PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG
5) Penebaran blotong
Proses pemurnian nira di PT GPM menggunakan sistem sulfitasi, dimana dalam proses pemurniannya menggunakan susu kapur dan gas SO2. Blotong merupakan limbah padat hasil pemurnian nira dari pengolahan tebu. Blotong berbentuk seperti tanah, berwarna hitam, mengandung kadar air tinggi (76.08 %), dan memiliki bau menyengat. Kandungan unsur hara blotong dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Blotong
Unsur Hara Kandungan (% berat kering)
C-organik 35.52 N 0.82 P 0.97 K 0.26 Ca 1.83 Mg 0.23 S 0.09
Sumber : Dept.Research and Development(2009)
21
Blotong yang dihasilkan PT GPM diaplikasikan langsung ke lahan tanpa melalui proses pengomposan dengan cara ditabur sebelum pengolahan tanah. Hal ini dilakukan karena PT GPM membutuhkan penanganan yang cepat dalam mengatasi limbah blotong tersebut.
Proses pengangkutan blotong dari pabrik
PT GPM menyediakan enam unit dumptruck (DT) untuk mengangkut blotong. DT beroperasi 24 jam non-stop selama musim giling. Namun, tenaga kerja yang berperan dalam proses pengangkutan blotong dibagi menjadi tiga
shift. Tenaga kerja tersebut merupakan tenaga harian yang terdiri dari supir DT,helper, dan petugas pencatat tiket blotong.
Blotong yang keluar dari corong pembuangan limbah pabrik langsung diterima DT dengan kapasitas 8 – 10 ton. Setelah itu, DT menuju jembatan timbang untuk mengetahui bobot kotor blotong, kemudian blotong diangkut ke lahan. Setiap pengangkutan blotong diletakkan menjadi satu tumpukan. Selanjutnya, DT kembali ke jembatan timbang untuk mengetahui bobot kosong DT sehingga dapat diperoleh bobot bersih blotong. Penimbangan dilakukan satu kali pada setiapshifttenaga kerja.
Gambar 6. Pengangkutan blotong di pabrik dan pembongkaran di lapang
Blotong diletakkan pada lahan yang sebelumnya telah diberikan pancang (tanda) oleh mandor blotong agar blotong dapat tersebar merata.
Setiap satu hektar lahan, pancang diletakkan di tengah lahan dengan jarak antar tumpukan 45 m (Lampiran 4). Namun, saat musim hujan DT tidak dapat masuk ke lahan karena ban slip apabila dipaksa masuk ke lahan. Akibatnya, blotong hanya diletakkan di tepi lahan sehingga aplikasi blotong hanya dilakukan di sekitar tepi lahan saja.
Kebutuhan blotong dalam satu hektar lahan rata-rata 40 ton. Namun, berdasarkan pengamatan di lapang, jumlah blotong yang diberikan ke lahan berbeda-beda (Tabel 5). Hal ini disebabkan karena aplikasi blotong dilakukan untuk menangani limbah pabrik, sehingga jumlah blotong yang diberikan ke lahan kurang diperhitungkan.
Tabel 5. Jumlah Blotong yang Diberikan pada Lima Petak Pengamatan
Petak Jumlah Blotong (ton/ha)
12 TS 38 93.75 12 TS 40 31.87 14 TS 40 94.12 20 TS 39 40.60 20 TS 40 39.34 Rata-rata 54.60
Sumber : Data primer pengamatan penulis (2010)
DT hanya mampu mengangkut blotong pada jarak < 10 km. Apabila DT menempuh jarak > 10 km dikhawatirkan DT yang tersedia tidak mampu menangani jumlah blotong yang dikeluarkan oleh pabrik. Terkadang pada jarak < 10 km DT tidak mampu mengangkut blotong yang dihasilkan pabrik. Akibatnya, blotong harus dibuang di lahan kosong dekat dengan pabrik (emergency). Blotong yang telah dibuang diemergencytidak dilakukan proses lebih lanjut. Apabila hal tersebut terjadi secara terus menerus, maka akan memberikan dampak negatif pada karyawan yang tinggal disekitarnya karena blotong memiliki bau yang tidak sedap sehingga menggangu kenyamanan tenaga harian.
Penyebaran blotong di lahan
Tumpukan blotong yang telah diletakkan oleh DT disebar merata menjadi tumpukan yang lebih kecil lagi oleh tenaga borongan. Tenaga kerja yang digunakan untuk menyebar blotong sebanyak 10 orang dengan kapasitas
23
kerja 24 – 30 ton/hari. Cara penyebaran blotong menggunakan pikulan yang terbuat dari bambu dengan kapasitas kerja 60–80 kg/pikulan.
Gambar 7. Penyebaran blotong di lahan
Pengaruh aplikasi blotong pada tanaman
Analisis tanah dilakukan di masing-masing divisi. Berdasarkan hasil analisis tanah tahun 2009, rata-rata kandungan bahan organik di PT GPM yaitu 1.63 persen. Hasil tersebut masih jauh dari yang diharapkan, karena kandungan bahan organik yang optimal dalam tanah adalah lima persen dan yang termasuk dalam katagori sedang yaitu tiga persen (Soepardi, 1983). Oleh karena itu, diperlukan penambahan blotong untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah.
Hasil pengamatan tinggi tebu pada umur tiga, enam, dan sembilan bulan pada tiga varietas disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rata-Rata Tinggi Tebu pada Umur 3, 6, dan 9 Bulan pada Tiga Varietas Perlakuan Dosis Blotong (ton/ha) Umur Tinggi (cm) GP 95- 316 GP 95-287 TC09 0 3 bulan 77.80 74.60 74.69 6 bulan 192.85 185.05 184.25 9 bulan 281.40 284.90 260.10 40 3 bulan 77.83 75.10 70.95 6 bulan 192.89 186.40 183.53 9 bulan 279.83 291.50 263.41
Hasil pengamatan diameter batang tebu pada umur tiga, enam, dan sembilan bulan pada tiga varietas disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rata-Rata Diameter Batang Tebu pada Umur 3, 6, dan 9 Bulan pada Tiga Varietas
Perlakuan (ton/ha) Umur Diameter (cm) GP 95- 316 GP 95-287 TC09 0 3 bulan 1.54 1.48 1.46 6 bulan 2.09 2.10 2.12 9 bulan 2.29 2.33 2.38 40 3 bulan 1.60 1.56 1.64 6 bulan 2.05 2.08 2.11 9 bulan 2.25 2.34 2.41
Sumber: Data primer pengamatan penulis (2010)
Data pengamatan jumlah batang per meter pada umur tiga, enam, dan sembilan bulan disajikan pada tabel 8.
Tabel 8. Rata-Rata Jumlah Batang Tebu pada Umur 3, 6, dan 9 Bulan pada Tiga Varietas
Perlakuan
(ton/ha) Umur
Jumlah Batang Tebu (batang/m) GP 95- 316 GP 95-287 TC09 0 3 bulan 18.37 18.96 17.98 6 bulan 15.02 15.85 15.30 9 bulan 16.19 16.83 16.28 40 3 bulan 18.24 18.91 17.70 6 bulan 14.98 16.06 15.49 9 bulan 16.37 17.04 16.89
Sumber: Data primer pengamatan penulis (2010)
Produktivitas tanaman diperoleh dari data sekunder TCH (ton cane per hectare) pada blok pengamatan yang berbeda dengan pengamatan vegetatif tanaman tebu.
25
Tabel 9. Data Hasil Produktivitas Tebu pada Tiga Varietas tahun 2009
Perlakuan
dosis botong (ton/ha) Varietas Ton tebu/ha
0 GP 95-316 84.75 GP 95-287 101.42 TC 09 103.53 40 GP 95-316 86.72 GP 95-287 101.70 TC 09 106.41
Sumber: DepartemenPlantation(2010)
6) Pembajakan (plouging)
Pembajakan bertujuan menyiapkan tempat pertumbuhan tanaman yang serasi dan baik dengan memperbaiki sifat fisik, kimia, serta biologis tanah, memotong sisa tanaman atau serasah tanaman yang tertinggal dan mencampurnya dengan lapisan atas, sehingga terbentuk media tumbuh yang gembur.
Gambar 8. Kegiatan pembajakan
Implemen yang diigunakan yaitu bajak singkal dengan tiga mata bajak. Implemen tersebut ditarik dengan traktor medium berdaya ≥ 140 HP.
Kapasitas kerja alat ini yaitu 0.3–0.33 ha/jam dengan lebar kerja 170 cm dan kedalaman bajak 40–45 cm.
7) Penggaruan (harrowing)
Harrowing bertujuan untuk menghaluskan bongkahan tanah dan meratakan tanah setelah kegiatan pembajakan, sehingga diperoleh kondisi tanah yang lebih baik. Implemen yang digunakan pada kegiatan ini sama dengan implemen pada kegiatan brushing, yaitu disc harrow. Traktor yang digunakan pun sama dengan kegiatan brushing berdaya ≥ 140 HP dengan
lebar olah 250 cm dengan kedalaman olah 20 – 25 cm. Kapasitas kerja pada kegiatanharrowingyaitu 1.2 ha/jam.
Hasil dari kegiatan pembajakan sering kali berupa bongkahan tanah yang berukuran yang cukup besar, kurang baik untuk kondisi tumbuh tanaman tebu. Oleh karena itu, dilakukan harrowing untuk menghasilkan keadaan tanah yang lebih remah. Arah kerja harrowing tegak lurus dengan arah pembajakan. Hal ini dimaksudkan supaya hasil pembajakan yang berupa bongkahan dapat diremahkan melalui harrowing ini. Ketika hasil harrowing
masih kurang remah, maka dilakukan kegiatan harrowing II. Arah kerja
harrowingII tegak lurus denganharrowingI.