• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh pemberian madu klengkeng (Nephelium longata L). terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat pada tikus putih jantan galur wistar.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh pemberian madu klengkeng (Nephelium longata L). terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat pada tikus putih jantan galur wistar."

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN MADU KELENGKENG (Nephelium longata L.) TERHADAP RESPON HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT (DELAYED-TYPE HYPERSENSITIVITY/ DTH) PADA TIKUS PUTIH

JANTAN GALUR WISTAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Chrissa Hygianna

NIM : 098114046

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Chrissa Hygianna

NIM : 098114046

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

vi

LEMBAR PERSEMBAHAN

Janganlah takut, sebab AKU menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab AKU ini ALLAHmu; AKU akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; AKU

akan memegang engkau dengan tangan kanan-KU yang membawa kemenangan (Yesaya 41: 10)

“Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan

untuk berhasil”

“Berani lah untuk bermimpi, dan beranikan dirimu untuk mewujudkan semua impian kamu. Karena impian tidak akan tercapai tanpa keberanian”

– Mario Teguh –

Karya kecil ini kupersembahkan kepada

:

TUHAN YESUS KRISTUS, sebagai wujud syukurku atas penyertaan dan kasih-NYA yang

luar biasa.

PAPAH PENDI,

MAMAH WATI

, KAKAK IMA,

KAKAK VENTI

dan

ADE CHRIST

. Kalianlah

yang memberiku cinta, motivasi, dukungan yang luar biasa dan selalu mendoakanku. Tidak

akan ada yang bisa membalas semua jasa kalian.

ADDITYA TERSAYANG

, yang membawa kepercayaan dan membuat perubahan terbesar

dalam hidupku.

(8)

vii

PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus

Kristus, atas segala berkat dan anugerah-NYA sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Madu

Kelengkeng (Nephelium longata L.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Tipe

Lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/ DTH) Pada Tikus Putih Jantan Galur

Wistar” merupakan karya ilmiah penulis untuk memenuhi syarat memperoleh

gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak kesulitan yang penulis

hadapi, namun berkat dukungan, bimbingan, kritik dan saran dari berbagai

pihak, penulis dapat menyelesaikannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm.,Apt., selaku Ketua Program Studi

Farmasi sekaligus Ketua Tim Panitia Skripsi Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

3. Ibu Yunita Linawati M.Sc, Apt selaku Dosen Pembimbing atas

kebijaksanaan, perhatian, dan kesabarannya dalam membimbing penulis

menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. dan dr. Fenty, M.Kes., Sp. PK selaku Dosen

Penguji yang telah memberikan saran yang menjadikan penulisan skripsi

menjadi lebih baik.

5. Teknisi LPPT UGM dan Balkes Yogyakarta: Bu Istini dan Bu Atika atas

semua bantuan yang telah diberikan.

6. Teman-teman seperjuangan penelitian yang selalu membantu dan

mengingatkan: Raisa Novitae, Defi Krishartantri, dan Inthari Alselusia.

7. Para sahabat terkasih yang menjadi tempat tawa dan keluh kesah penulis,

bersedia membantu serta berbagi suka dan duka: Retno Wahyu Ningsih,

(9)

viii

Sinaga, Kak Perthy Melati Kasih; Dewi 2’s: Yuningsih Wulan Oei, Ina Juni

Natasia, A.A.Istri Yulianty, Realita Rosada; Kelompok seperjuangan

praktikum dan tugas kelas: Berta Trifina Mardani, Listya Purbarini, Diah

Intan Sari.

8. Teman-teman angkatan 2009, khususnya FKK A dan FSM C 2009.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

membantu dalam kelancaran penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

memberikan informasi bagi pembaca.

(10)

ix

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6

b. Manfaat praktis ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 6

(11)

x

1. Sistem imun nonspesifik ... 11

2. Sistem imun spesifik ... 11

a. Sistem imun spesifik humoral ... 13

b. Sistem imun spesifik selular ... 13

C. Hipersensitivitas Tipe Lambat ... 14

D. Inflamasi ... 16

E. Imunomodulator ... 17

F. Landasan Teori ... 18

G. Hipotesis ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 20

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21

1. Variabel penelitian ... 21

2. Definisi operasional ... 21

C. Bahan Penelitian ... 22

D. Alat Penelitian ... 22

E. Tata Cara Penelitian ... 23

1. Pengumpulan sampel ... 23

2. Tahap penentuan dosis madu kelengkeng ... 23

3. Penyiapan antigen ... 24

4. Tahap pra perlakuan hewan uji ... 25

5. Tahap orientasi dosis madu kelengkeng ... 25

6. Tahap percobaan ... 26

7. Pengukuran respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/ DTH) ... 27

F. Analisis Hasil ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identifikasi Senyawa Uji ... 29

B. Penyiapan Antigen ... 31

(12)

xi

D. Pengaruh Pemberian Madu Kelengkeng Dosis 0,60 ml/ 200 g BB;

1,20 ml/ 200 g BB; dan 2,30 ml/ 200 g BB Pada Tahap Percobaan ... 37

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 42

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN ... 46

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Rata-rata ± SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki

sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi ... 35

Tabel II. Rata-rata ± SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki

sebagai Respon DTH Terhadap Pengaruh Pemberian Madu

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun ... 11

Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV Menurut Gell dan

Coombs ... 15

Gambar 3. Grafik Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak

Kaki sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi ... 36

Gambar 4. Grafik Rata-rata ±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak

Kaki sebagai Respon DTH Terhadap Pengaruh Pemberian Madu

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Kelaikan Etik ... 47

Lampiran 2. Surat Keterangan Ijin Penelitian/ Penggunaan Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma ... 48

Lampiran 3. Surat Keterangan Ijin Penelitian/ Penggunaan Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada ... 49

Lampiran 4. Foto Madu Kelengkeng PT. Madu Pramuka ... 50

Lampiran 5. Foto Pengujian Identifikasi Madu Kelengkeng ... 50

Lampiran 6. Foto Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah (SDMD) 1% ... 51

Lampiran 7. Perhitungan Dosis Madu Kelengkeng Tahap Orientasi Dosis dan Percobaan ... 52

Lampiran 8. Pengujian Statistik Respon DTH Tahap Orientasi ... 53

(16)

xv

INTISARI

Sistem imun tubuh memberikan respon ketika mengenali molekul asing (antigen) terpajan. Aktivitas ini untuk mengeliminasi antigen, namun dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang disebut respon hipersensitivitas tipe lambat/ Delayed-Type Hypersensitivity (DTH). Banyak bahan alam yang mampu mempengaruhi sistem imun (imunomodulator), salah satunya madu. Madu memiliki banyak jenis, diantaranya madu kelengkeng. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian madu kelengkeng terhadap respon DTH pada tikus putih jantan galur Wistar.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah eksperimental murni rancangan acak pola searah. Sebanyak 20 ekor tikus dibagi menjadi 4 kelompok, 1 kelompok kontrol negatif dan 3 kelompok perlakuan dengan pemberian madu kelengkeng dosis 0,60;1,20;2,30ml/200gBB secara per-oral selama 8 hari. Tikus diinjeksi pada hari ke-0 dengan antigen (suspensi Sel Darah Merah Domba(SDMD) 1%)secara peritoneal dan pada hari ke-8 secara subkutan di kaki tikus dengan sebelumnya mengukur bengkak kaki dengan jangka sorong digital sebagai data Pre-DTH dan setelah 24 jam antigen II dinjeksikan, diukur lagi sebagai data Post-DTH dan selisih dari keduanya digunakan dalam mengukur respon DTH. Data dievaluasi dengan metode Kolmogorov-Smirnov, dilanjutkan dengan uji one way ANOVA, jika terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) lanjutkan dengan uji Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian madu kelengkeng tidak memiliki pengaruh berupa peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type

Hypersensitivity/DTH) pada tikus putih jantan galur Wistar.

(17)

xvi

ABSTRACT

The body's immune system to respond when it recognizes foreign molecules (antigens) exposed. This activity is to eliminate the antigen, but can cause tissue damage called Delayed-Type Hypersensitivity response (DTH). Many natural ingredients that can affect the immune system (immunomodulators), one honey. Honey has many types, such as longan honey. The purpose of this study to determine the effect of longan honey on the DTH response in Wistar

white male rats.

The research design used was a randomized experimental design purely unidirectional pattern. A total of 20 mice were divided into 4 groups, 1 negative control group and 3 treatment groups by administering a dose of longan honey 0,60;1.20; 2.30 ml/200gBB per-orally for 8 days. Mice injected on day 0 with antigen (suspension Sheep Red Blood Cells (SRBC) 1%) in peritoneal and on day 8 mice subcutaneously in the leg with a swollen foot with a previous measure digital calipers as the data pre-DTH and after 24 hours since the injected antigen II, again measured as DTH and Data Post-difference of the two is used in measuring the DTH response. Data were evaluated with the Kolmogorov-Smirnov method, followed by one-way ANOVA test, if there is a significant difference (p <0.05) proceed with the Tukey test.

The results showed longan honey treatment has no effect in the form of an increase in Delayed-Type Hipersensitivity/ DTH in Wistar white male rats.

(18)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Tubuh manusia memiliki sistem imun yang memberikan respon dan

melindungi tubuh terhadap unsur - unsur patogen. Respon imun sangat tergantung

pada kemampuan sistem imun untuk mengenali molekul asing (antigen) yang

terdapat pada patogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat

untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan (Kresno, 2010).

Antigen yang terpajan pertama kali dalam tubuh segera dikenal oleh

sistem imun dan menimbulkan sensitasi, yaitu ketika sistem imun dibangkitkan

maka akan mempunyai memori atau daya ingat dan akan melakukan respon yang

lebih spesifik serta lebih aktif jika antigen tersebut masuk ke dalam tubuh untuk

kedua kalinya (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Sistem imun tubuh akan

mengaktivasi sel efektor yang diperantarai oleh sel T sebagai respon antigen yang

masuk. Sel T yang teraktivasi akan menghasilkan IFN-γ (Interferon) yang

selanjutnya mengaktivasi makrofag dan kemudian akan menghasilkan sitokin

yang dapat merangsang terjadinya reaksi inflamasi ke tempat yang terpajan.

Aktivasi ini dimaksudkan untuk melokalisir dan mengeliminasi patogen, namun

dapat menimbulkan kerusakan jaringan, dan reaksi ini dinamakan hipersensitifitas

tipe lambat atau Delayed-Type Hypersensitivity (DTH). Gejalanya baru tampak

sesudah 24 jam kontak dengan antigen kedua (Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010).

Reaksi DTH adalah salah satu jenis dari reaksi hipersensitivitas yang merupakan

(19)

sebelumnya. Walaupun demikian, komponen sistem imun yang bekerja pada

proteksi sistem imun adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi

hipersentitivitas (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Karena alasan inilah

respon DTH dapat digunakan untuk mengetahui teraktivasinya sel T yang terlibat

di respon imun spesifik dalam mengeliminasi patogen antigen dan sebagai salah

satu indikator terjadinya respon imun seluler. Hal ini dipertegas pada pernyataan

Ballal, Bhat, Sumalatha dan Acharya (2012) yang menyatakan respon DTH

banyak digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur respon cell

mediated immune pada hewan.

Sistem imun tubuh mampu membangkitkan respon imun yang tepat bila

dipacu oleh suatu senyawa yang dapat mempengaruhinya, hal ini digolongkan

sebagai imunomodulator (Sari, 2008). Imunomodulator merupakan senyawa yang

mampu menormalkan kembali sistem kekebalan pada keadaan tertentu dimana

tubuh tidak berhasil menormalkan sistem kekebalannya (Abbas, Litchman, dan

Pillai, 2010). Imunomodulator dapat berasal dari senyawa alam dan salah satu

produk alam yang bermanfaat sebagai imunomodulator adalah madu (Mangan,

2009). Madu adalah cairan manis yang berasal dari nektar tanaman yang diproses

oleh lebah dan tersimpan dalam sel-sel sarang lebah (Suranto, 2007). Menurut

Tonks, dkk. (2007), berbagai jenis madu dapat merangsang sel manusia untuk

menghasilkan sitokin inflamasi (misalnya TNF-α), yang merupakan parameter

untuk mengukur peningkatan respon DTH.

Madu memiliki banyak ragam dan jenis, sesuai dengan bunga yang

(20)

madu yang berasal dari satu tumbuhan utama, contohnya adalah madu kelengkeng.

Dari survey pasaran yang dilakukan peneliti, masyarakat menyukai madu

kelengkeng karena rasanya lebih manis dan legit, selain itu salah satu khasiat

madu kelengkeng yang diketahui adalah meningkatkan daya tahan tubuh (Aden,

2010) sehingga dipilihlah madu kelengkeng sebagai senyawa yang ingin diuji

peneliti. Madu sendiri mengandung beberapa senyawa organik yang kemungkinan

berperan dalam sistem imun, salah satunya flavonoid. Penelitian Siddiqa (2008)

menunjukkan bahwa ditemukan flavonoid di dalam kandungan madu kelengkeng

dan menurut Kusmardi, Kumala, dan Triana (cit., Kasih, 2012), flavonoid dalam

tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan untuk melindungi sel. Penelitian

yang diacu Saifulhaq (cit. Senas, 2012) membuktikan bahwa senyawa antioksidan

yaitu flavonoid dapat dipercaya sebagai imunomodulator karena dapat

meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, diduga flavonoid dari

madu kelengkeng inilah yang mungkin nantinya akan mempengaruhi sistem imun

dan peningkatan terhadap respon DTH nantinya dapat mengindikasikan bahwa

bahan alam yang digunakan peneliti ini, yaitu madu kelengkeng, memiliki efek

stimulan terhadap limfosit dan berbagai sel-sel lain yang berperan menimbulkan

respon tersebut (Singh, CPS, dan Noolvi, 2012).

Mengingat sejauh ini belum banyak publikasi yang menyebutkan tentang

pengaruh pemberian madu kelengkeng dengan melihat respon DTH di Indonesia,

maka dipandang perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh

pemberian madu kelengkeng (Nephelium longata L.) pada sistem imun dengan

(21)

kiri tikus putih jantan galur Wistar setelah diinduksi dengan antigen dan diukur

menggunakan plethysmometrically atau jangka sorong digital berdasarkan metode

Puri, dkk. (cit. Chakraborthy, 2009), sehingga dapat diperoleh informasi mengenai

pengaruh penggunaan madu kelengkeng yang banyak digunakan oleh masyarakat.

1. Permasalahan

Apakah pemberian madu kelengkeng (Nephelium longata L.) memiliki

pengaruh berupa peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type

Hipersensitivity/DTH) pada tikus putih jantan galur Wistar?

2. Keaslian penelitian

Sejauh yang diketahui peneliti dan penelusuran pustaka yang sudah

dilakukan, penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu:

a. Aktivitas Antiradikal Bebas serta Kadar Beta Karoten pada Madu Randu

(Ceiba pentandra) dan Madu Kelengkeng (Nephelium longata L.),

diperoleh bahwa pada aktivitas antiradikal bebas pada madu kelengkeng

lebih besar yaitu 82,10% dibandingkan dengan madu randu yaitu 69,37%

(Parwata, Ratnayani, dan Listya, 2010).

b. Penelitian tentang Aktivitas Imunomodulator Ekstrak Air dari Heracleum

persicum Desf. pada Mencit, diperoleh bahwa respon DTH mengalami

peningkatan pada dosis maksimum dan senyawa yang berperan adalah

furanokumarin, flavonoid dan beberapa alkaloid (Sharififar,

Pournourmohammadi, Arabnejad, Rastegarianzadeh, Ranjbaran, and

(22)

c. Penelitian mengenai Evaluasi Aktivitas Imunomodulator Antosianin dari

Dua Formula dari Brassica oleracea, diperoleh bahwa efek imunostimulan

yang diuji selama delapan hari dimediasi oleh aktivasi sel T dan B,

peningkatan jumlah sel darah putih dan peningkatan fagositosis (Gomathi,

Prameela, Kumar, Dan Rajendra, 2012).

d. Penelitian mengenai Aktivitas Imunomodulator dari Fraksi Gentiana

Olivieri Griseb. pada Mencit Balb/C, diperoleh bahwa efek meningkatkan

pada tanamanin ini aktif melalui imunitas selular (respon DTH dan

fagositosis) dan humoral (titer antibodi hemoglutinasi) (Singh, CPS,

Noolvi, 2012).

e. Penelitian mengenai Evaluasi Aktivitas Imunomodulator dari Aesculus indica,

diperoleh bahwa tanaman ini berpotensi pada imunitas selular dengan

memfasilitasi respon hipersensititas tipe lambat pada peningkatan volume

kaki dan tidak berefek pada imunitas humoral (Chakraborthy, 2009).

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa penelitian mengenai “Pengaruh

Pemberian Madu Kelengkeng (Nephelium longata L.) Terhadap Respon

Hipersensitivitas Tipe Lambat (Delayed-Type Hypersensitivy/ DTH) Pada Tikus

(23)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoretis. Memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan,

khususnya mengenai manfaat madu kelengkeng sebagai immunomodulator

untuk kesehatan.

b. Manfaat Praktis. Memberikan informasi dan menambah wawasan bagi

masyarakat mengenai manfaat madu kelengkeng sebagai salah satu cara

untuk meningkatkan kesehatan.

B. Tujuan penelitian 1. Tujuan umum

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian madu kelengkeng

(Nephelium longata L.) pada tikus jantan putih galur Wistar.

2. Tujuan khusus

Memperoleh informasi mengenai pengaruh pemberian madu kelengkeng

(Nephelium longata L.) berupa peningkatan respon Hipersensitivitas Tipe

Lambat (Delayed-Type Hypersensitivy/ DTH) pada tikus jantan putih galur

(24)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Madu

Produk lebah sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan dan

kekebalan tubuh (imunomodulator) (Mangan, 2009). Madu adalah cairan manis

yang berasal nektar tanaman yang diproses oleh lebah dan tersimpan dalam sel-sel

sarang lebah (Hariyati, 2010). Berbagai kelebihan madu sebagai makanan

bernutrient tinggi sudah diketahui sejak zaman dahulu (Parwata dan Ratnayani,

2010).

1. Jenis madu

Madu memiliki banyak ragam dan jenis, sesuai dengan bunga yang

menjadi sumbernya. Lebah terkadang mengumpulkan cairan bunga dari ribuan

kuntum bunga yang jenisnya berbeda-beda, namun madu monoflora merupakan

madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama, seperti madu kelengkeng, madu

rambutan, dan madu randu, sedangkan madu poliflora adalah madu yang berasal

dari nektar berbagai jenis tumbuhan bunga, contoh dari madu ini adalah madu

hutan (Aden, 2010). Madu monoflora mempunyai wangi, warna dan rasa yang

spesifik sesuai dengan sumbernya (Hariyati, 2010).

Madu kelengkeng diproduksi secara kontinyu di Indonesia (Asih dan

Ratnayani, 2012). Madu bunga kelengkeng berkhasiat: meningkatkan daya tahan

tubuh, memperlancar urine atau berkemih, memperkuat fungsi ginjal, mengobati

sakit pinggang, mempercepat penyembuhan luka operasi, memperlancar fungsi

(25)

2. Komposisi madu

Madu merupakan sumber makanan utama, mengandung berbagai jenis

gula, seperti fruktorsa dan glukosa serta berbagai jenis mineral, seperti

magnesium, potasium, kalsium, klorid, sodium, belerang, zat besi, dan juga fosfor.

Kejernihan madu tergantung pada komposi kadar nektar dan putik yang

dikandungnya (Sulaiman, 2010). Selain itu, mengandung pula vitamin A, B1, B2,

B3, B5, B6, C, D, E, K, beta karoten, flavonoid, asam fenolik, asam urat dan asam

nikotinat. Mineralnya diperlukan tubuh agar tetap segar, vitaminnya berperan

dalam metabolisme protein dan mencegah penyakit kulit seperti eksim dan herpes.

Kandungan fruktosa madu berperan dalam mempercepat proses oksidasi alkohol

pada hati, sehingga dapat membantu menanggulangi kerusakan hati pada

peminum minuman beralkohol (Parwata dan Ratnayani, 2010).

Beberapa senyawa organik yang telah terindentifikasi di dalam madu

antara lain seperti polifenol, flavonoid, dan glikosida. Madu juga mengandung

berbagai jenis enzim, antara lain enzim glukosa oksidase dan enzim invertase

(Aljady, Kamaruddin, Jamal, danYassim, 2000).

Menurut Kusmardi, Kumala, dan Triana (cit., Kasih, 2012), flavonoid

dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan untuk mencegah kanker dan

melindungi sel. Hal inilah yang menyebabkan flavonoid sebagai zat yang sangat

kuat menetralisir radikal bebas, mendukung sistem kekebalan tubuh alami

manusia pada tingkat seluler dan membantu regenerasi sel. Berdasarkan penelitian

Siddiqa (2008), madu kelengkeng memiliki pH 4,48; kadar gula 35,36%; kadar air

(26)

Madu juga mengandung dekstrosa (gula yang ditemukan dalam

tumbuhan), lilin, gen pembiakan, dan asam formik (Hariyati, 2010). Jenis gula

yang dominan dalam hampir semua madu adalah levulosa dan hanya sebagian

kecil madu yang kandungan dekstrosanya lebih tinggi dari levulosa, yaitu

mencakup 85 – 90 persen dari karbohidrat yang terdapat dalam madu dan

sebagian kecil oligosakharida dan polisakarida (Sihombing, 2005). Kadar gula

yang tinggi inilah yang memberikan rasa manis pada madu (Sulaiman, 2010).

3. Manfaat madu

Madu memiliki berbagai manfaat yang telah diketahui manusia sejak

dahulu. Madu telah menjadi makanan yang istimewa bagi setiap orang di

sepanjang masa (Hamad, 2007). Madu bermanfaat sebagai makanan kesehatan

yang dapat meningkatkan stamina tubuh sebagai energi seketika. Selain itu, madu

juga dapat digunakan sebagai pengganti gula atau suplementasi nutrisi (Hariyati,

2010). Madu merupakan obat terbaik karena ia adalah sumber nutrisi alami yang

memiliki dekstrosa dan tidak seperti umumnya obat yang menyebabkan efek

samping berbahaya (Sulaiman, 2010). Riset-riset ilmiah mengisyaratkan bahwa

khasiat-khasiat secara fisika dan kimia madu (seperti kadar asam dan efek-efek

osmosis) memainkan peranan penting dalam keefektifannya membunuh kuman.

Di samping itu madu juga memiliki khasiat anti-infeksi dan mendorong

respon - respon sistem imun di dalam luka. Khasiat madu yang mengandung

anti-infeksi dapat meringankan rasa sakit luka dengan cepat, sebagaimana ia juga

(27)

cairan dari luka (exudates) serta mengurangi munculnya bekas sesudah luka itu

sembuh (Al-‘Id, 2010).

Konsumsi madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2

kali/hari satu sendok makan, sedangkan untuk menyembuhkan suatu penyakit,

dianjurkan untuk minum lebih banyak, yaitu 3-4 kali/hari satu sendok makan

(Suranto, 2007).

B. Sistem Imun

Sistem imun merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh melawan infeksi

menular dari mikroba maupun zat asing yang mampu memicu respon imun atau

respon kekebalan tubuh. Respon imun merupakan reaksi terhadap komponen

mikroba serta makromolekul atau bahan kimia kecil lainnya yang dianggap suatu

benda asing oleh tubuh (Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010). Imunitas adalah

resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan

yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang

dikoordinasi sel-sel molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap mikroba disebut

respon imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, maka ada dua

jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu: 1) respon imun nonspesifik dan 2)

(28)

Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

1. Sistem imun nonspesifik (innate immune system)

Imunitas nonspesifik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan

pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat

menyingkirkannya. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba

tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak

menunjukkan spesifisitas terhadap benda asing dan mampu melindungi tubuh

terhadap banyak patogen potensial. Sistem tersebut merupakan pertahanan

terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan

respon langsung (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

2. Sistem imun spesifik (adaptive immune system)

Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik

mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya.

Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera dikenal oleh sistem

(29)

dipajankan kedua kalinya maka akan dikenal lebih cepat dan kemudian

dihancurkan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Sistem kekebalan tubuh menghadapi berbagai tantangan untuk

menghasilkan tanggapan pelindung efektif terhadap infeksi patogen. Respon imun

adaptive (spesifik) dibagi ke dalam tiga fase yaitu pengenalan antigen, aktivasi

limfosit, dan fase efektor. Pertama, sistem harus mampu merespon sejumlah kecil

antigen yang berbeda yang dapat diperkenalkan pada setiap jaringan dalam tubuh.

Pengenalan antigen diikuti dengan dua respon imun spesifik yang utama yaitu

imunotas humoral dan seluler. Sel T bertanggung jawab terhadap imunitas seluler,

sedangkan sel B bertanggung jawab terhadap imunitas humoral (Putri, 2012).

Kedua, limfosit akan teraktivasi dan mengenali serta menanggapi antigen yang

masuk. Ketiga, mekanisme efektor sistem kekebalan tubuh (antibodi dan sel T

efektor) akan menemukan dan menghancurkan antigen di lokasi yang jauh dari

tempat infeksi awal. Sel limfosit T memiliki spesifikasi terhadap antigen. Sel ini

mengenali peptida dari protein asing yang berikatan dengan protein inang yang

disebut molekul MHC kemudian diekspresikan pada permukaannya. Sel T

mengenali dan memberikan respon terhadap sel permukaan dan bukan antigen yg

terlarut (Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010). Sel T diklasifikasikan menjadi sel

CD4 dan CD8. CD4 akan mengenali antigen spesifik dan berasosiasi dengan

molekul MHC kelas II, CD8 mengenali antigen yang bergabung dengan molekul

MHC kelas I. Berdasarkan sitokin yang diproduksinya, sel CD4 terbagi menjadi

(30)

dan sel Th1 yang berperan dalam respon inflamasi terhadap benda asing (Putri,

2012).

Sistem imum spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem selular

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

a. Sistem imun spesifik humoral

Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limposit B

atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal multipoten di

sumsum tulang (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Sel B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi,

berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi.

Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah

pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralkan

toksinnya (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

b. Sistem imun spesifik selular

Pemeran utamanya adalah limfosit T atau sel T. Sel ini juga berasal dari

sel yang sama seperti sel B. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah

pertahanan terhadap bakteri yang intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan.

Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa subset sel dengan fungsi yang

berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr

atau TH3. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan

makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi

(31)

C. Hipersensitivitas Tipe Lambat

Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya

menguntungkan bagi tubuh, biasanya berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi

atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak

menguntungkan bagi tubuh, berupa penyakit yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Komponen sistem imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang

menimbulkan reaksi hipersentitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan

reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal

sebelumnya (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gel (1963)

dibagi dalam empat tipe reaksi dan hipersensitivitas tipe lambat atau

Delayed-Type Hypersensitivity/DTH termasuk hipersensitivitas tipe IV (Baratawidjaja dan

Rengganis, 2010). Reaksi tipe IV berbeda dengan ketiga reaksi lainnya karena

reaksi ini tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel dari limfosit T

(Kresno, 2010). Dalam mekanisme yang diaktivasi sel T, respon DTH termasuk

hipersensitivitas tipe IV A karena CD4+ sel T merespon antigen yang masuk

dengan menghasilkan sitokin yang dapat menstimulasi terjadinya inflamasi dan

mengaktifkan fagositosis, yang menyebabkan kerusakan jaringan (Abbas,

(32)

Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV menurut Gell dan Coombs

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)

Reaksi khas DTH mempunyai dua fase yang dapat dibedakan yaitu fase

sensitasi dan fase efektor. Pada fase sensitasi sel T diaktifkan oleh APC (

Antigen-Presenting Cell) melalui MHC-II dan membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak

primer dengan antigen. Berbagai APC seperti sel Langerhans dan makrofag akan

menangkap antigen dan membawanya ke kelenjar limfoid untuk dipresentasikan

ke sel T. Sel T yang aktif, umumnya CD4+ terutama Th1. Pajanan berulang

dengan antigen ini dapat menginduksi sel efektor. Pada fase efektor, sel Th1

melepas berbagai sitokin (IFN-γ dan TNF) yang mengerahkan dan mengaktifkan

makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat infeksi. Fungsi dari produk-produk

tersebut adalah sebagai mediator inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Reaksi DTH dapat terjadi sebagai kerusakan tambahan selama proses dari respon

(33)

injeksi antigen dan maksimal pada 24 sampai 48 jam (Abbas, Lichtman, and Pillai,

2010).

D. Inflamasi

Reaksi radang atau inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap infeksi,

antigen lain atau kerusakan jaringan (Wahab dan Julia, 2002).

Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH. TNF dan

IL-1 yang merupakan sitokin dari sel Th1 yang biasanya berperan pada peristiwa ini

(Murphy et aL., 2008; Abbas, Litchman, dan Pillai, 2010; Baratawidjaja dan

Rengganis, 2010). Pada inflamasi terjadi peningkatan aliran darah karena

vasodilatasi di tempat terjadinya infeksi atau kerusakan jaringan sehingga

pembuluh kapiler menjadi permeabel dan membuat cairan dapat keluar dari

pembuluh kapiler ke jaringan dan bergerak ke tepat sasaran akibat khemotaksis

tadi. Akibat proses di atas maka gambaran klinis dari inflamasi adalah: kemerahan

(rubor), panas (kalor), pembengkakan (tumor) dan rasa sakit (dolor) (Kresno,

2010) dan functio laesa (kehilangan fungsi) (Pratiwi, 2011). Setelah terjadi cedera

jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di

jaringan tempat terkena sehingga menimbulkan perdarahan. Permeabilitas

vaskular yang meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang

menimbulkan edema (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pejamu terhadap

mikroorganisme yang masuk tubuh serta penyembuhan luka yang membutuhkan

(34)

perbaikan jaringan. Reaksi inflamasi dapat berhenti sendiri atau responsif

terhadap terapi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010).

E. Imunomodulator

Imunomodulator merupakan senyawa yang mampu mempengaruhi

sistem imun atau sistem kekebalan tubuh. Berdasarkan efek yang ditimbulkannya,

imunomodulator terbagi menjadi imunostimulan dan imunosupresan (Sari, 2008).

Imunostimulasi atau imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi

sistem imun dengan menggunakan imunostimulan, yaitu bahan yang merangsang

imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010). Imunostimulan dikategorikan dalam

dua bagian, yaitu imunostimulan spesifik dan imunostimulan nonspesifik.

Imunostimulan spesifik adalah suatu bahan yang bersifat antigenik spesifik dalam

memberikan respon imun, seperti vaksin dan beberapa antigen, sedangkan

imunostimulan nonspesifik adalah zat yang beraksi tidak hanya pada satu

antigenik spesifik untuk menambah respon imun dari antigen lain atau dapat

meningkatkan komponen dari sistem imun tanpa sifat antigenik spesifik, seperti

adjuvan (Sari, 2008).

Imunosupresi adalah suatu tindakan untuk menekan respons imun dengan

imunosupresan. Bahan obat yang mengandung imunosupresi digunakan pada

pasien yang akan menjalani transplantasi dan penyakit autoimun karena

kemampuannya dalam menekan respon imun (Baratawidjaja dan Rengganis,

2010). Sangat berguna dalam klinik terutama pada translpantasi dalam usaha

(35)

menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun dan autoinflamasi.

Pengaruh senyawa tertentu untuk menaikkan maupun menekan respon imun dapat

tergantung pada dosis, rute pemberian atau waktu pemberian. Tipe aktivitas dari

senyawa-senyawa tersebut tergantung pula pada mekanisme aksi ataupun tempat

aksinya (Bellanti, 1993).

F. Landasan Teori

Madu kelengkeng adalah madu jenis monoflora, yang diperoleh dari satu

tumbuhan utama saja. Produk alam dari lebah ini sangat bermanfaat untuk

meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh (imunomodulator). Madu sendiri

mengandung berbagai senyawa organik dan senyawa yang diduga dapat

meningkatkan sistem imun adalah flavonoid. Flavonoid bersifat antioksidan, yang

di dalam tubuh manusia menjadi zat yang sangat kuat untuk mendukung sistem

kekebalan tubuh alami manusia pada tingkat seluler, oleh karena itu diduga

flavonoid dari madu kelengkeng inilah yang nantinya akan mempengaruhi sistem

imun. Bila ada antigen yang masuk, sistem imun tubuh akan mengaktivasi sel

efektor yang diperantarai oleh sel T, sel T melepas berbagai sitokin yang

mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat

infeksi. Inflamasi ini bertujuan untuk memusatkan agen pertahanan tubuh ke

lokasi yang terinfeksi dan mengeliminasi antigen tersebut, namun di sisi lain dapat

menimbulkan kerusakan jaringan, dan reaksi ini dinamakan hipersensitifitas tipe

lambat atau Delayed-Type Hypersensitivity (DTH). Peningkatan terhadap respon

(36)

yaitu madu kelengkeng, memiliki efek stimulan terhadap limfosit dan berbagai

sel-sel lain yang berperan menimbulkan respon tersebut, khususnya respon

hipersensitivitas tipe lambat yang menimbulkan inflamasi.

G. Hipotesis

Pemberian madu kelengkeng (Nephelium longata L.) memiliki pengaruh

berupa peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type

(37)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni dengan rancangan acak

pola searah. Eksperimental murni adalah penelitian dengan memberikan

percobaan terhadap kelompok perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok

kontrol yang tidak dikenai perlakuan. Rancangan acak merupakan cara

menetapkan sampel yang digunakan dalam penelitian dengan pengacakan agar

setiap sampel memperoleh kesempatan yang sama untuk dapat masuk ke dalam

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pola searah ditunjukkan dengan

diberikannya perlakuan yang sama pada kelompok perlakuan, yaitu pemberian

larutan madu kelengkeng. Penelitian ini menggunakan subjek uji tikus putih

jantan galur Wistar yang diperoleh dari Laboratorium Imono Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Kriteria inklusi yaitu tikus putih jantan, berat badan lebih

kurang 200-300g, berumur 2-3 bulan, sehat, bergalur Wistar. Kriteria eksklusi

adalah tikus mati selama perlakuan. Penelitian dilakukan di Laboratorium

(38)

B. Variabel dan Definisi Operasional A. Variabel penelitian

a. Variabel utama

1) Variabel bebas : dosis madu kelengkeng

2) Variabel tergantung : peningkatan volume bengkak pada telapak

kaki kiri tikus

b. Variabel pengacau

1) Variabel yang dikendalikan : jenis makanan, variasi genetik, jenis

kelamin, berat badan, umur dan

galur tikus.

2) Variabel yang tidak terkendali : kondisi psikologis dan

patofisiologis tikus

B. Definisi operasional

a. Madu kelengkeng. Madu kelengkeng (Nephelium longata L.) atau madu

monoflora merupakan madu yang diperoleh dari satu tumbuhan utama.

b. Hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas adalah peningkatan

reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipejankan atau

dikenal sebelumnya. Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah

terjadi pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH,

sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang

menimbulkan kerusakan jaringan dan menyebabkan inflamasi.

c. Inflamasi. Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap

(39)

reaksi DTH. Inflamasi merupakan respons fisiologis terhadap berbagai

rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan.

C. Bahan Penelitian 1. Madu kelengkeng (Nephelium longata L.)

Madu yang digunakan adalah madu kelengkeng yang diperoleh dari salah

satu distributor madu di Yogyakarta, yaitu PT. Madu Pramuka.

2. Hewan uji

Tikus putih jantan galur Wistar umur 2-3 bulan berat 200-300 g yang

diperoleh dari Laboratorium Imono Hayati Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Antigen

Sel Darah Merah Domba (SDMD) sebagai antigen yang dibuat dalam

bentuk suspensi dengan konsentrasi 1% dengan pelarut Phosphate Buffer

Saline (PBS) steril pH 7,2.

4. Bahan uji respon Delayed-Type Hypersensitivity (DTH)

Suspensi SDMD 1% sebagai antigen.

D. Alat penelitian

Alat yang digunakan dari preparasi sampel sampai pengujian respon

Delayed-Type Hypersensitivity (DTH) adalah gelas beker, mikropipet (Gilson),

pipet ukur, effendorf tube, Laminar Air Flow (Nuraire), sentrifuge (Primo R),

(40)

(Terumo), alat timbang hewan uji, pletismometer atau jangka sorong (Digital

Caliper “Wipro” 0-150mm).

E. Tata Cara Penelitian 1. Pengumpulan sampel

Madu kelengkeng yang digunakan diperoleh dari salah satu

distributor madu di Yogyakarta, yaitu PT. Madu Pramuka.

2. Tahap penentuan dosis madu kelengkeng

Menurut penelitian Kasih (2012) yang diacu dari (Suranto, 2007),

penggunaan madu untuk pencegahan penyakit pada manusia adalah 1-2 kali

sehari. Satu sendok makan berarti 15 mL dan disini peneliti mengambil

dosis penggunaan madu yang maksimum, yaitu dua sendok makan (30 mL)

dan bila dikonversikan dari manusia 70 kg ke tikus 200 g dengan faktor

konversi 0,018 (Laurence & Bacarach, 1964) maka akan ditemukan dosis

yang sesuai untuk tikus adalah sebagai berikut:

Dosis madu kelengkeng untuk tikus 20 g adalah:

= 0,018 x 30 mL

= 0,54 mL/200 g BB tikus ≈ 0,60 mL/200 g BB

Mengambil secukupnya madu kelengkeng dari wadahnya dan

masukkan dalam gelas beker. Suntikkan secara oral pada tikus selama

(41)

3. Penyiapan antigen

Antigen yang digunakan adalah suspensi Sel Darah Domba Merah

(SDMD) 1% yang SDMD nya diperoleh dari Balai Kesehatan (Balkes)

Yogyakarta dan pembuatannya menjadi supsensi SDMD 1% dilakukan di

Lembaga Pengembangan Penelitian Terpadu (LPPT) Unit III Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta.

Berdasarkan penelitian Kumala (2012) dan Achyat (2008), darah

domba segar yang telah diberi antikoagulan disentrifugasi dengan kecepatan

3000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan plasma dari sel darah merah.

Lapisan bagian atas yang berupa plasma dibuang dengan pipet ukur maupun

mikropipet dan lapisan bagian bawah yang berupa endapan sel darah merah

ditambahkan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) steril pH 7,2 sebanyak

tiga kali volume SDMD yang tersisa. Tabung yang sudah berisi campuran

endapan SDMD dan PBS dibolak-balik dengan perlahan-lahan sampai

SDMD tersuspensi secara homogen dan disentrifugasi kembali dengan

kecepatan 3000 rpm. Prosedur ini diulang sampai lapisan atas benar-benar

jernih. Lapisan atas yang jernih dibuang dan lapisan bawah yang digunakan

dan merupakan suspensi SDMD 100%. Jika akan digunakan ambil 0,5 ml

suspensi SDMD 100% lalu tambahkan PBS dengan volume yang sama

sehingga didapat suspensi SDMD 50%. Untuk mendapatkan suspensi

(42)

4. Tahap pra perlakuan hewan uji

Sebelum penelitian dilaksanakan semua hewan uji ditimbang

beratnya dengan tujuan hewan uji yang digunakan memang sudah masuk

kriteria inklusi. Kemudian, hewan uji diadaptasi selama satu minggu di

Laboratorium Farmakologi-Toksikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta untuk penyesuaian diri terhadap lingkungannya.

5. Tahap orientasi dosis madu kelengkeng

Tikus dibagi secara random menjadi empat kelompok, yaitu satu

kelompok kontrol negatif dan tiga kelompok perlakuan, dengan

masing-masing kelompok berjumlah tiga ekor, sehingga total tikus yang digunakan

ada 12 ekor. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:

Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan

apapun, hanya diberi makan AD II dan minum aquadest.

Kelompok perlakuan 1 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 0,60 mL/200 g BB tikus.

Kelompok perlakuan 2 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 1,20 mL/200 g BB tikus.

Kelompok perlakuan 3 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 2,30 mL/200 g BB tikus.

Semua hewan uji, kecuali kelompok kontrol negatif, diperlakukan

dengan diberi larutan madu kelengkeng secara per oral selama delapan hari.

Hari ke-0, semua hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen I

(43)

madu kelengkeng dan hari ke-8 dilakukan injeksi antigen II sebanyak 0,5

mL pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan, namun sebelum diinjeksi

antigen dan diberi larutan madu kelengkeng, telapak kaki kiri hewan uji

diukur dahulu secara plethysmometrically atau menggunakan jangka sorong

digital sebagai data pre-DTH. Setelah 24 jam sejak antigen II dinjeksikan,

telapak kaki kiri hewan uji diukur menggunakan jangka sorong digital

sebagai data post-DTH. Hasil percobaan dari tahap orientasi dosis ini akan

digunakan pada tahap percobaan berikutnya.

6. Tahap percobaan

Tikus dibagi secara random menjadi empat kelompok, yaitu satu

kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan, dengan masing-masing

kelompok berjumlah lima ekor, sehingga total jumlah tikus yang digunakan

sebanyak 20 ekor. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:

Kelompok kontrol negatif : kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan

apapun, hanya diberi makan AD II dan minum aquadest.

Kelompok perlakuan 1 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 0,60 mL/200 g BB tikus.

Kelompok perlakuan 2 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 1,20 mL/200 g BB tikus.

Kelompok perlakuan 3 : kelompok tikus yang diberi larutan madu

kelengkeng dengan dosis 2,30 mL/200 g BB tikus.

Semua hewan uji, kecuali kelompok kontrol negatif, diperlakukan

(44)

Hari ke-0, semua hewan uji terlebih dahulu diinjeksi dengan antigen I

berupa suspensi SDMD 1% 2 mL secara peritoneal sebelum diberi larutan

madu kelengkeng dan hari ke-8 dilakukan pula injeksi antigen II sebanyak

0,5 mL pada telapak kaki sebelah kiri secara subkutan, namun sebelum

diinjeksi antigen dan diberi larutan madu kelengkeng, telapak kaki kiri

hewan uji diukur dahulu secara plethysmometrically atau menggunakan

jangka sorong digitalsebagai data pre-DTH. Setelah 24 jam sejak antigen II

dinjeksikan, telapak kaki kiri hewan uji diukur menggunakan jangka sorong

digital sebagai data post-DTH.

7. Pengukuran respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type Hypersensitivity/ DTH)

Pada hari ke-8 telapak kaki kiri tikus secara plethysmometrically

atau menggunakan jangka sorong digital sebagai data pre-DTH. Pada hari

ke-9, tepat 24 jam sejak antigen II diinjeksikan, telapak kaki kiri tikus

diukur lagi secara plethysmometrically atau menggunakan jangka sorong

digital sebagai data post-DTH dengan melihat seberapa peningkatan volume

bengkak telapak kaki kiri tikus. Selisih dari peningkatan volume bengkak

telapak kaki kiri tikus berdasarkan data pre dan post ini lah yang digunakan

(45)

F. Analisis Hasil

Data yang diperoleh selanjutnya dievaluasi secara statistik dengan

melakukan uji normalitas dengan metode Kolmogorov-Smirnov dan Levene

test untuk melakukan uji homogenitas data. Data yang terdistribusi normal

dan bervarian homogen (p >0,05) dilanjutkan dengan uji one way ANOVA

dengan taraf kepercayaan 95%, selanjutnya jika terdapat perbedaan yang

(46)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian madu

kelengkeng terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat atau Delayed-Type

Hypersensitivity (DTH). Respon DTH dapat dilihat dari selisih peningkatan

volume bengkak telapak kaki kiri tikus putih jantan galur Wistar yang merupakan

gejala klinis dari inflamasi dan hasil pengukurannya dianalisis secara statistik

menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah distribusi

normal data, dilanjutkan dengan Levene test untuk mengetahui homogenitas data,

untuk selanjutnya diuji dengan one way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.

Jika terdapat perbedaan bermakna pada data dapat dilanjutkan dengan uji post hoc

Tukey.

A. Identifikasi Senyawa Uji

Senyawa uji yang digunakan adalah madu kelengkeng yang diperoleh

dari salah satu distributor madu di Yogyakarta, yaitu PT. Madu Pramuka

(lampiran 3). Tujuan dilakukan identifikasi senyawa uji adalah untuk mengetahui

kebenaran dan keaslian dari madu kelengkeng yang digunakan peneliti, apakah

(47)

Ada beberapa cara sederhana untuk mengidentifikasi keaslian madu,

yaitu:

1) Menguji keaslian madu menurut Ihsan (2011), dengan menuangkan madu ke

segelas air, madu murni langsung mengendap dan tidak bercampur dengan

air, jadi air tetap jernih.

2) Menurut Sulaiman (2010), dengan mencairkannya di dalam air yang

massanya lima kali lipat. Biarkan sampai keesokan hari, jika didalamnya

terdapat zat-zat aneh yang mengendap di dasar wadah, berarti madu tersebut

bukan madu yang bagus.

3) Menurut Al-‘Id (2010), bila madu ditumpahkan dalam sebuah bejana atau

wadah dan tetesannya menjadi seperti benang dan tidak terputus, maka madu

yang diuji bukan madu palsu.

4) Cara paling gampang untuk menguji madu adalah dengan mencium bau

madunya, jika tercium aroma madu bercampur dengan aroma tumbuhan yang

madunya dihisap oleh lebah – di mana aroma akan tercium seperti aroma

tumbuhan tersebut – berarti madu itu asli (Sulaiman, 2010).

Hasil yang dilakukan peneliti dengan menggunakan keempat cara di atas

menunjukkan madu kelengkeng yang diuji penguji adalah madu asli, dengan

menunjukkan cairan madu tetap jernih dan langsung mengendap tanpa bercampur

dengan air, tidak terdapat zat-zat asing yang mengendap di dasar wadar ketika

dibiarkan sampai keesokan hari, tetesan madu ketika ditumpahkan ke wadah

(48)

peneliti tercium aroma buah kelengkeng sehingga semakin menegaskan madu

yang digunakan peneliti adalah benar dan asli (Lampiran 4).

B. Penyiapan Antigen

Sistem imun tubuh memiliki kemampuan mengenali molekul asing

(antigen) dan membangkitkan respon imun untuk memberikan reaksi yang tepat

dan digunakanlah suspensi Sel Darah Domba Merah (SDMD) 1% sebagai antigen

untuk membangkitkan respon imun tersebut.

SDMD merupakan imunogen, yaitu antigen yang berasal dari gen spesies

lain. Suspensi SDMD 1% dipilih untuk imunisasi karena sifat antigeniknya yang

tinggi dan mudah diperoleh. SDMD juga mudah diukur dan ketika terjadi lisis

maka bisa dibuat lagi dengan mudah serta lebih aman bila dibandingkan dengan

bakteri bila digunakan sebagai antigen.

Pada pembuatan SDMD menjadi supsensi SDMD 1%, dilakukan

sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dengan tujuan untuk

mengendapkan sel darah merah dan memisahkannya dengan bagian plasma.

Lapisan bagian atas yang berupa plasma dibuang dan lapisan bagian bawah yang

berupa endapan sel darah merah ditambahkan larutan Phosphate Buffer Saline

(PBS) steril pH 7,2 sebanyak 3 kali volume SDMD yang tersisa untuk dilakukan

pencucian supaya memastikan semua komponen sel penyusun darah yang

dibutuhkan telah mengendap pada dasar tabung dan menggunakan PBS dengan

pH 7,2 supaya antara darah dan larutan pencuci tetap isotonis dan tidak terjadi

(49)

dibolak-balik sampai SDMD tersuspensi secara homogen dan disentrifugasi kembali.

Prosedur ini diulang sampai lapisan atas benar-benar jenih pada lapisan atasnya.

SDMD ini dapat disimpan selama 30 hari dalam kulkas atau es (4oC)

(Mulyaningsih, 2007).

C. Tahap Orientasi Dosis Madu Kelengkeng

Tahap orientasi dosis bertujuan untuk mengetahui dosis yang dapat

mempengaruhi respon DTH, yang selanjutnya akan digunakan pada tahap

percobaan.

Pada penelitian ini, kontrol negatif dibandingkan dengan kelompok

perlakuan dengan tujuan untuk melihat kemampuan tikus dalam merespon reaksi

DTH tanpa dan dengan adanya pengaruh suatu senyawa yang dapat meningkatkan

respon imun.

Penyuntikan perlakuan yaitu pemberian madu kelengkeng secara oral

dengan 3 peringkat dosis, yang dilakukan selama delapan hari berturut-turut

sebagai masa penyesuaian tubuh tikus terhadap pemberian madu kelengkeng yang

diharapkan dapat menimbulkan pengaruh, yaitu berupa peningkatan ataukah

penurunan volume bengkak kaki yang muncul pada telapak kaki kiri tikus ketika

diberikan antigen I pada hari ke-1 dan antigen II pada hari ke-8.

Menurut Subowo (cit., Sasmito, 2006), induksi antigen dilakukan

bertujuan untuk membangkitkan imunitas yang efektif sehingga terbentuk sel-sel

(50)

sel-sel memori yang terbentuk akan semakin banyak dan semakin cepat

menimbulkan respon imun yang tepat.

Dalam penelitian ini, induksi SDMD 1% dilakukan sebanyak dua kali

dengan tujuan menurut Hia (2007), induksi pertama akan menghasilkan respon

imun primer yang bertujuan untuk mengenalkan antigen dan mampu membentuk

sel memori yang dapat hidup lama yang berfungsi untuk mengingat antigen ketika

antigen yang sama dipaparkan kedua kalinya.

Induksi antigen I secara peritoneal yang diberikan pada hari ke-0 dan

menurut penelitian dilakukan Zurmiati (2008), pengenalan antigen dilakukan pada

hari pertama bertujuan agar proses pengenalan antigen oleh sel T lebih cepat dan

membentuk sel memori untuk mengingat antigen yang sama ketika dipajankan

untuk kedua kalinya. Diinduksi dengan metode penyuntikan secara peritoneal

dikarenakan metode ini paling sering dipakai dan rongga peritoneal yang relatif

besar sehingga volume antigen yang diinjeksikan dapat lebih banyak dibanding

teknik lainnya. Jika disuntikkan secara intravena dikhawatirkan akan menyumbat

pembuluh darah dan jika disuntikkan secara intramuskular dikhawatirkan dapat

menimbulkan kerusakan lokal jaringan atau otot karena otot yang relatif lebih

kecil areanya. Fase ini disebut fase sensitasi, dimana sel T diaktifkan oleh APC

(Antigen-Presenting Cell) melalui MHC-II dan kemudian mengaktfikan CD4+

terutama Th1. Th1 kadangkala dikenal sebagai limfosit peradangan (Subowo,

2009). Membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer dengan antigen dan

(51)

Pada fase efektor, pemberian antigen kedua atau induksi kedua akan

menghasilkan respon sekunder yang akan mengaktifkan sel-sel memori pada

respon imun primer sebelumnya sehingga menghasilkan respon imun yang lebih

cepat dan lebih spesifik. Induksi antigen II diberikan pada hari ke-8 secara

subkutan di kaki kiri tikus dengan tujuan mempercepat respon DTH pada lokasi

pengukuran bengkak telapak kaki tikus dan hari ke-8 dianggap tepat untuk

diinduksi antigen kedua, karena pada fase efekctor, sel Th1 melepas berbagai

sitokin dan sel-sel imun yang berperan dalam respon DTH dikerahkan menuju

lokasi yang telah diinduksi.

Sebelum disuntik antigen II, kaki kiri tikus diukur dengan jangka sorong

digital sebagai data pre-DTH. setelah disuntik antigen II dan gejalanya baru

tampak sesudah 24 jam, maka diukur lagi sebagai data post-DTH. Tujuan adanya

data pre-DTH adalah berguna sebagai kontrol seberapa besar pembentukan sel

memori dalam pengenalan antigen I dan dibandingkan dengan data post-DTH

setelah penyuntikan antigen II yang dapat menimbulkan respon imun lebih cepat

(dengan membuat bengkak di telapak kaki kiri tikus yang pada penelitian ini

merupakan gambaran klinis dari inflamasi yang diukur) akibat sel memori

sebelumnya yang menjadi aktif. Selisih antara data pre dan post ini lah yang

digunakan dalam pengukuran respon DTH yang nantinya akan menunjukkan

seberapa besar respon DTH yang terjadi. Bila ada antigen (agen infeksi) yang

masuk, maka akan melakukan invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi

(Basuki, 2005). Reaksi inflamasi termasuk dalam karakteristik reaksi DTH.

(52)

respon DTH dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk mengukur

terjadinya respon imun seluler.

Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov data aktivitas selisih

peningkatan bengkak kaki kiri tikus sebagai respon DTH menunjukkan bahwa

data terdistribusi normal dengan nilai signifikan p= 0,58 (p>0,05) dan dilanjutkan

dengan hasil Levene test menunjukkan varian data yang homogen dengan nilai

p= 0,25 (p>0,05) (Lampiran 8).

Tabel I. Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi

Kelompok N Rata-rata ± SD p Kontrol negatif 3 0,84±0,63

Perlakuan I 3 0,84±0,84 0,35(BTB) Perlakuan II 3 1,52±0,52

Perlakuan III 3 1,06±0,55 Ket. Kontrol negatif : tanpa perlakuan

(53)

Gambar 3. Grafik Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki sebagai Respon DTH pada Tahap Orientasi

Ket. Kontrol negatif : tanpa perlakuan

Perlakuan I : madu kelengkeng dosis 0,60 mL/200 g BB Perlakuan II : madu kelengkeng dosis 1,20 mL/200 g BB Perlaukan III : madu kelengkeng dosis 2,30 mL/ 200 g BB

Hasil pengujian statisik menggunakan one way ANOVA (Tabel 1)

menunjukkan perbedaan tidak bermakna p=0,35 (p>0,05) antara kelompok

perlakuan madu kelengkeng dengan kelompok kontrol negatif. Dilihat pada tabel I

dan gambar 3, dosis pemberian madu kelengkeng 1,20 mL/200 g BB

menunjukkan peningkatan, yang berarti pada pemberian madu kelengkeng dosis

tersebut sudah bisa meningkatkan respon DTH walaupun pada kelompok

perlakuan I madu kelengkeng dosis 0,60 mL/200 g BB dan perlakuan III madu

kelengkeng dosis 2,30 mL/ 200 g BB menunjukkan penurunan nilai rata-rata

dibandingkan kelompok kontrol negatif, namun hasil dari tahap orientasi ini bisa

mendasari untuk dilakukan ke tahap percobaan. 0

Kontrol Negatif Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III

(54)

Pertimbangan tetap melanjutkan ke tahap percobaan dengan

mempertahankan dosis pemberian madu kelengkeng yang sudah diteliti di tahap

orientasi dikarenakan beberapa hal, yaitu 1) pemberian madu kelengkeng dosis III

2,30 mL/ 200 gBB menunjukkan penurunan nilai rata-rata (Tabel I) yang berarti

terjadi penurunan respon DTH dan apabila dosis pemberian madu kelengkeng

ditingkatkan dimungkinkan akan semakin menurunkan respon DTH, selain itu

bila dinaikkan dosisnya satu kali lagi menjadi 4,60 mL/200 g BB maka akan

mencapai volume maksimum pemberian oral pada tikus, yaitu 5,00 mL dan

membuat larutan madu kelengkeng akan semakin susah dikeluarkan melalui squit

serta ditakutkan bisa memicu terjadinya stres dan kematian di hewan uji; 2)

pemberian madu kelengkeng dosis I 0,60 mL/200 g BB menunjukkan nilai

rata-rata yang sama dengan nilai rata-rata-rata-rata kontrol negatif (Tabel I) yang berarti pada

dosis I belum bisa memicu terjadinya peningkatan respon DTH yang signifikan

dan apabila dosis diturunkan, dikhawatirkan akan semakin tidak menunjukkan

hasil peningkatan respon DTH.

D. Pengaruh Pemberian Madu Kelengkeng Dosis 0,60 ml/ 200 g BB; 1,20 ml/ 200 g BB; dan 2,30 ml/ 200 g BB Pada Tahap Percobaan

Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov data aktivitas selisih

peningkatan bengkak kaki kiri tikus sebagai respon DTH menunjukkan bahwa

data terdistribusi normal dengan nilai signifikan p=0,503 (p>0,05) dan hasil

Levene test menunjukkan varian data sudah homogen dengan nilai signifikan

(55)

Tabel II. Rata-rata±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki sebagai Respon DTH Terhadap Pengaruh Pemberian Madu Kelengkeng

Kelompok n Rata-rata±SD P Kontrol negatif 5 1,28±0,36

0,60(BTB) Perlakuan I 5 1,40±0,24

Perlakuan II 5 1,52±0,49 Perlakuan III 5 1,35±0,43 Ket. Kontrol negatif : tanpa perlakuan

Perlakuan I : madu kelengkeng dosis 0,60 mL/200 g BB Perlakuan II : madu kelengkeng dosis 1,20 mL/200 g BB Perlaukan III : madu kelengkeng dosis 2,30 mL/ 200 g BB (BTB) : berbeda tidak bermakna

Gambar 4. Grafik Rata-rata ±SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki Sebagai Respon DTH Terhadap Pengaruh Pemberian Madu Kelengkeng Ket. Kontrol negatif : tanpa perlakuan

Perlakuan I : madu kelengkeng dosis 0,60 mL/200 g BB Perlakuan II : madu kelengkeng dosis 1,20 mL/200 g BB Perlaukan III : madu kelengkeng dosis 2,30 mL/ 200 g BB

Hasil selisih peningkatan volume bengkak kaki kiri tikus sebagai tanda

respon DTH terhadap pengaruh pemberian madu kelengkeng menggunakan

statistik one way ANOVA (Tabel II) menunjukkan nilai p = 0,60 (p>0,05),

yang berarti antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan

pemberian madu kelengkeng terdapat perbedaan tidak bermakna. Dilihat pada 0

Kontrol Negatif Perlakuan I Perlakuan II Perlakuan III

(56)

tabel II dan gambar 4, terlihat adanya peningkatan yang lebih tinggi terhadap

respon DTH pada pemberian dosis madu kelengkeng 1,20 mL/200 gBB

dibandingkan dosis pemberian madu kelengkeng 0,60 mL/ 200 gBB dan

mengalami penurunan terhadap respon DTH pada dosis pemberian madu

kelengkeng 2,30 mL/ 200g BB, walaupun masih bisa dikatakan meningkat bila

dibandingkan kelompok kontrol negatif.

Hal ini kemungkinan terjadi karena pengaruh pemberian madu

kelengkeng dalam meningkatkan respon imun dalam tubuh (imunostimulan)

hanya sampai batas tertentu saja, yang apabila batas tersebut sudah tercapai

maka efeknya akan menurun (imunosupressan). Hal ini didukung oleh

pernyataan Sriningsih (2006) yang menjabarkan beberapa contoh penelitian

efek imunitas dari ekstrak ataupun tanaman herbal yang menunjukkan bahwa

efek yang muncul sangat tergantung dari dosis uji, dimana efek

imunosupressan (menekan sistem imun) akan muncul ketika pengujian

dilakukan pada dosis tinggi dan efek imunostimulan (menstimulasi sistem

imun) akan muncul pada dosis rendah. Dikuatkan pula dengan pendapat Sakai

(cit., Ermantianingrum, et al., 2013) bahwa pemberian imunostimulan dengan

dosis tinggi mungkin tidak dapat menaikkan respon sistem pertahanan tubuh,

namun menghambatnya dan menurut Radiati, dkk. (2008), dosis senyawa uji,

teknik pemberian dosis senyawa uji ke dalam tubuh hewan maupun waktu

pemberian antigen yang dapat menentukan kekuatan respon imun yang

(57)

Penyebab madu kelengkeng bisa menimbulkan 2 pengaruh yang berbeda

dalam waktu yang bersamaan dimungkinkan karena kandungan senyawa

golongan flavonoid yang berdasarkan penelitian Siddia (2008), memang

ditemukan flavonoid dalam kandungan madu kelengkeng. Menurut Chiang,

Ng, Chiang, Chang, dan Lin (2003), salah satu senyawa yang digunakan

sebagai imunomodulator antara lain flavonoid dan Middleton et all (2000) juga

melaporkan bahwa flavonoid dapat berefek pada sel-sel imun seperti sel T, sel

B, makrofag, sel NK, basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, dan platelet.

Flavonoid dapat mempengaruhi respon imun spesifik secara kompleks karena

memiliki aksi bifase, yaitu flavonoid dapat menstimulasi proliferasi limfosit

pada konsentrasi rendah, namun pada konsentrasi tinggi justru menghambat

(Putri, 2012) dan menurut pendekatan yang dilakukan pada penelitian Arsani

(2010) dalam beberapa kasus, terjadi perbedaan aktivitas dari masing-masing

senyawa, khususnya flavonoid, dalam suatu ekstrak tanaman. Dosis yang

berbeda terkadang juga dapat memberikan efek yang berbeda, misalnya

Scutellaria baicalensis yang mengandung wogonin (salah satu jenis flavonoid)

yang pada konsentrasi rendah dapat meningkatkan produksi nitric oxide

sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat menghambbat produksinya. Hal ini

yang mungkin menjelaskan mengapa madu kelengkeng yang mengandung

flavonoid pada dosis 1,20 mL/200 gBB dapat meningkatkan respon DTH,

sedangkan pada dosis yang lebih tinggi tidak mampu meningkatkan respon

(58)

Secara keseluruhan, hewan uji yang diberi perlakuan madu kelengkeng

pada berbagai dosis tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna. Hal

ini berarti bahwa pemberian madu kelengkeng tidak memiliki pengaruh berupa

peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type

Hipersensitivity/DTH) pada tikus putih jantan galur Wistar. Akan tetapi, hasil

penelitian ini tidak dapat menunjukkan bahwa pemberian madu kelengkeng

tidak mampu mempengaruhi sistem imun karena penelitian ini hanya melihat

salah satu respon imun saja, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

terhadap parameter imunitas lain.

Adapun kelemahan atau kekurangan dari penelitian ini adalah tidak

dilakukannya standardisasi cara pengukuran, baik itu pada alat ukur yang

digunakan maupun pada pemeriksa atau orang yang melakukan pengukuran

sehingga pada penelitian selanjutnya bisa dilakukan pelatihan terhadap

pengukur maupun pemeriksa yang melakukan pengukuran supaya cakap dan

tepat untuk melakukan pengukuran dan kalibrasi pada alat yang bertujuan

untuk menghindari terjadinya bias pengukuran pada metode yang digunakan,

baik itu bias pemeriksa atau pengukur maupun bias alat ukur. Selain itu, dalam

penelitian ini hewan uji digunakan secara bersama dalam dua penelitian

sekaligus, sehingga dikhawatirkan hasil penelitian yang diperoleh saling

mempengaruhi, sehingga hal ini menjadi saran dalam penelitian selanjutnya

akan lebih baik jika tidak digunakan hewan uji secara bersama jika dilakukan

dua penelitian sekaligus agar hasil penelitian yang diperoleh bisa memberikan

(59)

42

A. Kesimpulan

Pemberian madu kelengkeng tidak memiliki pengaruh berupa

peningkatan respon hipersensitivitas tipe lambat (Delayed-Type

Hipersensitivity/DTH) pada tikus putih jantan galur Wistar.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap parameter imunitas lain yang

tidak diamati pada penelitian ini, seperti melakukan uji pengukuran titer

antibodi dan proliferasi limfosit.

2. Perlu dilakukan standardisasi cara pengukuran, baik itu pada alat ukur yang

digunakan maupun pada pemeriksa atau orang yang melakukan pengukuran.

3. Pada penelitian imun selanjutnya, akan lebih baik menggunakan hewan uji

yang terpisah atau tidak menggunakan hewan uji secara bersama dalam

Gambar

Tabel II. Rata-rata ± SD Hasil Selisih Peningkatan Volume Bengkak Kaki
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun .........................................................
Gambar 1. Gambaran Umum Sistem Imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2010)
Gambar 2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I, II, III, dan IV menurut Gell dan Coombs
+5

Referensi

Dokumen terkait

dikonversikan ke dalam PAP Skala V berada pada rentangan (55% - 64%) berarti bahwa keterampilan motorik halus siklus II berada pada kriteria rendah, (3) dengan menerapkan

Demikian surat tugas ini dibuat agar menjadi maklum dan dapat dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab.. Cikelet, 09 April 2018 Kepala

Hasil: Terdapat kadar timbal dalam rambut akibat paparan kronis pada sopir kendaraan umum di Kota Mataram dengan kadar rata – rata adalah 8,4085 μg/g dengan persentase 28,3% di

Franklin dan Snow (1985) serta Brander et al ., (1991) mengatakan bahwa mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik terjadi dengan cara penginaktifan obat,

Tujuan kegiatan pemantapan materi ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siswa Darul Abidin Desa Gerisak Semanggeleng Lombok Timur

1) Interaksi belajar-mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu siswa dalam suatu perkembangan tertentu. Kegiatan belajar menempatkan siswa sebagi pusat perhatian,

Menyebabkan kerusakan organ (hati, sistem pernafasan) melalui pemaparan yang berkepanjangan atau berulang.. Beracun ke kehidupan akuatik dengan efek yang

Gambar diatas juga merupakan proses dan teknik visual merchandiser tetapi proses dan teknik yang satu ini lebih berat karena merupakan bagian atau stand yang vital,