• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lampiran2 Rekapitulasi analisis keragaman penelitian

kajian tentang persistensi B. humidicola setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa.

Variabel F. Hitung

Regresi Interaksi Sistem penggembalaan Tekanan penggembalaan Percobaan I : Jumlah buku Jumlah anakan Panjang stolon Percobaan II : Berat kering Rasio Daun/Batang Protein kasar Serat kasar NDF ADF Percobaan III (Keragaan Pastura) Jmlh tanaman induk Jmlh anakan Jmlh Aerial tiller Jmlh bobot akar Jmlh bobot crown (Kualitas) Protein kasar Serat kasar NDF ADF Lignin (Komposisi Botanis) B. humidicola Legume Rambat Gulma Tanaman Mati

Penambahan berat badan Azotobacter Mikorisa Glukosa Sukrosa ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** tn tn tn tn tn ** ** ** ** tn ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** **

Lampiran 3

Analisis Tanah.

Waktu N (%) P2O5 (ppm) K2O (ppm) C (%)

Sebelum Penelitian Sesudah Penelitian 0,16 0,24 5,60 5,70 339 348 1,91 2,45

Lampiran 5

Glosari

Acid detergen fiber (ADF) : karbohidrat struktural yang menyusun serat kasar, lebih banyak mengandung selulosa dan lignin. Aerial tiller : anakan pada bagian atas tanaman yang merupakan

cabangkarena tanaman tidak terenggut/terdefoliasi. Allythiourea (ATU) : inhibitor sintetik yang terbuat dari bahan kimia

allylurea (C4H8N2O). ATU ini menghambat

proses nitrifikasi NH4 menjadi NH2OH. Istilah

ATU digunakan sebagai satuan untuk

brachialactone.

Axillary buds : tunas ketiak (tunas yang tumbuh di ketiak daun). Biologically effective grazing management strategy :

strategi manajemen pengembangan yang memperhitungkan proses biogeokimia yang terjadi antara komponen rumput- lingkungan tanah rizosfer – ternak.

Bulky : tanaman yang tidak terkonsumsi tertimbun sebagai tanaman mati (pada padang penggembalaan). Biofuel : bahan bakar sumber produk biologi.

Brachialactone : substrat kimia yang terkandung dalam eksudat akar

B .humidicola.

Cutting / mowing : defoliasi secara mekanik

Crown : bagian pertemuan akar – batang (biasanya pada tanaman rerumputan dan semak).

Cattle Yard : halaman penampungan ternak dan timbangan ternak.

CFU : colony forming unit adalah ukuran untuk bakteri atau fungi yang hidup.

Defoliasi : pengambilan bagian atas tanaman secara mekanik (potong) atau secara langsung oleh ternak (renggut).

Filokron : interval waktu antara munculnya daun baru setelah daun pertama (diukur waktu dan satuan bahang yang terakumulasi), satuannya adalah GDD.

Free grazing : penggembalaan ternak tanpa pengaturan. Grazing : ternak yang sedang merumput.

Ground tiller : anakan pada bagian bawah

Growing degree days : cara untuk menentukan satu satuan bahang tiap hari.

Herbage Allowance : ketersediaan pakan hijauan, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Herbage mass accumulation (HMA) : akumulasi biomassa hijauan pakan.

Intensitas : tinggi tanaman dari atas permukaan tanah setelah defolisi.

In vitro : pengujian di luar tubuh ternak

IVDOM : kecernaan bahan organik secara in vitro (Invitro digestibility organic matter)

Meristem : jaringan yang sel-selnya belum berfungsi khusus dan masih aktif membelah untuk membentuk sel baru, biasanya ditemukan pada ujung pucuk atau ujung akar.

Neutral detergen fiber (NDF) : karbohidrat struktural yang menyusun serat kasar, lebih banyak mengandung hemi selulosa dan selulosa.

Nett primary production (NPP) : produksi primer utama bersih misalnya pastura, produksi primernya adalah hijauan.

Pasture rundown : gejala kerusakan padang penggembalaan. Pedok : satuan luas unit percobaan penggembalaan

Persistensi : kemampuan mempertahankan hidup terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan. Rizosfer : daerah perakaran tanaman.

Rizobakteri ; bakteri saprofik yang hidup di lingkungan rizosfer tanaman, mengkolonisasi dengan sistem perakaran. Rhizoma : batang bawah tanah yang tumbuh horizontal. Rumen : bagian dari alat pencernaan ternak ruminansia yang

mencerna serat kasar dimana terjadi pencernaan secara mikrobial.

Readily available carbohydrate (RAC) : adalah karbohidrat sumber energi yang siap digunakan seperti pati.

Simbiosis mutualis : hidup bersama saling menguntungkan. Standing dead : tanaman kering

Stocking rate : jumlah ternak persatuan luas /tekanan penggembalaan

Stolon : batang yang tumbuh horizontal di atas tanah. Total Non Structural Carbohydrate (TNC) : Jumlah / total karbohidrat non

struktural/karbohidrat larut air.

Vigor : pertumbuhan tanaman tetap tegak dan kokoh warna hijau cerah .

WSC : karbohidrat larut air

Water stable aggregate : kemampuan agregat tanah mengikat air

Yaks : jenis sapi yang bertanduk panjang yang hidup di daerah dingin.

ABSTRACT

SELVIE D. ANIS. Study of Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick

persistency growth underneath coconut plantation after grazing. Supervised by M.

AHMAD CHOZIN as the chairman, SOEDARMADI

HARDJOSOEWIGNYO, MUNIF GHULAMAHDI, and SUDRADJAT as members of the advisory committee.

Actually, a combination of pasture and cattle system on coconut plantation is not a new practice. In fact, it has been applied for years in Indonesia but no promising results yet. This practice has always ended up with the so-called pasture run down. Therefore, it is not a sustainable practice.Various pasture and grazing management combined with shade tolerant forage were applied, but the production has not reached the target yet. Previous knowledge on the goal of defoliation or grazing is to trim plant‟s shoot to fulfill cattle‟s need (herbage allowance) without considering pasture health to grow and produce forage. Furthermore, grazing time is determined based on plant‟s age. However, due to climate change phenomenon, the temperature has fluctuated irregularly affecting on plant‟s growth and development. Therefore, using plant‟s age as a threshold could be inaccurate. More accurate method can be used by measuring heat unit accummulation to produce one phyllochron.

Therefore, the main goal of this research was to increase the productivity of coconut plantation by combining pasture system with cattle. To analyse the persistency of grass plant B. Humidicola, this research was conducted with three objectives: 1) to find out the number of heat units required to produce one phyllochron of single grass plant B. Humidicola living within certain community, and growth patterns of them; 2) to find out effects of defoliation intensity and interval based on plant‟s age (callender days) and daily temperature accummulation (growing degree days) to the production of dry foliage biomass and nutrient content; 3) to measure coconut plantation productivity that has been combined with pasture and cattle, grazing experiment with different grazing methods and stocking rate was used in this study. This research was conducted from April 2008 to October 2010 in the experimental plantation of Coconut and Other Palmae Research Institute, Manado, North Sulawesi.

The objective 1 was done to measure the needs of heat units to produce one phyllochron of Brachiaria humidicola plant growth and developed individually, compared to those in the community. Furthermore, growth pattern of the plant was also studied by measuring number of seedlings, nodes, and the length of stolon during of growth development (weeks). Analyses of t- test and deviation standard were used. With regard to objective 2, was studied the effects of intensity and interval of defoliation based on both the ages (days) of plant and the growing degree days, on the dried weight and nutrient content of foliage biomass. Treatments were arranged based on randomized complete block design. Objective 3 of this research was to understand effects of continuing grazing and rotational grazing at different stocking rates to pasture performance. This was measured with dried foliage biomass, population and the development of new shoot, botanical composition, nutrient content, dominant microorganism living

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian yang diterbitkan melalui pemberitaan media cetak Kompas hari Jumat tanggal 13 Agustus 2010, menunjukkan bahwa permintaan daging sapi di Indonesia tahun 2009 sebanyak 390.6 ribu ton, sedangkan produksi dalam negeri baru mencapai 250,8 ribu ton. Dengan demikian untuk mengisi kekurangan harus diimpor sebanyak 139,8 ribu ton. Berbagai faktor penyebab rendahnya perkembangan populasi ternak sapi. Salah satu di antaranya adalah keterbatasan lahan dan kurangnya ketersediaan hijauan pakan, baik kualitas maupun kuantitas. Progam Direktorat Jenderal Produksi Peternakan melalui integrasi ternak sapi dengan tanaman perkebunan kelapa bertujuan untuk menutupi kesenjangan permintaan daging sapi yang semakin melebar terhadap penawaran komoditi ini.

Penggembalaan ternak sapi di areal pertanaman kelapa adalah sistem yang telah lama diterapkan. Keuntungan sistem ini berupa multi fungsi dari lahan, termasuk : (a) meningkatkan pendapatan melalui diversifikasi usaha dan; (b) penggunaan sumber daya lahan terbatas dengan lebih efisien; (c) stabilisasi tanah, dan (d) potensial untuk meningkatkan produksi perkebunan kelapa melalui pengendalian gulma lebih baik, daur ulang unsur hara dan penyediaan nitrogen (Shelton dan Stur, 1991). Walaupun sistem ini memberikan berbagai keuntungan, namun hal itu tidak bertahan lama karena masalah menghilangnya pastura atau dikenal dengan fenomena pasture run- down atau terjadinya kemunduran, bahkan kerusakan padang rumput. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab masalah tersebut adalah jenis hijauan yang digunakan tidak toleran terhadap naungan, dan tidak tahan terhadap injakan dan renggutan oleh ternak sapi (Watson dan Whiteman, 1981a). Untuk mengatasi masalah tersebut melalui proyek penelitian yang disponsori oleh Australian Centre for International Agicultureal Recearch (ACIAR) dilakukan seleksi dari sekitar 50 jenis hijauan rumput tropis yang diintroduksi ke Indonesia sebagai padang penggembalaan di areal perkebunan

kelapa. Ditemukan bahwa Brachiaria humidicola cv.Tully termasuk salah satu jenis yang direkomendasikan untuk dikembangkan pada areal perkebunan kelapa di Manado (Kaligis dan Sumolang, 1991) , di Bali ( Rika et al, 1991). Pilihan pada rumput ini karena memiliki berbagai keunggulan seperti tumbuh baik pada musim panas, cukup persisten dan agresif, berkemampuan berkompetisi dengan gulma dan dapat menekan pertumbuhan gulma. Rumput ini sangat tahan terhadap penggembalaan berat tetapi tidak toleran terhadap kebakaran. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B .humidicola dapat menghasilkan 10.929 kg bahan kering (BK) per hektar / tahun, dan dapat mencapai 34.018 kg BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha. Sedangkan di areal perkebunan kelapa pada percobaan plot-plot kecil, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan 500-600 g BK/m2 atau sekitar 5.000-6.000 kg BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991).

Selain berproduksi dan bernilai nutrisi yang baik untuk pakan ternak, informasi terbaru mengatakan bahwa rumput B. humidicola sebagai tanaman rumput tropis ini juga memberikan dampak positif terhadap lingkungan hidup terutama terkait dengan perubahan iklim akibat pemanasan global. Salah satu gas rumah kaca adalah gas N2O. Dilaporkan bahwa rumput ini melalui eksudat

akarnya menghasilkan brachialactone suatu senyawa kimia yang bersifat sebagai inhibitor biologis proses nitrifikasi dalam tanah yang melepaskan gas N2O ke atmosfir (Subramanian et al., 2007). Sifat inhibitor tersebut berperan

dalam pengaturan proses nitrifikasi sehingga lebih sedikit nitrogen yang tercuci, dengan demikian penggunaan nitrogen menjadi lebih efisien. Rumput Brachiaria humidicola sangat disukai ternak ketika masih muda tetapi menurun setelah mencapai pertumbuhan maksimum. Walaupun demikian rumput ini tetap mengalami kerusakan ketika digembalai secara bebas (free grazing) atau tanpa manajemen penggembalan yang benar.

Pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan variasi suhu sepanjang waktu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman khususnya rumput yang akan dipanen/didefoliasi pada fase perkembangan vegetatif atau dalam waktu yang relatif singkat. Miller et al. (2001) menyatakan bahwa defoliasi atau

penggembalaan berdasarkan hari kalender (Calender days / CD) memiliki potensi kesalahan 10 hari kalender dibandingkan dengan defoliasi berdasar akumulasi unit panas (degree days/DD) yang hanya 2-3 hari kalender potensi kesalahan. Adanya hubungan yang erat antara jumlah daun dan GDD mendukung pernyataan bahwa suhu adalah faktor utama yang mengontrol kecepatan munculnya daun pada tanaman rumput (Butler et al., 2002). Penelitian akhir- akhir ini menunjukkan bahwa penggembalaan bebas dan penggembalaan kontinyu tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis rumput untuk tumbuh dan bereproduksi. Pada tahap lebih lanjut rumput tidak cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak akan hijauan berkualitas secara tetap dibandingkan dengan sistem penggembalaan rotasi. Sistem yang terakhir ini menjadi pilihan, tetapi dengan konsekuensi harus menerapkan manajemen penggembalaan yang tepat, yang oleh Gorder et al .(2005) dinamakan Biologically Effective Gazing Management Strategy.

Tujuan manajemen padang penggembalaan tidak terbatas hanya pada menjamin kesehatan padang rumput, tetapi terutama hasil hijauan tersedia untuk memenuhi kebutuhan ternak, baik jumlah maupun kualitas. Hasil ini akan terlihat pada produksi riil berupa hasil ternak, dimana hasil ini ditentukan oleh jumlah konsumsi dan nilai kecernaan rumput. Jumlah hijauan terkonsumsi ditentukan oleh palatabilitas dan tinggi kanopi, dimana keduanya dipengaruhi oleh defoliasi atau intensitas renggutan ternak (Root, 2000).

Keunggulan satu jenis rumput sebagai pakan tidak hanya ditentukan oleh persistensi, tetapi juga seberapa besar kemampuan memenuhi kebutuhan bahan kering ternak herbivora. Kemampuan tersebut terukur pada daya tampung dan jumlah ternak yang digembalakan/tekanan penggembalaan (Stocking Rate). Hasil penelitian di Bali menunjukkan bahwa kenaikan SR sampai 4 ekor sapi Bali/ha lahan kelapa masih memberikan pengaruh positif terhadap pertambahan berat badan ternak sapi dan produksi kelapa (Rika et al., 1981). Melalui pemahaman terhadap pola pertumbuhan dan perkembangan rumput B. humidicola, pengaturan penggembalaan yang benar, akan menjamin kelestarian persistensinya dan memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak

ruminansia. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi ternak sapi daging yang dapat menutupi kesenjangan antara permintaan dan penawaran akan komoditi ini. Oleh karena itu penelitian tentang kajian persistensi B. humidicola

setelah penggembalaan pada lahan perkebunan kelapa perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan meningkatkan kontribusi rumput Brachiaria humidicola dalam sistem produksi hijauan pakan pada lahan perkebunan kelapa, melalui suatu pemahaman yang benar tentang persistensinya dan diterapkan sebagai strategi manajemen penggembalaan yang tepat. Untuk itu beberapa rangkaian percobaan telah dilakukan dengan tujuan khusus sebagai berikut :

(1) mempelajari fenologi pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput

Brachiaria humidicola dan menghitung berapa besar satuan bahang ( 0C hari /degree days )yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu filokron. (2) mempelajari respons vegetatif tajuk baru rumput Brachiaria humidicola

terhadap perlakuan intensitas dan interval defoliasi pada kondisi ternaung, yang terukur pada perkembangan vegetatif, produktivitas dan kualitas. (3) mempelajari pengaruh perenggutan (grazing) pada sistem penggembalaan

dan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang berbeda terhadap keragaan padang penggembalaan, produksi dan kualitas, komposisi botanis padang penggembalaan, cadangan karbohidrat, mikroorganisme lingkungan rizosfer, penambahan bobot badan sapi dan hasil buah kelapa.

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan kebutuhan akumulasi satuan bahang ( 0C hari ) / DD untuk membentuk satu filokron antara rumput Brachiaria humidicola yang

ditanam secara tunggal dan dalam komunitas ; pertumbuhan dan perkembangan vegetatif rumput berkorelasi positif dengan umur tanaman. 2. Terdapat perbedaan dalam hasil produksi biomassa (berat kering ), kualitas

dan respons rumput Brachiaria humidicola akibat perlakuan intensitas defoliasi dan interval defoliasi berdasarkan hari kalender (CD) dan berdasarkan akumulasi satuan bahang(DD).

3. Potensi pertumbuhan tajuk baru ( keragaan pastura) B. humidicola, produksi dan kualitas, komposisi botanis, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi akan lebih baik pada padang penggemlaan yang mengalami penggembalaan rotasi dari pada penggembalaan kontinyu terutama yang berinteraksi dengan tekanan penggembalaan (stocking rate) yang lebih tinggi.

Manfaat Penelitian

1. Hasil peneltian ini dapat digunakan dalam pengembangan sistem produksi hijauan makanan ternak pada lahan perkebunan kelapa, dan juga berguna untuk kepentingan pengembangan model biologis pertumbuhan dan perkembangan rumput B. humidicola.

2. Bermanfaat dalam menentukan pola manajemen sistem padang rumput intensif dan efisien, yang dapat menjamin ketersediaan hijauan pakan dalam jumlah dan kualitas yang baik secara berkelanjutan.

Ruang Lingkup dan Kerangka Penelitian

Sehubungan dengan tujuan penelitian untuk mengkaji persistensi rumput B .humidicola setelah digembalai, maka penelitian ini terdiri atas tiga aspek kajian. Aspek pertama, karakterisasi pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B. humidicola , serta kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron. Aspek kedua adalah produksi biomassa, kandungan nutrien dan respons rumput B. humidicola terhadap perbedaan tingkat intensitas dan interval defoliasi. Aspek ketiga, adalah respons pastura B. humidicola terhadap 2 sistem penggembalaan ( kontinyu dan rotasi) dan tekanan penggembalaan

(stocking rate), yang terukur pada keragaan pastura, kualitas hijauan, komposisi botanis, kandungan karbohidrat mudah larut, mikroorganisme dominan, pertambahan bobot harian ternak sapi serta hasil buah kelapa. Ketiga aspek kajian tersebut dirumuskan ke dalam tiga sub-penelitian sebagai berikut :

1. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Vegetatif Tajuk Baru Rumput B. humidicola.

2. Pengaruh Intensitas dan Interval Defoliasi terhadap Produksi Biomassa dan Kandungan Nutrien B. humidicola.

3. Pengaruh Sistem Penggembalaan dan Tekanan Penggembalaan ( Stocking rate) terhadap Keragaan Padang Penggembalaan B. humidicola setelah Digembalai dan Pertambahan Berat Badan Ternak Sapi.

Secara skematik (diagam) kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tahapan penelitian dan keterkaitan antar percobaan.

Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tajuk baru rumput B .humidicola, serta

kebutuhan satuan bahang untuk menghasilkan satu filokron.

B. humidicola memenuhi kriteria seleksi rumput pakan untuk lahan perkebunan kelapa (Mullen et al,

1997)

Percobaan I

Produksi biomassa, kandungan nutrien, dan respons rumput B .humidicola terhadap tingkat

intensitas dan interval defoliasi yang berbeda.

Produksi hijauan pakan, produksi ternak sapi dan produksi kelapa berkelanjutan. Percobaan III

Percobaan II

Respons pastura B. humidicola, produksi dan kualitas, perubahan lingkungan rizosfer, hasil buah kelapa dan penambahan bobot badan sapi

akibat perbedaan sistem penggembalaan (grazing) dengan jumlah ternak (stocking rate)

berbeda. Penelitian oleh

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Brachiaria humidicola

Nama ilmiah

Nama ilmiah rumput yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Brachiaria humidicola (Rendle) Schweick, yang sinonnim dengan Urochloa humidicola (Rendle) Morrone & Zuloaga, dan Panicum humidicola (Rendle ) [basionym]. Rumput ini memiliki juga nama umum yaitu rumput koronivia, humidicola, creeping signal grass (Australia) dan creeping paspalum (English). Di Indonesia ada juga yang menyebut BH adapula yang menyebut Brahum. Deskripsi morfologis dan Penyebaran

Rumput B. humidicola tergolong rumput perenial yang memiliki rizoma dan stolon yang kuat dan bertumbuh padat sehingga mampu menutup tanah dengan baik. Batang vegetatifnya bertumbuh merambat dan mengeluarkan akar dari buku paling bawah. Tanaman ini memiliki tangkai bunga berdiri tegak dengan ukuran panjang 20-60 cm. Helai daunnya datar, berwarna hijau mengkilat, lebar 5-16 mm dengan panjang daun dapat mencapai 25 cm tetapi biasanya hanya 12 cm atau kurang. Dari sudut pandang agrostologi, B. humidicola merupakan sumber makanan ternak. Oleh karena itu dikategorikan sebagai tanaman budidaya dan bukan sebagai gulma, sehingga memerlukan pengelolaan yang tepat. Deskripsi lebih lanjut rumput B. humidicola diuraikan oleh Skerman dan Riveros (1990). Rumput ini berasal dari daerah Afrika Tropis, membutuhkan suhu optimum untuk tumbuh berkisar 32-35 0C. Rumput ini toleran terhadap kekeringan dan tetap hijau dibandingkan jenis rumput lain, tahan terhadap genangan air. Rumput ini sangat tanggap /responsif terhadap pemberian nitrogen (N), kebutuhan fosfor (P) rendah, dan sangat toleran terhadap aluminium (Al). B. humidicola memiliki kemampuan menyebar secara alami dengan kemampuan menutup tanah dengan baik karena memiliki stolon yang sangat kuat dan juga rizoma. Untuk penanamannya hanya membutuhkan pengolahan tanah yang kasar, jarak tanam 1m x 1 m dengan menggunakan anakan (pols). Rumput ini tumbuh baik pada musim panas, berkemampuan

berkompetisi dengan gulma, dan sangat tahan terhadap tekanan penggembalaan berat namun tidak toleran terhadap kebakaran.

Produksi Bahan Kering.

Produksi bahan kering (BK) sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah. Di Kepulauan Fiji, tanpa pemupukan rumput B. humidicola

dapat menghasilkan sekitar 11 ton BK per hektar / tahun, dan dapat mencapai 34 ton BK/ha bila diberikan 452 kg N/ha (Skerman and Riveros, 1990). Sedangkan di areal perkebunan kelapa BALITKA Manado pada percobaan petak-petak kecil, dipanen setiap dua bulan selama satu tahun, tanpa pemupukan rumput ini menghasilkan 500-600 g BK/m2 atau sekitar 5-6 ton BK/ha (Kaligis dan Sumolang, 1991).

Rumput ini mampu mempertahankan kandungan nitrogen dalam tanah. Penelitian selama 8 tahun, sebagai padang penggembalaan B. humidicola tunggal tanpa legum dan tanpa pemupukan nitrogen, kandungan N tanah tidak mengalami pengurasan dan diperkirakan juga terjadi peningkatan jumlah karbon tanah rata-rata setahun sebanyak 0,66 Mg (mega gram) karbon per ha. Selanjutnya dilaporkan bahwa rumput ini mampu memberikan kenaikan jumlah suplai N dari 30 – 40 kg N/ha/tahun melalui kegiatan sebagai tanaman yang berasosiasi dengan bakteri Azotobacter dalam proses Biological Nitogen Fixation (BNF). Adanya masukan N ini yang memungkinkan rumput

B.humidicola mampu bertahan sebagai pastura tunggal yang bahkan dapat mengakumulasi unsur karbon (C) tanah yang cukup signifikan (Fisher et al., 2004). Namun demikian kemampuan mensuplai N dan akumulasi C ke tanah akan lebih meningkat ketika pastura ini diintroduksi dengan legum yang merambat seperti Desmodium ovalifolium sebagai tanaman pengikat N secara biologis (Boddey et al., 2005).

Produksi ternak.

Di padang savana Colombia rumput B. humidicola yang ditanam secara monokultur dengan tekanan penggembalaan 3 ekor/ha memberikan pertambahan berat hidup 80 kg/ekor/tahun atau 240 kg/ha/thn, dan meningkat

sampai 402 kg/ha/thn pada padang penggembalaan campuran dengan legum merambat Arachis pintoi. Di daerah tropis basah Ecuador pastura B. humidicola yang ditanam monokultur dengan 2 ekor sapi / ha memberikan hasil tambahan berat badan 0,56 kg/ekor/hari atau 406 kg/ha/tahun, sedangkan di daerah tropis basah Peru pastura campuran B. humidicola dan A.pintoi dengan tekanan penggembalaan 4 ekor/ha menghasilkan 0,43 kg/ekor/hari atau 619 kg/ha/tahun , sedangkan pastura monokultur B. humidicola dengan kapasitas tampung 4 ekor per hektar memberikan penambahan berat badan (pbb) harian 308 g/ekor/hari (Pereira et al., 2009).

Nilai nutrien dan palatabilitas.

Walaupun rumput ini daunnya kelihatan keras dan berserat tetapi nilai nutrisinya tergolong baik dengan kandungan protein kasar bervariasi antara 5-17 %. Di Colombia rumput ini pada umur defoliasi 6 minggu (rata-rata dari 54 koleksi), menghasilkan protein kasar 5,2 – 8,5% pada musim hujan, tetapi menurun menjadi 3,3 – 6,3 % pada musim kering . Rumput ini memiliki nilai kecernaan 48-75 % dan menurun dengan cepat bila tidak di gembalakan ternak. Sebagai perbandingan pada satu percobaan pengaruh umur pemotongan 30, 60 dan 90 hari mendapatkan kisaran kandungan protein kasar 3,64 – 5,85 % pada

Dokumen terkait