• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. METODE PENELITIAN

E. Tata Cara Penelitian

Simplisia jahe emprit yang digunakan berasal dari pabrik pembuat jamu tradisional di Yogyakarta, yaitu CV. Merapi Farma Herbal di jalan Kaliurang km.21,5. Madu kelengkeng yang digunakan berasal dari salah satu distributor madu di Yogyakarta yaitu PT. Madu Pramuka.

2. Pembuatan serbuk simplisia dan penetapan kadar air

Simplisia kering jahe emprit sebanyak 1,5 kg yang diperoleh dari CV. Merapi Farma Herbal dikeringkan terlebih dahulu didalam oven pada suhu ±500C selama 15 menit sebelum dilakukan penyerbukan. Simplisia yang sudah kering lalu dibuat menjadi sediaan serbuk dengan menggunakan mesin penggiling

(grinder) kemudian diayak menggunakan ayakan nomor mesh 40. Serbuk kering jahe emprit yang diperoleh dari hasil penyerbukkan sebanyak 1 kg.

Selanjutnya serbuk yang sudah dibuat dilakukan penetapan kadar air berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional, standar kadar air maksimum simplisia adalah 10%. Penetapan kadar air dilakukan menggunakan metode gravimetri. Prinsip metode ini , yaitu analisis kuantitatif berdasarkan berat tetapnya (berat konstan) (Gandjar dan Rohman, 2010). Kadar air yang diperoleh sebesar 9,50 % dan kadar air yang diperoleh ini telah memenuhi syarat Menteri Kesehatan sehingga dapat disimpulkan bahwa serbuk yang digunakan masih memenuhi syarat simplisia yang baik.

3. Pembuatan ekstrak etanolik jahe emprit

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Sebanyak 50,0 gram serbuk rimpang jahe emprit dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup, lalu ditambahkan 250,0 mL pelarut etanol 96% dan dilakukan proses maserasi selama 3x24 jam pada suhu kamar. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan corong Buchner. Maserat yang diperoleh untuk selanjutnya dipekatkan/diuapkan

untuk menghilangkan etanol. Penguapan dilakukan menggunakan rotary

evaporator. Pelarut yang masih tersisa diuapkan dengan menggunakan bantuan oven pada suhu 400C. Ekstrak kental yang diperoleh digunakan dalam pembuatan sediaan uji.

4. Pembuatan suspensi darah merah domba 1%

Darah domba segar yang telah diberi antikoagulan disentrifugasi menggunakan sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm untuk memisahkan plasma dari sel darah merah. Lapisan atas yang berupa plasma dibuang dengan mikropipet dan pada lapisan bawah yang berupa endapan sel darah merah, ditambahkan larutan PBS pH 7,2 sebanyak 3 kali volume SDMD yang tersisa. Tabung kemudian dibolak-balik dengan perlahan-lahan sampai SDMD tersuspensi secara homogen, kemudian disentrifugasi lagi. Pencucian paling sedikit dilakukan 3 kali. Setelah disentrifugasi, PBS dikeluarkan sehingga yang tertinggal adalah SDMD 100%. Ambil 0,5 mL suspensi SDMD 100%, tambahkan PBS dengan volume sama sehingga didapat suspensi SDMD 50%. Untuk mendapatkan suspensi SDMD 1%, maka dari 1 mL suspensi SDMD 50% ditambahkan PBS ad 50 mL (Kumala, Dewi, dan Nugroho, 2012).

5. Tahap penentuan dosis

Penentuan dosis campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit didasarkan pada Suranto (2007) dan penelitian Mellawati (2008). Suranto menyatakan bahwa dosis madu yang dianjurkan pada manusia adalah 1-2 kali/hari 1 sendok makan (15 mL). Konversi dosis pada manusia yang berat badannya 70 kg ke tikus yang berat badannya 200 g adalah 0,018 (Ngatidjan, 1991). Dosis madu untuk tikus 200 g adalah :

Faktor konversi x dosis penggunaan 2 kali/hari = 0,018 x 30 mL = 0,54 mL ≈ 0,6 mL

Untuk dosis ekstrak etanolik jahe emprit didasarkan pada penelitian Mellawati (2008). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mellawati dosis 25 mg/kgBB volume pemberian 0,2 mL/20 g BB memberikan efek yang optimal dan sama dengan imunostimulator sintetik (Levamisol hidroklorida) dan imunostimulator alami (ekstrak echinacea). Dosis ekstrak etanolik jahe emprit untuk tikus 200 g adalah :

Volume pemberian x berat badan tikus = 0,2 mL/20 g BB x 200 g = 2,0 mL

Untuk dosis perlakuan madu lengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dibuat menjadi 5 komposisi sebagai berikut (Lampiran 9):

Komposisi 1 : jahe 100% = 2,0 mL

Komposisi 2 : jahe 75% ; madu 25% = 1,5 mL ; 0,2 mL Komposisi 3 : jahe 50% ; madu 50% = 1,0 mL ; 0,3 mL

Komposisi 4 : jahe 25% ; madu 75% = 0,5 mL ; 0,5 mL

Komposisi 5 : madu 100% = 0,6 mL

6. Tahap orientasi dosis

Sebanyak 18 hewan uji dibagi dalam enam kelompok yaitu satu kelompok kontrol negatif dan lima kelompok perlakuan dimana masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor tikus. Pembagian kelompok-kelompok tersebut yaitu :

a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan

b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi larutan jahe dengan volume pemberian 2,0 mL

c. Kelompok perlakuan 2 (jahe 75% : madu 25%) : kelompok tikus yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 1,5 mL (jahe) : 0,2 mL (madu).

d. Kelompok perlakuan 3 (jahe 50% : madu 50%) : kelompok tikus yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 1,0 mL (jahe) : 0,3 mL (madu).

e. Kelompok perlakuan 4 (jahe 25% : madu 75%) : kelompok tikus yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 0,5 mL (jahe) : 0,5 mL (madu).

f. Kelompok perlakuan 5 (madu 100%) : kelompok tikus yang diberi larutan madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL

Semua tikus pada kelompok perlakuan diberikan perlakuan selama delapan hari secara oral. Pada hari ke-0, hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen secara injeksi peritoneal. Pada hari ke-8, hewan uji kembali diinjeksi dengan antigen pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan tetapi sebelum diinjeksi kaki tikus diukur terlebih dahulu menggunakan jangka sorong digital sebagai data pre. Setelah 24 jam diinjeksi secara subkutan, kaki belakang tikus kembali diukur sebagai data post. Selisih volume telapak kaki belakang tikus sebelum dan sesudah 24 jam diinjeksi dengan antigen secara subkutan dinyatakan sebagai respon DTH. Hasil yang didapatkan pada tahap orientasi ini akan digunakan dalam tahap percobaan.

Pada tahap percobaan ini, sebanyak 30 ekor hewan uji dibagi dalam enam kelompok seperti pada tahap orientasi yaitu satu kelompok kontrol negatif tanpa perlakuan dan lima kelompok perlakuan dimana pada masing-masing kelompok terdiri dari lima ekor tikus. Pembagian kelompok-kelompok tersebut sama seperti pada tahap orientasi, yaitu :

a. Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus tanpa perlakuan

b. Kelompok perlakuan 1 (Jahe 100%) : kelompok tikus yang diberi larutan jahe dengan volume pemberian 2,0 mL

c. Kelompok perlakuan 2 (jahe 75% : madu 25%) : kelompok tikus yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 1,5 mL (jahe) : 0,2 mL (madu). d. Kelompok perlakuan 3 (jahe 50% : madu 50%) : kelompok tikus

yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 1,0 mL (jahe) : 0,3 mL (madu). e. Kelompok perlakuan 4 (jahe 25% : madu 75%) : kelompok tikus

yang diberi campuran madu kelengkeng dan ekstrak etanolik jahe emprit dengan volume pemberian 0,5 mL (jahe) : 0,5 mL (madu). f. Kelompok perlakuan 5 (madu 100%) : kelompok tikus yang diberi

larutan madu kelengkeng dengan volume pemberian 0,6 mL. Pada tahap percobaan ini, tahap penelitian yang dilakukan sama seperti pada tahap orientasi. Semua hewan uji pada kelompok perlakuan diberikan perlakuan selama delapan hari. Pada hari ke-0, hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen secara injeksi peritoneal. Pada hari ke-8, hewan uji kembali

diinjeksi dengan antigen pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan tetapi sebelum diinjeksi kaki tikus diukur terlebih dahulu menggunakan jangka sorong digital sebagai data pre. Setelah 24 jam diinjeksi secara subkutan, kaki belakang tikus kembali diukur sebagai data post. Selisih volume telapak kaki belakang tikus sebelum dan sesudah diinjeksi dengan antigen secara subkutan dinyatakan sebagai respon DTH.

Dokumen terkait