• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) 1. Definisi

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) ditandai dengan adanya autoantibodi yang mengikat permukaan membran eritrosit dan menyebabkan hemolisis (Aladjidi et al, 2011). Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas sumsum tulang untuk memproduksi sel eritrosit maka akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1% dari jumlah eritrosit yang ada dan diikuti pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang. Selama terjadi proses hemolisis, umur eritrosit lebih pendek dan diikuti oleh aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel retikulosit tanpa disertai adanya perdarahan yang nyata (Permono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, dan Abdulsalam, 2005). Penyakit hematologi ini merupakan penyakit yang jarang namun penting karena memiliki tingkat keparahan dari gejala penyakit ringan sampai sindrom fatal secara cepat (DeLoughery, 2013).

Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya proses hemolisis ini diantaranya, yaitu:

a. Antigen sel eritrosit. b. Antibodi-anti sel eritrosit.

c. Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum. d. Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor Fc pada makrofag limpa.

(Permono dkk, 2005) 2. Klasifikasi

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan sebagai warm AIHA dan cold AIHA (yang termasuk Cold Aglutinin Disease (CAD) dan Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)) sesuai dengan kisaran suhu autoantibodi berikatan dengan antigen dan menyebabkan terjadinya hemolisis (Zanella et al, 2014) dapat dilihat pada Gambar 1. Warm dan cold AIHA dapat terjadi secara primer (idiopathic) ataupun sekunder. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan AIHA primer dikarenakan terdapat penyakit yang mendasari munculnya AIHA dan perlu dilakukan pengobatan (Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL), Hodgkin lymphoma, dan lainnya (Lechner and Ja¨ger, 2015)). Jumlah kasus warm AIHA diperkirakan 75% dari kasus yang ada, prevalensi cold AIHA (CAD) diperkirakan 15% dari kasus yang ada (Berentsen and Sundic, 2015), dan cold AIHA (PCH) diperkirakan 2-10% dari kasus yang ada (Chaundhary and Das, 2014).

Gambar 1. Klasifikasi AIHA pada Anak (Hay, Sondheimer, and Deterding, 2008) 3. Patologi

Penyebab dasar produksi autoantibodi pada AIHA adalah sistem kekebalan tubuh yang tidak dapat mengenali host atau self-antigen yang berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B dan cenderung menyebabkan perubahan dalam struktur antigen pada eritrosit (Chaundhary et al, 2014). Perubahan struktur antigen pada eritrosit dapat dijelaskan berdasarkan klasifikasi AIHA, sebagai berikut:

a. Warm AIHA

Rhesus (Rh) polipeptida seperti Rhnull merupakan target patogenik autoantibodi IgG pada warm AIHA (Marcus, Attias, and Tamary, 2014) dan memiliki dua gen yaitu RhD yang membawa antigen D dan RhCE yang membawa antigen CE

dalam berbagai variasi (Westhoff, 2007). Cross-react yang terjadi pada Rh dengan gen yang telah termutasi menyebabkan sistem imun gagal menekan respon autoreaktif dan memicu terjadinya hemolisis (DeLoughery, 2013). Temuan terbaru menunjukkan bahwa Rh protein memediasi interaksi kunci dengan sitoskeleton melalui protein 4.2 dan ankyrin (Westhoff, 2007). Ankyrin merupakan protein encoding yang berperan dalam aktivitas sel (proliferasi, mobilisasi, dan interkasi membran dengan sel lain). Ankyrin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ANK1 yang ditemukan pada eritrosit dan ANK2 yang ditemukan pada otot jantung. Mutasi pada ANK1 menyebabkan terjadinya hemolisis dan sferositosis (PubMed, 2016).

b. Cold Aglutinin Disease (CAD)

Antibodi IgM pada CAD umumnya menyerang sistem golongan darah I/i. Ekspresi antigen i tinggi umumnya terjadi pada bayi dan setelah usia 18 bulan atau lebih (dewasa) ekspresi antigen i menurun sedangkan ekspresi antigen I meningkat (Marcus et al, 2014). Antibodi anti-I mendeteksi adanya antigen I dan lebih spesifik terhadap antigen i (Yu, Twu, Chang, and Lin, 2001). Mutasi gen yang mengkode I beta-1,6-N-acetyl glucosamine transferase (I beta-1,6-GlcNAcT, GCNT2) yang bertanggung jawab terhadap konversi antigen i menjadi antigen I menyebabkan ekspresi antigen i lebih tinggi pada dewasa dibandingkan dengan ekspresi antigen I (PubMed, 2016). Antibodi anti-I yang lebih spesifik terhadap antigen i akan menempel dan menyebabkan IgM yang telah teraglutinasi pada suhu dingin kemudian menempel pada kompleks tersebut dan mengaktifkan sistem komplemen sehingga menyebabkan terjadinya hemolisis.

c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Pk dan P merupakan antigen pada permukaan membran eritrosit yang disintesis pada tahapan glycosyltransferase. Mutasi gen A4GALT1 dan B3GALNT1 yang mengkode glycosyltransferase menyebabkan ekspresi antigen Pk dan P lebih tinggi dari normal sehingga memicu munculnya IgM dan/atau IgG3 berikatan membentuk kompleks dengan antigen tersebut dan terjadi hemolisis (PubMed, 2016).

Beberapa faktor lain yang dapat memicu munculnya autoantibodi, yaitu genetik, infeksi, gangguan inflamasi, obat, dan gangguan limfoproliferatif (Chaundhary et al, 2014). Autoantibodi yang mengikat eritrosit dengan struktur antigen berbeda menyebabkan terjadinya hemolisis melalui sistem komplemen (Sarper, Kılıç, Zengin, and Gelen, 2011). Komplemen merupakan sistem yang terdiri atas sejumlah protein yang berperan dalam pertahanan pejamu, baik dalam sistem imun non spesifik maupun sistem imun spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi, dan kerusakan (lisis) membrane pathogen. Terdapat sembilan komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar dan kecil (C3a, C4a, dan sebagainnya) dengan masing-masing fungsi dijabarkan dalam Tabel II. Sistem komplemen yang semula diketahui diaktifkan melalui 2 jalur, yaitu jalur klasik dan alternatif, namun sekarang diketahui juga dapat terjadi jalur lektin. Jalur klasik diaktifkan oleh kompleks imun sedang jalur alternatif dan jalur lektin tidak (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik (Berentsen et al, 2015) Tabel II. Fungsi Protein Komplemen

Protein Komplemen Fungsi

C1qrs Meningkatkan permeabilitas vaskuler

C2 Mengaktifkan kinin

C3a dan C5a Kemotaksis yang mengarahkan leukosit dan juga berupa anafilotoksin yang dapat merangsang sel mast melepas histamin dan mediator lainnya

C3b Opsonin dan adherens imun

C4a Anafilotoksin lemah

C4b Opsonin

C5,6,7 Kemotaksis

C8,9 Melepas sitolisin yang dapat menghancurkan sel (lisis) (Baratawidjaja dkk, 2012)

Aktivasi sistem komplemen oleh kompleks antigen-autoantibodi menyebabkan terjadinya hemolisis. Hemolisis pada AIHA dapat terjadi di dalam atau di luar kompartemen vaskuler, sebagai berikut:

1) Hemolisis intravaskuler

Hemolisis yang terjadi di dalam kompartemen vaskuler dan melepas komponen darah ke dalam plasma biasanya terjadi pada CAD dan PCH. Hemolisis ini jarang ditemui dan terjadi sebagai hasil fiksasi komplemen pada reaksi transfusi, cidera mekanik, atau faktor toksis yang ditandai dengan hemoglobinemia, hemoglobinuria, ikterus, dan hemosiderinuria (Porth and Matfin, 2009).

2) Hemolisis ekstravaskuler

Hemolisis ekstravaskuler terjadi di dalam fagosit mononukleus umumnya terjadi pada warm AIHA. Eritrosit yang abnormal diasingkan dan difagosit oleh makrofag pada limpa. Manifestasi hemolisis ekstravaskuler termasuk anemia, ikterus, dan ditandai dengan splenomegali (Porth et al, 2009).

Hemolisis imun (hemolisis intravaskuler dan hemolisis ekstravaskuler) dapat terjadi tergantung pada: Ig-class dari antibodi (IgM dan IgG), kemampuan antibodi untuk mengaktivasi komplemen, dan interaksi antara sistem fagositosis mononuklear. Fagosit penting yang terkait dengan hemolisis imun adalah makrofag, beraksi terutama pada limpa (Permono dkk, 2005).

Berikut penjelasan hemolisis yang disebabkan oleh interaksi antigen dan Ig-class antibody:

a) Warm-Type Autoimmune Hemolytic Anemia

Warm autoantibody syndrome, terjadi akibat antibodi bereaksi maksimal dengan antigen target pada suhu 37°C. Jenis antibodi hampir pada semua kasus adalah isotope IgG (Permono dkk, 2005). Warm AIHA memiliki 2 mekanisme yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler, yaitu Fc receptor-mediated immune adherence dan complement mediated hemolisis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada Warm AIHA (Berentsen et al, 2015)

(1) Fc receptor-mediated immune adherence

Eritrosit yang dilapisi autoantibodi dapat dihilangkan dari aliran darah melalui 2 mekanisme, yaitu fagositosis dan lisis. Eritrosit yang dianggap sebagai antigen membentuk suatu kompleks dengan autoantibodi sehingga mengaktifkan protein komplemen yang menyebabkan terjadinya fagositosis oleh makrofag limpa dan menyisakan sferosit (eritrosit yang memiliki ukuran lebih bulat dan memiliki warna yang padat dibandingkan dengan eritrosit normal, serta tidak memiliki warna pucat dibagian tengah). Fc receptor merupakan reseptor yang berada pada makrofag menempel pada IgG sedangkan CR1 pada makrofag merupakan ligan bagi protein komplemen (C3b) akan berikatan sehingga menyebabkan terjadinya fagositosis. Proses lisis terjadi dengan terbentuknya kompleks antigen-autoantibodi yang menyebabkan protein komplemen teraktivasi dan menyebabkan lisis.

(2) Complement mediated hemolisis

Adanya antigen menyebabkan IgG bergabung membentuk kompleks yang mengaktifkan C1 kemudian terpecah menjadi C1q, C1r, dan C1s. C1qrs selanjutnya mengaktifkan C2 dan C4 kemudian menyebabkan C3 teraktivasi dan membentuk C3b yang menempel pada kompleks antigen-autoantibodi. Menempelnya C3b menyebabkan terjadinya lisis eritrosit, dan proses ini terjadi di liver.

b) Cold Agglutinin Disease (CAD)

Cold Agglutinin (CA) adalah antibodi IgM yang terikat pada eritrosit pada suhu rendah yaitu 3-4⁰C (Permono dkk, 2005). CA biasanya ditujukan pada sistem

golongan darah Ii, kebanyakan CA pada CAD spesifik terhadap antigen karbohidrat I. Pendinginan darah melalui bagian akral (ujung jari, hidung, dan telinga) pada sirkulasi memungkinkan CA untuk mengikat eritrosit dan menyebabkan aglutinasi. Mekanisme pengaktifan sistem komplemen pada CAD dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada Cold AIHA (Berentsen et al, 2015)

Antigen berikatan dengan kompleks IgM-CA pada permukaan sel yang kemudian mengikat C1 dan dengan demikian memulai komplemen jalur klasik. C1 esterase mengaktifkan C4 dan C2 selanjutnya mengaktifkan C3 konvertase, menyebabkan C3 kemudian dipecah menjadi C3a dan C3b. Setelah kembali ketengah tubuh dengan suhu 37⁰C, IgM-CA lepas dari permukaan sel, sementara C3b terikat

dengan eritrosit yang kemudian dibawa ke hati untuk difagosit. Namun pada eritrosit yang masih bertahan diikat oleh C3d, yaitu C3b yang telah dipecah.

c) Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) merupakan antibodi cold-reacting dari sub tipe IgG yang jarang. Seperti cold agglutinin, PCH tidak bereaksi dengan eritrosit pada suhu badan, tetapi terikat pada suhu dingin (Permono dkk, 2005). Polyclonal cold-reactive komplek IgG-antibodi pada PCH mengikat antigen protein permukaan eritrosit disebut P. Mekanisme pengaktifan sistem komplemen pada PCH dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) (Berentsenet al, 2015)

Antigen dan antibodi anti-eritrosit membentuk kompleks pada suhu 4⁰C, kemudian kompleks tersebut mengikat C1 pada suhu 37⁰C yang menyebabkan aktivasi C2 dan C4. Selanjutnya C3 konvertase teraktivasi dan dipecah menjadi C3a dan C3b. C3b yang terikat pada kompleks antigen-antibodi anti-eritrosit akan mengaktifkan C5 yang kemudian menyebabkan teraktivasinya protein komplemen C5b,6,7,8,9 dan terjadi lisis sel. Proses yang terjadi pada kedua suhu tersebut disebut antibodi bifase (Donath-Landsteiner Hemolysins). Sampel darah pasien pada uji Donath-Landsteiner’s diinkubasi pada suhu 4⁰C dan kemudian pada 37⁰C sedangkan sampel darah lain diinkubasi pada suhu 37⁰C tanpa dilakukan preinkubasi pada suhu dingin. Apabila muncul autoantibodi bifase, hemolisis akan terjadi hanya pada sampel dengan preinklusi pada suhu 4⁰C.

Warm AIHA dan PCH memiliki isotop antibodi yang sama yaitu IgG, sedangkan perbedaan dari kedua jenis AIHA tersebut terletak pada antigen permukaan membran eritrosit (warm AIHA: Rh polipeptida, PCH: protein P) yang akan diikat oleh antibodi dan dapat dideteksi menggunakan direct coombs test.

4. Gejala dan Tanda AIHA

Beberapa gejala yang menunjukkan hemolitik berat diantaranya pusing, pening, mudah lelah, malaise, syncope, demam, gangguan pernapasan, kedinginan, ikterus, urin berwarna gelap, dan nyeri perut/punggung. Tanda klinis anemia tergantung pada hemoglobin (sangat rendah) dan dinamik kardiovaskuler: pucat, takikardi, takipnea, hipotensi, atau syok (Lanzkowsky, 2005). Tanda lainnya yang

ditemukan adalah splenomegali dan hepatomegali. Gejala dan tanda yang timbul tidak hanya tergantung pada tingkat keparahan anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi (Permono dkk, 2005).

5. Diagnosis

Seorang pasien yang dicurigai AIHA dapat dilakukan pemeriksaan secara bertahap, yaitu: gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, darah tepi, dan Coombs test. Alur pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar 6.

a. Gejala AIHA sama seperti anemia meliputi: pusing, pening, mudah lelah, malaise, syncope, demam, kedinginan, nyeri perut/punggung, pucat, takikardi, takipnea, hipotensi, atau syok (Lanzkowsky, 2005).

b. Pemeriksaan fisik meliputi: ikterus, urin berwarna gelap, gangguan pernapasan, pucat, splenomegali dan hepatomegali teraba (Lanzkowsky, 2005).

c. Pemeriksaan laboratorium dengan kriteria hemolisis terjadi peningkatan jumlah retikulosit, peningkatan indirect bilirubin, penurunan haptoglobin, peningkatan hemoglobin bebas (acute/severe hemolytic anemia), peningkatan Lactat Dehidrogenase (LDH) (tidak sangat spesifik), hemoglobinuria yang disebabkan peningkatan urobilinogen pada urin (Sills, 2003).

d. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis, polikromasi, maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopenia pada awal anemia. Kadar hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai

trombositopeni. Kadar indirect bilirubin meningkat. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik (Permono dkk, 2005).

e. Coombs test merupakan tes darah klinis yang digunakan sebagai standar dalam diagnosis AIHA menunjukkan hasil positif. Direct Coombs test berguna dalam mendeteksi antibodi pada permukaan eritrosit, sedangkan indirect Coombs test berguna dalam mengidentifikasi antibodi anti-eritrosit pada serum. Tes ini dapat digunakan untuk membedakan warm AIHA dengan cold AIHA. Jika hasil coombs test menunjukan hasil positif dengan adanya IgG atau IgG+C3d dapat dikategorikan sebagai warm AIHA sedangkan jika hasil menunjukkan positif dengan adanya C3d maka dapat dikategorikan sebagai cold AIHA (Hoffman et al, 2014) Negatif Coombs pada AIHA terjadi, tapi jarang pada anak-anak (Sutedjo, 2006).

f. Thermal amplitude digunakan untuk mengetahui suhu dimana antibodi mengikat antigen pada permukaan eritrosit (warm (23°C) vs. cold (4/10°C)). Tes ini juga berguna untuk membedakan warm-reactive (IgG) dengan cold-reactive (IgM, kecuali paroxysmal cold hemoglobinuria yang merupakan IgG) (Sills, 2003).

Gambar 6. Alogaritma Diagnosis AIHA (Sills, 2003) 6. Terapi

Pasien dengan warm AIHA atau cold AIHA ringan kadang tidak memerlukan pengobatan spesifik, tetapi pada kondisi lain yang dapat mengancam jiwa akibat hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif. Tujuan terapi AIHA yaitu untuk mengembalikan nilai-nilai hematologis normal, mengurangi proses hemolitik dengan menurunkan produksi autoantibodi oleh sel B dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal (Permono dkk, 2005), mecegah tingkat keparahan AIHA yang lebih serius dan komplikasi akibat hemolisis parah, serta

menurunkan morbiditas dan mortalitas dikarenakan anak-anak dengan AIHA memiliki risiko lebih besar untuk penyakit yang lebih berat (Hay et al, 2008).

a. Farmakologi

Pengobatan pada AIHAdibedakan berdasarkan klasifikasi AIHA yaitu warm dan cold AIHA yang dapat dilihat pada Gambar 8.

1) Pengobatan Warm AIHA

a) Terapi kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama bagi pasien dengan warm AIHA (Zanella et al, 2012). Tujuan pemberian kortikosteroid adalah untuk menekan antibodi anti-eritrosit yang terbentuk oleh sel B secara cepat, dan dengan adanya autoantibodi dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya hemolisis. Metilprednisolon sebagai imunosupresan pada kondisi autoimun dengan dosis ≤ 30 mg/kgBB/hari (Sinha and Bagga, 2008). Hidrokortison 8-40 mg/kg BB/hari secara intravena dan diberikan secara terbagi (tiap 8 jam) atau prednison 2-10 mg/kgBB/hari secara peroral. Terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipertahankan selama beberapa hari. Terapi kortikosteroid harus diturunkan secara perlahan selama 3-4 minggu (Lanzkowsky, 2005).

b) Intravenous Gammaglobulin (IVIG) digunakan dengan dosis 5 g/kg BB/hari (Lanzkowsky, 2005).

c) Agen sitotoksik

(1) Antimetabolites: Azathioprine (125 mg/hari), 6-merkaptopurin, dan thioguanine. (2) Alkylating agents: Klorambusil dan siklofosfamid (1 g/m2 setiap 28 hari).

(3) Mitotic inhibitors: Vincristine dan vinblastine.

Terapi dengan agen sitotoksik harus digunakan hanya pada pasien refrakter terhadap steroid dan splenektomi (Lanzkowsky, 2005).

d) Terapi imunosupresif

Siklosporin A, agen imunosupresif yang telah digunakan secara luas dalam pengobatan penolakan organ hasil transplantasi dan belum lama ini pada penyakit

autoimun dan anemia aplastik, mungkin memiliki peran dalam pengobatan immune-mediated hemolysis, meskipun percobaan prospektif belum selesai (Lanzkowsky, 2005).

e) Terapi hormonal

Telah terbukti hasil danazol (androgen sintetis) (200 mg 4 kali/hari), yang memiliki masculinizing effect. Efek awal danazol ini tampaknya disebabkan karena penurunan ekspresi aktivitas Fc-reseptor makrofag dan danazol dapat menjadi alternatif untuk terapi kortikosteroid pada beberapa pasien dengan IgG-induced immune hemolytic anemia (Lanzkowsky, 2005).

2) Pengobatan cold AIHA

Pengobatan sesuai dengan gangguan yang mendasar. Transfusi darah mungkin diperlukan dengan pemanasan darah pada suhu 37°C selama pemberian dengan cara pemanasan koil atau air mandi bertujuan untuk menghindari aktivasi suhu lebih lanjut dari antibodi. Efficient in-line blood warmers didesain untuk memberikan darah dengan suhu 37°C pada pasien. Pemanasan harus dimonitoring, eritrosit dipanaskan terlalu lama akan cepat hancur dan sangat berbahaya bagi pasien. Terapi cytotoxic agents dengan alkylating agents seperti siklofosfamid dan klorambusil mungkin mampu menurunkan titer cold agglutinins dan mengurangi tingkat hemolisis. Pengobatan dengan kortikosteroid atau splenektomi umumnya tidak efektif. Plasmapheresis mengurangi tingkat cold agglutinins (Lanzkowsky, 2005).

Gambar 8. Terapi pada Primer dan Sekunder Warm dan Cold AIHA (Lechner and Ja¨ger, 2015)

b. Terapi Suportif 1) Transfusi darah

Pasien dengan baik warm maupun cold AIHA kemungkinan akan sering membutuhkan transfusi eritrosit untuk mempertahankan kadar hemoglobin, setidaknya sampai perawatan khusus memberikan respon. Tujuan terapi eritrosit terutama untuk memperbaiki oksigenisasi jaringan (Permono dkk, 2005). Keputusan untuk transfusi tidak hanya tergantung pada kadar hemoglobin, tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas pasien (terutama iskemik jantung atau penyakit paru yang berat), ketajaman penyakit di awal, dapat mempercepat perkembangan anemia,

dan adanya hemoglobinuria atau hemoglobinemia dan manifestasi lain dari hemolisis parah (Zanella et al, 2014). Sebelum melakukan transfusi perlu dilakukan pretransfusion testing terlebih dahulu untuk mencegah kemungkinan terjadi inkompatibilitas (aglutinasi) transfusi sel darah merah, seperti: ABO-incompatible donor RBCs, polyagglutinable donor RBCs, A2 atau A2B pasien memiliki serum anti-IgA, cold autoantibodies, secara pasif didapat anti-A dan anti-B, antibodi reaktif pada suhu kamar (IgM) (Weinstein, 2012).

Transfusi eritrosit dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

a) Eritrosit pekat (Packed Red Cell). Indikasi: mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia aplastic, thalassemia, anemia hemolitik, dan lainnya, mengatasi defisiensi yang berat dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat, serta perdarahan akut (Permono dkk, 2005).

b) Eritrosit miskin leukosit. Digunakan untuk menghindari/mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dan lainnya), dipergunakan pada kasus transfusi berulang, menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek (Permono dkk, 2005).

c) Eritrosit beku (Frozen Red Packed Cell). Bertujuan agar eritrosit dapat disimpan lebih lama, sebagian persediaan eritrosit yang jarang dijumpai (Permono dkk, 2005). d) Eritrosit yang diradiasi (Irradiation Blood) Digunakan untuk menghindari reaksi imun yang akan terjadi, radiasi bertujuan untuk menghancurkan sel limfosit yang sering menyebabkan terjadi reaksi Graft Versus Host (GVH) (Permono dkk, 2005).

e) Eritrosit yang dicuci (Wash Red Cell). Dilakukan karena pasien diduga mengalami alergi berat atau reaksi demam terhadap eritrosit atau pasien mengalami defisiensi Ig-A yang parah dengan antibodi anti Ig-Ig-A yang tidak sesuai dengan pendonor (Norfolk, 2013).

Hal yang perlu diketahui dalam melakukan transfusi eritrosit:

(1) Apabila antibodi spesifik diidentifikasi donor yang sesuai dapat dipilih. Antibodi biasanya berlaku sebagai panagglutinin, jika tidak ada darah yang sesuai dapat ditemukan.

(2) Washed packed red cells harus digunakan dari donor yang eritrosit menunjukkan aglutinasi setidaknya dalam serum pasien.

(3) Volume darah yang ditransfusikan harus dalam jumlah yang cukup untuk meringankan kardiopulmonari karena anemia.

(4) Penggunaan darah dibuat relatif aman dengan biologic cross-matching, transfusi darah dengan volume yang relatif kecil pada waktu tertentu, dan penggunaan seiring dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi.

(Lanzkowsky, 2005) 2) Splenectomy

Splenectomy merupakan terapi lini kedua diindikasikan jika proses hemolitik terus terjadi secara cepat meskipun terapi kortikosteroid dan IVIG dengan dosis tinggi selama 3-4 minggu dan kebutuhan transfusi eritrosit untuk mempertahankan tingkat hemoglobin yang wajar (Lanzkowsky, 2005). Tetapi mengingat komplikasi splenektomi (sepsis), maka tindakan ini perlu dipertimbangkan (Permono dkk, 2005).

3) Plasmapheresis

Plasmapheresis telah berhasil memperlambat laju hemolisis pada pasien dengan severe IgG-induced immune hemolytic anemia (Lanzkowsky, 2005).

7. Monitoring

Karena kondisi ini dapat mengancam jiwa, maka perlu dilakukan monitoring berikut:

a. Kadar hemoglobin (tiap 4 jam) b. Jumlah reticulocyte (tiap hari) c. Ukuran splenic (tiap hari) d. Hemoglobinuria (tiap hari) e. Kadar haptoglobin (tiap minggu) f. Coombs’ test (tiap minggu)

(Lanzkowsky, 2005) B. Drug Related Problems (DRPs)

1. Definisi

Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diinginkan atau risiko yang dialami oleh pasien selama proses terapi menggunakan obat yang menghambat atau menunda terapainnya tujuan terapi yang diinginkan secara aktual maupun potensial yang dapat terjadi disetiap tahapan penggunaan obat (Cipolle et al, 2004). DRP aktual merupakan masalah yang berkaitan dengan terapi obat selama proses pengobatan berlangsung, sedangkan DRP potensial merupakan masalah yang

kemungkinan terjadi berkaitan dengan terapi obat dikemudian hari (Cipolle et al, 2004).

Gambar 9. Tahapan Penggunaan Obat dan Letak Kejadian DRPs (Cipolle et al, 2004)

2. Kategori dan Penyebab

DRPs dapat dibagi menjadi beberapa kategori yang disebabkan beberapa hal, yaitu:

a. Tidak perlu obat (Unnecessary drug therapy)

1) Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu

2) Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat 3) Kondisi medis yang lebih tepat menggunakan terapi non-obat

4) Terapi untuk pencegahan efek samping 5) Penyalahgunaan obat

Indikasi Produk obat Regimen dosis Outcome

Tidak perlu terapi obat Perlu terapi obat

Obat tidak efektif Efek samping obat

Dosis terlalu rendah Dosis terlalu tinggi

Ketidakpatuhan pasien

Efektifitas

b. Perlu obat (Need for additional drug therapy) 1) Kondisi yang membutuhkan terapi baru

2) Terapi obat pencegahan untuk mengurangi risiko timbulnya risiko baru 3) Membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis dan aditif. c. Obat salah (Wrong drug)

1) Obat tidak efektif untuk kondisi pasien

2) Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan 3) Bentuk sediaan obat tidak sesuai

4) Obat tidak efektif untuk indikasi d. Dosis kurang (Dosage too low)

1) Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan 2) Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan 3) Interaksi obat mengurangi jumlah obat aktif yang tersedia

4) Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan e. Efek samping obat dan interaksi obat (Adverse drug reaction)

1) Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis 2) Diperlukan obat yang aman karena faktor risiko

3) Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan 4) Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat 5) Obat menyebabkan reaksi alergi

f. Dosis berlebih (Dosage too high) 1) Dosis terlalu tinggi

2) Frekuensi obat terlalu sering 3) Durasi obat terlalu panjang

4) Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik 5) Dosis obat diberikan terlalu cepat

g. Ketidakpatuhan pasien (Noncompliance) 1) Pasien tidak memahami instruksi

2) Pasien lebih memilih tidak meminum obat 3) Pasien lupa meminum obat

4) Obat terlalu mahal bagi pasien

5) Pasien tidak dapat menelan atau mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat 6) Obat tidak tersedia untuk pasien

(Cipolle et al, 2004) C. Pasien Anak

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak, anak adalah seseorang yang sampai berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori umur, yaitu:

1. Bayi baru lahir adalah bayi umur 0 sampai dengan 28 hari.

Dokumen terkait