• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Peneliti Terdahulu

Rasio-rasio keuangan memberikan indikasi tentang kekuatan keuangan dari suatu perusahaan. Dengan analisis rasio keuangan dapat diprediksi tingkat kesehatan perusahaan guna memprediksi kebangkrutan perusahaan. Rasio keuangan ini bertujuan untuk mengukur kinerja perusahaan dari berbagai aspek kinerja, apakah kinerja perusahaan mengalami kemajuan atau bahkan mengalami kemunduran yang akan berakibat pada kebangkrutan. Ukuran kinerja pertama yang diukur adalah ukuran likuiditas, dimana ukuran ini mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Ukuran kinerja kedua adalah solvabilitas yang mengukur kinerja perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dalam jangka panjang. Ukuran ketiga adalah profitabilitas yang mengukur kinerja perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan sumber daya yang dimiliki. Ukuran berikutnya adalah aktivitas yang mengukur efektifitas dan efisiensi dalam menggunakan aktiva.

Beberapa peneliti terdahulu telah banyak melakukan penelitian mengenai kebangkrutan perusahaan. Studi kali pertama dilakukan oleh Beaver (1966) dalam Aryati dan Manao (2000) yang membandingkan masing-masing rasio-rasio perusahaan bangkrut dengan perusahaan tidak bangkrut yang dilakukannya pada lima

tahun sebelum terjadi kebangkrutan. Beaver melakukan pengamatan terhadap perkembangan rasio-rasio tersebut dengan menggunakan sampel 158 perusahaan yang terdiri dari 79 perusahaan yang mengalami kegagalan dan 79 perusahaan yang sukses selama lima tahun sebelum terjadi kebangkrutan. Dalam studinya, Beaver membuat lima kelompok rasio keuangan dan membuat univariate analysis yaitu menghubungkan tiap-tiap rasio untuk menentukan rasio mana yang paling baik digunakan sebagai prediktor. Kelima kelompok rasio tersebut terdiri dari cash flows to total debt ratio, net income to total assets ratio, current assets to current liabilities ratio, total debt to total assets ratio, dan working capital to total assets ratio. Beaver menemukan sampel perusahaan yang gagal dengan perusahaan yang tidak gagal kemudian meneliti rasio keuangan selama lima tahun sebelum perusahaan gagal dan menemukan bahwa terdapat rasio keuangan perusahaan yang tidak gagal berbeda dengan yang gagal. Pada perusahaan yang gagal, cash flows to total debt lebih rendah, cadangan aktiva lancar untuk melunasi kewajibannya lebih kecil dan hutangnya lebih besar dibandingkan perusahaan yang tidak gagal. Kelima rasio keuangan yang digunakan sebagai prediktor tersebut kemudian diuji tingkat kesalahannya yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pengklasifikasian suatu perusahaan.

Selanjutnya hasil pengujian rasio tersebut diranking dimana tingkat persentase kesalahan terkecil dipertimbangkan sebagai “Best Predictor”, berikutnya “Second Best Predictor” dan seterusnya hingga “The Worst Predictor”. Kesimpulannya,

Beaver menemukan bahwa analis rasio keuangan terbukti sangat berguna untuk memprediksi kebangkrutan dan dapat digunakan untuk membedakan secara akurat perusahaan yang akan jatuh bangkrut dan yang tidak.

Altman (1968) dengan judul “Financial Ratios, Discriminant Analysis and The Prediction of Corporate Bankruptcy” yang dalam penelitiannya mencoba satu penilaian atas kualitas analisis rasio sebagai satu teknik analisis dan prediksi kebangkrutan perusahaan digunakan sebagai kasus ilustrasi. Altman menggunakan analisis multiple diskriminan dengan menyusun suatu model untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan, yang mana terbukti sangat akurat dalam memprediksi kebangkrutan secara benar. Data yang digunakan adalah perusahaan manufaktur. Analisis diskriminan menghasilkan suatu indeks yang memungkinkan klasifikasi dari suatu pengamatan menjadi satu dari beberapa pengelompokan yang bersifat a priori. Untuk menyelidiki kinerja perusahaan menggunakan rasio profitabilitas, likuiditas dan solvabilitas sebagai indikasi yang paling efektif dari masalah yang akan datang. Altman menemukan lima rasio yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut (Sawir, 2006:23). Lima jenis rasio yang digunakan Altman

adalah working capital to total assets, retained earnings to total assets, EBIT to total assets, market value of equity to book value of total debts, dan sales to total assets.

Dalam penelitiannya, rasio working capital to total assets digunakan untuk mengukur likuiditas aktiva perusahaan relatif terhadap total kapitalisasinya. Rasio

retained earnings to total assets digunakan untuk mengukur profitabilitas kumulatif. Rasio EBIT to total assets digunakan untuk mengukur produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan. Rasio market value of equity to book value of total debts

digunakan untuk mengukur seberapa banyak aktiva perusahaan dapat turun nilainya sebelum jumlah hutang lebih besar daripada aktivanya dan perusahaan menjadi insolvable. Rasio sales to total assets digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan.

Dari rasio-rasio tersebut (Darsono dan Ashari, 2005), Altman memformulasikan dalam bentuk persamaan yang kemudian dikenal dengan formula Z-score yang merupakan kombinasi dari beberapa rasio keuangan yang dianggap dapat memprediksi terjadinya kebangkrutan perusahaan. Fungsi diskriminan Z (Zeta) yang ditemukannya adalah:

Z = 1,2 WCTA + 1,4 RETA + 3,3 EBITTA + 0,6 MVEBVL + 1 STA

dimana,

WCTA : Working Capital to Total Assets (modal kerja dibagi total aset) RETA : Retained Eearnings to Total Assets (laba ditahan dibagi total aset) EBITTA : Earnings Before Interests and Taxes to Total Assets (laba sebelum

pajak dan bunga dibagi total aset)

MVEBVL : market value of equity to book value of total debt (nilai pasar ekuitas dibagi dengan nilai buku hutang)

Hasil perhitungan Z-score dapat di interpretasikan sebagai berikut :

Z>2,99 : perusahaan tidak mengalami masalah dengan kondisi keuangan.

2,7<Z<2,99 : perusahaan mempunyai sedikit masalah keuangan (meskipun tidak serius).

1,8<Z<2,69 : perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan.

Z<1,88 : perusahaan mengalami masalah keuangan yang serius. Versi ini dapat dipergunakan untuk perusahaan publik maupun perusahaan pribadi, dan untuk perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa. Z-score yang pertama kali dikembangkan untuk menentukan kecenderungan kebangkrutan dapat juga digunakan sebagai ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan.

Menurut Almilia (2003) Model kebangkrutan Altman tidak dapat digunakan dewasa ini karena beberapa alasan yaitu:

1. Dalam membentuk model ini hanya memasukkan perusahaan manufaktur saja, sedangkan perusahaan yang memiliki tipe lain memiliki hubungan yang berbeda antara total modal kerja dan variabel lain yang digunakan dalam analisis rasio.

2. Penelitian yang dilakukan Altman pada tahun 1946 sampai dengan 1965, yang tentu saja berbeda dengan kondisi sekarang. Sehingga proporsi untuk setiap

variabel sudah tidak tepat lagi untuk digunakan. Tahun 1984, Altman melakukan penelitian kembali di berbagai negara. Penelitian ini memasukkan dimensi internasional, sehingga Z scorenya diubah menjadi formula:

Indeks kebangkrutan = 0.717 WC/TA + 0.847 RE/TA + 3.107 EBIT/TA + 0.420 MVE/BVD + 0.998 S/TA. Deakin (1972) mencoba untuk mengembangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pendahulunya Beaver (1966) dan Altman (1968). Sampel yang digunakan sebanyak 32 perusahaan yang gagal, dan dibandingkan dengan perusahaan yang tidak gagal selama periode antara tahun 1964 sampai dengan 1970 atas dasar klasifikasi industri, ukuran aset dan tahun data. Dalam penelitiannya, Deakin menggunakan analisis multiple discriminant dan 14 rasio keuangan yang diuji Beaver guna menemukan kombinasi variabel-variabel yang mempunyai keakuratan prediksi yang baik. Deakin menemukan bahwa rasio cash flow to total debts adalah variabel yang paling baik dalam memprediksi kebangkrutan.

Penelitian Zmijewski (1983) menambah validitas rasio keuangan sebagai alat deteksi kegagalan perusahaan. Zmijewski menelaah ulang studi di bidang kebangkrutan hasil riset sebelumnya selama dua puluh tahun. Rasio keuangan dipilih dari rasio-rasio keuangan penelitian terdahulu dan diambil sampel sebanyak 75 perusahaan yang bangkrut serta 3573 perusahaan sehat periode 1972 sampai dengan 1978. Indikator F-test terhadap rasio-rasio kelompok: rate of return, liquidity,

leverage, turnover, fixed payment coverage, trends, firm size, dan stock return volality; menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang sehat dan yang bangkrut.

Peneliti lainnya di Indonesia dilakukan oleh Machfoedz (1999) yang melakukan penelitian terhadap seluruh perusahaan go public di ASEAN (Thailand, Singapura, Malaysia, dan Indonesia), yang meliputi seluruh perusahaan maufaktur yang listing di pasar modal tiap negara yang dipilih tersebut. Rasio-rasio keuangan yang digunakan adalah liquidity, solvency, profitability total, dan profitability internal. Machfoedz menggunakan prosedur dan metode statistik parametrik dan non-parametrik berupa t-test uji beda dua sampel, Wilcoxon Sign Rank Test, Wilks’ Lambda MANOVA, dan Friedman K-Independent Samples.

Untuk memprediksi tingkat kesulitan keuangan perusahaan digunakan analisis Z- score dalam menilai kesehatan perusahaan. Dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa informasi keuangan dalam bentuk rasio dapat digunakan untuk mendeteksi kesehatan perusahaan.

Aryati dan Manao (2000) melakukan penelitian untuk menguji apakah terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan tingkat kesehatan bank yang diukur menurut rasio CAMEL antara bank yang sehat dengan bank yang gagal di Indonesia dan untuk melihat rasio keuangan mana saja yang mendiskriminankan antara bank yang sehat dengan bank yang gagal. Dengan penelitian ini dapat diidentifikasi rasio-rasio keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi kesehatan perbankan di Indonesia. Data penelitian meliputi laporan keuangan bank-bank dari tahun 1993 sampai tahun 1997. Ada tujuh variabel independen yang digunakan yaitu capital adequacy ratio (CAR), return on risked assets (RORA), net profit margin (NPM),

return on assets (ROA), rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO), rasio kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar, dan rasio kredit terhadap dana yang diterima.

Model penelitian ini adalah univariate analysis dan multivariate discriminant analysis. Hasil dari uji univariat menunjukkan bahwa dua variabel, yaitu NPM dan BOPO, tidak signifikan dengan sehat atau bangkrutnya bank-bank dalam sampel. Tidak adanya perbedaan rata-rata NPM yang signifikan antara bank yang sehat dengan bank yang gagal mungkin disebabkan adanya proporsionalitas antara net

income dengan operating income. Begitu juga dengan BOPO, adanya

proporsionalitas mungkin merupakan penyebab tidak adanya perbedaan rata-rata BOPO antara bank yang sehat dengan bank yang gagal. Sedangkan, hasil uji multivariat menunjukkan dua variabel lain yaitu NPM dan CAR ternyata tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan kesehatan bank. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya (Altman, 1968; Deakin, 1972; Ohlson, 1980) tentang kegagalan bisnis. Pengujian diskriminan menunjukkan variable ROA dan rasio kredit terhadap dana yang diterima yang merupakan ukuran profitabilitas mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan bank.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Lisetyati Eni (2000) dengan menganilisis laporan keuangan sebagai alat prediksi kebangkrutan bank, variable penelitian dipilih 11 rasio keuangan dengan menggunakan metode CAMEL sebagai alat analisis terhadap kebangkrutan. Bank yang dipilih sebanyak 161 Bank dalam

tahun 1993 – 1997. Pengujian multivariate dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh rasio keuangan yang dipilih melalui prosedur backward stepwise (conditional) bersam-sama mampu memprediksi dengan benar bank yang akan bangkrut.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Eva Rianti (2003) yang meneliti kinerja keuangan perusahaan sebelum dan selama masa krisis ekonomi Indonesia serta prediksi kebangkrutan perusahaan yang mengambil sample perusahaan automotive and component yang go public di Bursa Efek Jakarta. Dalam penelitian ini digunakan model multiple discriminant analysis (DMA) untuk memprediksi kebangkrutan dengan menghitung rasio aktiva lancer terhadap total aktiva, laba ditahan terhadap total asset, laba opersional terhadap total asset, total nilai saham dibursa terhadap total hutang, dan penjualan terhadap total asset. Disimpulkan bahwa model MDA hanya dapat digunakan memprediksi kebangkrutan dalam jangka pendek yaitu 1 dan 2 tahun ke depan.

Penelitian berkaitan dengan prediksi kebangkrutan bank di Indonesia dilakukan oleh Wilopo (2001). Penyampelan dalam penelitian ini dilakukan secara cluster yaitu 235 bank pada akhir tahun 1996 dibagi menjadi 16 bank terlikuidasi dan 219 bank yang tidak

dilikuidasi, selanjutnya diambil 40% sebagai sampel estimasi, terdiri atas 7 bank terlikuidasi dan 87 bank yang tidak dilikuidasi. Kemudian dari 215 bank pada akhir tahun

1997 yang terdiri atas 38 bank terlikuidasi dan 177 bank pada tahun 1999 yang tidak dilikuidasi, diambil 40% sebagai sampel validasi yang terdiri atas 16 bank terlikuidasi dan 70 bank yang tidak dilikuidasi. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk memprediksikan kebangkrutan bank adalah rasio keuangan model CAMEL (13 rasio), besaran (size) bank yang diukur dengan log. assets, dan variabel dummy (kredit lancar dan manajemen). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat prediksi variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini tinggi (lebih dari 50% sebagai cutoff value-nya). Tetapi jika dilihat dari tipe kesalahan yang terjadi tampak bahwa kekuatan prediksi untuk bank yang dilikuidasi 0% karena dari sampel bank yang dilikuidasi, semuanya diprediksikan tidak dilikuidasi. Dengan demikian hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang diajukan bahwa “rasio keuangan model CAMEL, besaran (size) bank serta kepatuhan terhadap Bank Indonesia” dapat digunakan untuk memprediksikan kegagalan bank di Indonesia. Simpulan ini diambil didasarkan atas tipe kesalahan yang terjadi, khusus kasus di Indonesia ternyata rasio CAMEL serta variabel-variabel independen lain yang digunakan dalam penelitian ini belum dapat memprediksikan kegagalan bank. Dengan demikian perlu eksplorasi lebih lanjut terhadap variabel lain di luar rasio keuangan agar diperoleh model yang lebih tepat untuk memprediksikan kegagalan bank.

Simpulan teori dan bukti empiris yang telah dipaparkan sebelumnya dapat menjadi acuan bahwa analisis rasio keuangan dapat digunakan dalam mengukur

kebangkrutan perusahaan dan secara signifikan dapat membedakan status pengelompokan perusahaan. Hasil dari analisis juga membuktikan bahwa ukuran profitabilitas perusahaan menjadi ukuran yang dominan dalam memprediksi kebangkrutan. Rasio-rasio keuangan dianalisis untuk dapat mengelompokkan apakah perusahaan bangkrut atau sehat (tidak bangkrut). Dari rasio-rasio keuangan tersebut, kemudian, dianalisis untuk menentukan rasio yang paling dominan mengukur tingkat kebangkrutan masing-masing kelompok dan membedakan rasio tersebut antara kategori pengelompokan perusahaan.

Dokumen terkait