• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN 1 Penapisan Sampel

3. Penelitian Epidemiolog

Profil Darah Anak menurut Kelompok Perlakuan

Indikator yang paling umum untuk mengetahui defisiensi berbagai zat gizi melalui pemeriksaan darah anak di laboratorium adalah pengukuran kadar Hb, Ht, jumlah dan ukuran sel darah merah (eritrosit), darah putih (leukosit), kadar berbagai zat gizi penting seperti I, Se, Fe, Zn, serta Ca. Penelitian ini menganalisis darah secara menyeluruh yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan kondisi kesehatan dan status gizi seseorang. Oleh karena itu pemeriksaan darah yang dilakukan tanpa puasa terlebih dulu (sesaat/sewaktu) sering disebut sebagai pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksaan darah rutin dalam penelitian ini selanjutnya disebut profil darah. Dalam penelitian ditemukan kadar Hb anak paling rendah 11.50 g/dl dan paling tinggi mencapai 17.10 g/dl sehingga rata-rata kadar Hb 14.1 dengan standar deviasi sebesar 0.814. Sepintas tidak ditemukan penderita anemia, namun bila dilihat jumlah eritrosit sebelum pemberian suplemen selenium dan iodium ternyata kadar eritrosit minimum 4.23 dan maksimum 6.64 (Tabel 21). Hal ini disebabkan tingginya VO2max individu yang tinggal di pegunungan, yang umumnya mereka sering berjalan kaki naik atau turun lereng gunung. Kenaikan kadar hematokrit (Ht) belum disertai dengan profil darah lainnya secara nyata dan pada penelitian ini adalah rataan konsentrasi Hb dan Ht antar kelompok tidak berbeda nyata.

Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa manfaat pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan ternyata mampu memperbaiki profil darah anak penderita GAKI. Secara umum anak penderita GAKI di daerah endemik di Boyolali tidak ada masalah dengan anemia gizi besi karena kadar Hemoglobin (Hb)nya hampir semua tinggi (11.50 – 17.10 g/dl). Namun bila dilihat hasil pemeriksaan jenis anemia dengan metode penghitungan

indeks mean corpuscular volume (MCV) ternyata sebelum perlakuan ada 31% penderita anemia jenis mikrositik dan makrositik, tetapi setelah diberi suplemen jumlah penderita anemia mikrositik/makrositik menurut MCV ini tinggal 16%. Penghitungan dengan metode mean corpuscular hemoglobin (MCH) menunjukkan hasil bahwa prevalensi jenis anemia mikrositik pada awal penelitian ada 20% dan setelah pemberian suplemen jumlah individu yang menderita anemia jenis MCH menjadi 7%. Penghitungan menggunakan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) menunjukkan bahwa ditemukan 34% anak penderita anemia jenis hipokromik, kemudian setelah pemberian suplemen maka menurun menjadi 18%.

Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa kadar Hb anak dengan 6- 11 petanda kretin yang hidupnya di pegunungan adalah normal (11.5-17.1 g/dl) namun prevalensi total anemia mikrositik maupun makrositik menurut kadar hematokrit ada 14% pada awal penelitian, dan setelah diberi perlakuan maka penderita anemia jenis mikrositik tinggal 3.5% dan lainnya sudah normal, yaitu memiliki bentuk sel monositik 96.5%. Studi suplementasi selenium terhadap anak penderita GAKI di Schotlandia menunjukkan bahwa status anemia anak berhubungan dengan status selenium dan iodium (Brown, et al. 2003).

Status anemia berdasarkan kadar hematokrit juga memiliki pola yang hampir sama dengan hemoglobin yaitu rata-rata kadar hematokrit setelah perlakuan menunjukkan perbaikan yang sangat nyata yaitu menjadi 32.99% - 49.8%. Prevalensi anemia pada anak penderita GAKI dengan tanda khas kretin berdasarkan hematokrit saat awal penelitian ada 14% dan setelah pemberian suplemen selenium dan iodium menjadi 3.5%. Selanjutnya menurut kelompok perlakuan perubahan profil darah MCV dapat dilihat pada Gambar 20.

Pada Gambar 21 dapat diketahui bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata tetap terjadi perbaikan profil darah MCH yaitu sebelum perlakuan tidak ada yang monositik tetapi setelah perlakuan ada 3.5% anak berstatus monositik. Dengan demikian ada 6.1 % (plasebo), 9.6% (Se), 9.6% (I), dan 26% (Se+I) yang menderita anemia mikrositik. Menurut WHO (1994) hal ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya masih lebih dari 5%. Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test

untuk variable MCV (Tabel 22 dan Tabel 25). Analisis perhitungan selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCH pada Tabel 22 dan Tabel 26. Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan sementara bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau Se+I dapat menyembuhkan anemia mikrositik hiperkromik menjadi sehat (monositik monokromik)

Gambar 22 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dengan pemberian plasebo ternyata hampir sama dengan yang terjadi pada profil darah MCHC, yaitu tidak dapat memperbaiki profil darah anak karena tidak ada zat gizi untuk perbaikan hematokrit, eritrosit dan leukosit. Akibatnya anak yang menderita anemia hipokromik masih ada 4 anak dari 28 anak yang termasuk kelompok plasebo (14.3%). Namun dilihat secara keseluruhan sampel maka pemberian suplemen selenium dan iodium sangat bermanfaat bagi perbaikan profil darah khususnya untuk penyembuhan anemia hipokromik. Selisih persentase dari post test dan pre test untuk variable MCHC (Tabel 27)

Berdasarkan nilai selisih persentase antar kelompok pemberian suplemen dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari dapat mengkoreksi anemia hiperkromik menjadi sehat (monokromik) sebesar 11%, sementara iodium saja hanya dapat 0.8% dan interaksi selenium+iodium 5.3% saja. Sementara pada kelompok plasebo terjadi perbaikan status anemia 6% mungkin disebabkan faktor pemberian obat cacing Albendazole 400 mg.

Ada beberapa penjelasan tentang mengapa seseorang dilihat dari kadar Hbnya tidak termasuk anemia tetapi setelah dilihat dari kadar MCV, MCH atau MCHC ternyata menderita anemia jenis mikrositik hiperkromik atau makrositik hipokromik yang banyak terjadi pada individu yang tinggal di daerah endemik GAKI. Adapun penjelasan mengapa kadar Hb kurang peka pada tahap awal kekurangan zat besi, karena metode ini memiliki kelemahan antara lain :

a. Nilai Hb yang rendah tidak spesifik untuk defisiensi besi. Defisiensi gizi lain, gangguan genetik dan infeksi dapat menyebabkan penurunan kadar Hb.

b. Kadar Hb yang rendah menunjukan stadium akhir defisiensi besi sehingga tidak sensitif untuk deteksi dini defisiensi besi

d. Kadar Hb bervariasi tergantung berbagai faktor, yaitu merokok, bertempat tinggal di daerah tinggi (pegunungan).

Namun demikian, kadar Hb tetap berguna untuk mengetahui beratnya anemia untuk semua golongan usia, jenis kelamin, dan ras. Kandungan besi serum merupakan ukuran jumlah atom besi yang terikat pada transferin. Besi serum meningkat pada anak yang mengalami gangguan thalassemia, hemokromatosis, penyakit hati, leukemia akut, keracunan logam berat, penyakit ginjal, dan injeksi besi intramuskuler. Kadar besi serum menurun pada anemia defisiensi besi, kehilangan darah kronis, penyakit kronis (lupus, rheumatoid arthritis), menstruasi berlebihan (Frey, 2002). Eritropoesis terjadi karena penurunan kadar zat besi dalam feritin yang disimpan pada hepar, lien, dan sumsum tulang. Eritropoesis produksi sel darah merah itu dinamis dalam waktu yang cepat dan didaur ulang 0.8-1 % per hari. Artinya pada kondisi normal (sehat) eritrosit akan seimbang antara sel yang rusak dan yang baru. Pada saat tubuh kehilangan banyak darah, terjadi peningkatan kapasitas kebutuhan oksigen sebagai respon cepatnya proliferatif.

Eritrosit dapat berubah bentuk dan merupakan sel tanpa inti serta bikonkaf. Eritrosit paling banyak ditemukan di antara keseluruhan sel darah. Sewaktu darah disentrifus maka akan terpisahkan komponen plasma dan seluler, yang bagian sel darah merahnya sekitar 45% dari volume total, ini merupakan “volume pacaked cell” atau hematokrit. Eritrosit merupakan sel pembawa oksigen karena banyak mengandung hemoglobin. Sel membran tersusun atas dua lapis fosfolipid denganprotein integral. Bentuk sel dipertahankan oleh struktur protein yang membentuk sitoskeleton. Sistem enzim melindungi hemoglobin dari eksidasi yang ireversibel. Eritrosit yang matang tidak mempunyai material inti, sehingga protein baru tidak dapat disintesis. Fungsi eritrosit adalah untuk transpot oksigen. Kira-kira 44% dari butir darah adalah sel darah merah, bentuknya bundar, pipih dan di tengahnya cekung, dengan garis tengah 7,5 μm (Underwood, 2002).

Dalam penelitian ini jumlah eritrosit (106/ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.18 – 6.44 dan sesudahnya berkisar 4.18 – 6.64 dengan nilai rujukan 4.2 – 5.2 106/ul. Prevalensi kelainan eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI ini tidak berbeda

nyata (p>0.05) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 14.63% menjadi 3.5%). Penurunan sel darah merah dan penurunan aktivitas eritropoesis adalah hasil dari penurunan metabolisme jaringan yang berhubungan dengan peranan zat besi sebagai kofaktor esensial metabolik. Sementara peranan selenium sebagai antioksidan sangat berpengaruh pada penstabilan metabolisme jaringan. Menurut WHO (1996) kejadian /kasus kesehatan yang besar prevalensinya kurang dari 5% bukan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara nasional. Namun cukup ditanggulangi secara wilayah melalui program kesehatan kabupaten dengan koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten bagi keluarga tidak mampu, sedangkan untuk keluarga mampu tentunya dapat berobat secara mandiri ke rumah sakit.

Review oleh West et al. (2007) nilai Odd Ratio (OR) suplementasi vitamin A terhadap anemia sebesar 0.5. Nilai OR suplementasi besi dan asam folat terhadap anemia sebesar 0.2 namun dengan kombinasi besi, folat dan vitamin A dapat lebih menurunkan peluang kejadian anemia (OR=0.1). Sebaliknya hasil penelitian ini dengan pemberian suplemen Se 45 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.1). Sementra hasil pemberian I sebanyak 50 μg/hari selama 2 bulan dapat menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2) namun dengan kombinasi Se+I selama 2 bulan tidak dapat lebih menurunkan peluang kejadian jenis anemia mikrositik hiperkromik (OR=0.2).

Kadar eritrosit anak di daerah endemik GAKI ini sangat signifikan pengaruhnya terhadap kadar MCV (p<0.001). Akibatnya ada 66% anak menderita jenis anemia mikrositik yaitu anemia yang diklasifikasikan berdasarkan ukuran eritrosit (MCV). Klasifikasi ini mempunyai nilai diagnosis yang tinggi pada sebagian besar jenis anemia yang sering ditemukan pada masyarakat yang tinggal di daerah pengunungan (tempat yang tinggi). Informasi selanjutnya dari diagnosis diperoleh dari pemeriksaan morfologi eritrosit. Penyakit pada darah sering diperlihatkan dengan bertambahnya ukuran eritrosit yang bermacam-macam, antara lain anisositosis dan terdapatnya eritrosit yang mempunyai bentuk yang bermacam-macam (poikilositosis). Meningkatnya

ditemukan pada berbagai gangguan hematologis dan gangguan sistemik gizi metabolik (Tierny et al. 2003). Hasil analisis pemberian suplemen selenium dan iodium dosis rendah selama dua bulan terhadap status eritrosit pada anak penderita GAKI yang memiliki tanda khas kretin dapat dilihat pada Gambar 28.

Berdasarkan Gambar 19 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah eritrosit dari gangguan kurang eritrosit hingga menjadi normal yaitu 4.2 -5.2 (106/ul). Sementara kelompok plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita gangguan kurang eritrosit. Kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita gangguan kurang eritrosit. Selanjutnya hasil analisis uji beda antar kelompok menurut selisih hasil perbaikan profil eritrosit sesudah dan sebelum perlakuan berbeda sangat nyata (p<0.001).

Menurut Semba (2007) saat ini sudah diketahui bahwa sirkulasi kadar selenium yang rendah sangat erat hubungannya dengan kasus kejadian anemia pada orang dewasa. Selenium juga memiliki kontribusi pada pasien yang mengalami dialisis, pasien TBC. Meskipun hubungan anemia dan difisiensi selenium sudah diketahui, namun tanda /gejala defisiensi selenium yang spesifik belum ada kesepakatan para ahli. Hal ini masih menimbulkan pertanyaan di bidang pathogenesis anemia, tentang apakah kejadian anemia menyebabkan defisiensi selenium, atau sebaliknya defisiensi selenium akan menyebabkan terjadinya anemia.

Dalam penelitian ini terjadinya anemia dapat dijelaskan dari terganggunya sistem imun tubuh yang disebabkan oleh stress oksidatif. Stress oksidatif adalah keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh. Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas atau spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan genetika. Pembawa radikal bebas dan SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi.

Gambar 28 menunjukkan bahwa dengan pemberian selenium dapat memperbaiki jumlah sel eritrosit. Hal ini dapat dijelaskan dari potensi mekanisme biologi peran selenium dalam mencegah terjadinya anemia, yaitu selenium sebagai antioksidan utama yang berupa selenoenzyme pada eritrosit. Sehingga sel

eritrosit tetap mampu bertahan hidup normal sampai 120 hari. Selain itu mekanisme lain menunjukkan bahwa selenium mampu menurunkan kejadian inflamasi dan stres oksidatif. Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh kita. Berdasarkan asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan. Salah satu zat gizi yang merupakan antioksidan adalah selenium (Se). Selenium memiliki beberapa fungsi, fungsi fisiologis selenium diantaranya sebagai antioksidan dan antikarsinogen (WHO, 1996).

Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah eritrosit pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian iodium 50 µg/hari + selenium 45 µg/hari memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah eritrosit anak. Tabel 22 menunjukkan bahwa pemberian Se+I selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah eritrosit sebanyak 2.11 (106/ul). Jumlah eritrosit normal untuk anak usia 9-12 tahun adalah 4.8 (106/ul). Sebelum penelitian ini rata-rata semua anak memiliki jumlah eritrosit sebesar 3.88 (106/ul) artinya perlu peningkatan eritrosit sebesar 0.92 (106/ul).

Seperti halnya dengan hasil kadar eritrosit, maka dalam penelitian ini jumlah leukosit (103/ul) sebelum perlakuan pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah adalah 4.04 – 7.57 dan sesudahnya berkisar 6.04 – 9.8 dengan nilai rujukan 4.5 – 14.5 103/ul. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Ancova dapat dikatakan bahwa prevalensi leukopenia pada anak di daerah endemik GAKI ini sangat berbeda nyata (p<0.001) antara sebelum dan sesudah perlakuan (dari 20.43% menjadi 3.5%). Selanjutnya manfaat intervensi selenium dan iodium terhadap kadar leukosit selain meningkatkan imunitas anak juga dapat menurunkan berbagai jenis keluhan kesakitan. Secara kualitatif anak yang tadinya mengaku sering pusing dan cepat lelah setelah sekolah menjadi tidak merasakan adanya keluhan tersebut setelah dua bulan minum suplemen Se dan I.

Berdasarkan Gambar 18 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium 45 µg/hari atau iodium 50 µg/hari saja atau selenium+iodium ternyata mampu memperbaiki jumlah leukosit dari leukopenia (jumlah leukosit kurang dari normal) hingga menjadi normal yaitu 4.5 – 14.5 (103/ul). Sementara kelompok

plasebo masih ada 3.5% dari total sampel yang menderita leukopenia. Jadi kalau dihitung menurut kelompok perlakuan maka anak yang mendapat kapsul plasebo selama 2 bulan ternyata masih ada 14.3 % yang menderita leukopenia. Dengan demikian cocok seperti dengan teori penyakit darah bahwa satu komponen darah mengalami gangguan maka komponen lainnya akan segera mengatasi gangguan yang timbul. Dalam penelitian ini anak yang mengalami gangguan kekurangan eritrosit ternyata juga mengalami gangguan leukopenia dan semuanya terjadi pada kelompok plasebo.

Hasil analisis ∆ peningkatan jumlah leukosit pada anak di daerah endemik GAKI menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan jumlah leukosit anak. Tabel 24 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan jumlah leukosit sebesar 1.99 (103/ul). Dalam penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium jumlah leukosit anak berkisar 4.04-7.57 (103/ul) dan setelah perlakuan menjadi 6.04 – 9.80 (103/ul) dengan prevalensi leukopenia sebesar 5.43% artinya sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat di daerah endemik GAKI. Dengan demikian masalah leukopenia pada anak usia 9-12 tahun ternyata dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari.

Kadar Selenium dan Iodium Plasma Menurut Kelompok Perlakuan

Tabel 28 menunjukkan bahwa defisiensi selenium pada awal penelitian sangat tinggi (97.4%) berbeda sangat nyata dengan setelah diberi perlakuan suplemen kapsul selenium menjadi 3.5% (p=0.000). Begitu pula halnya dengan hasil pemeriksaan kadar iodium sebelum pemberian suplemen ada 81.7% anak yang menderita defisiensi iodium berbeda sangat nyata dengan setelah perlakuan dengan pemberian suplemen iodium selama dua bulan turun menjadi 13 % (p<0.001).

Kalau dianalisis lebih lanjut semua kelompok perlakuan baik yang diberi suplemen selenium+iodium, selenium saja, atau kelompok iodium saja ternyata anak yang tadinya menderita defisiensi selenium dan iodium menjadi sehat semua. Namun kelompok plasebo juga mengalami perbaikan profil darah

mungkin disebabkan konsumsi air kemasan yang bersih dan sehat yang disediakan oleh peneliti. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebersihan air minum sangat menentukan keberhasilan program pemberian kapsul suplemen pada anak sekolah dasar yang biasanya mengkonsumsi air kurang sehat. Pada kelompok perlakuan selenium dengan pemberian kapsul plasebo masih ada 3.5% yang menderita defisiensi selenium. Setelah dianalisis lebih lanjut ternyata empat anak tersebut ada kaitannya dengan kasus empat anak yang memiliki kelainan sel eritrosit (3.5%). Hasil analisis kadar selenium dan iodium menurut kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 22 dan Tabel 33.

Berdasarkan Tabel 32-33 dapat diketahui bahwa sebenarnya manfaat pemberian suplemen kapsul selenium dan iodium dosis rendah pada anak di daerah endemik GAKI sangat nyata untuk perbaikan profil darah supaya tidak defisien terhadap zat gizi selenium maupun iodium pada masa pertumbuhan cepatnya. Hasil penelitian Brown, et.al (2003) menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium saja pada anak di daerah endemik GAKI di Skotlandia selama 28 hari mampu memperbaiki profil darah anak penderita anemia jenis mikrositik. Berdasarkan hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar selenium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin dapat disimpulkan sementara bahwa kelompok perlakuan Se 45 µg/hari saja atau Se+I selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi selenium. Hasil perhitungan selisih persentase perubahan status kadar iodium pada anak yang menderita GAKI dengan 6-11 tanda khas kretin tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok perlakuan selenium 45 µg/hari + Iodium 50 µg/hari selama dua bulan adalah yang terbaik untuk koreksi defisiensi iodium (Tabel 33).

Tabel 31 dan 32 menunjukkan bahwa menurut jenis kelamin baik pada kondisi sebelum dan sesudah diberi perlakuan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar iodium dan selenium dalam plasma darah anak laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori masa pertumbuhan cepat antara laki-laki dan perempuan diawali pada usia 9-12 tahun. Dalam penelitian ini semua sampel juga berumur antara 9-12 tahun, sehingga anak laki-laki dan perempuan dengan kondisi yang sama saat awal penelitian ternyata juga menunjukkan kebutuhan zat gizi selenium dan iodium yang sama untuk pertumbuhan cepat kedua.

Hasil analisis ∆ peningkatan kadar iodium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar iodium plasma anak. Hal ini ada kaitannya dengan tingkat defisiensi iodium (81.7%) pada awal penelitian yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan defisiensi selenium (97.4%). Berdasarkan Tabel 33 dapat diketahui bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar iodium plasma sebesar 1.35 ppm. Dalam penelitian ini sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar iodium plasma anak berkisar 1.35 – 4.10 ppm dan setelah perlakuan menjadi 3.52 – 6.27 ppm dengan prevalensi sebelum intervensi defisiensi iodium sebesar 81.7%, setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 13% (p<0.001). Dengan demikian masalah defisiensi iodium dikalangan anak SD dapat pula diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja.

Hasil analisis ∆ peningkatan kadar selenium plasma pada anak di daerah endemik GAKI Boyolali menurut kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pemberian selenium 45 µg/hari saja memiliki pengaruh terbaik untuk meningkatkan kadar selenium plasma anak. Tabel 33 menunjukkan bahwa pemberian suplemen selenium selama 2 bulan sudah dapat meningkatkan kadar selenium plasma sebesar 2.76 ppm. Sebelum dilakukan intervensi suplemen selenium dan iodium kadar selenium plasma anak berkisar 0.4-1.28 ppm dan setelah perlakuan menjadi 1.09 – 3.99 ppm dengan cut off point kadar rujukan 1.1- 6.1 ppm, sehingga prevalensi defisiensi selenium ada 97.4% sebelum intervensi dan setelah perlakuan pemberian suplemen iodium dan selenium selama dua bulan prevalensi defisiensi iodium turun menjadi 3.5% itupun pada kelompok plasebo (p=0.000). Dengan demikian masalah defisiensi selenium dan iodium dikalangan anak SD dapat diatasi dengan pemberian selenium 45 µg/hari saja.

Faktor yang Mempengaruhi Respon Profil Darah

Tabel 22 menunjukkan bahwa respon hemoglobin (Hb) pada semua kelompok suplemen nyata (p<0.05) kecuali pada kelompok plasebo (p>0.05).

Sementara respon hematokrit (Ht) justru pada kelompok suplemen iodium yang tidak nyata (p>0.05). Namun demikian, perbaikan profil eritrosit sangat nyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo (p<0.05). Selenium merupakan komponen esensial enzim glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim glutathione

peroxidase (Gambar 1) akan mengkatalisasi penguraian H2O2 dan hidroperoksida

lipid oleh glutathione (GSH) sehingga lipid membran sel menjadi aman dan oksidasi Hb menjadi MetHb dapat dicegah. Hal ini berarti dengan suplemen selenium yang bersifat antioksidan dan iodium dapat secara positif mempengaruhi sel darah merah, baik jumlah maupun umur eritrosit. Respon positif juga ditemukan pada penelitian pada anak GAKI yang menderita anemia di Skotlandia (Brown et al. 2003). Peningkatan jumlah Free Erytrocite Protophorphyrin (FEP) tampak pada tahap pertengahan dan akhir dari defisiensi besi laten.

Dalam penelitian ini anak usia 10-12 tahun yang berstatus gizi underweight dan stunted+underweight mengalami anemia gizi besi (mikrositik hiperkromik dan makrositik hipokromik) karena tidak seimbangnya ukuran eritrosit dan kadar Hb. Anemia gizi besi jenis tersebut biasanya merupakan hasil akhir dari keseimbangan besi yang negatif dalam jangka waktu lama. Apabila kadar besi total mulai menurun, sumsum tulang mengalami deplesi. Setelah cadangan besi habis terjadi penurunan kandungan besi plasma dan suplai besi pada sumsum tulang tidak mencukupi untuk regenerasi hemoglobin yang normal.

Selanjutnya kalau dilihat kadar leukosit ternyata pada semua kelompok perlakuan termasuk plasebo berbeda nyata (p<0.05) sehingga individu yang sebelum perlakuan mengalami leukopenia menjadi berada pada batas normal. Pada Tabel 56 juga terlihat bahwa tidak ada perbedaan damapk suplemen Se dan I dibandingka dengan plasebo. Adanya respon positif yang dialami kelompok plasebo ini disebabkan selama perlakuan mereka juga mengkonsumsi air mineral yang bersih dan bebas dari E.coli sehingga mereka bebas diare dan kecacingan.

Dokumen terkait