• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Hati

Hati merupakan organ terbesar di tubuh yang berada di kuadran kanan atas rongga abdomen. Hati terbungkus oleh sebuah kapsul fibroelastik yang disebut kapsul Glisson dan secara makroskopik dipisahkan menjadi lobus kiri dan lobus kanan. Kapsul Glisson berisi pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Kedua lobus hati tersusun oleh unit-unit yang lebih kecil disebut lobulus. Lobulus terdiri atas sel-sel hepatosit atau disebut dengan hepatosit yang menyatu dalam suatu lempeng. Hepatosit dianggap sebagai unit fungsional hati. Sel-sel hati dapat melakukan pembelahan sel dan mudah diproduksi kembali saat dibutuhkan untuk mengganti jaringan yang rusak (Corwin, 2007).

Hati menerima darah dari vena portae hepatis dan arteri hepatica

sebanyak 70% dan 30% (Wibowo dan Paryana, 2009). Vena porta hepatica

membawa darah masuk ke hati dari saluran cerna dan limfa, sedangkan arteri hepatica membawa darah dari aorta ke hati. Darah yang masuk ke hati melalui vena. Volume total darah yang masuk dalam hati adalah 1500 ml setiap menitnya (Price and Wilson, 2005).

Lobulus merupakan unit yang fungional dari hati. Lobulus memiliki struktur silindris yang berukuran sekitar 0,8-2 mm dan panjangnya beberapa

milimeter. Terdapat kurang lebih 50.000 – 100.000 lobulus di hati. Sel-hel hepatik membentuk plat memutari vena sentral seperti jari-jari pada roda (Gambar 3). Lempeng sel hepatosit dipisahkan oleh kapiler sinusoidal berdinding tipis yang disebut sinusoid yang membentang dari pinggiran lobulus ke vena pusat. Sinusoid disuplai darah melalui vena porta arteri hepatika. Sinusoid dilapisi dua buah sel, yakni sel endotel kapiler dan Kupffer cells. Kupffer cells adalah reticuloendotelial yang berfungsi untuk memfagositosis sel darah tua, bakteri, dan bahan asing lainnya yang mengalir melalui sinusoid. Aksi fagositosis bertujuan untuk menghilangkan bakteri enterik dan subtansi berbahaya lain yang masuk melalui usus (Carol and Glenn, 2009).

Gambar 3. Satu bagian dari lobus hati terdiri dari pembuluh darah, sel hepatik, sinusoid hati, dan percabangan vena portal dan arteri hepatik

(Carol and Glenn, 2009)

Vena porta hepatica membawa darah yang mengandung nutrisi tidak membawa oksigen dan dapat bersifat toksik. Arteri hepatica mebawa darah yang

mengandung oksigen. Peredaran darah yang membawa oksigen hanya sekitar 30% menyebabkan sel hati relatif kekurangan oksigen, sehingga mengakibatkan hati rentan terhadap kerusakan (Wiboyo dan Paryana, 2009).

Hati memiliki peranan yang penting dalam setiap metabolisme dalam tubuh dan bertanggung jawab dalam 500 aktivitas yang berbeda. Fungsi utama dari hati adalah membentuk dan mengekskresi empedu, kemudian akan disimpan dalam kandung empedu (Price and Wilson, 2005).

Fungsi lain dari hati adalah untuk metabolisme lemak dan detoksifikasi sejumlah zat endogen dan eksogen. Fungsi hati untuk detoksifikasi sangat penting dan dilakukan melalui reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis atau konjugasi dari zat yang berbahaya diubah menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif (Price and Wilson, 2005).

Peran hati untuk eliminasi adalah melalui metabolisme obat induk menjadi metabolitnya. Hati dapat memetabolisme obat menjadi metabolitnya tergantung dari aktifitas enzim pemetabolisme yang terdapat pada reticulum endoplasma

halus dan sitosol di hepatosit. Jumlah obat bebas yang dibawa masuk ke dalam hepatosit dipengaruhi oleh jumlah protein pengikat obat di dalam darah (DiPiro et al., 2008).

2. Kerusakan sel-sel hati

Hati merupakan organ yang rentan terhadap berbagai metabolisme, racun, mikroba, dan serangan neoplastik. Penyakit hati yang utama adalah hepatitis karena virus, penyakit hati alkoholik, Non Alcoholic Fatty Liver Disease

pada umumnya dapat dapat ditutupi karena besarnya cadangan hati, namun bila gangguan penyakit menyebar atau ada gangguan aliran cairan empedu, dampak yang di terima hati akan sangat membahayakan (Kumar, Abbas, Fausto and Aster, 2010).

Berdasarkan manifestasi klinik dan pola spesifik pada histopatologi, kerusakan hati dibagi menjadi:

1. Nekrosis sentrilobular, terjadi pada induksi obat yang bersifat hepatotoksik mengakibatkan adanya metabolisme yang beracun. Kerusakan yang terjadi menyebar ke luar mulai dari tengah lobus. 2. Steatonecrosis, kerusakan sel hati akut dengan penumpukan lemak

pada sel-sel hati hal ini terjadi karena adanya obat-obat yang mempengaruhi proses oksidasi asam lemak di dalam mitokondria. 3. Phospholipidosis, merupakan akumulasi dari phospholipid sebagai

pengganti asam lemak. Phospholipid dapat menelan badan lisosom pada sel hati.

4. Nekrosis hepatoselular tergeneralisasi, hampir mirip dengan terjadinya perubahan karena adanya infeksi hati oleh virus. Waktu terjadinya satu minggu setelah terinduksi zat beracun (DiPiro et al., 2008).

3. Perlemakan hati

Perlemakan hati adalah keadaan dimana jumlah lemak dihati melebihi 5% dari berat hati. Perlemakan hati (Gambar 4) terjadi karena adanya akumulasi

beberapa hal seperti kelebihan asam lemak, trigleserida yang tidak dapat di transport, dan turunnya sintesis lipoprotein (Gregus and Klaaseen, 2001).

Gambar 4. Struktur mikroskopik hati yang mengalami steatosis (Rubin and Farber, 1999).

Perlemakan hati juga dapat disebabkan karena adanya hepatotoksin seperti karbon tetraklorida. Hepatotoksin ini bekerja dengan metabolit reaktifnya yang berikatan kovalen dengan protein dan lipid tak jenuh sehingga menyebabkan peroksidasi lipid yang menyebabkan perlemakan hati (Lu, 1995).

4. Hepatotoksin

Obat dan senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati dibedakan menjadi dua, yaitu :

a) Teramalkan

Merupakan obat atau senyawa yang bila diberikan dapat mempengaruhi sebagian besar orang yang menelan senyawa tersebut dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek toksik. Hepatotoksin

teramalkan bergantung kepada dosis pemberian. Contoh dari obat-obat tipe ini adalah parasetamol, salisilat, dan tetrasiklin (Forrest, 2006).

b) Tak teramalkan

Merupakan senyawa atau obat yang sifatnya tidak toksik pada hati, tetapi jika diberikan kepada orang tertentu dapat menimbulkan efek toksik. Frekuensi terjadinya sangat jarang hanya 1:1000 orang. Hepatotoksin ini tidak bergantung pada dosis pemberian. Contoh obat-obat dalam jenis ini adalah isoniazid, halothane, dan chlorpromazine (Forrest, 2006).

5. ALT dan AST

Kerusakan hati dapat dideteksi dengan mengukur indeks fungsional dan dengan mengamati produk hepatosit yang rusak. Uji yang sering digunakan, salah satunya adalah uji enzim. Uji enzim ini dapat menunjukkan adanya penyakit atau cedera pada sel hati (Sacher and McPherson, 2002).

Enzim yang sering berkaitan dengan kerusakan hepatoseluler adalah aminotransferase. Aminotransferase mengkatalisis pemindahan reversibel satu gugus amino antara asam amino dan sebuah asam alfa-keto, yang berfungsi dalam pembentukan asam-asam amino yang dibutuhkan untuk penyusunan protein di hati. Alanin aminotransferase (ALT) berfungsi memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. Aspartat aminotransferase (AST) berfungsi mengkatalisis reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat (Sacher and McPherson, 2002). Penentuan enzim ALT dan AST adalah cara yang sering digunakan untuk mendeteksi kerusakan hati, enzim yang dibebaskan beberapa kali lipat dalam 24 jam pertama setelah kerusakan (Timbrell, 2008).

Enzim ALT terdapat pada beberapa jaringan tapi konsentrasinya lebih banyak terdapat di hati, sedangkan enzim AST sebagian besar ada di otot rangka, hati, dan tersebar ke seluruh jaringan. Berdasarkan hal tersebut, maka enzim ALT menjadi petunjuk yang lebih spesifik terhadap rusaknya hati dari pada AST (Zimmerman, 1999).

Dokumen terkait