• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daging buah labu kuning segar yang digunakan pada penelitian ini ternyata mengandung oligosakarida rafinosa (0,6120 g/100 bk), stakiosa (0,0363 g/100 g bk), verbaskosa (0,0060 g/100 g bk) dan total oligosakarida sebesar 0,6543 g/100 g bk (0,0468 g/100 g bb) dengan kadar air sebesar 92,84%.

Reduksi oligosakarida RFO melibatkan enzim α-D-galactoside galactohydrolase (EC 3.2.1.22) atau α-galaktosidase, merupakan golongan hidrolase yang memutus ikatan α-galaktosida pada substansi karbohidrat oligosakarida seperti pada senyawa yang dikenal dengan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO), yaitu rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa yang bersifat

non-pereduksi (Mital et al., 1975). Enzim ini umumnya dihasilkan pada kondisi kultur yang ditambahkan dengan satu atau lebih kelompok gula α-D- galaktopiranosil sebagai sumber karbon, bersifat terinduksi, intraselular, dan sebagian lain berikatan dengan membran pada kebanyakan mikroba (Garro et al., 1996; Yoon dan Hwang, 2008). Beberapa galur Lactobacillus sp. dan Leuconostoc sp. dilaporkan menghasilkan enzim α-galaktosidase dengan aktivitas tertinggi pada bagian intraselular (LeBlanc et al., 2004; Yoon dan Hwang, 2008).

Hasil uji statistik menunjukkan kadar total RFO tepung labu kuning tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan, kontrol rendam air destilata, dan kontrol tanpa rendam. Perbedaan spesies bakteri yang digunakan dan jumlah bakteri yang disuspensikan pada perendam tidak berpengaruh nyata terhadap kadar RFO tepung labu kuning.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap kadar senyawa total RFO (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 653,76 684,59 669,18 Lactobacillus brevis 610,39 603,94 607,16 Bifidobacterium longum 587,10 550,54 568,82 Leuconostoc mesenteroides 619,00 677,42 648,21 Rataan 617,56 629,12 623,34

Kontrol dengan perendaman 896,77

Kontrol tanpa rendam 1123,30

Segar 6543,00

Hasil analisis penetapan kadar total RFO tepung labu kuning dari delapan perlakuan dan dua kontrol menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan bakteri memberikan rataan kadar total RFO sebesar 623,34 ppm, lebih rendah dari kadar total RFO awal (segar) sebesar 6543,00 ppm dan dari tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman sebesar 1123,30 ppm (Tabel 4). Kadar total RFO tepung labu kuning paling rendah yaitu pada perlakuan perendaman dengan bakteri B. longum populasi 107 CFU/ml sebesar 550,54 ppm dan lebih rendah dari perlakuan populasi 106 CFU/ml sebesar 587,10 ppm. Perlakuan L.

brevis menghasilkan kadar total RFO tepung labu kuning sebesar 610,39 ppm untuk populasi 106 CFU/ml dan turun menjadi 603,94 ppm untuk populasi 107 CFU/ml (Tabel 4).

Berdasarkan nilai rata-rata, kadar total RFO semakin rendah dengan semakin tinggi populasi bakteri yang disuspensikan ke perendam kecuali untuk perlakuan bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides. Kadar total RFO tepung labu kuning perlakuan L. plantarum populasi 107 CFU/ml yaitu 684,59 ppm lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml yaitu 653,76 ppm dan untuk perlakuan L. mesenteroides populasi 107 CFU/ml yaitu 677,12 ppm lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml yaitu 619,00 ppm (Tabel 4). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas enzim α-galaktosidase. Aktivitas enzim α-galaktosidase dapat mengalami penurunan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah nilai pH. Mital et al. (1973) melaporkan bahwa α- galaktosidase dari laktobasili yang diujinya memiliki aktivitas optimum pada kisaran pH 5,2-5,9. Bakteri memfermentasi gula-gula monosakarida dan disakarida lebih banyak dan lebih cepat dengan semakin banyaknya populasi bakteri sehingga menghasilkan asam laktat yang lebih banyak dan menyebabkan penurunan pH yang lebih cepat. Penurunan pH hingga lebih rendah dari pH optimum aktivitas α-galaktosidase menyebabkan fermentasi RFO menjadi lambat. Yoon dan Hwang (2008) mendapatkan aktivitas relatif α- galaktosidase bakteri L. mesenteroides turun menjadi 60% pada pH 5,5. Mital dan Steinkraus (1975) menyatakan aktivitas α-galaktosidase dari L. plantarum menurun karena pH medium (sari kedelai) telah mencapai pH 4,5 yang menyebabkan hidrolisis partial dari stakiosa.

Berdasarkan persentase penurunan (dihitung terhadap kadar RFO labu kuning segar), jumlah RFO (rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa) labu kuning menurun rata-rata sebesar 90,47% untuk yang direndam dengan suspensi bakteri, 86,29% untuk yang direndam dengan air destilata, dan 82,83% untuk yang tidak direndam (Tabel 5). Besarnya reduksi RFO akibat perlakuan perendaman diketahui dari selisih antara persentase reduksi total tepung labu kuning perlakuan perendaman dengan kontrol tanpa perendaman. Selama perendaman dengan suspensi bakteri, RFO turun rata-rata sebesar 7,64%

(tertinggi 8,48% dan terendah 6,94%) sedangkan perendaman dengan air destilata menurunkan RFO sebesar 3,46%.

Tabel 5 Reduksi total RFO (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 90,01 * (7,18) ** 89,54 (6,71) 89,78 (6,94) Lactobacillus brevis 90,67 (7,84) 90,77 (7,94) 90,72 (7,89) Bifidobacterium longum 91,03 (8,20) 91,58 (8,75) 91,30 (8,48) Leuconostoc mesenteroides 90,54 (7,71) 89,65 (6,82) 90,10 (7,26) Rataan 90,56 (7,73) 90,38 (7,55) 90,47 (7,64)

Kontrol dengan perendaman 86,29

(3,46)

Kontrol tanpa rendam 82,83

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Persentase reduksi RFO rata-rata pada tepung labu kuning untuk perlakuan populasi 107 CFU/ml sebesar 7,55%, sedikit lebih rendah dari perlakuan populasi 106 CFU/ml yaitu 7,73%. Akan tetapi, reduksi RFO menggunakan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 8,75%, lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 8,20%. Berdasarkan besarnya persentase reduksi, bakteri B longum memiliki potensi yang baik dalam mereduksi total RFO.

a. Rafinosa

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar rafinosa tepung labu kuning setiap perlakuan tidak berbeda nyata, demikian pula dengan kontrol rendam air destilata dan kontrol tanpa rendam. Perbedaan spesies bakteri dan jumlah bakteri yang disuspensikan tidak berdampak nyata terhadap

kadar rafinosa tepung labu. Kadar rafinosa tiap perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap kadar rafinosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 460,57 501,43 481,00 Lactobacillus brevis 448,03 440,14 444,08 Bifidobacterium longum 425,09 389,25 407,17 Leuconostoc mesenteroides 449,46 488,53 469,00 Rataan 445,79 454,84 450,31

Kontrol dengan perendaman 669,18

Kontrol tanpa rendam 864,87

Segar 6120,00

Kadar RFO terbanyak pada labu kuning adalah rafinosa yaitu sebesar 6120,00 ppm (93,5% dari total RFO). Kadar rafinosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam adalah 864,87 ppm. Labu kuning yang direndam dengan suspensi bakteri menghasilkan kadar rafinosa tepung labu kuning yang lebih rendah rata-rata 450,31 ppm. Kadar rafinosa paling rendah diperoleh pada tepung labu kuning perlakuan rendam bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 389,25 ppm sedangkan populasi 106 CFU/ml sebesar 425,09 ppm. Kadar rafinosa tepung labu kuning perlakuan L. brevis menurun dari 448,03 ppm untuk populasi 106 CFU/ml menjadi 440,14 ppm untuk populasi 107 CFU/ml (Tabel 6).

Kadar rafinosa tepung labu kuning perlakuan L. plantarum populasi 107 CFU/ml sebesar 501,43 ppm, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 460,57 ppm. Sama halnya dengan perlakuan L. mesenteroides yang memberikan kadar rafinosa tepung labu kuning sebesar 488,53 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 449,46 ppm (Tabel 6). Perbedaan populasi bakteri memberikan rataan kadar rafinosa untuk perlakuan populasi 107 CFU/ml sebesar 454,84 ppm, lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 445,79 ppm. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemungkinan hal tersebut

disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim α-galaktosidase akibat pH yang lebih rendah tercapai pada populasi 107 CFU/ml.

Tabel 7 Reduksi rafinosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 92,47 * (6,60) ** 91,81 (5,94) 92,14 (6,27) Lactobacillus brevis 92,68 (6,81) 92,81 (6,94) 92,74 (6,88) Bifidobacterium longum 93,05 (7,18) 93,64 (7,77) 93,34) (7,48) Leuconostoc mesenteroides 92,66 (6,79) 92,02 (6,15) 92,34 (6,47) Rataan 92,72 (6,85) 92,57 (6,70) 92,64 (6,78)

Kontrol dengan perendaman 89,06

(3,19)

Kontrol tanpa rendam 85,87

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Berdasarkan Tabel 7, kadar rafinosa tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman menurun sebesar 85,87% dari kadar rafinosa labu kuning segar. Penurunan kadar rafinosa akibat perendaman dengan air destilata sebesar 3,19% dan akibat perendaman dengan suspensi bakteri adalah sebesar rata- rata 6,78%. Penurunan kadar rafinosa terbesar terjadi untuk perlakuan dengan perendaman bakteri B. longum. Reduksi rafinosa selama perendaman mencapai 7,48%.

Populasi bakteri 107 CFU/ml menghasilkan rataan reduksi rafinosa sebesar 6,70%, lebih kecil dibandingkan dengan populasi bakteri 106 CFU/ml sebesar 6,85%. Populasi bakteri B. longum sebesar 107 CFU/ml mampu mereduksi rafinosa tepung labu kuning sebesar 7,77%, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 7,18%. Akan tetapi, persentase reduksi rafinosa perlakuan bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides dengan

populasi 107 CFU/ml lebih kecil dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml.

Kelompok bifidobakteria dapat mengasimilasi rafinosa seefektif glukosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya (Xiao et al., 2000). Menurut Garro et al. (1999), rafinosa native maupun hasil hidrolisisnya dari stakiosa sudah tidak terdeteksi sejak awal proses fermentasi sari kedelai menggunakan B. longum. Scalabrini et al. (1998) juga melaporkan bahwa B. longum MB300 yang diujinya mereduksi rafinosa native sari kedelai hingga 56% pada proses fermentasi selama 24 jam dan tidak terdeteksi setelah fermentasi selama 48 jam. Untuk keperluan penggunaan rafinosa maka bifidobakteria menghasilkan enzim α-galaktosidase (Desjardins et al., 1990). Enzim α-galaktosidase merupakan enzim yang terinduksi dan disintesis oleh sel bakteri bila terdapat substrat yang sesuai yaitu senyawa α- galaktosida (misal rafinosa dan stakiosa).

Rendahnya bakteri L. plantarum dalam mereduksi rafinosa sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mital dan Steinkraus (1975), bakteri L. plantarum yang diujikan hanya sedikit menghidrolisis rafinosa native sari kedelai yaitu kurang dari 40% dan sejak 12 jam fermentasi jumlah rafinosa tetap tidak berubah hingga jam ke-60. Rafinosa pada sari kedelai menjadi penyebab terinduksinya enzim α-galaktosidase pada bakteri L. plantarum (Mital dan Steinkraus, 1975).

Kemampuan bakteri L. mesenteroides yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan L. mesenteroides JK55 yang diuji Yoon dan Hwang (2008) yaitu mampu menghidrolisis habis rafinosa native sari kedelai dalam waktu 12 jam fermentasi. Perbedaan ini kemungkinan karena berbedanya strain Leuconostoc yang digunakan sehingga berbeda dalam hal kemampuan hidrolisisnya. Reduksi rafinosa oleh bakteri L. brevis sebesar 48,65% masih lebih tinggi dari reduksi oleh ekstrak bebas-sel bakteri L. brevis yang diuji Mital et al. (1973) yaitu mampu menghidrolisis rafinosa sebanyak 10% setelah 8 jam fermentasi namun pada kondisi optimum rafinosa dapat dihidrolisis hingga 33%.

b. Stakiosa

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan spesies bakteri yang digunakan dan jumlah bakteri yang disuspensikan tidak berdampak nyata terhadap kadar stakiosa tepung labu kuning, demikian pula dengan kontrol tanpa perendaman. Kadar stakiosa untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengaruh perlakuan terhadap kadar stakiosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 176,70 175,63 176,16 Lactobacillus brevis 150,18 150,18 150,18 Bifidobacterium longum 153,05 149,82 151,44 Leuconostoc mesenteroides 154,48 180,65 167,56 Rataan 158,60 164,07 161,34

Kontrol dengan perendaman 193,55

Kontrol tanpa rendam 216,85

Segar 363,00

Senyawa RFO terbanyak setelah rafinosa yang terdeteksi pada buah labu kuning segar adalah stakiosa dengan jumlah sebesar 363 µg/gram bk (ppm) atau sebanyak 5,55% dari total RFO labu kuning segar. Kadar stakiosa tersebut berkurang menjadi 216,85 ppm untuk tepung labu kuning kontrol tanpa rendam dan rata-rata sebesar 161,34 ppm untuk tepung labu kuning perlakuan rendam dengan bakteri. Tepung labu kuning perlakuan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml memberikan kadar stakiosa paling rendah yaitu 149, 82 ppm dan lebih rendah dari populasi 106 CFU/ml sebesar 153,05 ppm. Kadar stakiosa tepung labu kuning perlakuan L. brevis tidak berbeda untuk populasi 106 CFU/ml dan 107 CFU/ml yaitu 150,18 ppm (Tabel 8).

Perlakuan bakteri L. plantarum menghasilkan kadar stakiosa tepung labu kuning sebesar 176,70 ppm untuk populasi 106 CFU/ml dan turun menjadi 175,63 ppm untuk populasi 107 CFU/ml. Sebaliknya, perlakuan bakteri L. mesenteroides dengan populasi 107 CFU/ml menghasilkan kadar

stakiosa sebesar 180,65 ppm, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 154,48 ppm. Perlakuan populasi bakteri memberikan rataan kadar stakiosa tepung labu kuning sebesar 164,07 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 158,60 ppm. Kemungkinan pada populasi 107 CFU/ml, enzim α-galaktosidase bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides mengalami penurunan aktivitas dan hanya mampu menyebabkan hidrolisis partial dari stakiosa yang menghasilkan komponen rafinosa dan galaktosa (Mital dan Steinkraus, 1975) akibat tercapainya nilai pH yang lebih rendah dari pH optimum aktivitas α- galaktosidase.

Tabel 9 Reduksi stakiosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 51,32 * (11,06) ** 51,62 (11,36) 51,47 (11,21) Lactobacillus brevis 58,63 (18,37) 58,63 (18,37) 58,63 (18,37) Bifidobacterium longum 57,84 (17,58) 58,73 (18,47) 58,28 (18,02) Leuconostoc mesenteroides 57,44 (17,18) 50,23 (9,97) 53,84 (13,58) Rataan 56,31 (16,05) 54,80 (14,54) 55,56 (15,30)

Kontrol dengan perendaman 46,68

(6,42)

Kontrol tanpa rendam 40,26

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Pada Tabel 9, kadar stakiosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam mengalami penurunan sebesar 40,26% dari kadar stakiosa labu kuning segar. Penurunan kadar stakiosa akibat perendaman dengan suspensi bakteri adalah sebesar rata-rata 15,30%. Penurunan kadar stakiosa terbesar adalah pada perlakuan L. brevis (18,37%) dan B. longum (18,02%). Perendaman

dengan air destilata menurunkan kadar stakiosa sebesar 6,42%. Berdasarkan persentase reduksi selama perendaman dengan suspensi bakteri, reduksi stakiosa diperkirakan dua kali lebih tinggi dibandingkan reduksi rafinosa (Tabel 9).

Penelitian reduksi stakiosa menggunakan ekstrak bebas-sel L. brevis dilakukan oleh Mital et al. (1973) yang menunjukkan bahwa L. brevis menghidrolisis stakiosa sari kedelai sebanyak 13% selama 8 jam inkubasi namun pada kondisi optimal hidrolisis stakiosa bisa mencapai 50%. Proses fermentasi sari kedelai yang dilakukan Mital dan Steinkraus (1975) menggunakan L. plantarum dan menunjukkan bahwa terjadi hidrolisis stakiosa native sebanyak 60%.

Bakteri L. mesenteroides JK55 yang digunakan Yoon dan Hwang (2008) mampu menghidrolisis habis stakiosa native sari kedelai dalam waktu 10 jam. Scalabrini et al. (1998) melaporkan bahwa B. longum MB300 yang digunakannya mampu menghidrolisis stakiosa native sari kedelai sebanyak 26% dalam waktu 24 jam dan hingga 65% dalam waktu 48 jam. Garro et al. (1999) melaporkan bahwa bakteri B. longum CRL 849 yang ditelitinya mereduksi stakiosa native sari kedelai hingga 49,3% selama 7 jam pertama fermentasi. Bifidobacterium memetabolisme empat unit sakarida lebih cepat dari L. plantarum yang membutuhkan lebih dari 30 jam fermentasi untuk mereduksi jumlah yang sama (Garro et al., 1999). Hou et al. (2000) melaporkan bahwa hasil reduksi stakiosa pada sari kedelai terjadi hingga 50,68% selama 48 jam fermentasi menggunakan B. longum B6.

c. Verbaskosa

Berdasarkan uji statistik, kadar verbaskosa tepung labu kuning tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan, tetapi berbeda nyata (P≤5%) dengan kontrol tanpa rendam dan kontrol rendam air destilata. Kadar verbaskosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam juga tidak berbeda nyata dengan kontrol rendam air destilata. Kadar verbaskosa setiap perlakuan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap reduksi verbaskosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 16,49 a 7,53 a 12,01 Lactobacillus brevis 12,19 a 13,62 a 12,90 Bifidobacterium longum 8,96 a 11,47 a 10,22 Leuconostoc mesenteroides 15,05 a 8,24 a 11,64 Rataan 13,17 10,22 11,69

Kontrol dengan perendaman 34,05 b

Kontrol tanpa rendam 41,58 b

Segar 60,00

a-b

Nilai dengan superskrip huruf yang tidak sama berarti ada beda nyata pada taraf 5% berdasarkan test Duncan.

Jumlah verbaskosa pada buah labu kuning segar sebesar 60 µg/gram bk (ppm). Berdasarkan rataan nilai, kadar verbaskosa tepung labu kuning berkurang menjadi 41,58 ppm untuk perlakuan kontrol tanpa rendam dan menjadi rata-rata 11,69 ppm untuk perlakuan perendaman dengan bakteri. Rataan kadar verbaskosa pada perlakuan perendaman bakteri dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 10,22 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 13,17 ppm.

Tepung labu kuning perlakuan bakteri L. plantarum dengan populasi 107 CFU/ml memberikan kadar verbaskosa sebesar 7,53 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 16,49 ppm. Perlakuan bakteri L. mesenteroides memberikan kadar verbaskosa sebesar 8,24 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 15,05 ppm. Berbeda dengan komponen RFO sebelumnya (rafinosa dan stakiosa), perlakuan bakteri L. brevis memberikan kadar verbaskosa sebesar 13,62 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 12,19 ppm. Hal yang sama juga diperoleh pada tepung labu kuning perlakuan bakteri B. longum yang memiliki kadar verbaskosa sebesar 11,47 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 8,96 ppm.

Berdasarkan Tabel 11, persentase reduksi total verbaskosa untuk tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman sebesar 30,70%, perendaman

dengan air destilata sebesar 43,25% dan perlakuan perendaman dengan suspensi bakteri sebesar rata-rata 80,51%. Selama perendaman dengan suspensi bakteri, kadar verbaskosa menurun sebesar rata-rata 49,81%. Berdasarkan persentase reduksi selama perendaman dengan suspensi bakteri, reduksi verbaskosa tersebut lebih tinggi dari reduksi rafinosa dan stakiosa. Persentase reduksi verbaskosa terbesar terjadi pada perlakuan bakteri B. longum sebesar rata-rata 52,28%.

Tabel 11 Reduksi verbaskosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 72,52 * (41,82) ** 87,45 (56,75) 79,98 (49,28) Lactobacillus brevis 79,68 (49,98) 77,30 (46,60) 78,49 (47,79) Bifidobacterium longum 85,07 (54,37) 80,88 (50,18) 82,98 (52,28) Leuconostoc mesenteroides 74,92 (44,22) 86,27 (55,57) 80,60 (49,90) Rataan 78,04 (47,34) 82,98 (52,28) 80,51 (49,81)

Kontrol dengan perendaman 43,25

(12,55)

Kontrol tanpa rendam 30,70

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Rataan persentase reduksi verbaskosa akibat perendaman dengan suspensi bakteri meningkat dari 47,34% untuk populasi 106 CFU/ml menjadi 52,28% untuk populasi 107 CFU/ml. Peningkatan terjadi untuk perlakuan bakteri L. plantarum dari 41,82% menjadi 56,75% dan perlakuan bakteri L. mesenteroides dari 44,22% menjadi 55,57%. Sebaliknya, perlakuan bakteri L. brevis dan B. longum dengan populasi 107 CFU/ml menghasilkan persentase reduksi yang lebih kecil dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml.

Reduksi jumlah RFO pada tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman menunjukkan bahwa proses pengeringan mampu mengurangi senyawa RFO dalam jumlah yang cukup besar. Senyawa RFO merupakan turunan α-(1,6)- galaktosil dari sukrosa. Sukrosa memiliki ikatan ß-fruktofuranosida yang tidak stabil dan dapat mengalami hidrolisis ketika dehidrasi berlangsung (Schebor et al., 1999). Ketiga senyawa RFO mengalami hidrolisis pada ikatan tersebut maka ketika RFO diukur, tidak lagi terdeteksi sebagai rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa dengan jumlah yang sama dengan sebelum diukur. Kadar air yang tinggi pada irisan labu dan proses pengeringan yang lama memungkinkan terjadinya reaksi hidrolisis tersebut.

Labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman dengan air destilata mengalami reduksi total RFO hingga sebesar 86,29%. Penurunan RFO kemungkinan disebabkan adanya aktivitas bakteri dan atau mikroba lainnya yang secara alami terdapat pada labu kuning segar dan atau pada air destilata yang digunakan. Hal ini karena labu kuning segar dan air destilata yang digunakan pada penelitian ini tidak disterilisasi terlebih dahulu. Mikroba dapat berasal dari operator/pekerja, udara, perkakas yang digunakan dan kotoran yang menempel pada kulit buah labu berpindah ke potongan labu kuning segar. Letak buah labu kuning yang dekat dan bahkan bersentuhan dengan tanah dapat menjadi penyebab utama termuatnya mikroba tanah pada permukaan kulit buah labu kuning yang kemudian selama proses pembersihan dan pengecilan ukuran dapat berpindah ke potongan labu. Beberapa BAL terdapat dalam jumlah sangat sedikit pada jaringan tanaman seperti Lactobacillus, Pediococcus, Enterococcus, dan Leuconostoc mesenteroides (Mäki, 2004). Sebagian besar dari material tanaman mengandung mikroba epifitik dalam jumlah yang banyak dan beragam, dan sejumlah kecil populasi bakteri asam laktat (Fleming dan McFeeters, 1981).

Selain rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa, senyawa gula lain juga terdapat pada daging buah labu kuning seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa dan ketiganya berada pada kadar yang lebih tinggi dari kadar senyawa RFO. Hal ini karena gula-gula tersebut dalam bentuk lebih sederhana -yaitu monosakarida

dan disakarida- daripada senyawa RFO dan jumlahnya banyak, sehingga penggunaannya menjadi lebih utama bagi bakteri untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Perbedaan jumlah populasi bakteri yang disuspensikan ke perendam hingga satu log secara umum tidak berpengaruh nyata terhadap kadar akhir setiap senyawa RFO pada tepung labu kuning.

Pada perlakuan kontrol rendam air destilata, jumlah RFO pada labu kuning mengalami reduksi dengan kadar RFO lebih kecil dari kadar RFO kontrol tanpa perendaman. Telah diketahui sebelumnya bahwa pertumbuhan mikroba lain juga mungkin terjadi pada irisan labu yang direndam dengan air destilata yang berarti juga terjadi proses fermentasi. Penggunaan senyawa RFO oleh mikroba tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim yang berperan dalam hidrolisis RFO bisa terinduksi pada beberapa spesies bakteri, dan dihasilkan oleh beberapa spesies kapang dan khamir.

2. Kadar β-karoten

Buah labu kuning segar pada penelitian ini memiliki kadar β-karoten sebesar 102,83 ppm (µg/g bk) atau sebesar 0,74 mg/100 g bb. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan kadar β-karoten berbagai varietas buah labu kuning spesies C. moschata yaitu berkisar 3,1 – 7 mg/100 g (Murkovic et al., 2002).

Kadar β-karoten tepung labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman bakteri dan kontrol perendaman air destilata lebih rendah dari kadar β-karoten tepung labu kontrol tanpa rendam. Secara statistik, besarnya kadar β-karoten tepung labu kuning yang diperoleh tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan dan kontrol. Rincian kadar β-karoten tepung labu kuning dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan besaran nilai, rataan kadar β-karoten tepung labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman bakteri adalah sebesar 238,44 ppm. Nilai tersebut lebih tinggi dari kadar β-karoten tepung labu kuning kontrol perendaman dengan air destilata sebesar 230,65 ppm. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh keberadaan enzim-enzim yang berperan dalam carotenes bleaching. Carotenes bleaching adalah peristiwa terdegradasinya senyawa karoten menyebabkan bahan pangan terlihat pucat. Hidaka et al. (1986)

melakukan karakterisasi salah satu enzim penyebab carotenes bleaching yaitu lipoksigenase yang diisolasi dari buah labu kuning (Cucurbita moschata varietas Jepang). Enzim tersebut memiliki aktivitas optimum pada pH 6,5 dan mengalami penurunan aktivitas hingga 30% pada pH 4,0. Selama 18 jam proses perendaman, bakteri-bakteri yang digunakan pada perlakuan akan memfermentasi senyawa gula-gula (karbohidrat) yang ada di jaringan labu. Proses fermentasi tersebut menghasilkan senyawa asam organik yaitu asam laktat dan atau asam organik lainnya seperti asam asetat. Akumulasi asam- asam organik akan menyebabkan penurunan pH menjadi asam (di bawah pH netral) sehingga enzim penyebab carotenes bleaching menjadi berkurang aktivitasnya. Enzim menjadi teraktivasi maksimum pada tepung labu kuning kontrol perendaman dengan air destilata sehingga kadar β-karoten lebih rendah dari tepung labu kuning perlakuan perendaman dengan bakteri.

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap kadar β-karoten (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107 Lactobacillus plantarum 236,92 228,23 232,58 Lactobacillus brevis 235,84 243,55 239,70 Bifidobacterium longum 236,20 240,50 238,35 Leuconostoc mesenteroides 240,59 245,70 243,14 Rataan 237,39 239,50 238,44

Kontrol dengan perendaman 230,65

Kontrol tanpa rendam 269,62

Hal yang sama diperoleh dari hasil pengaruh jumlah populasi bakteri pada perendam terhadap kadar β-karoten. Berdasarkan rataan kadar β-karoten,

Dokumen terkait