• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Penelitian dan Pengembangan (R&D)

Metode penelitian dan pengembangan atau sering disebut R&D merupakan penelitian yang digunakan untuk mengembangkan, menghasilkan, serta menguji keefektifan produk (Putra, 2015: 67). Definisi R&D yang lebih sederhana juga disampaikan oleh Sugiyono yang menjelaskan bahwa metode penelitian dan pengembangan (R&D) adalah metode penelitian yang menghasilkan produk

tertentu dan kemudian menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2015: 407). Selain itu di dalam bukunya, Sugiyono juga menjelaskan bahwa untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan, sedangkan untuk menguji keefektifan produk diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut.

Metode penelitian dan pengembangan (R&D) merupakan hal baru di dalam pendidikan. Pada tahun 1965 United States Office of Education yang merupakan sebuah lembaga pendidikan Amerika mengenalkan R&D untuk mengembangakan produk pendidikan. Borg dan Gall (dalam Setyosari, 2013: 222), menjelaskan bahwa penelitian pengembangan merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi suatu produk penelitian. Borg dan Gall pada catatan kakinya tentang produk (dalam Sanjaya, 2013:129), juga mejelaskan bahwa produk pendidikan yang dihasilkan tidak hanya terbatas pada bahan-bahan pembelajaran, seperti buku teks, film pendidikan dan sejenisnya, melainkan dapat berbentuk prosedur atau proses seperti metode belajar mengajar. Selain produk, model desain atau rancangan pembelajaran juga dikembangkan oleh beberapa ahli dan salah satunya adalah penelitian dan pengembangan model rancangan pembelajaran oleh Dick & Carey. Penelitian dan pengembangan jenis ini menghasilkan media pembelajaran yang dapat berupa media interaktif atau multimedia interaktif, media gambar seri, dan seterusnya (Setyosari, 2013:222). Pendapat beberapa ahli di atas dapat diartikan bahwa metode penelitian dan pengembangan (R&D) merupakan jenis metode penelitian untuk menghasilkan suatu produk baik yang berhubungan dengan dunia pendidikan maupun di luar

dunia pendidikan. Metode penelitian dan pengembangan juga merupakan metode penelitian yang menguji keefektifan produk tersebut.

Metode penelitian dan pengembangan tidak terbatas menghasilkan produk dan media pembelajaran, akan tetapi juga dapat mengembangkan suatu materi. Brian Tomlinson merupakan salah satu ahli pengembangan materi untuk pembelajaran bahasa yang menjelaskan bahwa produk hasil penelitian dan pengembangan dapat berupa material atau bahan yang dapat digunakan untuk membantu mengajar pembelajaran. Material atau bahan tersebut dapat berbentuk seperti buku teks, buku kerja (LKS), kaset, CD-ROM, koran/surat kabar, maupun paragraf yang ditulis di papan tulis (Tomlinson, 1998: xi dalam Harsono, 2015).

Metode penelitian dan pengembangan (R&D) memiliki beragam langkah-langkah atau prosedur dalam pelaksanaannya. Salah satu prosedur dalam metode penelitian dan pengembangan adalah prosedur menurut Tomlinson dalam pengembangan materi. Prosedur menurut Brian Tomlinson (dalam Harsono, 2015), diantaranya adalah analisis kebutuhan, desain, implementasi, evaluasi, dan revisi.

Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan informasi tentang apa yang seharusnya diterima atau dipelajari oleh siswa. Materi yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa, tentunya akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk mengikuti pembelajaran. Setelah informasi didapat melalui analisis kebutuhan siswa, langkah berikutnya adalah melakukan kegiatan mendesain materi. Kegiatan awal dalam mendesain materi adalah menyusun garis besar materi pembelajaran.

Desain yang sudah terbentuk berdasarkan garis besar materi pembelajaran, kemudian digunakan untuk implementasi di dalam proses pembelajaran. Evaluasi dilakukan setelah pelaksanan pembelajaran dengan materi yang telah didesain. Evaluasi ini dilakukan untuk menganalisis kelemahan dan kelebihan dari materi yang dikembangkan. Selanjutnya, langkah terakhir dalam prosedur pengembangan materi menurut Tomlinson adalah revisi. Revisi dilakukan untuk memperbaiki maupun mengubah materi yang telah dievaluasi (Harsono, 2015).

2.1.2 Pengembangan Materi

Pengembangan materi dapat menghasilkan beragam bentuk, seperti buku teks, buku kerja (LKS), CD-ROM, video, maupun paragraf yang ditulis di papan tulis. Brian Tomlinson (dalam Harsono, 2015) juga menjelaskan bahwa material atau bahan yang dihasilkan dapat berupa apapun yang bisa digunakan untuk memfasilitasi pembelajaran bahasa baik visual maupun audiotory. Material atau bahan tersebut dapat memiliki sifat-sifat seperti bahan-bahan pelajaran, experiental, ataupun yang berhubungan dengan penyelidikan suatu penemuan.

Tomlinson (dalam Tomlinson, 2005) meringkas 16 prinsip pengembangan materi. Akan tetapi di dalam penelitian ini hanya akan dijelaskan 10 prinsip dari 16 prinsip yang diringkas oleh Tomlinson. Prinsip-prinsip tersebut diantaranya adalah: (1) Materi harus memiliki pengaruh yang nyata atau terlihat jelas pada pembelajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari pembelajar merasakan keingintahuan, ketertarikan, dan perhatiannya tertuju pada materi tersebut; (2) Materi harus membantu pembelajar merasakan kenyamanan dan kesenangan. Seperti contoh, jika suatu materi terdapat teks dengan ilustrasi (gambar) akan membuat pembelajar

tidak mudah bosan; (3) Materi dapat membantu pembelajar untuk mengembangkan kepercayaan diri. Prinsip ke-3 ini menjelaskan bahwa kenyamanan dan kepercayaan diri akan lebih cepat berkembang, jika pembelajar merasa bahwa materi yang mereka pelajari tidak susah atau dapat dipelajari sesuai dengan keahlian mereka.

Prinsip selanjutnya adalah (4) materi yang dipelajari harus relevan dan berguna bagi pembelajar; (5) Materi harus memiliki daya tarik. Hal ini bertujuan untuk memfasilitasi pembelajar agar materi tersebut dapat menyatu dengan diri mereka sendiri; (6) Materi harus memberikan pembelajar pencerahan melalui petunjuk, nasihat yang diberikan untuk kegiatan dan ucapan lisan serta tulisan teks di dalam materi; (7) Materi harus mempertimbangkan gaya belajar yang berbeda yang dimiliki oleh pembelajar; (8) Materi juga harus mempertimbangkan sikap afektif pembelajar yang berbeda-beda; (9) Materi harus memaksimalkan pembelajaran yang potensial dengan meningkatkan kemampuan intelektual, estetis, serta emosional yang menstimulasi kegiatan otak kanan maupun otak kiri; (10) Materi harus memberikan kesempatan untuk mewujudkan feedback setelah pembelajaran dilakukan. Ke-10 prinsip pengembangan materi yang digunakan disesuaikan dengan pengembangan materi yang ingin diteliti dalam penelitian ini. Selain itu, penggunaan ke-10 prinsip juga disesuaikan dengan pengembangan materi di dalam bidang pendidikan.

2.1.3 Pendidikan

Pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia di muka bumi ini. Memperoleh pendidikan bagi masyarakat di Indonesia telah diatur di dalam UUD

1945 pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak

mendapatkan pendidikan”. Pendidikan sejatinya diselenggarakan dalam rangka

membebaskan manusia dari beragam persoalan hidup yang melingkupinya. Paulo Freire yang merupakan ahli di bidang pendidikan menjelaskan bahwa pendidikan adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia yang terhindar dari penindasan, kebodohan, hingga ketertinggalan (Freire dalam Yunus, 2007: 1). Seorang ahli pendidikan Indonesia, Y.B. Mangunwijaya juga menjelaskan hal yang sama seperti yang diutarakan oleh Paulo Freire. Kedua ahli ini memiliki cita-cita yang sama di bidang pendidikan, yaitu untuk mewujudkan pendidikan yang dijadikan sebagai alat pembebasan bagi semua masyarakat, karena bagi mereka pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi serta menganalisis secara bebas dan kritis terhadap transformasi sosial (Yunus, 2007: 7).

Pendidikan yang mengarah kepada kebebasan bukan sebagai alat untuk mengurung, merupakan pendidikan yang diharapkan di berbagai negara.

Pendidikan gaya bank yang melihat guru senantiasa “berdiri” di depan kelas untuk mengajar, sedangkan peserta didik yang dengan setia “duduk” mendengarkan guru

menjelaskan, bukan merupakan pendidikan yang mendehumanisasi manusia. Pendidikan semacam itu bagi kedua ahli (Paulo Friere dan Y.B. Mangunwijaya), tidak menjadikan manusia menjadi berpikir kritis terhadap permasalahan yang sebenarnya terjadi di hadapan mereka (Yunus, 2007: 4). Berpikir kritis dapat dikaitkan dengan salah satu teori dari pandangan Sastrapratedja mengenai pendidikan yang didekati dari sudut pandang tentang pembelajaran. Teori tersebut

adalah teori kritis. Teori kritis ini menjelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi untuk membantu pembelajar berpikir secara kritis mengenai segala sesuatu yang terjadi di dalam dunianya. Harapan dari pembelajar yang mampu berpikir secara kritis adalah pembelajar mampu menyadari keberadaannya dan kemudian dapat menentukan tindakannya (Sastrapratedja, dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 50).

Berpikir secara kritis perlu dikembangkan di dalam diri anak-anak. Hal tersebut karena dengan kemampuan berpikir secara kritis di dalam diri anak, akan memberikan keberhasilan dalam pendidikan dan kehidupan bermasyarakatnya. Kemampuan berpikir secara kritis dapat diajarkan melalui proses pembelajaran. Akan tetapi tidak semua proses pembelajaran dapat mengasah kemampuan berpikir kritis seorang anak. Hanya proses pembelajaran yang mendorong diskusi dan banyak memberikan kesempatan berpendapat, memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan gagasan-gagasan dalam tulisan, mendorong kerja sama dalam mengkaji dan menemukan pengetahuan, mengembangkan tanggung jawab, serta refleksi diri yang akan mengembangkan berpikir kritis pada siswa (Suprijono, 2016: 39).

Salah satu pendidikan yang dapat memberikan proses pembelajaran yang menghumanisasikan siswa serta dapat mengasah kemampuan berpikir kritis seorang anak adalah melalui pendidikan emansipatoris. Pendidikan emansipatoris memiliki tiga kata kunci, yaitu humanisasi, kesadaran kritis, dan mempertanyakan sistem. Humanisasi dapat dipahami sebagai pemahaman kritis antara guru dan siswa, serta mengembangan kesadaran kritis antara pribadi dengan dunia.

Humanisasi dapat diciptakan melalui pemikiran yang kritis. Pemikiran yang kritis inilah yang akan menghasilkan suatu kesadaran yang kritis di dalam diri seseorang. Pemikiran kritis ditimbulkan dengan adanya dialog-dialog dalam bentuk mempertanyakan sistem untuk menemukan realitas (Winarti dan Anggadewi, 2015: 54).

Menurut Suprijono (2016: 28), pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan yang memusatkan perhatian pada siswa sebagai subjek dan menandaskan pentingnya keterlibatan siswa. Pendidikan emansipatoris mengajak siswa untuk merefleksikan apa yang diperbuatnya dalam belajar, serta memahami makna tindakan-tindakan belajarnya. Selain itu, Giroux (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 53) menjelaskan bahwa pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan yang menekankan terwujudnya masyarakat yang adil dan demokratis. Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan yang melibatkan siswa di dalam pembelajaran.

Pendidikan emansipatoris memiliki salah satu model yang dapat digunakan untuk mengajarkan siswa dalam mengasah kemampuan berpikir kritis mereka. Model tersebut adalah Pedagogi Ignasian. Pedagogi Ignasian diturunkan dari latihan rohani yang diajarkan oleh Santo Ignasius dari Loyola. Pedagodi Ignasian lebih dikenal dengan istilah PPR atau Paradigma Pedagogi Reflektif. Terdapat lima siklus di dalam Paradigma Pedagogi Reflektif, yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi (Peterson dan Nielsen dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55).

Dalam siklus konteks, siswa diajak untuk mencermati konteks kehidupan yang terjadi pada diri siswa. Pendidik dalam hal ini, berperan sebagai penggali konteks pengetahuan lama siswa yang didapat dari kehidupan mereka. Pendidik kemudian akan mengamati sejauh mana pencapaian siswa terhadap perkembangan pribadinya mengenai materi yang akan diajarkan. Ketika siswa mulai memahami konteksnya, maka pendidik akan memberi mereka stimulus untuk memperoleh pengalaman mendalam tentang pengetahuan lama mereka yang berhubungan dengan materi yang diajarkan. Proses memperoleh pengalaman mendalam ini dilakukan dengan melibatkan keseluruhan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Pengalaman yang diberikan dapat berupa pengalaman langsung maupun tidak langsung. Pengalaman langsung dapat diberikan melalui kegiatan diskusi dan pengamatan. Sedangkan pengalaman tidak langsung dapat diberikan melalui kegiatan mendengarkan, melihat, dan membaca (Subagya, 2010: 43-52).

Setelah siswa menyadari pengalaman yang diperolehnya, mereka kemudian merefleksikan pengalaman tersebut. Perefleksian yang telah dilakukan oleh siswa mendorong mereka untuk semakin menggali pengalaman mereka seluas-luasnya, serta mengambil makna bagi diri mereka dan lingkungan sekitar. Perefleksian inilah yang salah satunya akan melatih siswa untuk memiliki kesadaran berpikir kritis. Hal ini juga diungkapkan oleh Mezirow (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015: 55), yang mengungkapkan bahwa kegiatan refleksi yang kritis serta dilakukan secara terus menerus akan membantu siswa untuk menemukan cara pandang baru. Cara pandang baru inilah yang membuat siswa mengidentifikasi beragam pilihan yang nantinya akan membentuk aksi. Aksi yang timbul dapat dievaluasi untuk lebih

membentuk siswa yang memiliki kepribadian yang utuh, kompeten secara kognitif atau intelektual, dan bersedia untuk makin berkembang. Selain itu, melalui siklus di dalam Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) dapat mengembangkan kesadaran dan kepedulian melalui kegiatan pembelajaran.

2.1.4 Kesadaran dan Kepedulian

Kesadaran berasal dari kata sadar yang berarti insyaf, tahu, dan mengerti (KBBI, 2005: 570). Kata sadar mendapat imbuhan ke-an, sehingga menjadi kesadaran. Dilihat dari arti sadar, kesadaran dapat diartikan keinsafan atau keadaan mengerti. Bagi Murphy (dalam Neolaka, 2008: 18) kesadaran adalah keadaan sadar yang mengatur akal pikiran untuk memilih sesuatu yang diinginkan. Kesadaran juga dapat diartikan sebagai hasil dari cara berpikir sekelompok masyarakat, yang masing-masing pemikirannya terpisah satu sama lain. Jika menghendaki suatu perubahan dalam masyarakat, baik skala besar atau kecil, maka langkah pertama ialah merubah cara berfikirnya (Simorangkir dalam Jamanti, 2014: 24)

Notoatmodjo (dalam Jamanti, 2014: 24) menjadikan tiga ranah atau kawasan untuk menentukan indikator kesadaran, yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Menentukan indikator kesadaran dalam ranah sikap memiliki beberapa tingkatan, yaitu; (1) Menerima, yang diartikan bahwa orang yang menjadi subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan; (2) Merespon, yang berarti memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan (terlepas dari pekerjaan yang diberikan benar atau salah), serta menunjukkan bahwa orang dapat menerima ide tersebut; (3) Menghargai, yang diartikan mengajak orang lain untuk mendiskusikan suatu masalah; (4)

Bertanggung jawab, yang diartikan menanggung segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko. Ranah ke empat ini merupakan ranah paling tinggi. Kesadaran merupakan bagian terkecil dari keseluruhan di dalam pikiran manusia (Sigmund Freud dalam Fadillah, 2012: 1). Jika diibaratkan kesadaran itu seperti gunung es yang muncul di permukaan laut yang terlihat kecil, namun besar di bagian dasar lautnya. Kesadaran dimiliki oleh setiap orang untuk mengenali perasaan dan keadaan yang berbeda dari pikirannya. Jadi dapat dikatakan bahwa kesadaran adalah keadaan mengatur akal pikir untuk mengerti serta mengenali perasaan mengenai sesuatu di lingkungan manusia itu sendiri.

Sedangkan kepedulian berasal dari kata peduli yang berimbuhan ke-an. Kata peduli menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2002: 841), peduli berarti mengindahkan, menghiraukan, memperhatikan. Sedangkan menurut Swanson (dalam Sihombing, 2014: 24), kepedulian dapat diartikan sebagai salah satu cara yang digunakan untuk memelihara hubungan dengan orang lain, dimana orang lain merasakan komitmen dan tanggung jawab secara pribadi. Jika kita peduli dengan orang lain, maka kita akan merespon positif apa yang dibutuhkan oleh orang lain dan mengekspresikan menjadi sebuah tindakan. Leininger (1981) juga menyimpulkan bahwa kepedulian adalah perasaan yang ditunjukan kepada orang lain, dan itulah yang memotivasi dan memberikan kekuatan untuk bertindak atau beraksi, serta mempengaruhi kehidupan secara positif.

Bagi Swanson (dalam Sihombing, 2014: 27) kepedulian memiliki lima dimensi, diantaranya: (1) Mengetahui, yang diartikan sebagai pemahaman kejadian

yang di dalamnya memiliki makna untuk kehidupan orang tersebut; (2) Turut hadir merupakan cara menyampaikan perasaan atau emosi dan memantau keadaan orang lain apakah perasaan atau emosi tersebut mengganggu ketika diberikan; (3) Melakukan, contohnya membantu orang lain untuk mengatasi masalahnya sesuai dengan kemampuan dan keahlian diri sendiri; (4) Memungkinkan, dalam hal ini dapat dimaksudkan sesuatu yang memfasilitasi perjalanan maupun kejadian yang pernah dialami oleh orang lain yang disampaikan dengan cara memberikan informasi, penjelasan, maupun dukungan; (5) Dimensi yang terakhir adalah mempertahankan keyakinan. Mempertahankan keyakinan merupakan sesuatu yang mendukung keyakinan orang lain untuk menjalani masa transisi dalam kehidupannya, kemudian menghadapi masa yang akan datang. Berbagai pendapat tentang kepedulian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepedulian adalah suatu tindakan yang termotivasi dari perasaan yang timbul terhadap lingkungan sekitar yang dapat merubah kondisi menjadi lebih bermanfaat bagi dirinya, orang lain, maupun lingkungannya.

2.1.5 Lingkungan

Lingkungan bagi manusia merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam kehidupan mereka. Hal tersebut karena lingkungan tidak saja sebagai tempat manusia beraktivitas, tetapi lingkungan juga sangat berperan dalam mendukung berbagai aktivitas yang dilakukan oleh manusia (Hamzah, 2013: 1). Lingkungan menurut Kant (dalam Sonia dan Pius, 2014: 13) merupakan kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan atau pertumbuhan yang meliputi udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, flora, dan fauna. Definisi tersebut bermakna bahwa lingkungan

terdiri dari lingkungan mati (abiotik) seperti udara, air, tanah, dan lingkungan hidup (biotik) seperti flora dan fauna. Pendapat lain tentang lingkungan juga disampaikan oleh Gustao (dalam Hamzah, 2013: 5), yang menjelaskan bahwa lingkungan adalah jumlah total dari semua kondisi yang mempengaruhi eksistensi, pertumbuhan, dan kesejahteraan dari suatu organisasi yang ada di bumi.

Lingkungan dan manusia memiliki hubungan yang bersifat sirkuler. Sifat sirkuler ini dijelaskan oleh Soemarwoto (dalam Hamzah, 2013: 3), yaitu sifat yang

memiliki makna “apapun yang manusia lakukan terhadap lingkungan baik

perlakuan positif maupun negatif, akan berdampak pada manusia itu sendiri sesuai

dengan apa yang mereka lakukan terhadap lingkungan”. Lingkungan dan manusia

tidak lepas dari hubungan saling timbal balik. Naluri manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya membutuhkan lingkungan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian juga lingkungan, lingkungan juga membutuhkan manusia untuk terus berkembang agar apa yang diambil oleh manusia tidak mudah habis maupun rusak. Hubungan timbal balik yang terjadi antara manusia dan lingkungan juga tidak lepas dari dampak yang akan ditimbulkan bagi keduanya. Hamzah (2013: 1) menuturkan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh perlakuan manusia terhadap lingkungan akan memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup manusia itu sendiri.

Pengaruh yang disebabkan oleh perilaku manusia terhadap lingkungan yang terjadi, memerlukan suatu pendidikan yang mengajarkan akan pentingnya lingkungan bagi kehidupan manusia. Pendidikan yang dimaksud adalah

pendidikan lingkungan di Tbilisi, ibukota Georgia (dalam Hamzah, 2013: 37)

mengungkapkan peran dan tujuan dari pendidikan lingkungan, yaitu: “Pendidikan

lingkungan perlu dipahami dengan baik. Hal tersebut karena pendidikan lingkungan merupakan pendidikan sepanjang hayat yang komprehensif, satu tanggapan terhadap perubahan dunia yang sangat cepat. Pendidikan lingkungan akan menyiapkan setiap individu seumur hidup melalui suatu pemahaman terhadap masalah utama dunia pada saat ini dan membekali setiap individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk berperan produktif untuk meningkatkan kualitas hidup serta melindungi lingkungan dengan kepedulian dan nilai-nilai etika”.

Pendidikan lingkungan bukanlah studi ataupun ilmu lingkungan. Pendidikan lingkungan adalah sebuah proses dimana setiap individu memperoleh kesadaran lingkungan dan pengetahuan, keterampilan, nilai, pengalaman, serta tekad yang akan memungkinkan mereka untuk bertindak baik secara pribadi maupun kolektif untuk memecahkan masalah lingkungan hidup sekarang dan masa depan. Selain itu pendidikan lingkungan juga merupakan suatu proses yang kompleks, yang mencakup bukan hanya peristiwa, tetapi pendekatan yang mendasari kekuatan untuk membangun masyarakat secara keseluruhan (Hamzah, 2013: 40). Pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan lingkungan merupakan suatu proses untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya kepedulian terhadap lingkungan sebagai bagian dari keseimbangan hubungan manusia dengan alam. Pendidikan lingkungan dapat diajarkan melalui beberapa model, salah satunya adalah model Conservation Scout.

2.1.6 Model Conservartion Scout

Model Conservation Scout merupakan suatu model pembelajaran yang berbasis pada lingkungan yang dapat digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Selain itu model ini juga dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk memelihara lingkungan (Widodo, 2014: 2). Beberapa jurnal yang diterbitkan tentang Conservation Scout (Suseno, 2016: 3) (Ritmawati, 2014: 6), memaparkan bahwa model Conservation Scout merupakan model pembelajaran inovatif berbasis lingkungan yang berupa konservasi sederhana (mini konservasi). Model Conservation Scout memiliki empat metode yang dapat dikembangkan, diantaranya: (1) area konservasi di dalam ruangan; (2) minitrip; (3) pojok konservasi atau kebun konservasi; serta (4) eksperimen dan kampanye. Metode-metode di dalam Conservation Scout dapat digambarkan melalui skema berikut:

Gambar 2.1 Skema Model Conservation Scout

Metode pertama adalah area konservasi di dalam ruangan. Metode ini digunakan jika anak-anak tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk melakukan

Conservation Scout

Area konservasi di dalam ruangan

Minitrip

Pojok konservasi atau kebun konservasi

Eksperimen sederhana dan kampanye

konservasi. Anak-anak dapat melakukan kegiatan untuk membuat akuarium dengan beragam hewan yang mereka rawat, maupun akurium dengan beragam tanaman atau sering disebut dengan terrarium. Metode selanjutnya di dalam Conservation Scout adalah minitrip. Minitrip merupakan salah satu metode Conservation Scout yang mengajak anak-anak untuk melakukan perjalanan sederhana ke beberapa tempat konservasi. Tempat-tempat konservasi tersebut dapat berupa kebun binatang, tempat pusat studi lingkungan, dan lain sebagainya.

Di dalam model Conservation Scout juga terdapat metode pojok konservasi atau kebun konservasi. Pojok konservasi atau kebun konservasi merupakan salah satu metode dari model Conservation Scout yang memanfaatkan lahan yang ada untuk dipergunakan oleh anak-anak sebagai tempat konservasi sederhana. Konservasi sederhana yang dapat dilakukan, misalnya konservasi tanaman obat, menanam tumbuhan pangan dengan teknik vertikultur, dan konservasi tanaman lainnya yang sesuai dengan lahan serta kebutuhan anak-anak.

Metode terakhir di dalam Conservation Scout adalah eksperimen sederhana dan kampanye. Kegiatan di dalam metode ini adalah melakukan beragam eksperimen sederhana, seperti uji amilum bahan pangan, eksperimen tentang sumber energi alternatif, dan kegiatan berkampanye mengenai lingkungan. Kegiatan berkampanye dapat dilakukan dengan teknik peer tutoring. Teknik peer tutoring atau tutor sebaya merupakan teknik berkampanye yang dilakukan anak kepada teman maupun orang di sekitarnya dengan mengkampanyekan pengalaman mereka (Suseno, 2016:5-6) (Ritmawati, 2014: 2). Teknik peer tutoring inilah yang merupakan keunikan dari model Conservation Scout yang digunakan dalam

penelitian kali ini. Teknik peer tutoring menjadikan anak sebagai duta lingkungan dengan mengajak orang lain untuk menjaga lingkungannya. Melalui pengalaman yang didapat dari kegiatan di dalam model Conservation Scout anak akan belajar untuk membagi pengalaman mereka melalui teknik peer tutoring.

Model Conservation Scout yang digunakan dalam penelitian kali ini, didasarkan pada pandangan beberapa ahli yang berkaitan dengan perkembangan

Dokumen terkait