• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

PENELITIAN LANJUTAN

Bakteri Simbion dan Biomassa Sel Spons

Isolasi bakteri simbion spons dilakukan pada sampel segar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. yang berasal dari alam. Setelah masa inkubasi selama 10 hari, 8 bakteri simbion yang berbeda secara fenotipik berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos (Lampiran 2). Hasil pengamatan pewarnaan Gram terhadap ke-8 bakteri simbion tersebut menunjukkan bahwa terdapat empat bakteri Gram (+), yaitu A1, A2, A3 dan A8, serta empat bakteri Gram (-), yaitu A4, A5, A6 dan A7.

Uji fisiologi yang dilakukan terhadap ke-4 bakteri Gram (+), A1, A2, A3 dan A8, menunjukkan bahwa isolat A1, A3 dan A8 memiliki ciri-ciri yang sama dengan bakteri dari genus Bacillus. Sementara isolat A2 memiliki ciri-ciri genus

Staphylococcus.

Bakteri dari genus Bacillus merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran 0,5 – 2,5 x 1,2 – 10 μm, yang tersusun secara berpasangan atau membentuk rantai, dengan ujung yang agak bulat atau kotak. Bakteri Gram (+) memiliki flagella, sehingga bersifat motil. Bakteri ini juga memiliki endospora yang resisten terhadap tekanan kondisi lingkungan yang beragam. Bakteri kemoautotrof ini memiliki metabolisme fermentatif atau respiratif, dan memiliki kisaran habitat yang sangat luas (Holt et al. 1994).

Bacillus dapat ditemukan pada lingkungan perairan laut karena tingkat toleransinya terhadap salinitas cukup besar (Holt et al. 1994). Biasanya bakteri banyak ditemukan pada lumpur dan sedimen di perairan laut. Namun, bakteri ini juga diketahui dapat berasosiasi dengan benthos laut (Hentschel et al. 2001, diacu dalam Chelossi et al. 2004). Kebanyakan spesies dari genus ini, diketahui dapat memproduksi senyawa peptida dengan aktivitas antimikroba (Chelossi et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) berhasil menemukan bakteri Bacillus yang berasosiasi dengan spons Petrosia ficiformis

dari laut Ligurian, sebagai bakteri epibion spons. Thakur dan Mϋller (2004) juga mengemukakan bukti bahwa bakteri Bacillus pumilus, yang berasosiasi dengan spons laut, menghasilkan senyawa surfaktin - menyerupai depsipeptida, yang merupakan senyawa bioaktif spons. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yan et al. (2002) membuktikan bahwa bakteri laut dari genus Bacillus, merupakan bakteri epibiotik yang membentuk biofilm, menghasilkan senyawa antimikroba.

Isolat A2 memiliki morfologi sel yang bulat (kokus) dengan pewarnaan Gram (+). Hasil pengujian fisiologi menunjukkan bakteri ini memiliki sifat

mereduksi nitrat dan urease positif. Bakteri ini juga dapat menggunakan glukosa,laktosa dan arabinosa sebagai sumber karbonnya. Ciri-ciri tersebut merupakan sifat bakteri dari genus Staphylococcus.

Holt et al. (1994) mengemukakan bahwa bakteri Staphylococcus bersifat anaerob fakultatif, dengan metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada habitat dengan kadar NaCl sebesar 10%. Pada umumnya bakteri dari genus ini berasosiasi pada kulit dan membran mukus vertebrata, namun juga dapat ditemui pada debu dan air. Beberapa spesies bakteri ini diketahui dapat memproduksi toksin ekstraseluler.

Penelitian yang pernah dilakukan pada perairan P. Pramuka, Kep. Seribu, DKI Jakarta, membuktikan bahwa bakteri Staphylococcus, Acinetobacter haemolyticus, dan Vibrio spp. dapat ditemukan sebagai bakteri pelagis di laut (Ismet 2004). Hal ini juga dikemukakan oleh Austin (1988), bahwa beberapa bakteri seperti Serratia spp., Acinetobacter, Moraxella, Marinococcus dan

Staphylococcus cenderung memiliki kelimpahan yang tinggi pada lingkungan perairan laut. Santavy (1995) dan Rohwer et al. (2001) menemukan bahwa beberapa bakteri dapat berasosiasi pada hewan metazoa. Penelitian yang dilakukan oleh Rohwer et al. (2001) mengungkapkan Bacillus sp.,

Staphylococcus sp., Acinetobacter sp. dan Moraxella spp. berasosiasi pada hewan karang dan memiliki kelimpahan yang tinggi pada daerah terumbu.

Bakteri Gram (-) yang berhasil diisolasi dari spons Aaptos aaptos adalah isolat A4, A5, A6 dan A7. Pengamatan morfologi dan fisiologi terhadap isolat A4 dan A6 menunjukkan bahwa isolat-isolat tersebut memiliki ciri yang sama dengan

Acinetobacter haemolyticus, dengan kesamaan ciri mendekati 90% (Microgen ID versi 1.08.11). Isolat A5 memiliki ciri morfologi sel dan fisiologi yang menyerupai

Xenorhabdus nematophilus, dengan kesamaan ciri sebesar 80%. Sementara isolat A7 merupakan bakteri Vibrio alginolyticus, dengan kesamaan ciri sebesar 99.84%.

Holt et al. (1994) menulis bahwa Acinetobacter haemolyticus adalah bakteri Gram (-) dengan ciri-ciri berbentuk batang, yang biasanya tersusun secara berpasangan atau rantai. Bakteri ini bersifat aerobik dengan metabolisme respiratif, dapat menggunakan ammonium atau garam nitrat sebagai sumber nitrogennya. Bakteri Acinetobacter haemolyticus dapat ditemukan pada tanah, air dan limbah. Seperti yang telah diungkapkan diatas, bakteri dari genus

berasosiasi dengan hewan metazoa (Austin 1988; Santavy 1995; Rohwer et al. 2001). Rohwer et al. (2001) menemukan bakteri A. jhonsonii dan Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang berasosiasi dengan karang Montastrea franksii, Diploria strigosa dan Porites astroiedes yang berasal dari perairan Panama dan Bermuda. Penelitian lain yang dilakukan oleh Razak et al. (2004) juga berhasil mengisolasi bakteri laut Acinetobacter sp. 11, yang dapat mendegradasi limbah minyak.

Isolat A5 kemungkinan besar adalah bakteri Xenorhabdus nematophilus. Menurut Holt et al. (1994), bakteri ini memiliki bentuk batang dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang memiliki flagella ini bersifat motil, dan anaerob fakultatif, dengan metabolisme respiratif dan fermentatif. Biasanya bakteri ini tidak dapat mereduksi nitrat, dan fermentasi karbohidratnya hanya menggunakan D- mannosa. Bradstreet (2004) menyatakan bahwa X. nematophilus merupakan bakteri terestrial yang bersimbiosis pada saluran cerna (intestinum) nematoda. Bakteri ini menghasilkan endo dan ekso-toksin yang dapat membunuh serangga, sehingga memiliki potensi sebagai insektisida.

Penelitian yang dilakukan oleh Thaler et al. (1998) menemukan bahwa X. nematophilus dapat memproduksi enzim lipase spesifik yang bekerja pada lipid non-polar, dan enzim lecithinase yang aktif terhadap lipid yang bersifat polar. Secara taksonomi, X. nematophilus termasuk ke dalam kelompok bakteri Enterobacteriaceae. Chelossi et al. (2004) menyatakan di dalam publikasi penelitiannya, bahwa bakteri yang termasuk dalam kelompok ini memiliki rentang habitat yang luas. Bakteri kelompok Enterobacteriaceae dipertimbangkan sebagai indikator adanya kontaminasi faecal pada perairan (Baudisova et al.1997, diacu dalam Chelossi et al.2004).

Keberadaan X. nematophilus pada spons Aaptos aaptos merupakan hal yang belum banyak diketahui. Kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam tubuh spons melalui mekanisme filter feeder dari perairan yang mengalami kontaminasi faecal. Mekanisme simbiosis antara spons dan bakteri ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Proksch et al. ( 2003) menyatakan dalam publikasinya, bahwa banyak mikroba terestrial dapat ditemukan berasosiasi dengan hewan laut (misalnya spons), namun belum dapat dipastikan keberadaannya pada habitat tersebut merupakan kebetulan atau tidak. Namun mikroba-mikroba tersebut diketahui dapat menghasilkan senyawa baru yang berbeda dengan senyawa metabolit sekunder mikroba yang sama dari habitat terestrial. Sebagai contoh adalah fungi

Xanthomonas exigua yang berasal dari habitat terestrial, dapat menghasilkan metabolit baru hitherto jika diisolasi sebagai simbion spons.

Kedua bakteri yang dikemukakan diatas masih harus diteliti secara mendalam, antara lain identifikasi secara molekuler dan peranan serta mekanisme simbiosis yang dibentuk dengan spons Aaptos aaptos.

Isolat bakteri terakhir, yaitu isolat A7, teridentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus. Bakteri ini sering ditemukan pada perairan laut, baik sebagai bakteri asosiatif maupun pelagis. Bakteri ini memiliki bentuk batang lurus atau lengkung, dengan pewarnaan Gram (-). Bakteri yang bersifat anaerob fakultatif ini memiliki flagella sebagai alat geraknya. Tipe metabolisme bakteri ini adalah respiratif dan fermentatif, dengan sifat kemoorganotrof. Katabolisme karbohidrat menghasilkan asam tanpa memproduksi gas. Holt et al. (1994) menyatakan bahwa bakteri ini umum ditemukan pada lingkungan akuatik dan pada permukaan serta di dalam saluran intestinal hewan laut.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan terhadap V. alginolyticus

menemukan bahwa bakteri ini dapat bersifat patogen pada beberapa hewan laut, seperti Sepia sp., lumba-lumba, dan beberapa ikan serta udang (Molitoris et al.

1985; Schroeder et al. 1985; Thaler et al. 1998; Sangster & Smolowitz 2003). Menurut Ogunseitan et al. (1999), bakteri ini membentuk biofilm pada ekosistem laut, dan menghasilkan senyawa yang resisten terhadap timah (Pb) serta dapat mereduksi logam (copper).

Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) telah berhasil mengidentifikasi beberapa bakteri simbion spons Petrosia ficiformis merupakan bakteri dari genus Vibrio. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa galur bakteri genus ini, yang ditemukan berasosiasi dengan spons Hyatella sp., memproduksi antibiotik yang termasuk ke dalam kelompok peptida (Oclarit et al. 1994, diacu dalam Chelossi et al. 2004).

Sementara itu, pada sampel segar spons Petrosia sp. tidak berhasil ditemukan bakteri simbion, tetapi dua koloni fungi yang berbeda diisolasi setelah masa inkubasi selama 10 hari. Penelitian yang dilakukan oleh Chelossi et al. (2004) menunjukkan bahwa spons Petrosia ficiformis memiliki sekitar 57 bakteri heterotrof yang bersifat epibiotik pada permukaan spons, antara lain Vibrio sp.,

Pseudoalteromonas, Bacillus sp., Aeromaonas sp. dan bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae. Penelitian lain yang dilakukan oleh Steindler et al. (2002, 2005) menunjukkan bahwa spons Petrosia sp. juga berasosiasi dengan bakteri

fotosimbion, seperti cyanobacteria, dan bakteri heterotrof lainnya pada bagian mesohylnya.

Steindler et al. (2002) juga menambahkan bahwa komposisi bakteri fotosimbion mempengaruhi aktivitas fotosintesis spons Petrosia sp. Kedalaman habitat spons berpengaruh pada komposisi komunitas bakteri fotosimbion. Spons yang berada pada daerah intertidal akan memiliki fotosimbion yang lebih berlimpah daripada spons dari daerah subtidal. Dengan demikian spons yang berada di intertidal lebih aktif melakukan fotosintesis daripada yang berada di daerah subtidal.

Hasil penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas memiliki perbedaan yang signifikan dengan penelitian ini, karena tidak adanya bakteri simbion yang berhasil diisolasi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Spons Petrosia sp. berasal dari daerah subtidal (kedalaman 7 m) sehingga simbion bakteri, terutama bakteri fotosimbion, hanya terdapat dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini bisa terjadi karena sedikitnya sinar matahari yang mencapai spons, dan aktivitas fotosintesis menjadi tidak optimal. Thacker (2005) menyatakan bahwa pada kondisi terlindung dari sinar matahari, bakteri fotosimbion seringkali tidak ditemukan karena kurangnya cahaya matahari.

2. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), pada lingkungan oligotrofik, spons akan memiliki bakteri simbion fotosintesis dan heterotrof dalam jumlah yang banyak, sebagai alternatif sumber energinya.

Sementara itu, hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi pengambilan sampel spons menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki konsentrasi bahan organik yang tinggi (terkontaminasi limbah organik). Hal ini dapat menyebabkan spons kemungkinan tidak memerlukan bakteri simbion dalam jumlah besar, karena aktivitas filter feeder dapat berlangsung secara optimal.

3. Bakteri simbion spons merupakan bakteri yang sulit untuk dikultur. Walaupun biasanya sekitar 40% biomassa spons terdiri dari bakteri simbion, kemungkinan untuk mengisolasi dan kulturisasi bakteri simbion sangatlah rendah (sekitar 1% dari total populasi mikroba) (Sennet et al. 2002). Terbatasnya fasilitas untuk mengidentifikasi bakteri simbion pada penelitian ini, menyebabkan informasi mengenai bakteri simbion tidak didapat secara optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian

identifikasi secara molekuler terhadap bakteri simbion, baik yang terkultur maupun yang tidak dapat dikultur.

Aspek terakhir yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan biomassa sel spons. Hasil yang didapatkan dari pengamatan histologi kedua jenis spons, dengan menggunakan mikroskop fase kontras, menunjukkan bahwa komponen struktur yang dapat diidentifikasi adalah komponen penyusun skeleton (spikula dan jaringan spongin), serta sel yang berukuran besar yang diperkirakan sebagai archaeocyt.

Selain pengamatan preparat histologis, penghitungan jenis sel spons juga dilakukan dengan mengukur persentase fraksi sel. Spons Aaptos aaptos

menunjukkan persentase komponen penyusun skeleton (spikula dan sel debris) mencapai 55,9 %, sementara sel spons (choanosome) dan pellet bakteri simbion masing-masing mencapai 14,2 % dan 29,9%. Komposisi fraksi sel ini lebih dipengaruhi oleh morfologi spons. Aaptos aaptos memiliki morfologi yang tidak keras, dengan susunan spikula oxea, yang tidak terlalu padat, tersebar pada bagian ekstosom. Selain itu ditemukan juga spikula style dan strongyle pada bagian ektosom dan endosom. Hasil pengamatan secara histologi menunjukkan bahwa sel archaeocyte ditemukan pada lapisan mesohyl, dalam jumlah yang cukup banyak.

Berbeda dengan spons Aaptos aaptos, spons Petrosia sp. memiliki fraksi komponen skeleton (spikula dan sel debris) yang lebih besar, yaitu mencapai 68,6%. Fraksi sel lainnya hanya mencapai 19,7% (sel spons/ choanosome) dan 11,7 % (pellet bakteri simbion). Hal ini sesuai dengan morfologi spons yang lebih kaku dan mengandung spikula yang tersebar secara padat. Susunan spikula tersebut terdiri dari spikula oxea, style dan strongyle. Spikula ini terutama ditemukan tersebar pada lapisan ektosom. Sementara itu, sel archaeocyte pada lapisan mesohyl tidak terlihat dengan jelas, dan hanya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Persentase fraksi pellet bakteri simbion yang rendah dapat mendukung teori bahwa spons ini hanya mengandung bakteri simbion dalam jumlah kecil. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa biomassa spons Petrosia

sp. lebih dipengaruhi oleh sel-sel spons dan komponen penyusun skeleton. Menurut Wilkinson (1987, diacu dalam Steindler 2002), spons yang hidup pada daerah yang subur atau kaya bahan organik, akan memiliki biomassa sel yang tinggi, namun hanya mengandung sedikit sekali bakteri simbion.

Secara umum, bakteri simbion dapat ditemukan di dalam sel-sel amoebocyte (archaeocyte) dan pada lapisan mesohyl secara ekstraseluler, atau tidak berada di dalam sel spons. Selain itu, bakteri simbion juga dapat ditemukan pada bagian permukaan luar tubuh spons, atau biasa dikenal dengan sebutan bakteri epibiotik/epibion (Gomez 2001; Wilkinson 1978; Faulkner et al. 1994; Guyot 2000; Carpenter 2002; Steindler 2002, 2005; Chelossi et al. 2004; Oren et al. 2005; Thacker 2005). Mikroba simbion (bakteri dan fungi) dapat berada di dalam tubuh spons karena aktivitas penyaringan makanan (filter feeder) dari lingkungan perairan, kemudian mengalami adaptasi dan mekanisme simbiosis dengan spons inang. Bakteri-bakteri kemungkinan bukan merupakan bakteri yang bersimbiosis secara obligat (host-spesificity), melainkan bersifat komensal atau mutualisme. Namun demikian, mekanisme simbiosis simbion dan spons belum banyak diketahui dan masih harus diteliti lebih lanjut. Beberapa penelitian berhasil membuktikan bahwa komposisi bakteri simbion dan kelimpahannya sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu, iklim, dan tingkat fotosintesis spons (cahaya matahari) (Steindler et al. 2002; Zocchi et al. 2002; Thakur & Mϋller 2004).

Mikroba simbion spons (bakteri dan fungi) juga dapat berada di dalam tubuh spons karena adanya transmisi vertikal, atau secara genetis, dari induk ke larva spons. Simbion yang diturunkan secara vertikal, biasanya memiliki sifat simbiosis yang cenderung obligat, dan keberadaannya tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini berhasil dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa simbion tersebut memiliki sifat host-spesificity pada spons inang, dan ditemukan pada semua spesies spons inang yang berasal dari lokasi yang letaknya sangat berjauhan (Maldonado et al. 2005; Oren 2005; Steindler et al. 2005).

KESIMPULAN

Hasil pengujian bioaktivitas antibakteri dan toksisitas senyawa ekstrak kasar spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. menunjukkan hasil yang bervariasi. Tingkat bioaktivitas kedua jenis spons yang berasal dari alam memiliki kisaran yang beragam untuk tiap habitat di lokasi yang berbeda. Sementara itu, sampel hasil transplantasi spons Aaptos aaptos memiliki tingkat bioaktivitas yang cenderung sama. Sampel hasil transplantasi Petrosia sp. menunjukkan tingkat bioaktivitas yang tidak seragam, berlawanan dengan sampel Aaptos aaptos. Morfologi spons Petrosia sp. merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap bioaktivitasnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara tingkat bioaktivitas antibakteri senyawa ekstrak kasar spons dengan toksisitas terhadap Artemia salina.

Secara keseluruhan, tingkat bioaktivitas ekstrak kasar spons Aaptos aaptos

lebih tinggi daripada spons Petrosia sp. Perbedaan kandungan senyawa bioaktif dalam kedua jenis spons tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat bioaktivitas. Perbedaan morfologi spons juga berpengaruh terhadap tingkat bioaktivitas.

Hasil kromatografi lapis tipis (TLC) terhadap kedua jenis spons menunjukkan bahwa fraksi organik Aaptos aaptos mengandung 6 senyawa yang terpisah. Sementara hasil TLC pada spons Petrosia sp. menunjukkan bahwa fraksi organiknya mengandung 3 senyawa, dan 4 senyawa dari fraksi semiorganik. Salah satu senyawa kandungan fraksi organik Aaptos aaptos

dengan nilai Rf 0,42 diperkirakan sebagai senyawa norharman (β-carboline, 9H- Pyrido[3,4-b] indole). Hasil uji bioautografi menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri masing-masing senyawa tersebut terhadap Aeromonas hydrophilla

terlihat rendah.

Isolasi bakteri simbion yang dilakukan terhadap spons Aaptos aaptos

menunjukkan adanya bakteri simbion yang bersifat Gram(+), yaitu A1, A2, A3, dan A8, serta bakteri Gram (-), yaitu, A4, A5, A6, dan A7. Hasil identifikasi secara konvensional menunjukkan isolat bakteri Gram (+) kemungkinan adalah bakteri dari genus Bacillus (A1, A3 dan A8) serta bakteri dari genus Staphylococcus

(isolat A2). Sementara isolat bakteri Gram (-) diperkirakan adalah Acinetobacter haemolyticus (isolat A4 dan A6), Xenorhabdus nematophilus (isolat A5), dan

sp. tidak berhasil dilakukan, namun terdapat dua isolat fungi dengan morfologi koloni yang berbeda.

Pengamatan biomassa sel spons dan kaitannya dengan komposisi bakteri simbion menunjukkan bahwa komponen struktur yang berhasil diidentifikasi dari masing-masing spons secara histologi adalah komponen penyusun skeleton (spikula dan jaringan spongin) serta sel archaeocyte. Selain itu, dilakukan pula pengukuran persentasi fraksi sel. Spons Aaptos aaptos memiliki komponen penyusun skeleton (spikula dan sel debris) mencapai 55,9%. Jenis spikula yang teridentifikasi adalah oxea, style dan strongyle. Komponen lainnya, yaitu sel spons (choanosome) mencapai 14,2 % dan pellet bakteri mencapai 29,9%. Sel archaeocyte yang teridentifikasi ditemukan dalam jumlah banyak pada bagian mesohyl spons.

Spons Petrosia sp. menunjukkan komposisi yang cukup berbeda dengan

Aaptos aaptos. Komponen skeleton spons Petrosia sp. merupakan bagian yang sangat dominan (68,6%).

SARAN

Penelitian ini merupakan penelitian dasar mengenai bioaktivitas spons

Aaptos aaptos dan Petrosia sp., kaitannya dengan lingkungan serta bakteri simbion dan biomassa sel spons. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap tingkat bioaktivitas senyawa ekstrak kasar spons. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui bagian tubuh serta kondisi habitat spons yang dapat memproduksi senyawa bioaktif secara optimal.

Kandungan senyawa ekstrak kasar kedua jenis spons ini masih perlu diidentifikasi lebih lanjut, sehingga dapat dikembangkan melalui purifikasi dan identifikasi struktur molekul senyawa murni sehingga dapat dihasilkan suatu produk senyawa.

Pengisolasian simbion dapat dilakukan dengan menggunakan metode secara molekuler, sehingga semua mikrob simbion dapat diidentifikasi lebih lanjut. Selain itu, perlu juga dilakukan pengamatan morfologi (histologi) menggunakan mikroskop elektron, sehingga komposisi struktur spons dapat diketahui lebih jelas. Dengan demikian, diharapkan informasi mengenai morfologi dan fisiologi serta kaitannya dengan tingkat bioaktivitas senyawa yang dihasilkan spons akan menjadi lebih jelas.

Dokumen terkait