• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014."

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) ANAK RAWAT INAP DI

RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA TAHUN 2009-2014 ANDIKA RATNA INTANI SUDIRMAN, YUNITA LINAWATI

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) didefinisikan sebagai peningkatan hemolisis (RBC) dengan adanya autoantibodi anti-RBC dengan prevalensi 17:100.000. AIHA dapat terjadi secara primer (idiopathic) ataupun sekunder. Pasien anak membutuhkan perhatian khusus walaupun kriteria monitoring obat sama dengan pasien dewasa berkaitan dengan perkembangan fungsi organ tubuh yang belum sempurna. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

Penelitian termasuk deskriptif observasional dengan rancangan case series. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan retrospektif melalui lembar rekam medis pasien anak berusia ≤ 18 tahun dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Evaluasi DRPs dianalisis dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/recommendation).

Terdapat 12 kasus yang memenuhi kriteria inklusi, dengan kelompok umur 6-18 tahun 89% dan kejadian pada anak perempuan 100%. Peresepan obat menggunakan metilprednisolon 100% dan ditemui DRPs paling banyak terjadi pada obat metilprednisolon sebagai imunosupresan yaitu dosis berlebih 8 kasus dan dosis kurang 7 kasus serta pada obat parasetamol sebagai analgesik/antipiretik yaitu perlu obat sebanyak 3 kasus.

(2)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) ANAK RAWAT INAP DI

RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA TAHUN 2009-2014 ANDIKA RATNA INTANI SUDIRMAN, YUNITA LINAWATI

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA ABSTRACT

Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) is defined as the increased destruction of red blood cells (RBCs) in the presence of anti-RBC autoantibodies with a prevalence of 17:100,000. AIHA can occur as primary (idiopathic) or secondary. Pediatric patients require special attention although drug monitoring criteria are the same as adults related to the development of the function of organs rudimentary. This study aimed to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in patients with Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) children hospitalized at Hospital Dr. Sardjito 2009-2014.

This study is descriptive observational with case series design. Data collection was done retrospectively on medical records of pediatric patients aged ≤ 18 years with a diagnosis of AIHA in Patient Care Installation Dr. Sardjito Yogyakarta for 2009-2014. Evaluation of DRPs were analyzed by the method of SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/recommendation).

There are 12 cases that met the inclusion criteria, with the age group 6-18 years 89% and the incidence in girls 100%. Prescribing drugs using methylprednisolone 100% and DRPs encountered most commonly in drug methylprednisolone as an immunosuppressant that dosage too high 8 cases and a dosage too low 7 cases and paracetamol as an analgesic/antipyretic drug that is need for additional drug therapy in 3 cases.

(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) ANAK RAWAT INAP DI

RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA TAHUN 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Andika Ratna Intani Sudirman NIM: 128114056

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN AUTOIMMUNE HEMOLYTIC ANEMIA (AIHA) ANAK RAWAT INAP DI

RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA TAHUN 2009-2014

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Andika Ratna Intani Sudirman NIM: 128114056

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

PERSEMBAHAN

Orang yang tak pernah melakukan kesalahan adalah orang

yang tak pernah mencoba sesuatu yang baru

(8)
(9)
(10)

vii PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related

Problems (DRPs) pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) Anak Rawat

Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014” dapat terselesaikan hingga

tahap akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung baik secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terimakasih ini penulis tujukan kepada:

1. Bapak Sudirman dan Ibu Sugiyem yang tersayang, atas doa, dukungan, semangat, dan pengertian serta berbagai bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph. D. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingannya selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Yunita Linawati, M. Sc., Apt. selaku dosen pembimbing atas dukungan dan arahan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

(11)

viii

Sardjito Yogyakarta yang memberikan izin untuk melakukan penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

5. dr. Agnes Muryanti, Sp. A., M. Ph. dan seluruh staff bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah membantu dalam proses penelusuran dan pencarian rekam medis.

6. Teman-teman seperjuangan, Okta Puspita, Sylviana Hesti Putri Nugroho dan Maria Sri Ayu Mustikawati atas semangat, dukungan, bantuan, kerjasama, dan informasi yang selalu dibagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

7. Sahabat setia Agnes Titiana Ratih dan Kathrin Dian Cintika untuk semangat, dukungan, kasih sayang, dan tawa selama proses pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang turut serta membantu kelancaran penyusunan skripsi ini hingga akhir.

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 3

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

a. Manfaat Teoritis ... 4

(13)

x

B. Tujuan ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 6

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) ... 6

B. Drug Related Problems (DRPs) ... 27

C. Pasien Anak ... 30

D. Keterangan Empiris ... 31

BAB III METODE PENELITIAN... 32

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 32

B. Variabel Penelitian ... 32

C. Definisi Operasional... 33

D. Subjek Penelitian ... 35

E. Bahan dan Instrumen Penelitian... 37

F. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 37

G. Tata Cara Penelitian ... 37

1. Persiapan ... 37

2. Analisis Situasi ... 38

3. Pengumpulan Data ... 38

4. Analisis Data ... 38

(14)

xi

I. Keterbatasan Penelitian ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Karakteristik Pasien ... 41

B. Pola Pengobatan ... 43

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 72

(15)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I: Penelitian Berkaitan dengan AIHA ... 3 Tabel II: Fungsi Protein Komplemen ... 11 Tabel III: Profil Penggunaan Obat pada Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014 ... 43 Tabel IV: Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien AIHA

Anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Tahun 2009-2014... 48 Tabel V: Profil Terapi Suportif yang Diterima Pasien AIHA Anak rawat Inap di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014 ... 48 Tabel VI: Gambaran DRPs pada Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP Dr.

(16)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Klasifikasi AIHA pada Anak ... 8

Gambar 2: Aktivasi Komplemen Jalur Klasik ... 11

Gambar 3: Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada warm AIHA ... 13

Gambar 4: Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada cold AIHA ... 15

Gambar 5: Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) ... 16

Gambar 6: Alogaritma Diagnosis AIHA ... 20

Gambar 7: Alogaritma Pengobatan warm AIHA ... 21

Gambar 8: Terapi pada Primer dan Sekunder warm dan cold AIHA... 24

Gambar 9: Tahapan Penggunaan Obat dan Letak Kejadian DRPs ... 28

Gambar 10: Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ... 36

(17)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Keterangan Ethic Committee Approval ... 73 Lampiran 2: Surat Ijin Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta ... 74 Lampiran 3: Nilai Rujukan Hasil Laboratorium Pasien Autoimmune Hemolytic

Anemia (AIHA) Anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun

2009-2014 ... 75 Lampiran 4: Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 77 Lampiran 5: Evaluasi Kasus Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) Anak di RSUP Dr. Sardjito

(18)

xv INTISARI

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) didefinisikan sebagai peningkatan hemolisis (RBC) dengan adanya autoantibodi anti-RBC dengan prevalensi 17:100.000. AIHA dapat terjadi secara primer (idiopathic) ataupun sekunder. Pasien anak membutuhkan perhatian khusus walaupun kriteria monitoring obat sama dengan pasien dewasa berkaitan dengan perkembangan fungsi organ tubuh yang belum sempurna. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

Penelitian termasuk deskriptif observasional dengan rancangan case series. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan retrospektif melalui lembar rekam medis pasien anak berusia ≤ 18 tahun dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Evaluasi DRPs dianalisis dengan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/recommendation).

Terdapat 12 kasus yang memenuhi kriteria inklusi, dengan kelompok umur 6-18 tahun 89% dan kejadian pada anak perempuan 100%. Peresepan obat menggunakan metilprednisolon 100% dan ditemui DRPs paling banyak terjadi pada obat metilprednisolon sebagai imunosupresan yaitu dosis berlebih 8 kasus dan dosis kurang 7 kasus serta pada obat parasetamol sebagai analgesik/antipiretik yaitu perlu obat sebanyak 3 kasus.

(19)

xvi ABSTRACT

Autoimmune hemolytic anemia (AIHA) is defined as the increased destruction of red blood cells (RBCs) in the presence of anti-RBC autoantibodies with a prevalence of 17:100,000. AIHA can occur as primary (idiopathic) or secondary. Pediatric patients require special attention although drug monitoring criteria are the same as adults related to the development of the function of organs rudimentary. This study aimed to evaluate the Drug Related Problems (DRPs) in patients with Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) children hospitalized at Hospital Dr. Sardjito 2009-2014.

This study is descriptive observational with case series design. Data collection was done retrospectively on medical records of pediatric patients aged ≤ 18 years with a diagnosis of AIHA in Patient Care Installation Dr. Sardjito Yogyakarta for 2009-2014. Evaluation of DRPs were analyzed by the method of SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan/recommendation).

There are 12 cases that met the inclusion criteria, with the age group 6-18 years 89% and the incidence in girls 100%. Prescribing drugs using methylprednisolone 100% and DRPs encountered most commonly in drug methylprednisolone as an immunosuppressant that dosage too high 8 cases and a dosage too low 7 cases and paracetamol as an analgesic/antipyretic drug that is need for additional drug therapy in 3 cases.

(20)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) didefinisikan sebagai peningkatan

hemolisis disebabkan adanya autoantibodi anti-RBC (Baek, Lee, Ryu, Lee, Song, Lee et al, 2011). Penyakit AIHA dapat terjadi pada semua usia termasuk pada bayi dan

anak-anak dengan angka kejadian 0,2:100.000 tiap tahun dengan prevalensi 17:100.000 (Zanella and Barcellini, 2014) dan tingkat kematian sebesar 10% (Naithani, Agrawal, Mahapatra, Kumar, Pati, and Choudhry, 2007). Penyakit ini dapat bersifat primer (50%) maupun sekunder yang berhubungan dengan beberapa penyakit lain seperti lymphoproliferative syndroms (20%), penyakit autoimun (20%), infeksi dan tumor (Zanella et al, 2014). Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) terjadi pada anak-anak dengan rata-rata usia diagnosis 3,8 tahun (Chou and Schreiber, 2015) pada salah satu jenis AIHA yaitu, primer warm AIHA sebesar 37% dari kasus yang ada (Zanella et al, 2014). Penyakit hematologi ini merupakan penyakit yang jarang namun penting karena memiliki tingkat keparahan dari gejala penyakit ringan sampai sindrom fatal secara cepat (DeLoughery, 2013).

(21)

adanya perbedaan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik (Soldin and Soldin, 2002), perbedaan sistem ADME (Absorption, Distribution, Metabolism, Elimination), dan efektifitas serta keamanan penggunan obat pada setiap kelompok umur dibandingkan dengan orang dewasa (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 2008). Pemantauan pengobatan pada anak-anak harus selalu dilakukan untuk melihat efektifitas pengobatan agar tujuan terapi dapat tercapai dan mencegah dampak buruk terhadap tumbuh kembang anak. Salah satu cara untuk mengetahui apakah terapi yang diterima pasien telah efektif yaitu dengan cara evaluasi DRPs. Drug Related Problems (DRPs) merupakan konsekuensi yang dapat terjadi berkaitan dengan

kebutuhan obat (Cipolle, Strand, and Morley, 2004) sehingga diharapkan dengan adanya evaluasi DRPs dapat mengurangi angka kejadian DRPs pada pasien.

(22)

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Seperti apakah karakteristik pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014?

b. Seperti apakah pola pengobatan pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014?

c. Seperti apakah DRPs terjadi pada pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014, yang meliputi: tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, efek samping obat dan interaksi obat, serta dosis berlebih. 2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi DRPs pada pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 belum pernah dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian berkaitan dengan AIHA yang pernah dilakukan dapat dilihat pada Tabel I.

Tabel I. Penelitian Berkaitan dengan AIHA

No Pengarang Persamaan Perbedaan

1 Aladjidi, Leverger,

Leblanc, Picat, Michel,

Bertrand et al, 2011

Pasien anak dengan diagnosis AIHA.

(23)

Tabel I. Lanjutan

No Pengarang Persamaan Perbedaan

2 Oliveira,

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak terdiagnosis AIHA sekunder, sedangkan pada penelitian ini anak terdiagnosis AIHA primer. 3 Li, Yuan, Jiang,

Ning-Li, Shu, and Liu, 2015

Pasien mendapatkan terapi suportif yaitu transfusi darah.

Jenis trasfusi yang digunakan pada terapi AIHA pada penelitian ini yaitu

Tidak dilakukan kombinasi obat dalam penanganan AIHA.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada tujuan penelitian, periode penelitian, dan tempat penelitian dilakukan.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan sumber pembelajaran tentang DRPs pada pengobatan AIHA.

b. Manfaat Praktis

(24)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengevaluasi DRPs pada pengobatan pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

b. Mengidentifikasi pola pengobatan pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

(25)

6 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) 1. Definisi

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) ditandai dengan adanya

(26)

Beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya proses hemolisis ini diantaranya, yaitu:

a. Antigen sel eritrosit. b. Antibodi-anti sel eritrosit.

c. Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum. d. Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor Fc pada makrofag limpa.

(Permono dkk, 2005) 2. Klasifikasi

Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) diklasifikasikan sebagai warm

AIHA dan cold AIHA (yang termasuk Cold Aglutinin Disease (CAD) dan Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)) sesuai dengan kisaran suhu autoantibodi

berikatan dengan antigen dan menyebabkan terjadinya hemolisis (Zanella et al, 2014) dapat dilihat pada Gambar 1. Warm dan cold AIHA dapat terjadi secara primer (idiopathic) ataupun sekunder. Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) sekunder lebih sering terjadi dibandingkan dengan AIHA primer dikarenakan terdapat penyakit yang mendasari munculnya AIHA dan perlu dilakukan pengobatan (Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Chronic Lymphocytic Leukemia (CLL), Hodgkin lymphoma,

(27)

Gambar 1. Klasifikasi AIHA pada Anak (Hay, Sondheimer, and Deterding, 2008)

3. Patologi

Penyebab dasar produksi autoantibodi pada AIHA adalah sistem kekebalan tubuh yang tidak dapat mengenali host atau self-antigen yang berkaitan dengan kegagalan sel T meregulasi sel B dan cenderung menyebabkan perubahan dalam struktur antigen pada eritrosit (Chaundhary et al, 2014). Perubahan struktur antigen pada eritrosit dapat dijelaskan berdasarkan klasifikasi AIHA, sebagai berikut:

a. Warm AIHA

Rhesus (Rh) polipeptida seperti Rhnull merupakan target patogenik

(28)

dalam berbagai variasi (Westhoff, 2007). Cross-react yang terjadi pada Rh dengan gen yang telah termutasi menyebabkan sistem imun gagal menekan respon autoreaktif dan memicu terjadinya hemolisis (DeLoughery, 2013). Temuan terbaru menunjukkan bahwa Rh protein memediasi interaksi kunci dengan sitoskeleton melalui protein 4.2 dan ankyrin (Westhoff, 2007). Ankyrin merupakan protein encoding yang berperan dalam aktivitas sel (proliferasi, mobilisasi, dan interkasi membran dengan sel lain). Ankyrin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ANK1 yang ditemukan pada eritrosit dan ANK2 yang ditemukan pada otot jantung. Mutasi pada ANK1 menyebabkan terjadinya hemolisis dan sferositosis (PubMed, 2016).

b. Cold Aglutinin Disease (CAD)

Antibodi IgM pada CAD umumnya menyerang sistem golongan darah I/i. Ekspresi antigen i tinggi umumnya terjadi pada bayi dan setelah usia 18 bulan atau lebih (dewasa) ekspresi antigen i menurun sedangkan ekspresi antigen I meningkat (Marcus et al, 2014). Antibodi anti-I mendeteksi adanya antigen I dan lebih spesifik terhadap antigen i (Yu, Twu, Chang, and Lin, 2001). Mutasi gen yang mengkode I beta-1,6-N-acetyl glucosamine transferase (I beta-1,6-GlcNAcT, GCNT2) yang

(29)

c. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Pk dan P merupakan antigen pada permukaan membran eritrosit yang disintesis pada tahapan glycosyltransferase. Mutasi gen A4GALT1 dan B3GALNT1 yang mengkode glycosyltransferase menyebabkan ekspresi antigen Pk dan P lebih tinggi dari normal sehingga memicu munculnya IgM dan/atau IgG3 berikatan membentuk kompleks dengan antigen tersebut dan terjadi hemolisis (PubMed, 2016).

Beberapa faktor lain yang dapat memicu munculnya autoantibodi, yaitu genetik, infeksi, gangguan inflamasi, obat, dan gangguan limfoproliferatif (Chaundhary et al, 2014). Autoantibodi yang mengikat eritrosit dengan struktur antigen berbeda menyebabkan terjadinya hemolisis melalui sistem komplemen (Sarper, Kılıç, Zengin, and Gelen, 2011). Komplemen merupakan sistem yang terdiri

atas sejumlah protein yang berperan dalam pertahanan pejamu, baik dalam sistem imun non spesifik maupun sistem imun spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi, dan kerusakan (lisis) membrane pathogen. Terdapat sembilan komponen dasar komplemen yaitu C1

(30)

Gambar 2. Aktivasi Komplemen Jalur Klasik (Berentsen et al, 2015) Tabel II. Fungsi Protein Komplemen

Protein Komplemen Fungsi

C1qrs Meningkatkan permeabilitas vaskuler

C2 Mengaktifkan kinin

C3a dan C5a Kemotaksis yang mengarahkan leukosit dan juga berupa anafilotoksin yang dapat merangsang sel mast melepas histamin dan mediator lainnya

C3b Opsonin dan adherens imun

C4a Anafilotoksin lemah

C4b Opsonin

C5,6,7 Kemotaksis

(31)

Aktivasi sistem komplemen oleh kompleks antigen-autoantibodi menyebabkan terjadinya hemolisis. Hemolisis pada AIHA dapat terjadi di dalam atau di luar kompartemen vaskuler, sebagai berikut:

1) Hemolisis intravaskuler

Hemolisis yang terjadi di dalam kompartemen vaskuler dan melepas komponen darah ke dalam plasma biasanya terjadi pada CAD dan PCH. Hemolisis ini jarang ditemui dan terjadi sebagai hasil fiksasi komplemen pada reaksi transfusi, cidera mekanik, atau faktor toksis yang ditandai dengan hemoglobinemia, hemoglobinuria, ikterus, dan hemosiderinuria (Porth and Matfin, 2009).

2) Hemolisis ekstravaskuler

Hemolisis ekstravaskuler terjadi di dalam fagosit mononukleus umumnya terjadi pada warm AIHA. Eritrosit yang abnormal diasingkan dan difagosit oleh makrofag pada limpa. Manifestasi hemolisis ekstravaskuler termasuk anemia, ikterus, dan ditandai dengan splenomegali (Porth et al, 2009).

(32)

Berikut penjelasan hemolisis yang disebabkan oleh interaksi antigen dan Ig-class antibody:

a) Warm-Type Autoimmune Hemolytic Anemia

Warm autoantibody syndrome, terjadi akibat antibodi bereaksi maksimal

dengan antigen target pada suhu 37°C. Jenis antibodi hampir pada semua kasus adalah isotope IgG (Permono dkk, 2005). Warm AIHA memiliki 2 mekanisme yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler, yaitu Fc receptor-mediated immune adherence dan complement mediated hemolisis dapat dilihat pada Gambar 3.

(33)

(1) Fc receptor-mediated immune adherence

Eritrosit yang dilapisi autoantibodi dapat dihilangkan dari aliran darah melalui 2 mekanisme, yaitu fagositosis dan lisis. Eritrosit yang dianggap sebagai antigen membentuk suatu kompleks dengan autoantibodi sehingga mengaktifkan protein komplemen yang menyebabkan terjadinya fagositosis oleh makrofag limpa dan menyisakan sferosit (eritrosit yang memiliki ukuran lebih bulat dan memiliki warna yang padat dibandingkan dengan eritrosit normal, serta tidak memiliki warna pucat dibagian tengah). Fc receptor merupakan reseptor yang berada pada makrofag menempel pada IgG sedangkan CR1 pada makrofag merupakan ligan bagi protein komplemen (C3b) akan berikatan sehingga menyebabkan terjadinya fagositosis. Proses lisis terjadi dengan terbentuknya kompleks antigen-autoantibodi yang menyebabkan protein komplemen teraktivasi dan menyebabkan lisis.

(2) Complement mediated hemolisis

Adanya antigen menyebabkan IgG bergabung membentuk kompleks yang mengaktifkan C1 kemudian terpecah menjadi C1q, C1r, dan C1s. C1qrs selanjutnya mengaktifkan C2 dan C4 kemudian menyebabkan C3 teraktivasi dan membentuk C3b yang menempel pada kompleks antigen-autoantibodi. Menempelnya C3b menyebabkan terjadinya lisis eritrosit, dan proses ini terjadi di liver.

b) Cold Agglutinin Disease (CAD)

Cold Agglutinin (CA) adalah antibodi IgM yang terikat pada eritrosit pada

(34)

golongan darah Ii, kebanyakan CA pada CAD spesifik terhadap antigen karbohidrat I. Pendinginan darah melalui bagian akral (ujung jari, hidung, dan telinga) pada sirkulasi memungkinkan CA untuk mengikat eritrosit dan menyebabkan aglutinasi. Mekanisme pengaktifan sistem komplemen pada CAD dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Mekanisme Penghancuran Eritrosit pada Cold AIHA (Berentsen et al, 2015)

(35)

dengan eritrosit yang kemudian dibawa ke hati untuk difagosit. Namun pada eritrosit yang masih bertahan diikat oleh C3d, yaitu C3b yang telah dipecah.

c) Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH)

Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) merupakan antibodi cold-reacting

dari sub tipe IgG yang jarang. Seperti cold agglutinin, PCH tidak bereaksi dengan eritrosit pada suhu badan, tetapi terikat pada suhu dingin (Permono dkk, 2005). Polyclonal cold-reactive komplek IgG-antibodi pada PCH mengikat antigen protein

permukaan eritrosit disebut P. Mekanisme pengaktifan sistem komplemen pada PCH dapat dilihat pada Gambar 5.

(36)

Antigen dan antibodi anti-eritrosit membentuk kompleks pada suhu 4⁰C, kemudian kompleks tersebut mengikat C1 pada suhu 37⁰C yang menyebabkan aktivasi C2 dan C4. Selanjutnya C3 konvertase teraktivasi dan dipecah menjadi C3a dan C3b. C3b yang terikat pada kompleks antigen-antibodi anti-eritrosit akan mengaktifkan C5 yang kemudian menyebabkan teraktivasinya protein komplemen C5b,6,7,8,9 dan terjadi lisis sel. Proses yang terjadi pada kedua suhu tersebut disebut antibodi bifase (Donath-Landsteiner Hemolysins). Sampel darah pasien pada uji Donath-Landsteiner’s diinkubasi pada suhu 4⁰C dan kemudian pada 37⁰C sedangkan sampel darah lain diinkubasi pada suhu 37⁰C tanpa dilakukan preinkubasi pada suhu dingin. Apabila muncul autoantibodi bifase, hemolisis akan terjadi hanya pada sampel dengan preinklusi pada suhu 4⁰C.

Warm AIHA dan PCH memiliki isotop antibodi yang sama yaitu IgG,

sedangkan perbedaan dari kedua jenis AIHA tersebut terletak pada antigen permukaan membran eritrosit (warm AIHA: Rh polipeptida, PCH: protein P) yang akan diikat oleh antibodi dan dapat dideteksi menggunakan direct coombs test.

4. Gejala dan Tanda AIHA

(37)

ditemukan adalah splenomegali dan hepatomegali. Gejala dan tanda yang timbul tidak hanya tergantung pada tingkat keparahan anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi (Permono dkk, 2005).

5. Diagnosis

Seorang pasien yang dicurigai AIHA dapat dilakukan pemeriksaan secara bertahap, yaitu: gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, darah tepi, dan Coombs test. Alur pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar 6.

a. Gejala AIHA sama seperti anemia meliputi: pusing, pening, mudah lelah, malaise, syncope, demam, kedinginan, nyeri perut/punggung, pucat, takikardi, takipnea,

hipotensi, atau syok (Lanzkowsky, 2005).

b. Pemeriksaan fisik meliputi: ikterus, urin berwarna gelap, gangguan pernapasan, pucat, splenomegali dan hepatomegali teraba (Lanzkowsky, 2005).

c. Pemeriksaan laboratorium dengan kriteria hemolisis terjadi peningkatan jumlah retikulosit, peningkatan indirect bilirubin, penurunan haptoglobin, peningkatan hemoglobin bebas (acute/severe hemolytic anemia), peningkatan Lactat Dehidrogenase (LDH) (tidak sangat spesifik), hemoglobinuria yang disebabkan

peningkatan urobilinogen pada urin (Sills, 2003).

(38)

trombositopeni. Kadar indirect bilirubin meningkat. Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik (Permono dkk, 2005).

e. Coombs test merupakan tes darah klinis yang digunakan sebagai standar dalam diagnosis AIHA menunjukkan hasil positif. Direct Coombs test berguna dalam mendeteksi antibodi pada permukaan eritrosit, sedangkan indirect Coombs test berguna dalam mengidentifikasi antibodi anti-eritrosit pada serum. Tes ini dapat digunakan untuk membedakan warm AIHA dengan cold AIHA. Jika hasil coombs test menunjukan hasil positif dengan adanya IgG atau IgG+C3d dapat

dikategorikan sebagai warm AIHA sedangkan jika hasil menunjukkan positif dengan adanya C3d maka dapat dikategorikan sebagai cold AIHA (Hoffman et al, 2014) Negatif Coombs pada AIHA terjadi, tapi jarang pada anak-anak (Sutedjo, 2006).

(39)

Gambar 6. Alogaritma Diagnosis AIHA (Sills, 2003)

6. Terapi

(40)

menurunkan morbiditas dan mortalitas dikarenakan anak-anak dengan AIHA memiliki risiko lebih besar untuk penyakit yang lebih berat (Hay et al, 2008).

a. Farmakologi

Pengobatan pada AIHAdibedakan berdasarkan klasifikasi AIHA yaitu warm dan cold AIHA yang dapat dilihat pada Gambar 8.

1) Pengobatan Warm AIHA

(41)

a) Terapi kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama bagi pasien dengan warm AIHA (Zanella et al, 2012). Tujuan pemberian kortikosteroid adalah untuk menekan antibodi anti-eritrosit yang terbentuk oleh sel B secara cepat, dan dengan adanya autoantibodi dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya hemolisis. Metilprednisolon sebagai imunosupresan pada kondisi autoimun dengan dosis ≤ 30 mg/kgBB/hari (Sinha and Bagga, 2008). Hidrokortison 8-40 mg/kg BB/hari secara intravena dan diberikan secara terbagi (tiap 8 jam) atau prednison 2-10 mg/kgBB/hari secara peroral. Terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipertahankan selama beberapa hari. Terapi kortikosteroid harus diturunkan secara perlahan selama 3-4 minggu (Lanzkowsky, 2005).

b) Intravenous Gammaglobulin (IVIG) digunakan dengan dosis 5 g/kg BB/hari (Lanzkowsky, 2005).

c) Agen sitotoksik

(1) Antimetabolites: Azathioprine (125 mg/hari), 6-merkaptopurin, dan thioguanine. (2) Alkylating agents: Klorambusil dan siklofosfamid (1 g/m2 setiap 28 hari).

(3) Mitotic inhibitors: Vincristine dan vinblastine.

Terapi dengan agen sitotoksik harus digunakan hanya pada pasien refrakter terhadap steroid dan splenektomi (Lanzkowsky, 2005).

d) Terapi imunosupresif

(42)

autoimun dan anemia aplastik, mungkin memiliki peran dalam pengobatan immune-mediated hemolysis, meskipun percobaan prospektif belum selesai (Lanzkowsky,

2005).

e) Terapi hormonal

Telah terbukti hasil danazol (androgen sintetis) (200 mg 4 kali/hari), yang memiliki masculinizing effect. Efek awal danazol ini tampaknya disebabkan karena penurunan ekspresi aktivitas Fc-reseptor makrofag dan danazol dapat menjadi alternatif untuk terapi kortikosteroid pada beberapa pasien dengan IgG-induced immune hemolytic anemia (Lanzkowsky, 2005).

2) Pengobatan cold AIHA

(43)

Gambar 8. Terapi pada Primer dan Sekunder Warm dan Cold AIHA (Lechner and Ja¨ger, 2015)

b. Terapi Suportif 1) Transfusi darah

(44)

dan adanya hemoglobinuria atau hemoglobinemia dan manifestasi lain dari hemolisis parah (Zanella et al, 2014). Sebelum melakukan transfusi perlu dilakukan pretransfusion testing terlebih dahulu untuk mencegah kemungkinan terjadi

inkompatibilitas (aglutinasi) transfusi sel darah merah, seperti: ABO-incompatible donor RBCs, polyagglutinable donor RBCs, A2 atau A2B pasien memiliki serum

anti-IgA, cold autoantibodies, secara pasif didapat anti-A dan anti-B, antibodi reaktif pada suhu kamar (IgM) (Weinstein, 2012).

Transfusi eritrosit dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

a) Eritrosit pekat (Packed Red Cell). Indikasi: mengatasi keadaan anemia karena keganasan, anemia aplastic, thalassemia, anemia hemolitik, dan lainnya, mengatasi defisiensi yang berat dengan ancaman gagal jantung atau menderita infeksi berat, serta perdarahan akut (Permono dkk, 2005).

b) Eritrosit miskin leukosit. Digunakan untuk menghindari/mencegah reaksi transfusi non hemolitik (panas, gatal, menggigil, dan lainnya), dipergunakan pada kasus transfusi berulang, menghindari potensi sensitisasi pada kasus transplantasi jaringan, dan mempunyai masa simpan yang lebih pendek (Permono dkk, 2005).

(45)

e) Eritrosit yang dicuci (Wash Red Cell). Dilakukan karena pasien diduga mengalami alergi berat atau reaksi demam terhadap eritrosit atau pasien mengalami defisiensi Ig-A yang parah dengan antibodi anti Ig-Ig-A yang tidak sesuai dengan pendonor (Norfolk, 2013).

Hal yang perlu diketahui dalam melakukan transfusi eritrosit:

(1) Apabila antibodi spesifik diidentifikasi donor yang sesuai dapat dipilih. Antibodi biasanya berlaku sebagai panagglutinin, jika tidak ada darah yang sesuai dapat ditemukan.

(2) Washed packed red cells harus digunakan dari donor yang eritrosit menunjukkan aglutinasi setidaknya dalam serum pasien.

(3) Volume darah yang ditransfusikan harus dalam jumlah yang cukup untuk meringankan kardiopulmonari karena anemia.

(4) Penggunaan darah dibuat relatif aman dengan biologic cross-matching, transfusi darah dengan volume yang relatif kecil pada waktu tertentu, dan penggunaan seiring dengan terapi kortikosteroid dosis tinggi.

(Lanzkowsky, 2005) 2) Splenectomy

Splenectomy merupakan terapi lini kedua diindikasikan jika proses hemolitik

(46)

3) Plasmapheresis

Plasmapheresis telah berhasil memperlambat laju hemolisis pada pasien

dengan severe IgG-induced immune hemolytic anemia (Lanzkowsky, 2005).

7. Monitoring

Karena kondisi ini dapat mengancam jiwa, maka perlu dilakukan monitoring berikut:

a. Kadar hemoglobin (tiap 4 jam) b. Jumlah reticulocyte (tiap hari) c. Ukuran splenic (tiap hari) d. Hemoglobinuria (tiap hari) e. Kadar haptoglobin (tiap minggu) f. Coombs’ test (tiap minggu)

(Lanzkowsky, 2005) B. Drug Related Problems (DRPs)

1. Definisi

Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diinginkan

(47)

kemungkinan terjadi berkaitan dengan terapi obat dikemudian hari (Cipolle et al, 2004).

Gambar 9. Tahapan Penggunaan Obat dan Letak Kejadian DRPs (Cipolle et al, 2004)

2. Kategori dan Penyebab

DRPs dapat dibagi menjadi beberapa kategori yang disebabkan beberapa hal, yaitu:

a. Tidak perlu obat (Unnecessary drug therapy)

1) Tidak adanya indikasi medik yang valid untuk terapi pada saat itu

2) Berbagai obat digunakan untuk kondisi yang hanya membutuhkan satu obat 3) Kondisi medis yang lebih tepat menggunakan terapi non-obat

4) Terapi untuk pencegahan efek samping 5) Penyalahgunaan obat

Indikasi Produk obat Regimen dosis Outcome

Tidak perlu terapi obat Perlu terapi obat

Obat tidak efektif Efek samping obat

Dosis terlalu rendah Dosis terlalu tinggi

Ketidakpatuhan pasien

Efektifitas

(48)

b. Perlu obat (Need for additional drug therapy) 1) Kondisi yang membutuhkan terapi baru

2) Terapi obat pencegahan untuk mengurangi risiko timbulnya risiko baru 3) Membutuhkan tambahan terapi untuk mencapai efek sinergis dan aditif. c. Obat salah (Wrong drug)

1) Obat tidak efektif untuk kondisi pasien

2) Kondisi medis tidak dapat disembuhkan dengan obat yang diberikan 3) Bentuk sediaan obat tidak sesuai

4) Obat tidak efektif untuk indikasi d. Dosis kurang (Dosage too low)

1) Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan 2) Interval dosis terlalu besar untuk menghasilkan respon yang diinginkan 3) Interaksi obat mengurangi jumlah obat aktif yang tersedia

4) Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan e. Efek samping obat dan interaksi obat (Adverse drug reaction)

1) Obat menyebabkan reaksi tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis 2) Diperlukan obat yang aman karena faktor risiko

3) Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan 4) Regimen dosis diberikan atau berubah terlalu cepat 5) Obat menyebabkan reaksi alergi

(49)

f. Dosis berlebih (Dosage too high) 1) Dosis terlalu tinggi

2) Frekuensi obat terlalu sering 3) Durasi obat terlalu panjang

4) Interaksi obat menyebabkan reaksi toksik 5) Dosis obat diberikan terlalu cepat

g. Ketidakpatuhan pasien (Noncompliance) 1) Pasien tidak memahami instruksi

2) Pasien lebih memilih tidak meminum obat 3) Pasien lupa meminum obat

4) Obat terlalu mahal bagi pasien

5) Pasien tidak dapat menelan atau mengelola obat tersebut sendiri dengan tepat 6) Obat tidak tersedia untuk pasien

(Cipolle et al, 2004) C. Pasien Anak

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 tentang upaya kesehatan anak, anak adalah seseorang yang sampai berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori umur, yaitu:

1. Bayi baru lahir adalah bayi umur 0 sampai dengan 28 hari. 2. Bayi adalah anak mulai umur 0 sampai 11 bulan.

(50)

4. Anak prasekolah adalah anak umur 60 bulan sampai 72 bulan.

5. Anak usia sekolah adalah anak umur lebih dari 6 tahun sampai sebelum berusia 18 tahun.

6. Remaja adalah kelompok usia 10 tahun sampai berusia 18 tahun.

Pasien anak denagn AIHA membutuhkan perhatian khusus terkait dengan perkembangan fungsi organ tubuh yang belum sempurna sehingga menyebabkan adanya perbedaan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik (Soldin et al, 2002), perbedaan sistem ADME (Absorption, Distribution, Metabolism, dan Elimination) dan efektifitas serta keamanan penggunan obat pada setiap kelompok

umur dibandingkan dengan orang dewasa (Dipiro et al, 2008).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai Drug Related Problems (DRPs) pada pengobatan pasien AIHA anak, meliputi: tidak perlu obat

(unnecessary drug therapy), perlu obat (need for additional drug therapy), obat salah

(wrong drug), dosis kurang (dosage too low), efek samping obat dan interaksi obat

(adverse drug reaction), serta dosis berlebih (dosage too high) di Instalasi Rawat

(51)

32 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi DRPs pada pasien AIHA anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 merupakan penelitian deskriptif observasional dengan rancangan case series dan pengambilan data bersifat retrospektif.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian observasional karena dilakukan penggalian informasi secara sederhana melalui sumber data yang telah tersedia yaitu rekam medis pasien (WHO, 2013). Penelitian deskriptif dilakukan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data serta tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis (Arikunto, 2006). Case series merupakan kumpulan dari kasus yang sama dengan suatu kondisi dalam periode waktu tertentu yang kemudian dievaluasi dan dideskripsikan hasil klinisnya (Strom and Kimmel, 2006). Penelitian ini dilakukan secara retrospektif karena data yang diperoleh melalui penelusuran dokumen terdahulu, yaitu lembar rekam medis pasien anak dengan AIHA.

B. Variabel Penelitian

(52)

obat dan interaksi obat (adverse drug reaction), serta dosis berlebih (dosage too high) pada pasien anak dengan diagnosis AIHA.

C. Definisi Operasional

1. Pola penggunaan obat merupakan terapi farmakologis yang diterima subjek penelitian selama dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 meliputi jenis obat dan rute pemberian serta terapi suportif. 2. Drug Related Problems (DRPs) yang dikaji dalam penelitian ini meliputi 6

kategori, yaitu tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, efek samping obat dan interaksi obat, serta dosis berlebih.

3. Evaluasi DRPs merupakan penilaian mengenai permasalahan yang timbul selama penggunaan obat pada pasien anak dengan diagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment, Plan). Metode SOAP merupakan suatu strategi dalam situasi analisis catatan medis berdasarkan masalah kesehatan pasien. Metode ini terdiri atas 4 elemen, yaitu: subjective (S): berisi informasi subjektif dalam rekam medis; objective (O): berisi data yang dimasukkan ke dalam catatan kesehatan seperti beberapa hasil tes, prosedur dan evaluasi; data ini dapat berupa tanda vital, temuan pemeriksaan fisik, hasil X-ray, ECG, obat dan lainnya; assessment (A): mengacu pada informasi subjektif dan objektif yang harus

(53)

Martinez, Bohorquez, Guevara, Ramirez, 2012). Bagian plan pada penelitian ini diganti dengan recommendation dikarenakan penelitian menggunakan pendekatan secara retrospektif sehingga analisis yang dilakukan bertujuan untuk memberikan rekomendasi atas masalah yang terjadi. Digunakan metode tersebut dikarenakan metode SOAP merupakan metode yang tradisional, suatu metode yang biasa digunakan ketika tenaga medis dan kefarmasian berkomunikasi dengan pasien dan membuat catatan dokumentasi berdasarkan informasi yang didapat dari pasien (Shoolin, Ozeran, Hamann, Bria, 2013). Evaluasi DRPs dilakukan berdasarkan beberapa acuan:

a. Evaluasi tanda dan gejala pasien, meliputi: Manual of Pediatric Hematology and Oncology 4th Edition (Lanzkowsky, 2005), Practical Alogarithms in Pediatric Hematology and Oncology (Sills, 2003), Mengenal Penyakit Melalui Hasil

Pemeriksaan Laboratorium (Sutedjo, 2006), Current Diagnosis & Treatment Pediatric 9th Edition (Hay et al, 2008), Temperature measurement in pediatrics (Leduc and Woods, 2015).

b. Evaluasi terapi farmakologis pasien, meliputi: Treatment of autoimmune hemolytic anemias (Zanella et al, 2014), How I treat autoimmune hemolytic anemias in

adults (Lechner et al, 2015), Autoimmune Hemolytic Anemia (DeLoughery, 2013),

Pulse Steroid Therapy (Sinha et al, 2008), A Different Look at Corticosteroids

(Zoorob, 1998), Useful medications for Oral Conditions (AAPD, 2015), A practical guide to the monitoring ad management of the complicatons of systemic

(54)

al, 2013), Clinical report-Fever and Antipyretic Use in Children (Sullivan and

Farrar, 2015).

c. Evaluasi terapi suportif pasien, meliputi: Transfusion Medicine (Norfolk, 2013), Best practices for blood product administration (Bielefeldt and DeWitt, 2009).

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pasien anak yang terdiagnosis AIHA di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Kriteria inklusi penelitian ini yaitu satu atau lebih kasus dalam satu nomor rekam medis dengan usia pasien ≤ 18 tahun yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.

Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 dengan AIHA primer (idiopathic) Kriteria eksklusi dari penelitian ini yaitu pasien dengan AIHA sekunder, meninggal sebelum mendapatkan terapi pengobatan, rekam medis pasien AIHA anak rawat inap yang tidak lengkap dan sulit terbaca.

(55)

rawat inap lebih dari satu kali pada tanggal, bulan, ataupun tahun yang berbeda sehingga diperoleh 12 kasus dari 9 rekam medis.

Gambar 10. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

AIHA Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

237 pasien dengan 342 kasus

Dewasa usia 26-45

8 kasus: data tidak lengkap yang

Eksklusi 6 kasus Eksklusi 57 kasus Eksklusi 37 kasus:

Inklusi 12 kasus

(56)

E. Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis rawat inap pasien anak dengan diagnosis AIHA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

2. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah form yang digunakan saat proses pengambilan data dari lembar rekam medis pasien anak dengan AIHA yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Form ini memuat informasi subjektif dan objektif selama pasien menjalani rawat inap.

F. Waktu dan Lokasi Penelitian

Waktu kerja penelitian ini pada tanggal 26 Juni 2015 sampai 10 Oktober 2015 di bagian Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.

G. Tata Cara Penelitian 1. Persiapan

(57)

2. Analisis Situasi

Tahap ini dilakukan pemastian data yang diambil telah memadai untuk dilakukan evaluasi. Tahap ini dilakukan dengan menggunakan data yang diambil dari beberapa kasus kemudian dilakukan evaluasi atas data tersebut.

3. Pengumpulan Data a. Penelusuran Data

Proses ini dilakukan dengan melihat print out data dari bagian rekam medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang kemudian dilakukan penelusuran berdasarkan nomor rekam medis pasien AIHA anak rawat inap tahun 2009-2014.

b. Pengambilan Data

Proses ini dilakukan dengan menyalin data yang ada di lembar rekam medis pasien AIHA anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014 meliputi identitas pasien, diagnosis, keluhan utama, tanggal rawat, riwayat penyakit dan penggunaan obat, status keluar, hasil pemeriksaan, catatan keperawatan dan perkembangan pasien, serta terapi farmakologis yang diberikan kepada pasien. Informasi mengenai terapi farmakologis dalam penelitian ini disajikan dalam nama generik.

4. Analisis Data

(58)

H. Tata Cara Analisis Hasil 1. Karakteristik pasien

a. Distribusi pasien berdasarkan kelompok umur dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu bayi (0-11 bulan), anak balita (12-59 bulan), anak pra sekolah (60-72 bulan), anak usia sekolah (6-18 tahun) dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok umur per jumlah kasus yang dianalisis dikali 100%.

b. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan, dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kelompok jenis kelamin per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

2. Pola Pengobatan a. Farmakologis

1) Persentase jenis obat yang diberikan pada pengobatan AIHA diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapat jenis obat tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%.

2) Persentase rute pemberian obat yang diberikan pada pengobatan AIHA diperoleh dengan menghitung jumlah kasus yang mendapat rute obat tertentu per jumlah keseluruhan kasus yang dianalisis dikali 100%. Rute pemberian obat dapat dibagi menjadi dua, yaitu enteral dan parenteral.

b. Terapi suportif

(59)

3. Drug Related Problems (DRPs)

Evaluasi DRPs dilakukan dengan menggunakan metode SOAP. Drug Related Problems (DRPs) dirangkum dengan mengelompokkan kasus ke dalam enam

kategori (tidak perlu obat, perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, efek samping obat dan interaksi obat) yang kemudian dihitung persentase temuan DRPs dengan menghitung jumlah kasus pada setiap kategori DRPs per jumlah keseluruhan kasus DRP dikali 100%.

I. Keterbatasan Penelitian

(60)

41 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi Pasien Berdasarkan Kelompok Umur

Pasien AIHA anak yang diteliti dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu bayi (0-11 bulan), anak balita (12-59 bulan), anak pra sekolah (60-72 bulan), dan anak usia sekolah (6-18 tahun). Distribusi pasien AIHA anak berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Distribusi Pasien AIHA Anak Rawat Inap Berdasarkan Kelompok Umur di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014 (n=12)

Gambar 11 menunjukkan bahwa pasien anak yang dirawat inap didominasi oleh pasien usia 6-18 tahun sebanyak 89%, diikuti dengan 11% pasien usia 60-72 bulan, 0% pasien usia 12-59 bulan, dan 0% pasien usia 0-11 bulan. Infeksi merupakan penyebab terjadinya AIHA paling dominan pada anak-anak (Aladjidi, et al, 2011). Terjadinya AIHA pada anak-anak dan remaja jarang terjadi, dan angka

(61)

individu dibawah usia 20 tahun dengan puncak kejadian pada anak-anak usia pra sekolahpada anak laki-laki (Oliveira, Oliveira, Murao, Vieira, Gresta, Viana, 2006) dengan usia rata-rata diagnosis 3,8 tahun (Chou et al, 2015), meskipun selama remaja pasien perempuan lebih mendominasi (Oliveira et al,2006).

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 12. Distribusi Pasien AIHA Anak Rawat Inap Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014 (n=12)

Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin menunjukan 0% anak laki-laki dan 100% anak perempuan dapat dilihat pada Gambar 12. Penyakit AIHA lebih sering muncul pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, namun dengan bertambahnya usia anak perempuan lebih mendominasi (Oliveira et al, 2006). Perbedaan jenis kelamin merupakan hal penting dalam terjadinya penyakit autoimun. Perbedaan penting yang mendasar yaitu hormon seks dan/atau sex-linked gene inheritance yang mungkin menyebabkan perempuan lebih rentan terhadap penyakit

(62)

hormon seks antara anak laki-laki dan anak perempuan terjadi setelah mengalami pubertas yang ditandai dengan perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Perempuan memiliki hormon yang lebih kompleks dari pada laki-laki. Hormon estrogen pada perempuan dapat merangsang produksi antibodi oleh sel B yang dimungkinkan juga bertanggung jawab untuk terjadinya penyakit autoimun. Hormon androgen pada laki-laki umumnya bersifat imunosupresif sehingga dapat menekan kemungkinan terjadinya proses autoreaktif (Baratawidjaja dkk, 2012).

B. Pola Penggunaan Obat 1. Farmakologis

a. Jenis Obat

Gambaran umum distribusi penggunaan obat pada pasien AIHA anak rawat inap berdasarkan kelas terapi menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang formularium nasional disajikan pada Tabel III.

Tabel III. Pola Penggunaan Obat pada Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

No. Kelas Terapi Jenis Obat Jumlah Kasus

(n=12)

Persentase (%) 1 Hormon dan Antihormon Kortikosteroid

(Metilprednisolon) 12 100 2 Analgesik (Non-narkotik) Parasetamol 5 42

3 Antasida dan antiulkus Ranitidin 1 8

(63)

1) Hormon dan Antihormon

Kelas terapi hormon dan antihormon yang digunakan dalam penanganan AIHA adalah kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan analog sintetik dari hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal. Seperti hormon alami, kortikosteroid memiliki glukokortikoid (kortisol) dan/atau sifat mineralkortikoid (aldosteron). Mineralkortikoid diatur oleh system renin-angiotensin dan memiliki sifat salt-retaining. Mineralkortikoid mempengaruhi transport ion di sel epitel pada tubulus

ginjal dan terutama terlibat dalam regulasi elektrolit dan keseimbangan air. Glukokortikoid diatur terutama oleh kortikotropin (ACTH) dan dapat memiliki efek anti-inflamasi, serta beberapa efek metabolik dan imunogenik pada tubuh (Zoorob, and Cender, 1998).

(64)

kortikosteroid sebelum penggunaan kortikosteroid dihentikan untuk mengurangi risiko terjadinya efek samping dan risiko terjadinya kekambuhan (Liu et al, 2013). Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menimbulkan efek samping potensial serius seperti: penyakit gastrointestinal, penyakit kardiovaskuler, kemungkinan terjadinya infeksi, gangguan hormon, ketidakseimbangan elektrolit, osteoporosis, gangguan pengelihatan, gangguan otot dan saraf, serta gangguan kulit (Zoorob et al, 1998) sehingga dalam penggunaanya perlu dilakukan pemantauan yang ketat.

(65)

kronis (Patt, Bandgar, Lila, and Shah, 2013). Gambaran penggunaan kortikosteroid pada penelitian ini disajikan pada Tabel III.

2) Analgesik (Non-narkotik)

Tujuan utama dari terapi demam pada anak adalah untuk meningkatkan kenyamanan dan menormalkan kembali suhu tubuh (Sullivan et al, 2015). Analgesik (Non-narkotik) dan antipiretik digunakan sebanyak 42% pada kasus penelitian ini. Parasetamol sering digunakan pada terapi demam anak-anak. Parasetamol bekerja di hipotalamus yang meregulasi suhu tubuh dan dapat bekerja di perifer untuk memblokir impuls nyeri, serta dapat juga menghambat sintesis prostaglandin di CNS (Botting, 2000). Parasetamol memiliki keuntungan tidak berpengaruh pada sistem kardiovaskular dan pernapasan, tidak mempengaruhi keseimbangan asam-basa, juga tidak memiliki efek pada trombosit, tidak mengiritasi lambung. Dalam dosis terapi, tidak membahayakan fungsi hati. Gambaran penggunaan analgesik (non-narkotik) dan antipiretik pada penelitian ini disajikan pada Tabel III.

3) Antasida dan Antiulkus

Antasida dan antiulkus digunakan sebanyak 8% pada kasus dalam penelitian ini. Obat yang digunakan yaitu ranitidin merupakan H2-Receptor Antagonists yang

sangat selektif, reversibel, dan merupakan antagonis kompetitif untuk aksi histamin pada H2-reseptor. Ranitidin dapat mengurangi volume sekresi lambung serta jumlah

(66)

4) Vitamin dan Mineral

Vitamin dan Mineral sebenarnya tidak diindikasikan pada AIHA, tetapi anemia dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya perubahan irama jantung. Perubahan ini dikarenakan jantung berupaya keras memompa darah dengan sedikit oksigen ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Vitamin B1 dapat menurunkan risiko terjadinya aritmia (Crook, FRCPath, Hally, and Panteli, 2001). Gambaran penggunaan vitamin dan mineral pada penelitian ini disajikan pada Tabel III.

b. Rute Pemberian Obat

(67)

obat yang dapat diserap, adanya first pass effect, kemungkinan terjadinya iritasi mukosa lambung, efek yang lama untuk kasus darurat, dan tidak dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar. Obat parenteral dengan klasifikasi intravaskuler digunakan umumnya karena kondisi pasien AIHA anak termasuk dalam status klinis yang berat berdasarkan pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium. Keuntungan dari pemberian secara intravaskuler yaitu tepat, akurat, onset segera, dapat diberikan dengan dosis besar, dan dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar. Sedangkan kerugian dari pemberian secara intravaskuler yaitu nyeri ditempat suntikan, konsentrasi tinggi cepat dicapai, dan kemungkinan risiko emboli (Verma, Thakur, Deshmukh, Jha, and Verma, 2010).

Tabel IV. Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian pada Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Nomor Rute Pemberian Obat Jumlah Kasus (n=12)

Persentase (%)

1 Parenteral 12 100

2 Enteral 9 75

2. Terapi Suportif

Gambaran umum distribusi jenis terapi suportif yang diterima pasien AIHA anak rawat inap disajikan pada Tabel V.

Tabel V. Profil Terapi Suportif yang Diterima Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Kelas Terapi Jenis

Transfusi

Jumlah Kasus (n=12)

Persentase (%)

Transfusi darah PRC 5 42

(68)

Transfusi merupakan rangkaian proses pemindahan darah dari seorang donor kepada resipien. Transfusi bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan volume peredaran darah normal, mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, serta memperbaiki fungsi hemostatis (Permono dkk, 2005). Pasien AIHA akan sering membutuhkan transfusi eritrosit untuk menjaga kadar hemoglobin dalam darah sampai terapi yang dijalani memberikan efek. Transfusi dilakukan tidak hanya berdasarkan kadar hemoglobin, tetapi juga pada status klinis pasien dan komorbiditas pasien (Zanella et al, 2014).

(69)

transfusi akibat adanya antibodi plasma (Norfolk, 2013). Selama dilakukan transfusi perlu dipantau untuk kemungkinan terjadinya reaksi transfusi seperti demam atau menggigil, nyeri pinggang, perubahan tanda vital, mual, sakit kepala, urtikaria, dyspnea, dan bronkospasme (Bielefeldt et al, 2009).

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

Identifikasi DRPs pada penelitian ini dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan obat pada pasien AIHA anak yang dirawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014. Kasus yang dievaluasi kemudian dimasukkan dalam kategori DRPs, yaitu: perlu obat, tidak perlu obat, obat salah, dosis kurang, dosis berlebih, serta interaksi dan efek samping. Analisis dilakukan dengan melihat lembar penatalaksanaan obat dan catatan keperawatan pasien. Terdapat beberapa kasus AIHA pada anak ditemukan memiliki lebih dari satu DRPs yang disajikan dalam Tabel VI.

Tabel VI. Gambaran DRPs pada Pasien AIHA Anak Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009-2014

Jenis DRPs Penyebab

Umum

(70)

Jenis DRPs Penyebab

Catatan: Penilaian DRPs ini berdasarkan data yang tercantum dalam lembar rekam medis yang tidak dikonfirmasi dengan dokter penulis resep maupun perawat yang merawat pasien. Pembahasan lebih mendalam tiap kasus dapat dilihat pada lampiran.

Berikut penjelasan DRPs yang ditemui berdasarkan kasus: 1. Kasus 1

Subjective: Pasien perempuan (11 tahun 7 bulan / 35 kg) masuk ke rumah

sakit dalam keadaan demam (38ºC), pucat, dan lemas. Objective: Terdiagnosis AIHA dengan hasil Direct Coombs Test (DCT) 4+, Indirect Coombs Test (ICT) 2+ dan kadar hemoglobin 3.2 g/dL sehingga dimungkinkan masuk ke dalam klasifikasi anemia berat (hemoglobin normal anak usia 5-11 tahun, yaitu 80 g/L atau 8 g/dL (WHO, 2011)).

Assessment: Selama rawat inap pasien mendapat terapi farmakologis yaitu

(71)

dalam lembar penatalaksanaan obat tetapi dapat dimungkinkan bahwa suhu tubuh pasien turun dengan sendirinya karena demam merupakan gejala autoreaktif pada AIHA dan bila kondisi autoreaktif telah teratasi maka suhu tubuh pasien akan kembali normal.

Terapi penanganan AIHA menggunakan metilprednisolon sebagai imunosupresan pada kondisi autoimun dengan dosis pada anak-anak ≤30 mg/kgBB/hari (Sinha et al, 2008) yang diberikan sesuai dengan tingkat keparahan pasien. Pasien diresepkan 10 mg/kgBB/hari secara intravena yang diberikan satu kali per hari dan terjadi peningkatan kadar hemoglobin menjadi 8.6 g/dL pada tanggal 09-03-2010 sebagai respon terapi. Tanggal 12-09-03-2010 dimungkinkan terjadi dosis kurang terkait dengan penurunan dosis metilprednisolon yang terlalu besar saat tapering off secara peroral sehingga menyebabkan penurunan kadar hemoglobin

menjadi 7.8 g/dL dibandingkan dengan tanggal sebelumnya.

Recommendation: Penggunaan metilprednisolon dengan dosis kurang perlu

dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis dan monitoring untuk melihat efektifitas metilprednisolon sehingga dapat mencapai tujuan terapi serta waspada risiko efek samping, karena penggunaan steroid jangka panjang memiliki risiko tinggi efek samping (Zanella et al, 2014) seperti gangguan pertumbuhan anak, osteoporosis, risiko infeksi, diabetes, dan gangguan pencernaan.

2. Kasus 2

Subjective: Pasien perempuan (11 tahun 7 bulan / 36 kg) masuk ke rumah

(72)

Objective: Pasien terdiagnosis AIHA dengan hasil DCT 4+, ICT 3+ dan kadar

hemoglobin 4 g/dL sehingga dimungkinkan masuk ke dalam klasifikasi anemia berat (hemoglobin normal anak usia 5-11 tahun, yaitu 80 g/L atau 8 g/dL (WHO, 2011)).

Assessment: Rasa berdebar-debar dapat dikarenakan pasien mengalami

demam dan anemia (sistemic cause) (Raviele, Giada, Bergfeldt, Blanc, Blomstrom-Lundqvist, Mont, et al, 2011). Anemia jangka lama dapat menyebabkan perubahan irama denyut jantung sehingga menimbulkan rasa berdebar-debar bagi pasien.Selama rawat inap pasien mendapat terapi farmakologis yaitu parasetamol dan metilprednisolon, sedangkan terapi suportif dengan melakukan transfusi PRC. Parasetamol 10 mg/kgBB/hari (360 mg) sebagai antipiretik dan analgesik telah sesuai dengan indikasi dan dosis.

Metilprednisolon pada awalnya diberikan dengan dosis 2 mg/kgBB/hari (72 mg) secara intravena yang diberikan satu kali per hari telah sesuai dosis, namun kemudian dilakukan peningkatan dosis menjadi 10 mg/kgBB/hari (3x 125 mg) secara intravena yang dimungkinkan terkait dengan tingkat keparahan pasien. Pemberian metilprednisolon 3x 125 mg (375 mg/hari) dimungkinkan menyebabkan terjadinya dosis berlebih yang seharusnya pasien menerima 360 mg/hari berdasarkan kilogram berat badan dan perlu dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis terkait dengan kemungkinan terjadinya efek samping. Pemberian 3x 125 mg kepada pasien dapat dimungkinkan terkait dengan regimen sediaan yang ada di rumah sakit.

Recommendation: Penggunaan metilprednisolon dengan dosis berlebih perlu

(73)

efektifitas metilprednisolon sehingga dapat mencapai tujuan terapi serta waspada risiko efek samping, karena penggunaan steroid jangka panjang memiliki risiko tinggi efek samping (Zanella et al, 2014) seperti gangguan pertumbuhan anak, osteoporosis, risiko infeksi, diabetes, dan gangguan pencernaan.

3. Kasus 3

Subjective: Pasien perempuan (11 tahun 11 bulan / 38 kg) masuk ke rumah

sakit dalam keadaan pucat dan pusing. Objective: Terdiagnosis AIHA dengan hasil DCT 4+, ICT 3+ dan kadar hemoglobin 4.1 g/dL sehingga dimungkinkan masuk ke dalam klasifikasi anemia berat (hemoglobin normal anak usia 5-11 tahun 80 g/L atau 8 g/dL (WHO, 2011)).

Assessment: Selama rawat inap pasien mendapat terapi farmakologis yaitu

metilprednisolon, sedangkan terapi suportif dengan melakukan transfusi PRC. Dalam lembar penatalaksanaan obat tidak tercatat dilakukan pemberian parasetamol sebagai analgesik untuk mengatasi keluhan pusing saat masuk rumah sakit, dimungkinkan bahwa pusing yang ringan dapat sumbuh dengan istirahat. Pasien diresepkan metilprednisolon 10 mg/kgBB/hari (3x 125 mg) secara intravena dimungkinkan mengalami dosis kurang yang seharusnya pasien menerima 380 mg/hari berdasarkan kilogram berat badan. Pemberian 3x 125 mg kepada pasien dapat dimungkinkan terkait dengan regimen sediaan yang ada di rumah sakit.

Recommendation: Penggunaan metilprednisolon dengan dosis kurang perlu

(74)

risiko efek samping, karena penggunaan steroid jangka panjang memiliki risiko tinggi efek samping (Zanella et al, 2014) seperti gangguan pertumbuhan anak, osteoporosis, risiko infeksi, diabetes, dan gangguan pencernaan.

4. Kasus 4

Subjective: Pasien perempuan (13 tahun 6 bulan / 45 kg) masuk ke rumah

sakit dalam keadaan demam (39ºC), pilek, pusing, dan pucat. Objective: Terdiagnosis AIHA dengan hasil coombs test (+) dan kadar hemoglobin 6.6 g/dL sehingga dimungkinkan masuk ke dalam klasifikasi anemia berat (hemoglobin normal anak usia 12-14 tahun 80 g/L atau 8 g/dL (WHO, 2011)).

Assessment: Selama rawat inap pasien mendapat terapi farmakologis yaitu

metilprednisolon, parasetamol, dan vitamin B1. Pasien diberikan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik telah sesuai indikasi, namun dosis parasetamol diberikan 10 mg/kgBB/hari (500 mg) jika perlu dimungkinkan menyebabkan terjadinya dosis berlebih yang seharusnya pasien menerima 450 mg/hari berdasarkan kilogram berat badan dan perlu dilakukan pertimbangan untuk penyesuaian dosis. Pemberian parasetamol pada tanggal 08-08-2010 (38⁰C) dan 09-08-2010 (37.8⁰C) tidak tercatat dalam lembar penatalaksanaan obat dimungkinkan bahwa suhu tubuh pasien turun dengan sendirinya karena demam merupakan gejala autoreaktif pada AIHA dan bila kondisi autoreaktif telah teratasi maka suhu tubuh pasien akan kembali normal.

Gambar

Tabel I: Penelitian Berkaitan dengan AIHA ................................................
Tabel I. Penelitian Berkaitan dengan AIHA
Tabel I. Lanjutan
Gambar 1. Klasifikasi AIHA pada Anak (Hay, Sondheimer, and Deterding, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Kesimpulan penelitian yaitu pengalaman, pengetahuan, lingkungan dan motivasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keikutsertaan berorganisasi mahasiswa

Oleh karena itu, informasi komparatif tanggal 31 Desember 2014 dan untuk tahun yang berakhir pada tanggal tersebut, dan laporan posisi keuangan konsolidasian tanggal 1

[r]

Rakyat Daerah Provinsi Kepulauan Riau sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah proses pengumpulan informasi/data tentang capaian belajar peserta didik dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang

Pada penelitian ini dikembangkan suatu alternatif sistem pengendalian dengan algoritma Internal Model Control – Neural Network Gain Scheduling (IMC-NNGS) untuk mengendalikan

Kondisi ekonomi pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.. Kondisi ekonomi pasca konversi hutan

Dekomposisi beberapa tanaman penutup tanah dan pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah, serta pertumbuhan dan produksi jagung pada ultisol Lampung.Thesis.. Program