• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

2.2. Penelitian Empiris Terkait

+ = , , ………( 2.4)

wi =

dimana Et adalah kurs efektif nominal pada waktu ke t, m adalah jumlah mata uang negara mitra dagang utama, wi adalah rata-rata perdagangan yang didenominasikan dalam mata uang negara i pada waktu t, Vit adalah kurs relatif dari mata uang negara i pada waktu t, Si adalah kurs pada spot market saat ini, S0 adalah kurs pada periode dasar, Xi adalah nilai ekspor domestik ke negara i dan Mi adalah nilai impor dari negara i.

2.4.4. Kaitan Inflasi dengan Senjang Output (GDP Gap)

Menurut Mankiw (2003) Gross Domestic Product (GDP) merupakan nilai pasar semua barang dan jasa akhir yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. GDP potensial adalah GDP riil yang dapat diproduksi perekonomian jika sumberdaya produktif dipergunakan secara penuh pada intensitas penggunaan yang normal. Selain itu, GDP potensial dapat juga diartikan sebagai sisi penawaran perekonomian yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Dalam jangka menengah perkiraan terhadap output potensial dapat digunakan untuk menganalisa batas pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan, yaitu yang tidak mengganggu keseimbangan internal dan eksternal (Lipsey, 1995).

Senjang GDP atau senjang output adalah perbedaan antara output potensial dengan output aktual atau output sebenarnya. Perhitungan senjang GDP ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

= − ∗………( 2.5)

dimana,

Y : GDP aktual riil Y* : GDP potensial

Dalam jangka pendek, perkiraan antara gap antara output riil dan potensial dapat digunakan sebagai patokan untuk menganalisa tekanan terhadap inflasi. Senjang GDP dan tingkat inflasi berhubungan positif yaitu ketika senjang GDP bernilai positif, maka hal ini akan berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Dengan kata lain, perekonomian yang tumbuh melebihi potensialnya cenderung akan menekan laju inflasi. Ketika perekonomian sedang dalam kondisi booming, permintaan faktor produksi akan meningkat dan hal ini pada akhirnya akan mendorong kenaikan tingkat inflasi. Sebaliknya, ketika perekonomian sedang dalam kondisi resesi, permintaan faktor produksi relatif kecil dan kemudian akan menurunkan tingkat inflasi. Hal ini berarti kebijakan sisi penawaran ekonomi dapat diantisipasi dengan menganalisa besarnya output gap dalam suatu periode. 2.4.5. Kaitan Inflasi dengan Suku Bunga

Para ekonom menyebutkan tingkat bunga yang dibayar bank sebagai tingkat bunga nominal (nominal interest rate) dan kenaikan dalam daya beli masyarakat sebagai tingkat bunga riil (real interest rate). Jika i menyatakan tingkat bunga nominal, r tingkat bunga riil, dan π laju inflasi, maka hubungan diantara ketiga variabel ini dapat ditulis sebagai berikut (Mankiw, 2003):

r = i− π………. . ( 2.6)

Persamaan di atas dapat diatur kembali menjadi:

i = r + π………. . ( 2.7)

maka dapat dilihat bahwa tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi.

Pada persamaan di atas terlihat bahwa tingkat bunga nominal merupakan penjumlahan di antara tingkat bunga riil dan laju inflasi yang menunjukkan bahwa

tingkat bunga dapat berubah karena dua alasan, yaitu tingkat bunga riil yang berubah atau inflasi yang berubah. Sehingga terdapat hubungan positif antara tingkat bunga nominal dengan inflasi dimana kenaikan satu persen dalam laju inflasi akan menyebabkan kenaikan satu persen dalam tingkat bunga nominal (Fauzi, 2007).

2.4.6. Kaitan Inflasi dengan Aggregate Demand

Trihadmini (2004) permintaan agregat atau aggregate demand adalah kuantitas output total atau agregat yang ingin dibeli pada tingkat harga tertentu, dimana hal lain dianggap konstan (ceteris paribus). Samuelson dan Nordhaus (1992) dalam Trihadmini (2004), permintaan agregat merupakan pengeluaran yang diinginkan di seluruh sektor, yang meliputi konsumsi, investasi domestik swasta, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, dan ekspor.

Sumber: Miskhin (2004)

Gambar 2.2. Kurva Aggregate Demand

Kurva aggregate demand menunjukkan hubungan antara tingkat harga dengan kuantitas barang dan jasa yang diminta (tingkat output), dimana hal-hal lain dianggap konstan. Kurva permintaan agregat mempunyai kemiringan yang

(a) P (b) AD1 0 Y P AD0 P1 P0 Y 0 AD Y1 Y0

negatif (downward sloping), dimana hal tersebut menunjukkan bahwa apabila tingkat harga mengalami kenaikan, maka permintaan agregat yang diinginkan mengalami penurunan, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. (bagian a). Selain itu, kemiringan negatif dari kurva AD juga disebabkan oleh efek penawaran uang, apabila penawaran uang konstan sementara tingkat harga mengalami kenaikan, maka penawaran uang riil akan mengalami penurunan, sehingga memengaruhi permintaan riil terhadap barang dan jasa juga akan menurun.

Sementara itu, pada Gambar 2.2. (bagian b) menunjukkan pergeseran kurva AD secara keseluruhan, dimana pergeseran tersebut menunjukkan peningkatan permintaan agregat sebagai akibat adanya perubahan variabel- variabel yang semula diasumsikan konstan, seperti variabel kebijakan (fiskal dan moneter) dan variabel eksternal (seperti output luar negeri, nilai modal). Untuk melihat kaitan permintaan agregat terhadap pembentukan inflasi, maka proxy yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE).

2.5. Konvergensi Inflasi

Hanie (2006) konvergensi (convergence) dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan dari pergerakan satu atau lebih variabel yang menuju suatu titik yang sama. Untuk mencapai integrasi ekonomi, kriteria konvergensi menjadi salah satu syarat pembentukan mata uang tunggal, baik konvergensi nominal (tingkat inflasi dan suku bunga) maupun konvergensi riil (pendapatan per kapita, produktivitas pekerja, dan tingkat harga komparatif) (Angeloni et al. 2005). Penelitian ini akan fokus membahas konvergensi inflasi, dimana jika tingkat

inflasinya serupa, atau bergerak kearah yang sama maka akan lebih mudah menentukan target inflasi bersama dan kebijakan yang cocok bagi seluruh negara anggota.

2.6. Metode Data Panel Dinamis

Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel.

Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan makroekonometrik. Popularitas penggunaan data panel ini merupakan konsekuensi dari kemampuan dan ketersediaan analisis yang diberikan oleh data jenis ini. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni.

Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan. Kelebihan dari penggunaan data panel adalah:

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section. 2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas

3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment.

4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series. 5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models)

yang lebih kompleks.

Indra (2009) relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut:

= , + ′ + ; i = 1, … , N ; t = 1, …. T ………( 2.8)

dengan menyatakan suatu skalar, ′ menyatakan matriks berukuran 1 x K dan matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, diasumsikan mengikuti model one way error component sebagai berikut

= + ………( 2.9) dengan ~ 0, menyatakan pengaruh individu dan ~ ( 0, )

menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error.

Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM) terkait perlakuan terhadap . Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena merupakan fungsi dari maka , juga

merupakan fungsi dari . Karena adalah fungsi dari maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor , dan , hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkosisten, bahkan bila tidak berkorelasi serial sekalipun.

Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen

= , + ;| | < 1 ; = 1, …. . ………. ( 2.10)

dengan = + di mana ~ 0, dan ~ ( 0, ) saling bebas satu sama lain. Penduga fixed effect bagi diberikan oleh

= ∑ ∑ ( − ) , − ,

∑ ∑ ( ,, ) ………. . ( 2.11)

dengan = 1/ ∑ dan , = 1/ ∑ , .

Untuk menganalisis sifat dari

,

dapat disubstitusi persamaan (2.10) ke (2.11) untuk memperoleh persamaan di bawah ini:

= + 1/ ( ) ∑ ∑ ( − ̅) , − ,

1/ ( ) ∑ ∑ ( ,, ) ………. ( 2.12)

Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N ⟶ ∞dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan di atas (2.12) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N⟶ ∞. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel (1981) dan Hsiao (1986) dalam Verbeek (2004)) bahwa

pli m → 1 ( − ̅) ,, = − ( −1)− + ( 1− ) ≠0 ………( 2.13)

Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) menyarankan suatu pendekatan Generalized Method of Moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.

Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite), dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM (Indra, 2009).

Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni:

1. First-differences GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)

2.6.1. First-differences GMM (AB-GMM)

Untuk mendapatkan estimasi yang konsisten di mana N → ∞ dengan T tertentu, akan dilakukan first-difference pada Persamaan (2.10) untuk mengeliminasi pengaruh individual ( ) sebagai berikut:

namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga yang inkonsisten karena , dan , berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, , akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, , berkorelasi dengan ( , − , ) tetapi tidak berkorelasi dengan , , dan tidak berkorelasi serial. Di sini, penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai

= ∑ ∑ , − ,

∑ ∑ , , − ,

………( 2.15)

syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah

pli m

→ →

1

( −1) ( − , ) , = 0 ……… ( 2.16)

Penduga (2.15) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981) dalam Verbeek (2004). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana , − , digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi disajikan sebagai:

( ) =

∑ ∑ , − , − ,

∑ ∑ , − , , − ,

……… ( 2.17)

syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah

pli m

→ →

1

( −2) − , , − , = 0 ………… ( 2.18)

Perhatikan bahwa penduga variabel instrumen yang kedua (IV (2)) memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat

menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa

pli m → → 1 ( −1) − , , = − , , = 0 ………. ( 2.19)

yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh pli m → → 1 ( −2) − , , − , = − , ,, = 0 ……… ( 2.20)

yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator (IV dan IV (2)) selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004), menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek (2004) mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh

 [ ( − ) ] = 0, untuk t = 2

 [ ( − ) ] = 0 dan [ ( − ) ] = 0, untuk t = 3

 [ ( − ) ] = 0, [( − ) ] = 0, dan

Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan

∆ =

, − ,

………. ( 2.21)

sebagai vektor transformasi error, dan

= [ ] 0 ⋮ 0 0 [ , ] ⋮ 0 … … ⋮⋱ 0 0 ⋮ , …, , ………. ( 2.22)

sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Zi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai

[ ′ ∆ ] = 0 ………( 2.23) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, tuliskan persamaan sebagai

′ ∆ − ∆ , = 0 ………. ( 2.24)

karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui, akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel yang bersesuaian, yakni

min 1

N Z′ ∆ − ∆ , W

1

N Z′ ∆ − ∆ , …………. . ( 2.25)

dengan WN adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris. Dengan mendifrensiasikan terhadap akan diperoleh penduga GMM sebagai

= ∆ ′, W Z′ ∆ ,

x ∆ ′, W Z′ ∆ ………. . ( 2.26)

Sifat dari penduga GMM (2.26) bergantung pada pemilihan WN yang konsisten selama WN definit positif, sebagai contoh WN = I yang merupakan matriks identitas.

Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi . Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek, 2004), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi

pli m

= [ ′ ∆ ] = [ ′ ∆ ∆ ] ………. ( 2.27)

dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian vi , matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step consistent estimator bagi dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata sampel, yakni (two step estimator)

= 1 ′ ∆ ∆ ………. . ( 2.28)

dengan ∆ menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent estimator.

Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa ~ pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan bagi sampel berukuran kecil) menekankan ketidakberadaan autokorelasi pada vit dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Dengan catatan di bawah restriksi sebagai berikut:

[∆ ∆ ] = = 2 −1 0 ⋮ −1 2 ⋱ 0 0 ⋱ ⋱ −1 … 0 −1 2 ………( 2.29)

matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator).

= 1 ′ ………. . ( 2.30)

Sebagai catatan bahwa (2.30) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error vit diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi.

Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (2.10) dapat dituliskan kembali menjadi

= ′ + , + + ………. . ( 2.31)

Parameter persamaan (2.31) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap xit , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila xit strictly exogenous dalam artian bahwa xit tidak berkorelasi dengan sembarang error vis, akan diperoleh

[ ,∆ ] = 0 ; untuk setiap s dan t ………. . ( 2.32) sehingga x1, …, xiT dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada Zi menjadi besar. Selanjutnya dengan menggunakan kondisi momen

[∆ ,∆ ] = 0 ; untuk setiap t ………. . ( 2.33) matriks instrumen dapat dituliskan sebagai

= ,∆ ′ 0 ⋮ 0 0 , ,∆ ′ … … ⋱ 0 0 0 0 , …. , , ,∆ …… ( 2.34)

bila variabel xit tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus di mana xit dan lag xit tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan diperoleh

[ , ] untuk s t . Dalam kasus dimana hanya xi,t-1,…, xi1 instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai

, ,∆ = 0 ; = 1, …. . , −1,∀ ………. . ( 2.35)

Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks Zi kemudian dapat disesuaikan. Baltagi (1995), menyajikan contoh dan diskusi tambahan untuk kasus ini. Penduga AB-GMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal ini terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998).

Dalam model AR (1) di Persamaan (2.10), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif ( ) mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu ( i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).

Blundell dan Bond (1998) menunjukkan bahwa penduga AB-GMM dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Hal ini menekankan perlunya perhatian sebelum menerapkan metode ini untuk mengestimasi model autoregresif dengan jumlah deret waktu yang relatif kecil.

Keberadaan bias sampel terbatas dapat dideteksi dengan mengkomparasi hasil AB-GMM dengan penduga alternatif dari parameter autoregresif. Sebagaimana diketahui dalam model AR (1), least square akan memberikan suatu estimasi dengan bias yang ke atas (biased upward) dengan keberadaan pengaruh spesifik individu (individual-spesific effect) dan fixed effect akan memberikan dugaan dengan bias yang ke bawah (biased downward). Selanjutnya penduga konsisten dapat diekspektasi di antara penduga least square atau fixed effect. Bila penduga AB-GMM dekat atau di bawah penduga penduga fixed effect, maka kemungkinan penduga AB-GMM akan biased downward, yang kemungkinan disebabkan oleh lemahnya instrumen.

2.6.2. System GMM (SYS-GMM)

Indra (2009) ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Salah satunya dengan membuat model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:

dengan ( ) = 0, ( ) = 0, dan ( ) = 0 untuk i= 1, 2, …. , N; t = 1, 2, …, T. Dalam hal ini, Blundell dan Bond (1998) memfokuskan pada T=3 oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh ,∆ = 0 sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just Indentified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆ dan yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari persamaan (2.36) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas persamaan tersebut, yakni

∆ = ( −1) , + + ……… ( 2.37) Dikarenakan eskpektasi ( ) > 0, maka ( −1) akan bias ke atas (upward biased) dengan

pli m −1 = ( −1)

+ / ………. . ( 2.38)

dengan = ( 1− ) / ( 1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke dengan parameter non- centrality

= ⟶0, dengan →1

karena →0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi (Baltagi, 2005).

2.7. Penelitian Terdahulu

Evzen Kocenda & David H. Papell (1997) dalam Inflation Convergence Within the European Union: A Panel Data Analysis meneliti apakah terdapat bukti yang mendukung konvergensi inflasi dalam Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan metode panel data. Analisis juga berfokus pada apakah Exchange Rate Mecanism (ERM) membantu mempercepat konvergensi inflasi diantara negara-negara anggotanya. Hasilnya adalah ERM mendukung konvergensi diantara negara-negara anggota Uni Eropa. Negara yang terus berpartisipasi dalam kelompok ERM menunjukkan tingkat konvergensi yang lebih tinggi secara dramatis selama periode pembentukan mekanisme nilai tukar tersebut.

Busetti et al. (2006) dalam Inflation Convergence and Divergence Within The European Monetary Union. Penelitian ini menganalisis mengenai sifat konvergensi tingkat inflasi diantara negara-negara Uni Eropa selama periode 1980-2004. Analisis yang digunakan dibagi menjadi dua bagian, sebelum dan sesudah kelahiran mata uang euro. Analisis konvergensi pertama menggunakan uji akar unit univariat dan multivariat pada perbedaan inflasi, dengan alasan

bahwa kekuatan dari pengujian ini meningkat jauh jika regresi Dickey-Fuller

tanpa intercept term. Analisis selanjutnya menyelidiki apakah kedua sub sampel

dicirikan oleh tingkat inflasi yang stabil di negara-negara Eropa. Pada saat menggunakan tes stationeritas pada tingkat diferensial untuk inflasi, ditemukan bukti perilaku yang menyimpang. Secara statistik penelitian ini dapat mendeteksi

dua kelompok terpisah atau convergence clubs. Kelompok inflasi yang lebih

rendah, terdiri dari Jerman, Perancis, Belgia, Austria, Finlandia. Sedangkan kelompok inflasi yang lebih tinggi adalah Spanyol, Belanda, Yunani, Portugal,

dan Irlandia. Italia muncul untuk membentuk kelompok sendiri, berada diantara dua kelompok lainnya.

Hanie (2006) dalam Analisis Konvergensi Nominal dan Riil Diantara

Negara-Negara ASEAN-5, Jepang, dan Korea Selatan. Penelitian ini mengkaji apakah konvergensi nominal dan konvergensi riil telah terjadi di negara-negara ASEAN-5 (Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Thailand), Jepang, dan Korea Selatan. Konvergensi nominal dianalisis dengan menggunakan variabel

Consumer Price Index (CPI), sedangkan analisis konvergensi riil menggunakan

variabel Industrial Production Index (IPX). Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan VECM melalui simulasi Decomposition of Forecasting

Error Varians dan simulasi Impulse Response Function. Selain itu, konvergensi juga dianalisis dengan menggunakan uji kausalitas Granger dan matriks korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi nominal terjadi di negara- negara ASEAN-5 kecuali Indonesia, namun konvergensi ini belum begitu terlihat diantara Korea Selatan dengan ASEAN-5. Selain itu, konvergensi riil terjadi di antara negara-negara ASEAN-5, dan antara Korea Selatan dengan ASEAN-5 kecuali Indonesia.

Penelitian berikutnya Andersson et al. (2009) dalam Determinants of Inflation and Price Level Differentials Across the Euro Area Countries. Penelitian ini menganalisa faktor-faktor penentu perbedaan inflasi dan tingkat harga di negara-negara kawasan euro. Estimasi panel dinamis untuk periode 1999-2006 menunjukkan bahwa perbedaan dalam inflasi terutama ditentukan oleh perkembangan yang berbeda dalam PDB per kapita atau tingkat produktivitas, posisi siklus dan untuk beberapa tingkat pertumbuhan upah serta perubahan dalam

peraturan pasar produk. Penelitian ini juga menemukan kekuatan penting dalam perbedaan tingkat inflasi, dapat terlihat dari sebagian hubungan terkait dengan harga yang ditentukan dan peraturan pasar produk. Dalam rangka kointegrasi, penelitian ini menemukan bahwa tingkat harga masing-masing negara kawasan euro diatur oleh tingkat GDP per kapita, pada gilirannya ditentukan oleh tingkat produktivitas dan konsumsi. Kekuatan dalam perbedaan tingkat inflasi tampaknya sebagian dijelaskan oleh administered prices dan sampai batas tertentu oleh peraturan pasar produk.

Ningsih (2010) dalam kajian Analisis Keterkaitan Dinamis Inflasi Di Negara-Negara ASEAN+6. Penelitian ini menganalisis tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 yang semakin konvergen atau semakin tidak konvergen, menganalisis respon inflasi negara-negara ASEAN+6 akibat adanya guncangan inflasi yang terjadi di Indonesia, RRC, Jepang, dan Singapura, serta menganalisis respon inflasi di Indonesia akibat adanya shock dari variabel yang sama di seluruh negara anggota ASEAN+6. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah VAR-VECM.

Hasil penelitian Ningsih (2010) menyatakan bahwa tingkat inflasi diantara negara-negara ASEAN+6 pada periode 1997-2008, jika dianalisis dengan

Dokumen terkait