah selatan (kabupaten Bogor) yaitu lahan dengan RTH hutan dan sedikit di sebelah timur (badan air) tepatnya di kabuapetn Bekasi.

Berdasarkan Gambar 10 terlihat pada tahun 1991 warna merah tua indikasi bagi nilai suhu udara tertinggi, tersebar di empat kota DKI Jakarta dengan luasan terbesar, disusul Tangerang, Bekasi dan luasan paling rendah kota Bogor. Landsat 1997 terlihat warna merah terang makin meluas ke arah kabupaten, namun paling merah tua atau suhu tertinggi tetap berada pada empat kota. Hal yang sama terjadi pada Landsat 2004, dengan luasan warna merah makin melebar ke kabupaten Bekasi dan Tangerang bahkan mulai menyebar ke selatan ke arah kabuapetn Bogor. Meskipun demikian pada tahun 2004, suhu tertinggi 32.4oC (warna merah tua) terdapat di empat kota besar dengan luasan terbesar di DKI Jakarta, disusul kota Bekasi, dan Tangerang serta di kawasan selatan di kota Bogor

(a) 1991

(b) 1997

(c) 2004

Gambar 10. Sebaran nilai suhu udara terkalibrasi hasil ekstraksi Landsat periode 1991, 1997 dan 2004

4.2. Pendugaan Nilai RTH dari Landsat

Persamaan Zain (2002) untuk menduga nilai persen RTH dari nilai NDVI digunakan untuk membangkitkan data persentase RTH wilayah JABOTABEK. Maka didapatkan nilai persentase RTH setiap lokasi berdasarkan nilai NDVI. Metode yang digunakan adalah mencari bentuk persamaan antara peubah prediktor (NDVI) yang didapatkan dari pengolahan data Landsat sedangkan data persentase RTH diduga dari data foto udara di lokasi yang sama. Adapun persamaan yang dihasilkan Zain (2002) untuk wilayah JABOTABEK seperti yang telah diuraikan pada bab Metodologi.

Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa pada saat nilai NDVI sama dengan satu didapatkan nilai presentase RTH 100%, nilai NDVI 0 setara dengan nilai persen RTH 21%, sedangkan pada saat nilai NDVI= 0.05 hingga -1 setara dengan presentase RTH sebesar 0% dengan kata lain merupakan RTB atau lahan terbuka (dapat berupa lahan kosong atau lahan urban).

Sebaran nilai RTH dalam persen secara spasial dalam bentuk peta hasil ekstraksi citra Landsat disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Gambar 11 dapat diuraikan sebagai berikut:

• Nilai RTH berkisar antara 0-100%. Nilai RTH 0% terlihat pada gambar dengan warna merah tua terdapat di empat kota, DKI Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Warna merah tua yang mengindikasikan RTH 0% makin melebar pada tahun 2004 dibandingkan 1997 dan 1991.

• Nilai RTH 100% dengan warna hijau gelap terdapat di sebelah barat di kabupaten Tangerang, sebelah timur di kabupaten Bekasi dan di selatan di kabupaten Bogor dengan luasan makin mengecil pada tahun 2004 dibandingkan tahun 1997 dan 1991.

(a) 1991

(b) 1997

Gambar 11. Nilai RTH(%) di Wilayah JABOTABEK Periode 1991, 1997 dan 2004

Tabel 11. Nilai rataan RTH wilayah JABOTABEK

Tahun RTHmin(%) RTHmax(%) RTHrataan(%) STD

1991 0 100 61 11.5

1997 0 100 57 10.3

2004 0 100 50 09.6

Sumber: hasil olahan data Landsat

Berdasar Tabel 11 didapatkan rataan RTH makin menurun dari tahun 1991 sebesar 61%, pada tahun 1997 turun sebesar 4% menjadi 57% dan pada tahun 2004 kembali berkurang 7% menjadi 50%.

Dokumen terkait