BAB III. METODE PENELITIAN
E. Tata Cara Penelitian
Madu kelengkeng yang digunakan diperoleh dari salah satu
distributor madu di Yogyakarta, yaitu PT. Madu Pramuka.
2. Tahap penentuan dosis madu kelengkeng
Menurut penelitian Kasih (2012) yang diacu dari (Suranto, 2007),
penggunaan madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali
sehari. Satu sendok makan berarti 15 mL dan disini peneliti mengambil
dosis penggunaan madu yang maksimum, yaitu dua sendok makan (30 mL)
dan bila dikonversikan dari manusia 70 kg ke tikus 200 g dengan faktor
konversi 0,018 (Laurence & Bacarach, 1964) maka akan ditemukan dosis
yang sesuai untuk tikus adalah sebagai berikut:
Dosis madu kelengkeng untuk tikus 20 g adalah:
= 0,018 x 30 mL
= 0,54 mL/200 g BB tikus ≈ 0,60 mL/200 g BB
Mengambil secukupnya madu kelengkeng dari wadahnya dan
masukkan dalam gelas beker. Suntikkan secara oral pada tikus selama
3. Penyiapan antigen
Antigen yang digunakan adalah suspensi Sel Darah Domba Merah
(SDMD) 1% yang SDMD nya diperoleh dari Balai Kesehatan (Balkes)
Yogyakarta dan pembuatannya menjadi supsensi SDMD 1% dilakukan di
Lembaga Pengembangan Penelitian Terpadu (LPPT) Unit III Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Berdasarkan penelitian Kumala (2012) dan Achyat (2008), darah
domba segar yang telah diberi antikoagulan disentrifugasi dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan plasma dari sel darah merah.
Lapisan bagian atas yang berupa plasma dibuang dengan pipet ukur maupun
mikropipet dan lapisan bagian bawah yang berupa endapan sel darah merah
ditambahkan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) steril pH 7,2 sebanyak
tiga kali volume SDMD yang tersisa. Tabung yang sudah berisi campuran
endapan SDMD dan PBS dibolak-balik dengan perlahan-lahan sampai
SDMD tersuspensi secara homogen dan disentrifugasi kembali dengan
kecepatan 3000 rpm. Prosedur ini diulang sampai lapisan atas benar-benar
jernih. Lapisan atas yang jernih dibuang dan lapisan bawah yang digunakan
dan merupakan suspensi SDMD 100%. Jika akan digunakan ambil 0,5 ml
suspensi SDMD 100% lalu tambahkan PBS dengan volume yang sama
sehingga didapat suspensi SDMD 50%. Untuk mendapatkan suspensi
4. Tahap pra perlakuan hewan uji
Sebelum penelitian dilaksanakan semua hewan uji ditimbang
beratnya dengan tujuan hewan uji yang digunakan memang sudah masuk
kriteria inklusi. Kemudian, hewan uji diadaptasi selama satu minggu di
Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta untuk penyesuaian diri terhadap lingkungannya.
5. Tahap orientasi dosis madu kelengkeng
Tikus dibagi secara random menjadi empat kelompok, yaitu satu
kelompok kontrol negatif dan tiga kelompok perlakuan, dengan
masing-masing kelompok berjumlah tiga ekor, sehingga total tikus yang digunakan
ada 12 ekor. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:
Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan
apapun, hanya diberi makan AD II dan minum aquadest.
Kelompok perlakuan 1 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 0,60 mL/200 g BB tikus.
Kelompok perlakuan 2 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 1,20 mL/200 g BB tikus.
Kelompok perlakuan 3 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 2,30 mL/200 g BB tikus.
Semua hewan uji, kecuali kelompok kontrol negatif, diperlakukan
dengan diberi larutan madu kelengkeng secara per oral selama delapan hari.
Hari ke-0, semua hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen I
madu kelengkeng dan hari ke-8 dilakukan injeksi antigen II sebanyak 0,5
mL pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan, namun sebelum diinjeksi
antigen dan diberi larutan madu kelengkeng, telapak kaki kiri hewan uji
diukur dahulu secara plethysmometrically atau menggunakan jangka sorong
digital sebagai data pre-DTH. Setelah 24 jam sejak antigen II dinjeksikan,
telapak kaki kiri hewan uji diukur menggunakan jangka sorong digital
sebagai data post-DTH. Hasil percobaan dari tahap orientasi dosis ini akan
digunakan pada tahap percobaan berikutnya.
6. Tahap percobaan
Tikus dibagi secara random menjadi empat kelompok, yaitu satu
kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan, dengan masing-masing
kelompok berjumlah lima ekor, sehingga total jumlah tikus yang digunakan
sebanyak 20 ekor. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:
Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan
apapun, hanya diberi makan AD II dan minum aquadest.
Kelompok perlakuan 1 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 0,60 mL/200 g BB tikus.
Kelompok perlakuan 2 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 1,20 mL/200 g BB tikus.
Kelompok perlakuan 3 : kelompok tikus yang diberi larutan madu
kelengkeng dengan dosis 2,30 mL/200 g BB tikus.
Semua hewan uji, kecuali kelompok kontrol negatif, diperlakukan
Hari ke-0, semua hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen I
berupa suspensi SDMD 1% 2 mL secara peritoneal sebelum diberi larutan
madu kelengkeng dan hari ke-8 dilakukan pula injeksi antigen II sebanyak
0,5 mL pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan, namun sebelum
diinjeksi antigen dan diberi larutan madu kelengkeng, telapak kaki kiri
hewan uji diukur dahulu secara plethysmometrically atau menggunakan
jangka sorong digitalsebagai data pre-DTH. Setelah 24 jam sejak antigen II
dinjeksikan, telapak kaki kiri hewan uji diukur menggunakan jangka sorong
digital sebagai data post-DTH.
7. Pengukuran respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/ DTH)
Pada hari ke-8 telapak kaki kiri tikus secara plethysmometrically
atau menggunakan jangka sorong digital sebagai data pre-DTH. Pada hari
ke-9, tepat 24 jam sejak antigen II diinjeksikan, telapak kaki kiri tikus
diukur lagi secara plethysmometrically atau menggunakan jangka sorong
digital sebagai data post-DTH dengan melihat seberapa peningkatan volume
bengkak telapak kaki kiri tikus. Selisih dari peningkatan volume bengkak
telapak kaki kiri tikus berdasarkan data pre dan post ini lah yang digunakan