• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pembuatan Perkedel Ayam Berkalsium

a. Formulasi Batter dan Breadcrumbs terhadap Penampakan Produk Perkedel Ayam Berkalsium

Batter pada penelitian ini terdiri dari air, tepung terigu dan maizena. Perbandingan terigu dan maizena adalah 5 : 1. Batter yang diuji bervariasi dalam hal kadar air. Semakin besar kadar air batter, semakin encer batter tersebut. Hal tersebut akan berimbas pada pick up batter. Semakin rendah viskositas batter, semakin kecil pula pick up-nya (Owens, 2001).

Batter dengan kadar air 80% baik dengan breadcrumb kasar maupun halus akan menghasilkan produk dengan coating tipis,

breadcrumbs tidak menempel sempurna terutama untuk yang kasar, warna adonan perkedel masih kelihatan. Batter 70% menghasilkan

coating yang tipis merata, warna adonan perkedel tertutupi dan

breadcrumbs menempel dengan baik. Breadcrumbs kasar akan menghasilkan tekstur yang sangat renyah dibanding breadcrumbs

halus. Batter 60% melapisi produk agak tebal dan terlapis merata sehingga bagian dalam/adonan perkedel tidak kelihatan. Batter 50% sangat kental sehingga lapisan yang dihasilkan tebal. Produk akhir yang dihasilkan sangat keras dan terlalu renyah karena banyak

breadcrumbs yang menggumpal di permukaan produk. Semakin kental batter maka pick-up akan makin tinggi dan semakin kasar

breadcrumb, maka tekstur dan kerenyahan produk juga makin tinggi (Owens, 2001).

Penggunaan batter 70% dengan breadcrumbs halus dianggap paling sesuai untuk produk perkedel ayam mengingat tekstur produk yang dihasilkan dan tampilan permukaan produk. Batter 70% kemudian diuji viskositas dengan alat Zahn cup 3 serta diuji pula salinitasnya. Viskositas batter terpilih adalah 82 centistokes dengan kadar salinitas 2%.

b. Formulasi Penambahan Kentang Goreng terhadap Tekstur, Rasa, Aroma dan Warna Perkedel Ayam

Berdasarkan formula-formula yang ada pada Tabel 7, diamati bahwa : pada formula K1 (kentang goreng 10%), aroma dan rasa kentang tidak terdeteksi. Produk dengan formula K2 (kentang goreng 20%) sudah terdeteksi aroma dan rasa kentang. Formula K3 dan K4 (kentang goreng 30% dan 40%) menghasilkan produk dengan aroma dan rasa kentang yang terasa kuat. Formula K2 (kentang goreng 20%) dipilih untuk tahap selanjutnya dimana pada formula tersebut persentase kentang sudah dapat menyebabkan rasa dan aroma terdeteksi dan persentase daging masih cukup besar. Hasil pengamatan formulasi penambahan kentang goreng dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil pengamatan formulasi penambahan kentang goreng Formula Tekstur Rasa Kentang Aroma Kentang Warna

K1 ++ + - +++

K2 ++ ++ + ++

K3 ++ +++ ++ ++

K4 +++ +++ ++ ++

Keterangan :

Tekstur Rasa Aroma Warna - : tidak terasa tidak tercium

+ : agak lembek agak terasa agak tercium agak gelap ++ : lembek terasa tercium gelap +++ : sangat lembek sangat terasa sangat tercium sangat gelap K1 : penambahan kentang goreng 10%

K2 : penambahan kentang goreng 20% K3 : penambahan kentang goreng 30% K4 : penambahan kentang goreng 40%

Hasil percobaan menyatakan bahwa persentase kentang 10-40% menghasilkan tekstur lembek dan warna perkedel gelap. Tekstur yang lembek akan menimbulkan kesulitan saat proses pencetakan, sedangkan warna yang gelap dikhawatirkan tidak disukai oleh konsumen.

Menurut Winarno (1992), jenis umbi-umbian seperti kentang mengandung polisakarida berupa pati yang berfungsi sebagai sumber energi, bukan penguat tekstur seperti selulosa, lignin, dan pektin yang

terdapat banyak pada buah-buahan. Padahal kandungan pati pada kentang mencapai 75% dari berat kering kentang itu sendiri (Lisinska dan Leszcynki, 1989). Gelatinisasi pada pati, pelarutan sebagian hemiselulosa yang dikombinasikan dengan kehilangan turgor sel karena pemanasan bisa menimbulkan pelunakan tekstur (Fellow, 1992). Hal itulah yang diperkirakan menyebabkan tekstur produk yang lembek dengan presentase penambahan kentang 10-40%.

Warna yang dihasilkan dari keempat formula penambahan kentang masih dinilai gelap oleh panel ahli. CCM/MDM yang merupakan pasta daging merah mendominasi warna produk (gelap). Pigmen warna tersebut juga dipengaruhi oleh sumsum tulang dan otot yang terdapat pada CCM/MDM. Sumsum tulang tersebut kaya akan hemoglobin dan otot kaya akan mioglobin. Keduanya berkontribusi terhadap warna merah CCM/MDM (Field, 1988). Jika mengalami proses pemanasan (penggorengan), akan terjadi denaturasi globin. Hasil denaturasi tersebut jika teroksidasi akan menghasilkan warna coklat (Winarno, 1992).

Kentang dapat mengalami penggelapan warna setelah pemasakan. Fenomena ini dikenal dengan after-cooking darkening. Hal tersebut dikarenakan adanya oksidasi non enzimatis dari kompleks fenol dan besi yang terdapat pada kentang (Lisinska dan Leszcynki, 1989). Selain itu, proses penggorengan itu sendiri dapat menyebabkan reaksi Maillard yang akan menimbulkan warna gelap pada produk (Ketaren, 1986).

Daging SBB (Skinless Boneless Breast) diputuskan untuk ditambahkan dalam tahap berikutnya untuk memperbaiki tekstur dan warna produk. Selain itu, penggunaan emulsi minyak juga tercatat dapat mempercerah warna dan meningkatkan tekstur (Field, 1988).

c. Optimasi Formulasi dan Uji Organoleptiknya

Pada tahap sebelumnya telah diputuskan penambahan daging SBB (Skinless Boneless Breast) untuk memperbaiki warna dan tekstur

dari produk perkedel ayam. Dengan adanya penambahan daging SBB akan didapati tekstur produk yang makin keras (tidak lembek seperti tanpa penambahan SBB). SBB yang ditambahkan merupakan SBB giling dengan diameter saringan grinder 0,5 mm. SBB merupakan daging putih yang didalamnya banyak terkandung protein miofibrilar. Protein ini bersifat larut pada suhu rendah, larut garam, mempunyai daya emulsi tinggi dan kemampuan membentuk gel yang baik pada suhu tinggi (Lawrie, 1995).

Pada saat proses mixing, garam yang ditambahkan selain berfungsi sebagai penambah rasa juga berfungsi mengekstrak protein sehingga protein miofibril tersebut menjadi larut dan cair. Protein terlarut tersebut akan mengisi ruang-ruang dalam adonan. Ketika adonan dimasak/dipanaskan, protein terlarut tersebut akan terdenaturasi dan menjadi padat sehingga dapat mengikat adonan (Baker dan Bruce, 1989). Hal tersebut membuktikan penambahan SBB dapat memperbaiki tekstur dari perkedel. Adonan juga lebih mudah untuk dicetak.

Penambahan SBB juga mengakibatkan warna produk yang makin terang karena SBB merupakan daging putih yang memiliki kandungan mioglobin rendah (Junaedi, 1988). Selain kentang, aroma produk juga dipengaruhi oleh daging SBB dan CCM. Pada daging ayam, protein sarkoplasma yang ada akan berkontribusi pada citarasanya. Kandungan lemak CCM yang tinggi juga akan mempengaruhi flavor dan citarasa produk.

Uji organoleptik dilakukan oleh panelis agak terlatih. Panelis- panelis tersebut dikategorikan agak terlatih karena panelis-panelis tersebut pernah melakukan/mengalami uji organoleptik sebelumnya meskipun tidak sering. Panelis-panelis tersebut merupakan karyawan perusahaan pada tingkat supervisor, foreman/lady, line inspector, dan ketua regu. Menurut Soekarto (1985), untuk uji hedonik dapat dilakukan pada panelis agak terlatih berjumlah minimal 25 orang. Uji

kali ini diikuti oleh 30 orang panelis. Hasil uji organoleptik untuk masing-masing atribut dapat dilihat sebagai berikut.

1. Tekstur

Skor hedonik tekstur yang diberikan oleh panelis berkisar antara 3,7-4,47 atau agak tidak suka sampai netral. Dari grafik ada Gambar 7 dapat dilihat bahwa formula C3 memiliki skor kesukaan paling tinggi. Namun hasil tersebut tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan formula C1, C2, dan C4 dan C5 pada uji ANOVA. Meskipun secara teori penambahan SBB akan memperbaiki tekstur namun hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) dalam hal tingkat kesukaan panelis. Perbedaan secara absolut dalam diagram batang dapat dilihat pada Gambar 6 sedangkan hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 6. Diagram batang skor hedonik rata-rata tekstur perkedel

2. Rasa

Dari hasil uji hedonik, kisaran skor untuk rasa antara 3-4 (agak tidak suka sampai netral). Hal ini disebabkan oleh kurangnya seasoning pada produk karena masih menggunakan batas threshold sehingga rasa produk kurang enak. Formula dengan skor kesukaan tertinggi adalah formula C3, kemungkinan disebabkan oleh perpaduan rasa yang seimbang. Formula C1 akan menghasilkan produk yang sangat tawar sedangkan formula C5 menghasilkan produk yang terlalu gurih. Meskipun demikian, dengan uji ANOVA, skor rata-rata semua formulasi tersebut tidak berbeda nyata (p>0,05). Meskipun dinyatakan tidak berbeda nyata

4.1 4.23 4.47 4.13 3.7 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 C1 C2 C3 C4 C5 form ula s k or h e don ik r a ta -r a ta Keterangan : C1 = CCM : SBB 10% : 25% C2 = CCM : SBB 15% : 20% C3 = CCM : SBB 17,5% : 17,5% C4 = CCM : SBB 20% : 15% C5 = CCM : SBB 25% : 10%

dalam uji statistik, perbedaan secara absolut skor hedonik rata-rata atribut rasa dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil uji ANOVA selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 7. Diagram batang skor hedonik rata-rata rasa perkedel

3. Aroma

Dari hasil uji hedonik, dapat dilihat bahwa formula C1 memiliki skor tertinggi, kemungkinan disebabkan oleh kandungan SBB yang lebih tinggi, sehingga kentang daging lebih mendominasi karena kandungan protein sarkoplasma (prekursor citarasa) rendah. Kandungan CCM yang tinggi menimbulkan aroma yang tidak disukai panelis. Meskipun demikian, skor dari kelima formula tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam hasil ANOVA pada Lampiran 7. Perbedaan secara absolut skor rata-rata atribut aroma dalam diagram batang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram batang skor hedonik rata-rata aroma perkedel 3.4 3.63 3.97 3.63 3.47 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4 4.1 C1 C2 C3 C4 C5 form ula s k or he do ni k r a ta -r a ta 4.77 4.57 4.67 4.33 4.37 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 C1 C2 C3 C4 C5 form ula s k or he doni k r a ta -r a ta Keterangan : C1 = CCM : SBB 10% : 25% C2 = CCM : SBB 15% : 20% C3 = CCM : SBB 17,5% : 17,5% C4 = CCM : SBB 20% : 15% C5 = CCM : SBB 25% : 10% Keterangan : C1 = CCM : SBB 10% : 25% C2 = CCM : SBB 15% : 20% C3 = CCM : SBB 17,5% : 17,5% C4 = CCM : SBB 20% : 15% C5 = CCM : SBB 25% : 10%

4. Warna

Perbedaan nyata perhitungan ANOVA (p<0,05) hanya diperoleh pada atribut warna. Hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 8. Warna C1 memiliki skor hedonik tertinggi dan menunjukkan perbedaan yang nyata dengan formula C2,C3, C4 dan C5 pada uji Duncan. Oleh karena itu, formula C1 dipilih sebagai formula yang akan digunakan dalam tahap-tahap selanjutnya. Diagram batang skor hedonik rata-rata atribut warna dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram batang skor hedonik rata-rata warna perkedel

Berdasarkan hasil uji organoleptik, diperoleh bahwa formula C1 terpilih untuk tahap-tahap sebelumnya. Formula C1 ini mendapat skor penerimaan di atas 4 untuk atribut tekstur, aroma dan warna. Atribut rasa masih mendapat skor penerimaan kurang dari 4. Oleh karena itu, formulasi terhadap rasa produk dilakukan pada tahap selanjutnya.

Gambar 10. Perkedel ayam dengan perbandingan CCM dan SBB 10:25(C1); 15:20(C2); 17,5:17,5(C3); 20:15(C4); 25:10(C5) C1

C2 C3 C4 C5 Keterangan : C1 = CCM : SBB 10% : 25% C2 = CCM : SBB 15% : 20% C3 = CCM : SBB 17,5% : 17,5% C4 = CCM : SBB 20% : 15% C5 = CCM : SBB 25% : 10% 4.6 4.57 4.47 3.9 3.87 3.4 3.6 3.8 4 4.2 4.4 4.6 4.8 C1 C2 C3 C4 C5 formula s k o r he d onik r a ta -r a ta

d. Formulasi Penambahan Kalsium Laktat

Scott (1986) menyatakan bahwa penambahkan kalsium dapat mempengaruhi tekstur dan rasa pahit pada produk. Pada tahap ini, perubahan terhadap tekstur tidak dapat terdeteksi secara subyektif, oleh karena itu digunakan Texture Analyzer. Hasil analisis fisik dengan

Texture Analyzer menyatakan bahwa tekstur produk ketiga formula tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan tekstur produk tanpa penambahan kalsium laktat. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 9.

Pengaruh terhadap rasa produk dideteksi dengan timbulnya rasa asam pada produk. Selain itu rasa pahit (getir) juga terdeteksi sebagai after taste produk. Rasa asam diperkirakan berasal dari asam laktat dari kalsium laktat yang terurai selama proses pengolahan.

Keasaman formula D1 dinilai rendah dan after taste pahit tidak terdeteksi. Produk dengan formula D2 sudah terasa asam, after taste

pahit mulai terasa. Pada formula D3 rasa asam dan pahit sangat terasa. Keasaman pada formula D1 kemungkinan dapat ditutupi oleh penambahan seasoning meskipun hal tersebut akan berimbas pada biaya. Oleh karena itu, formula D1 dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Hasil pengamatan formulasi penambahan kalsium laktat dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil pengamatan formulasi penambahan kalsium laktat

Formula Rasa Asam After taste pahit

D1 + -

D2 ++ +

D3 +++ ++

Keterangan :

- : tidak terasa asam/pahit

+ : sedikit terasa asam/pahit ++ : terasa asam/pahit

+++ : sangat terasa asam/pahit

D1 : formula dengan klaim ‘diperkaya kalsium’ D2 : formula dengan klaim ‘sumber kalsium yang baik’ D3 : formula dengan klaim ‘tinggi kalsium’

e. Formulasi Seasoning dan Uji Organoleptiknya

Berdasarkan hasil uji organoleptik sebelumnya, diperoleh bahwa hanya atribut rasa yang tidak memenuhi target (skor rata-rata kesukaan kurang dari 4). Perbaikan atribut rasa dilakukan dengan memperbaiki formulasi seasoning yang akan ditambahkan pada produk. Formulasi seasoning keseluruhan dilakukan berdasarkan

threshold dan kelipatannya untuk mencari konsentrasi minimum bumbu. Formula-formula lanjutan ditekankan pada kombinasi garam, lada dan bawang merah yang merupakan bumbu utama produk perkedel. Garam dan lada dicoba dengan konsentrasi 10 dan 20 kali

threshold, bawang merah sebesar 10, 15 dan 20 kali threshold.

Seasoning yang lain ditetapkan penggunaannya pada 4 kali threshold

setelah diuji coba sebelumnya.

Dari berberapa formula yang diteliti akan dipilih tiga formula secara subyektif yang akan di uji secara organoleptik. Atribut mutu yang digunakan untuk pemilihan formula terbaik adalah rasa. Hasil terbaik dari formulasi bumbu ini merupakan produk terpilih yang akan digunakan untuk analisis-analisis selanjutnya. Ketiga formula tersebut adalah formula E10, E11 dan E12. Persentase seasoning merupakan persentase dari berat raw material (CCM, SBB, kentang goreng, pati kentang, dan emulsi minyak).

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dan dilakukan oleh 26 panelis agak terlatih. Hasil uji ANOVA dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa ketiga formula tidak berbeda nyata (p>0,05). Dipilih formula E10 karena penggunaan

seasoning paling minimum (konsentrasi bawang merah paling kecil). Diagram batang yang menampilkan perbedaan absolut skor rata-rata hedonik dapat dilihat pada Gambar 11 sedangkan hasil ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 11. Formula terpilih pada uji ini akan digunakan sebagai formula untuk analisis selanjutnya. Pada optimasi kedua ini, tidak perlu terjadi pengulangan formulasi karena skor rata- rata kesukaan sudah melebihi target (lebih dari 4).

Gambar 11. Diagram batang skor hedonik rata-rata rasa produk (II)

f. Penentuan Batter Pick-up, Breader Pick-up, Cooking Loss dan Freezing loss

Aplikasi batter, breading dan frying dengan mesin menghasilkan produkyang mempunyai penampakan yang lebih baik dari pada yang dibuat secara manual untuk skala laboratorium karena batter dan

breadcrumbs yang lebih merata. Aplikasi coating secara manual menghasilkan produk yang bervariasi karena jumlah dan tekanan yang dikeluarkan oleh masing-masing pekerja berbeda (Suderman dan Cunningham, 1983).

Batter aplicator yang digunakan memiliki prinsip kerja sistem

submersion, yaitu produk berjalan di atas konveyor melalui genangan

batter atau dengan kata lain, produk terendam seluruhnya ke dalam

batter. Pada aplikasi ini, pick-upbatter yang diperoleh adalah 10,41%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Gambar batter aplicator disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 . Batter aplicator sistem submersion (Owens, 2001)

5.00 5.46 4.92 4.50 5.00 5.50 6.00

E10 E11 E12

formula s k o r ra ta -ra ta ras a Keterangan :

Garam : lada : pala : MSG : B.merah : B.putih E10 = 0,88 : 0,6 : 0,14 : 0,09 : 0,6 : 0,34 E11 = 0,88 : 0,6 : 0,14 : 0,09 : 0,9 : 0,34 E12 = 0,88 : 0,6 : 0,14 : 0,09 : 1,2 : 0,34

Pada proses breading, adonan berjalan diatas konveyor yang tertutupi breadcrumbs sehingga bagian bawah adonan dapat ditutup oleh breadcrumbs, dari atas ada bagian mesin penabur breadcrumbs

sehingga penampakan atas produk juga dapat tertutup merata. Terdapat pula pressure rolls yang akan menekan produk sehingga sisi-sisi samping produk tertutup breadcrumbs. Aplikasi ini yang menyebabkan nilai pick-up breader sangat tinggi yaitu 17,52%. Hasil pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Mesin breading yang digunakan memiliki sistem resirkulasi. Gambar Breader aplicator dapat dilihat pada Gambar 13. Meskipun pick-up breader sangat tinggi, pick-up coating total (batter dan breadcrumbs) tidak melebihi standar single coating

yaitu maksimal 30% (Suderman dan Cunningham, 1983).

Gambar 13. Breading aplicator (Owens, 2001)

Proses penggorengan dilakukan dengan setting suhu mesin 161°C dengan waktu penggorengan 135 detik. Panjang mesin

continous deep fat frier adalah 6 m. Suhu pusat produk setelah digoreng adalah 79,9°C. Suhu ini sudah memenuhi standar perusahaan, yaitu 75-80°C. Penampakan luar produk setelah digoreng berwarna coklat keemasan. Setelah proses penggorengan, terjadi cooking loss

sebesar 6,53%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Cooking loss ini disebabkan oleh air yang menguap dari produk. Air yang menguap merupakan air bebas dalam raw

material produk. Air ini akan keluar dari produk dan digantikan oleh minyak goreng.

Proses pembekuan skala industri menggunakan mesin IQF (Individual Quick Freezing). Setting mesin pada proses pembekuan ini adalah 30 menit dengan suhu setting IQF -37°C dan suhu rail -36°C. Suhu pusat produk akhir adalah -18,2°C. Suhu ini sudah memenuhi standar perusahaan yaitu minimal -18°C. Gambar IQF dapat dilihat pada Gambar 14. Pada proses pembekuan juga terjadi freezing loss

sebesar 0,55%. Hasil pengamatan bobot produk dapat dilihat pada Lampiran 12 dan Lampiran 13.

Pada proses pembekuan, akan terjadi heat transfer dari dalam produk ke luar. Proses tersebut menyebabkan evaporasi air dari dalam produk sehingga terjadi pengurangan berat produk walaupun kecil (Fellow, 1992). Proses pembekuan juga menurunkan WHC sehingga terjadi weight loss pada produk (Field, 1988).

2. Analisis Kimia

Berdasarkan hasil analisis proksimat produk terpilih diperoleh hasil sebagai berikut : kadar air 43,97%, kadar abu 2,00%, kadar protein 10,68%, kadar lemak 27,54% dan kadar karbohidrat 15,81%. Air tetap merupakan komponen tertinggi dari produk ini, meski produk yang dianalisis telah mengalami penggorengan. Kadar air yang tinggi berasal dari kentang, emulsi minyak, dan daging baik SBB maupun CCM sehingga kandungan air yang terikat juga tinggi. Kadar air dalam produk berhubungan dengan WHC produk. WHC produk dipengaruhi oleh adanya penambahan garam phosphat dan garam dalam seasoning.

Kadar lemak dari produk akhir kemungkinan besar berasal dari emulsi minyak serta minyak goreng yang masuk menggantikan air yang hilang saat penggorengan. Kandungan karbohidrat yang tinggi berasal dari kentang yang sebagian besar berupa pati.

Kadar kalsium yang diperoleh dengan metode AAS adalah 813,78 mg/kg. Bila dikonversikan setiap penyajian (52 gram, 4 buah

perkedel @13 gram), kandungan kalsiumnya adalah 42,32 gram. Terdapat selisih 17,68 gram dari kalsium target (60 gram) atau terjadi kehilangan kalsium sebesar 29,47%. Hasil analisis proksimat produk perkedel ayam berkalsium disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Komposisi kimia produk perkedel ayam berkalsium Komponen kimia Kandungan

Kadar air (%) 43,97 Kadar abu (%) 2,00 Karbohidrat (%) 15,81 Lemak (%) 27,54 Protein (%) 10,68 Kalsium (mg/kg) 813,78

Keterangan : Hasil analisis merupakan rata-rata 2 ulangan

Menurut Boskou dan Elmadfa (1999), komponen mineral dapat menunjukkan perubahan yang besar pada operasi pemasakan karena kelarutannya dalam air. Kemungkinan kehilangan kalsium disebabkan dari proses penggorengan pada pembuatan perkedel ayam. Kalsium laktat sebagai sumber mineral bersifat larut air sehingga dimungkinkan hilang pada saat air keluar pada proses penggorengan. Kalsium tersebut diperkirakan berpindah ke dalam minyak goreng yang digunakan. Kehilangan kalsium pada proses pemasakan juga terjadi pada produk kacang Navy, yaitu sebesar 49% (Fennema, 1985).

3. Analisis Fisik

Analisis fisik yang dilakukan meliputi tekstur (kekerasan) dan warna. Pada analisis ini, produk hasil penelitian juga dibandingkan produk komersial yang ada dengan bahan baku yang hampir sama.

a. Tekstur

Pengukuran tekstur produk dilakukan dengan alat Texture Analyzer. Berdasarkan hasil analisis tersebut, diperoleh hasil bahwa besarnya gaya tertinggi yang dibutuhkan untuk memecah produk

perkedel ayam berkalsium hasil penelitian adalah 2325,73 gram force, sedangkan produk perkedel komersial dengan merek “So-Lite” yang diproduksi oleh PT. Macroprima Panganutama Tangerang adalah 2703,05 gram force. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 . Hasil analisis kekerasan produk dengan Texture Analyzer

Produk komersial memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi pada coating-nya dikarenakan breadcrumbs yang digunakan lebih kasar dan berukuran lebih besar daripada breadcrumbs produk penelitian, sehingga produk perkedel komersial menghasilkan gaya lebih besar untuk memecahnya atau lebih renyah coating-nya.

Berdasarkan grafik pada Gambar 14 dan 15 juga terlihat bahwa analisis tekstur perkedel komersial membentuk satu peak saja sedangkan produk terpilih terdapat dua peak yang menyatakan tekstur

coating dan adonan. Hal tersebut juga menggambarkan bahwa tekstur adonan (bagian dalam perkedel) produk komersial lebih lembek dari pada produk terpilih dan kemungkinan lebih mendekati tekstur perkedel tradisional. Namun, tekstur yang lembek juga menyebabkan hasil cetak yang kurang baik yang terlihat pada bentuk produk komersial.

Ulangan Kekerasan (gram force) Produk penelitian Produk komersial 1 2197,40 2703,05 2 2454,05

Gambar 14. Grafik analisis tekstur produk terpilih hasil penelitian

Gambar 15. Grafik analisis tekstur produk komersial

b. Warna

Parameter warna yang diukur dalam penelitian ini adalah L (lightness) yang menyatakan kecerahan dan °H atau hue dengan alat

Chromameter. Hasil pengamatan yang diperoleh menyatakan bahwa produk perkedel ayam berkalsium memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi daripada perkedel ayam komersial. Nilai L untuk perkedel ayam berkalsium adalah 60,43 sedangkan produk komersial memiliki nilai L 57,90. Produk perkedel ayam berkalsium juga memiliki nilai hue 91,25 untuk warna bagian dalam dan produk perkedel ayam komersial memiliki nilai hue 96,3 Keduanya termasuk kategori warna kuning. Produk komersial memiliki nilai hue yang lebih tinggi (mengarah ke warna hijau) karena adanya potongan sayur seledri yang ada dalam adonan produk. Nilai L dan °H dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Hasil pengamatan analisis warna dengan Chromameter Sampel Parameter L (lightness) °H (hue) Penelitian 60.43 91,25 Komersial 57,90 96,3

4. Perhitungan Costing dan Penambahan Nilai

Terdapat dua unsur utama yang digunakan dalam penghitungan biaya produksi yaitu bahan baku langsung dan biaya overhead pabrik. Berdasarkan hasil perhitungan, biaya produksi perkedel ayam berkalsium per kg adalah Rp. 14.884,17. Perhitungan biaya produksi perkedel ayam berkalsium dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Perhitungan biaya produksi perkedel ayam berkalsium untuk kapasitas 200 kg.

Komposisi Bahan Jumlah

(kg)

Harga (Rp/kg)

Harga (Rp)

Raw material SBB segar 50 22.727,20 1.136.360

CCM 20 4.654,35 93.087 Kentang segar 56,34 5.950 335.223 Emulsi minyak 70 5.500 385.000 Pati kentang 20 4.416 88.320 Bahan pendukung dan seasoning Phosphat 0.6 11.960 7.176 Bumbu 6.74 13.568,84 91.454 Ca-laktat 1.6 44.160 70.656 Batter (Pick up : 10,41% ) 24.28 1.231,50 29.900,82 Breader (Pick up : 17,52 %) 49.54 6.800 336.872 Minyak goreng (14,75% dari Finish good) 38.78 4.400 170.632 Nitrogen Cair (0,6m3/kg RM) 120 1.200 144.000 Total Biaya Bahan

Biaya Bahan Baku Langsung per kg = Rp. 2.888.680,82 / 262,89 = Rp. 10.988,17

Biaya Produksi per kg = Rp 10.988,17 + FOH = Rp. 10.988,17 + Rp. 3.896 = Rp. 14.884,17

Penambahan nilai CCM diwujudkan salah satunya melalui nilai ekonomis. Penggunaan CCM sebesar 10% dalam produk sebagai pengganti daging SBB dapat menurunkan biaya produksi sebesar Rp. 1.374,94 per kg atau sebesar 8,46%. Perhitungan biaya produksi perkedel ayam berkalsium tanpa CCM dapat dilihat pada Lampiran 15. Penurunan biaya produksi dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Perbandingan biaya produksi produk perkedel ayam berkalsium

Dokumen terkait