• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian ini menggunakan raw data Susenas modul konsumsi untuk

mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran perkapita rumahtangga untuk tahun 1999, 2002, dan 2005. Ada kemungkinan koefisien gini yang dihasilkan dalam penelitiani ini berbeda dengan koefisien gini yang sebelumnya sudah pernah dihitung oleh instansi-instansi resmi.

Banyak penelitian mengenai ketimpangan yang menggunakan berbagai sumber data yang ada di Indonesia. Sumber data yang paling sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan dan juga untuk mengestimasi angka-angka resmi ketimpangan adalah data SUSENAS. Selain SUSENAS, data yang sering digunakan untuk mengevaluasi ketimpangan adalah PDRB.

Diantara penelitian-penelitian yang menggunakan data SUSENAS dalam mnganalisa distribusi pendapatan dan ketimpangan di Indonesia, Hughes dan Islam (1981) dapat dikatakan sebagai salah satu perintisnya. Mereka menguji perubahan ketimpangan agregat untuk periode 1964-1976. Hasil penelitiannya adalah bahwa ketimpangan secara keseluruhan menurun pada periode 1964-1976. Ketimpangan di daerah perkotaan Jawa menunjukkan tidak ada perubahan dalam

12

periode 1964-1970, tetapi kemudian meningkat tajam dari 1970 sampai dengan 1976 seperti yang terukur oleh koefisien Gini. Sebaliknya, ketimpangan daerah perkotaan di luar Jawa menurun dengan tajam dalam periode 1964-1970 dan tetap konstan setelahnya. Ketimpangan di daerah perdesaan jawa dan luar jawa menurun secara signifikan pada 1964-1976 meskipun terjadi pada saat yang berbeda (tetapi di dalam masa 1964-1976). Penelitian ini meyakinkan bahwa efek yang paling dirasakan dari menggunakan penyesuaian perubahan harga relatif (relative price diffferential) adalah menurunkan andil variasi antar grup,

khususnya untuk pemisahan (dekomposisi) regional dan sektoral.

Asra (1989) menggunakan data SUSENAS tahun 1969-1981 dan menguji kembali tren ketimpangan dari 1969-1981 dengan melakukan penyesuaian ukuran-ukuran standard ketimpangan untuk pengaruh perubahan inflasi pada kelompok pengeluaran yang berbeda-beda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa jika penyesuaian tersebut dilakukan, ketimpangan di Indonesia sesungguhnya naik pada 1969-1970 dan 1976 tetapi setelahnya turun kembali sampai tahun 1981. Selain itu menemukan bahwa penyesuaian harga bukan hanya berpengaruh pada besaran nilai ketimpangan dalam salah satu periode, tetapi juga yang lebih penting, penyesuaian harga tersebut membalik tren ketimpangan yang ditunjukkan oleh indeks-indeks ketimpangan harga berlaku.

Dengan menggunakan teknik dekomposisi ketimpangan Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga SUSENAS untuk tahun 1987, 1990 dan 1993, Akita dan Lukman (1999) menemukan bahwa disparitas kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan nasional, sedangkan disparitas

13

antar provinsi adalah sebesar 12 persen sampai 14 persen dari total ketimpangan antara rumah tangga perkotaan dan 7 persen sampai 8 persen antara rumah tangga perdesaan. Kurva Kuznets yang dibuat berdasarkan data SUSENAS tahun 1993 menunjukkan nilai ketimpangan tertinggi sebesar 0,27 (menggunakan indeks Theil T) jika andil rumah angga perkotaan mencapai 53,2 persen; andil ini lebih besar dari pada angka aktual urbanisasi sebesar 32 persen.

Penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Akita et al (1999) menggunakan

teknik dekomposisi Theil terhadap data pengeluaran rumah tangga dari data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993 untuk menguji faktor-faktor yang ditengarai mempengaruhi ketimpangan di Indonesia, seperti lokasi (desa/kota), provinsi, usia, pendidikan, jenis kelamin dan ukuran rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang tidak signifikan dalam menjelaskan ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Temuan-temuan lainnya dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan intra provinsi adalah lebih besar dibanding ketimpangan antar provinsi, dan ketimpangan pengeluaran kota-desa adalah sebesar 22 persen sampai 24 persen dari total ketimpangan. Lebih jauh, tingkat ketimpangan perkotaan secara kontinyu semakin besar selama periode penelitian. Pada akhirnya, penelitian ini menemukan bahwa pendidikan merupakan determinan yang signifikan dari ketimpangan pengeluaran, karena komponen antar tingkat pendidikan memberikan kontribusi sebesar 30 persen sampai 33 persen terhadap total ketimpangan.

Akita dan Szeto (2000) menguji pengaruh program Inpres Desa Tertinggal (IDT) 1994-1996 di Indonesia terhadap perubahan ketimpangan intra-provinsi

14

antara tahun 1993 dan 1996. Melalui analisa regresi, mereka menemukan bahwa dana IDT per kapita per provinsi memilki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan ketimpangan pengeluaran intra provinsi antara 1993 dan 1996. Hasil yang sama diperoleh jika perubahan andil terendah sebesar 30 persen dari jumlah populasi dari tahun1993-1996 digunakan sebagai dependent variable.

Beberapa penelitian juga menggunakan data SUSENAS untuk menguji tren ketimpangan selama krisis finansial yang terjadi di Indonesia. Dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996 dan 1999 dan data mini SUSENAS tahun 1998, Said dan Widyanti (2001) menemukan penurunan ketimpangan selama masa krisis baik untuk daerah perkotaaan maupun perdesaan seperti yang diukur oleh koefisien Gini dan indeks-indeks Theil. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan ketimpangan diantara populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat berbeda dari perubahan ketimpangan dalam populasi keseluruhan. Pada kenyataannya, Koefisien Gini dan indeks Theil menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan populasi yang berada di bawah garis kemiskinan sesungguhnya meningkat selama masa krisis. Penurunan ketimpangan selama masa krisis juga ditemukan oleh Kadarmanto dan Kamiya (2005). Dengan menggunakan data konsumsi nominal SUSENAS, hasil dari penelitiannya adalah bahwa ketimpangan menurun pada tahun 1999 setelah meningkat tajam dari tahun 1990-1996. Selain itu juga ditemukan bahwa ketimpangan kembali naik pada tahun 2002. Lebih dari pada itu, penurunan ketimpangan selama masa krisis juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryadarma et al. (2005). Hasil

15

krisis, tetapi sesungguhnya pada populasi yang berada di bawah garis kemiskinan ketimpangannya adalah meningkat. Namun demikian, penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya karena penelitian ini mempertimbangkan perbedaan harga antara daerah yang dilakukan dengan cara merubah pengeluaran konsumsi nominal menjadi pengeluaran konsumsi riil menggunakan garis kemiskinan regional sebagai deflatornya.

Dengan menggunakan data PDRB provinsi, Akita dan Lukman (1995) menemukan bahwa ketimpangan antar provinsi yang diukur dengan menggunakan koefisien variasi tertimbang dengan menggunakan PDRB provinsi non-pertambangan per kapita adalah sangat stabil antara tahun 1975 dan 1992 meskipun pada saat itu terjadi perubahan struktur ekonomi yang cukup signifikan.

Banyak penelitian telah menguji dampak krisis ekonomi terhadap ketimpangan dengan menggunakan data SUSENAS. Dengan menggunakan data PDRB kabupaten dan data kependudukan dan kemudian dengan menggunakan metode dekomposisi two-stage nested, Akita dan Alisjahbana (2002)

menyimpulkan bahwa selama masa krisis, secara keseluruhan ketimpangan pendapatan seperti yang ditunjukkan indeks Theil menurun dari 0,287 di tahun 1997 menjadi 0,266 di tahun 1998, yang mana setara dengan tingkat ketimpangan pada tahun 1993-1994. Tetapi selama masa pertumbuhan yang tinggi, ketimpangan yang diukur menggunakan indeks Theil naik secara signifikan dari 0,262 di tahun 1993 menjadi 0,286 di tahun 1997. Penemuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Tjiptoherjanto dan Remi (2001). Dengan menggunakan indeks-indeks Theil T dan Theil L, hasil penelitiannya

16

menunjukkan bahwa ketimpangan menurun sejak tahun 1996-1998, suatu tren yang sangat jelas terlihat di daerah perkotaan dibanding di daerah perdesaan.

Tetapi suatu penelitian yang dilakukan oleh Skoufias et al (2000)

menemukan trend ketimpangan pendapatan yang berbeda selam masa krisis: dengan menggunakan data hasil survey 100 desa dan menggunakan deflator rumah tangga spesifik, mereka menghitung koefisien Gini dan menemukan ketimpangan meningkat dari 0,283 di tahun 1997 menjadi 0,304 di tahun 1998. Peningkatan ini dipicu oleh peningkatan ketimpangan di daerah perdesaan dibanding daerah perkotaan.

Dokumen terkait