• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Fenomenologi

Dalam dokumen PENELITIAN PENDIDIKAN Pendekatan Kualitatif (Halaman 79-85)

KARAKTERISASI PENELITIAN KUALITATIF

B. Penelitian Fenomenologi

Peneliti mencari struktur yang tak pernah berubah (invarian) yang penting (atau esensi) atau makna sentral yang mendasari pengalaman dan menekankan intensi-onalitas kesadaran dimana pengalaman-pengalaman itu mengandung baik penampilan luar maupun kesadaran

batin berdasarkan memori, imaji, dan makna. Analisis data fenomologis berlangsung melalui metodologi pengurang-an, analisis pernyataan-pernyataan dan tema-tema khusus, dan pencarian untuk segala makna yang memungkinkan. Peneliti juga menyampingkan semua praduga, penggo-longan, pengalaman-pengalamannya (kembali pada “ilmu pengetahuan alam”) dan bergantung pada intuisi, imaji-nasi, dan struktur-struktur universal untuk memperoleh sebuah gambaran pengalaman. Dari prinsip-prinsip filo-sofis ini, ada empat tema yang bisa dilihat (Stewart & Mickunas, 1990):

1. Kembali pada tugas-tugas tradisional filsafat. Di akhir abad 19, filosofi jadi terbatas untuk mengeksplorasi dunia secara empiris yang disebut “saintisme”. Kem-bali kepada tugas-tugas tradisional filosofis berarti kembali pada konsepsi filsafat Yunani yaitu pen-carian kebijaksanaan sebelum filsafat jadi terpikat dengan sains empiris.

2. Filsafat tanpa prasangka. Pendekatan fenomologi adalah untuk menangguhkan segala anggapan ten-tang apa yang nyata, empiris “perilaku alamiah (na-tural)” sampai mereka menemukan dasaran yang lebih pasti. Penangguhan ini oleh Husserl disebut epoche (dari jaman ke jaman).

3. Intensionalitas kesadaran. Gagasannya adalah bahwa kesadaran selalu diarahkan terhadap obyek. Kenya-taan adalah obyek, kemudian, yang terkait secara

erat dengan kesadaran seseorang tentangnya. Karena itu, menurut Husserl, kenyataan tidak di-bagi menjadi subyek dan obyek, dan karenanya menggeser dualitas Cartesian dengan makna obyek yang muncul dalam kesadaran.

4. Penolakan terhadap dikotomi subyek-obyek. Tema ini mengalir secara alami dari intensionalitas kesadar-an. Kenyataan dari sebuah obyek hanya dirasakan dalam makna dari pengalaman seorang individu. Para individu yang merangkul prinsip-prinsip ini dan terus membawakannya ke dalam pemikiran intelektual datang dari banyak disiplin ilmu sosial, terutama sosiologi dan psikologi, dan membentuk kamp-kamp yang berbeda seperti fenomologi reflektif/transendental, fenomologi dialogis, fenomologi empiris, fenomologi eksistensial, feno-mologi hermeneutik, fenofeno-mologi sosial, dan fokus perhati-an pada fenomologi psikologis seperti yperhati-ang diungkapkperhati-an melalui fenomologi empiris/transendental (menunjukkan hakekat pembuktian).

Perspektif sosiologis, fenomologi sosial, berhutang banyak pada Schutz, yang mengartikulasikan esensi feno-mologi untuk meneliti perilaku-perilaku sosial (Swinge-wood, 1991). Schutz tertarik pada bagaimana anggota masyarakat biasa mengangkat dunia kehidupan sehari-hari, terutama bagaimana para individu mengembangkan makna dari interaksi-interaksi sosial (orang-orang

ber-interaksi satu sama lain). Sebagai perpanjangan dari pemikiran Schutz, seorang lelaki bernama Garfinkell menyebut hal ini sebagai pendekatan “etnometodologi”, cara untuk meneliti bagaimana para individu dalam masya-rakat memaknai kehidupan sehari-hari mereka. Karena sering menggunakan tema-tema etnografi dan budaya, etno-metodologi bergantung pada metode penganalisaan percakapan sehari-hari (Swingewood, 1991).

Pendekatan yang lebih saya sukai, pendekatan psiko-logis, juga terfokus pada makna pengalaman, tapi pende-katan ini menemukan bahwa pengalaman-pengalaman perseoranganlah yang sentral, bukannya pengalaman-pengalaman secara berkelompok. Berasal dari Penelitian-penelitian Duquesne dalam Fenomologi, prinsip-prinsip sentral dalam pemikiran ini adalah:

Untuk menentukan apa makna pengalaman bagi or-ang-orang yang berpengalaman dan bisa menyediakan deskripsi komprehensif akan hal itu. Dari deskripsi-des-kripsi perseorangan, makna umum atau universal didapat-kan, atau dengan kata lain, esensi dari struktur-struktur pengalaman (Moustakas, 1994:13).

Moustakas (1994) dalam Creswell melanjutkan menguraikan jenis fenomologi, fenomologi transendental, yang penelusurannya kembali pada Husserl tapi menem-patkan lebih banyak penekanan pada pada mengurung prasangka-prasangka kita (epoche atau bracketing) dan mengembangkan struktur-struktur universal berdasarkan

apa yang orang-orang alami dan bagaimana mereka mengalaminya.

Dengan mengingat hal ini, saya meringkas persoalan-persoalan mayor dalam menggunakan fenomologi:

1. Peneliti perlu mengerti sudut-sudut pandang filo-sofis di balik pendekatan yang dilakukan, terutama konsep untuk meneliti bagaimana orang-orang meng-alami sebuah fenomeman. Konsep epoche merupakan hal yang sentral, dimana peneliti mengurung gagas-an-gagasan yang sudah dia pertimbangkan sebelum-nya tentang fenomena, dan memahamisebelum-nya melalui suara-suara para narasumber.

2. Peneliti menulis rumusan-rumusan masalah yang mengeksplorasi makna dari pengalaman para individu dan meminta mereka untuk menggambar-kan pengalaman kehidupan sehari-sehari mereka. 3. Peneliti kemudian mengumpulkan data-data dari

para individu yang sudah mengalami fenomena yang sedang diteliti. Biasanya, informasi ini dikum-pulkan melalui wawancara-wawancara yang panjang (ditambah dengan perenungan peneliti dan des-kripsi-deskripsi yang sudah dikembangkan sebelum-nya lewat karya-karya seni) dengan para nara-sumber.

4. Langkah-langkah analisis data fenomologis secara umum serupa dengan semua fenomolog psikologis yang membahas metode-metode. Menurut

Mousta-kas (1994) dan Polkinghorne (1989), semua fenomolog psikologis menjalankan langkah-langkah yang serupa. Protokol-protokol asli dibagi ke dalam per-nyataan-pernyataan atau horizonalisasi. Kemudian, satuan-satuan diubah menjadi kelompok-kelompok makna yang ditunjukkan dalam konsep-konsep psi-kologis dan fenomologis. Akhirnya, transformasi-transformasi ini disatukan untuk membuat gam-baran umum tentang pengalaman, deskripsi struk-tural tentang apa yang sudah dialami dan deskripsi struktural tentang bagaimana sesuatu dialami. Beberapa fenomolog memvariasikan pendekatan ini dengan menyatukan makna pribadi dari suatu peng-alaman (Moustakas, 1994), dengan menggunakan analisis subyek-tunggal sebelum analisis antar-subyek, dan dengan menganalisis peran dari kon-teks dalam proses.

5. Laporan fenomologis berakhir dengan pembaca yang lebih memahami struktur esensial, invarian (atau esensi) dari pengalaman, menyadari bahwa ada satu makna pemersatu tunggal. Contohnya, hal ini berarti bahwa semua pengalaman memiliki “struktur” yang mendasari (kedukaan itu sama saja, tak peduli apakah yang dikasihi adalah seekor anak anjing, burung parkit, atau seorang anak). Pembaca laporan seharusnya bisa memiliki perasaan “Aku bisa memahami dengan lebih baik bagaimana rasanya

jika seseorang mengalami hal itu”. Bentuk aktual bagi laporan bisa mengikuti skema model fenomo-logis Moustaka (1994) atau bab-bab dalam penelitian fenomologi.

Penelitian fenomologis bisa jadi menantang untuk dilakukan karena alasan-alasan berikut ini:

1. Peneliti butuh landasan yang solid dalam ajaran filosofis dari fenomologi.

2. Partisipan dalam penelitian perlu dipilih secara hati-hati untuk menjadi para individu yang sudah meng-alami fenomena.

3. Mengurung pengalaman-pengalaman pribadi bagi peneliti mungkin adalah hal yang sulit.

4. Peneliti harus memutuskan bagaimana dan dengan cara apa pengalaman-pengalaman personalnya akan diperkenalkan dalam penelitian.

Dalam dokumen PENELITIAN PENDIDIKAN Pendekatan Kualitatif (Halaman 79-85)