• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Mwaka et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Social, demographic, and healthcare factors associated with stage at diagnosis of cervical cancer: cross-sectional study in a tertiary hospital in in North Uganda”. Penelitian ini bertujuan untuk memeriksa pasien dan kesehatan dasar dan diagnosis pada wanita dengan diagnosis kanker serviks di Uganda Utara dengan maksud mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan stadium lanjut untuk menginformasikan dan meningkatkan kelangsungan hidup dari kanker serviks pada berpenghasilan rendah dan negara-negara berpenghasilan menengah. Desain yang digunakan cross sectional. Hasilnya adalah pada faktor sosial demografi, responden dengan pendidikan menengah dan tinggi tidak memungkinkan untuk didagnosis kanker serviks, dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki pendidikan formal (OR=0.16 (95%, CI 0.03-0.87). Setelah disesuaikan dengan usia, status perkawinan, dan tingkat pendidikan, kemungkinan kanker stadiun lanjut antara pasien dengan memiliki jumlah anak 509 adalah 0.27 (96% CI 0.08-0.96) kali kemungkinan kanker stadium lanjut antara perempuan dengan jumlah anak kurang dari 4. Pada faktor sosial ekonomi, pasien dengan pendapatan rendah memiliki alasan untuk tidak

memeriksakan diri ketenaga kesehatan lebih mungkin didiagnosis pada tahap kanker stadium lanjut 5.7 kali (95% CI 1,58-20.64). Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Mwaka et al (2016) adalah pada variabel sosial demografi yaitu tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yaitu tingkat pendapatan. Perbedaannya adalah variabel sanitasi lingkungan, higine genetalia, jumlah pasangan seksual, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, kontrasepsi oral, nutrisi, analisis yang digunakan dan tempat penelitian.

2. Poorolajal dan Jenabi (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “ The association between BMI and cervical cancer risk: a meta-analysis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari hubungan antara BMI dan kanker serviks. Meta analisis dilakukan untuk memperkirakan hubungan antara kelebihan berat badan dan obesitas dan risiko kanker serviks. Data independen diekstraksi dan dianalisis menggunakan odd rasio dan interval kepercayaan 95% (CI), pada dasar acak efek. Hasil dari kasus kontrol dan kohort, hubungan antara kanker serviks dan kelebihan berat badan diperkirakan masing-masing 1.03 (95% CI: 0.81, 1.25) dan 1.10 (95% CI:

1.03, 1.17). Menurut hasil kasus kontrol dan kohort, hubungan antara kanker serviks dan obesitas masing-masing adalah 1.40 (95% CI: 1.08, 1.71) dan 1.08 995% CI: 0.60, 1.52). tidak ada bukti heterogenitas dan pulikasi bias diamati. Temuan dari meta analisis ini menunjukkan bahwa kelebihan berat badan tidak terkait dengan peningkatan risiko kanker serviks, namun obesitas yang lemah dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks.

Namun lebih banyak bukti, berdasarkan penelitian kohort prospektif besar,

diperlukan untuk memberikan bukti konklusif pada apakah atau tidak BMI dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Poorolajal dan Jenabi (2015) adalah pada variabel status gizi yang di ukur dari Body Mass Index (BMI) dan desain kasus kontrol yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel sanitasi lingkugan, higine gentalia, pedidikan, pendapatan, usia pertama kali melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, kontrasepsi oral dan analisis data dan tempat penelitian.

3. Lopez dan Hernandez (2013) dalam penelitiannya yang berjudul

“Epidemiology Association Between Body Fat Percentage and Cervical Cancer; A Cross-sectional population-based survey of Mexico. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis berbagai langkah antopometrik sebagai faktor risiko potensial untuk kanker serviks. Analsisis yang digunakan adalah regresi logistik. Hasil penelitian ini adalah prevalensi kanker serviks meningkat dari 514 (95% CI 321, 707) dan 680 (95% CI 494, 866) untuk 732 (95% CI 535, 928) per 100.000 penduduk pada subyek dengan berat badan normal, subyek kelebihan berat badan dan obesitas.

Selain itu hubungan antara kanker serviks dan BFP (OR 1.027; CI 1.006, 1.048; p= 0.012) dan risiko meningkat dengan BFP ≥ 45% (OR 2.369; CI 95% 1.284, 4.369; p=0.006). Data ini menunjukkan tren antara indeks massa tubuh dan peningktan prevalensi kanker serviks. Selain itu data menunjukkan hubungan yang signifikan antara BFP dan kanker serviks, dan hubungan epidemiologi ini lebih tinggi sebagai meningkatnya BFP.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Lopez dan

Herandez (2013) adalah pada status gizi yang dilihat dari Body Fat Percentage (BFP). Perbedaannya adalah variabel pendidikan, pendapatan, sanitasi lingkungan, higine genetalia, usia pertama melakukan hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan kontrasepsi oral. Analisis yang digunakan berbeda dan tempat penelitian yang berbeda.

4. Louie et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Early age at first sexual intercourse and early pregnancy are risk factors for cervical cancer in developing countries”. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan usia pertama kali melakukan hubungan seksual dengan kejadian kanker serviks invasif. Analisis terhadap penelitian yang dilakukan di 9 negara berkembang dengan 1864 kasus dan 1719 kontrol. Hasilnya adalah risiko untuk kejadian kanker serviks invasif pada wanita yang melakukan hubungan seks pertama kali dan hamil pertama kali pada usia ≤ 16 tahun dibandingkan dengan wanita yang melakukannya pada usia ≥ 20 tahun adalah 2,4 kali lipat. Penelitian ini memakai rancangan kasus kontrol, variabel yang diteliti adalah usia pertama hubungan seksual, paritas, penggunaan oral kontrasepsi, merokok, jumlah pasangan seksual, pendidikan dan riwayat pap smear. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Louie et al (2009) adalah rancangan penelitian, variabel penelitian diantaranya usia pertama hubungan seksual dan pendidikan.

Sedangkan perbedaannya adalah pada lokasi penelitian, variabel penggunaan oral kontrasepsi, pendapatan, jumlah pasangan seksual, status gizi, sanitasi lingkungan rumah.

5. Melva (2008) dalam penelitiannya ‘Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Leher Rahim pada Penderita yang Datang Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan’. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor yang mempengaruhi terjadi kanker leher rahim dengan rancangan studi Cross Sectional terhadap penderita kanker leher rahim sebanyak 60 kasus dan 60 tidak menderita kanker leher rahim. Hasil penelitian menggunakan uji chi square bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara 4 faktor yang menentukan terjadinya kanker leher rahim : usia pertama hubungan seks (p=0.000), paritas (p=0.034), ganti pasangan (0=0.020), infeksi kelamin (p=0.000). Hasil anaisis multivariat melalui uji regresi logistik ganda menunjukkan ada pengaruh usia pertama melakukan hubungan seksual (p=0.005; rasio prevalensi 2.3) infeksi kelamin (p=0.000; rasio prevalensi 2.5). persamaan penelitian ini dengan penelitian Melva (2008) adalah pada variabel usia pertama kali melakukan hubungan seksual dan jumlah pasangan seksual. Sedangkan n adalah lokasi penelitian, rancangan penelitian dan variabel yang lainnya seperti pendidikan, pendapatan, kontrasepsi oral, status gizi, higine genetalia, dan sanitasi lingkungan rumah.

6. Cooper et al.(2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Determinants of sexual activity and its relation to cervical cancer risk among South African Women”. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas seksual pada wanita dewasa dan risiko kanker serviks di Afrika Selatan. Variabel yang digunakan adalah penggunaan kontrasepsi hormonal dan risiko kanker serviks. Informasi tentang usia pertama kali seksual dan

jumlah pasangan seksual. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dimana terdapat 524 kasus dan 1541 kontro di Rumah Sakit.

Analisis yang digunakan adalah regresi logistik ganda. Hasil penelitian ini adalah dimana usia rata-rata untuk melakukan hubungan seksual pertama kali yaitu pada usia 17 tahun dengan jumlah pasangan seksual masing-masing 2. Seksual dini pada usia 17 tahun dikaitkan dengan pendidikan yang rendah, meningkatnya jumlah pasangan dan penggunaan alkohol.

Memiliki jumlah pasangan seksual yang lebih banyak dikaitkan dengan usia dini pada saat melakukan seksual, single, dan penggunaan alkohol. OR untuk usia pertama kali seksual <16 tahun dan ≥ 4 memiliki mitra seksual dan risiko terkena kanker serviks adalah masing-masing 1,6 (95% CI 1,2-2,2) dan 1,7 (95% CI 1,2-1,2-2,2). Dapat dikatakan bahwa status ekonomi sosial yang rendah, konsumsi alkohol, dan single, dapat meningkatkan aktivitas seksual pada wanita Afrika Selatan. Pendidikan memiliki efek rancu. Risiko kanker serviks berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual. Inisiatif untuk tidak melakukan seks pada usia dini dan membatasi jumlah mitra seksual akan memberikan dampak yang positif pada risiko kanker serviks dan infeksi menular lainnya. Persamaan penelitian ini dengan peneltian Cooper et al (2007) adalah variabel penelitian yaitu usia pertama hubungan seksual, jumlah pasangan seksual, dan pendidikan, rancangan penelitian, dan analisis yang digunakan. Perbedaannya adalah variabel pendapatan, sanitasi lingkungan, higine genetalia, kontrasepsi oral dan tempat penelitian.

7. Hammouda et al (2005) dalam penelitiannya yang berjudul “Cervical Carcinoma in Algiers, Algeria ;Human Papillomavirus and Lifestyle Risk

Factors. Metode yang dilakukan kasus kontrol sebanyak 198 kasus karsinoma serviks dan 202 kontrol. Selain infeksi HPV, hubungan seksual diluar nikah (OR=4.8), suami yang berhubungan seksual dengan wanita lain atau wanita pekerja seksual (OR=3.2) dan indikator sanitasi lingkungan yang buruk atau kebersihan yang buruk (OR=4.9), adalah faktor terkuat untuk karsinoma serviks. Penggunaan kontrasepsi oral tidak berhubungan dengan dengan terjadinya karsinoma serviks, multiparitas muncul sebagai faktor risiko yang signifikan setelah penyesuaian untuk kebiasaan seksual.

Intra Uterine Device (IUD) menunjukkan risiko yang rendah terjadinya karsinoma serviks. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Hammouda et al (2005) adalah variabel penggunan kontrasepsi oral, sanitasi lingkungan atau kebersihan yang buruk dan metode kasus kontrol. Perbedaannya adalah tempat penelitian dan variabel pendidikan, pendapatan, jumlah pasangan seksual, dan usia pertama kali melakukan hubungan seksual.

8. Vaisy et al (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Risk of Cancer with Combined Oral Contraceptive Use among Iranian Women”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki hubungan antara kejadian kanker seviks dan payudara dan kontrasepsi oral dalam 128 pasien Iran dengan kanker serviks dan 235 dengan kanker payudara dan jumlah yang sama pada responden kontrol. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan sel terorganisir pertanyaan. Analisis data menggunakan t-test, chi square dan uji fisher’s exact dan analisis pearson’s correlation. Hasilnya adalah korelasi antara kedua kanker serviks dan kanker payudara dan riwayat

penggunaan kontrasepsi oral. Sementara kanker serviks secara signifikan berkorelasi dengan lama peggunaan pil, payudara memiliki korelasi yang signifikan dengan jenis kontrasepsi oral dan usia penggunaan pertama kali.

Tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan antara kedua jenis kanker dan usia pemberhentian kontrasepsi oral, penggunaan, dan interval dari penggunaan terakhir. Penggunaan kontrasepsi oral dapat tiga kali lipat terjadinya kanker serviks dan kanker payudara. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Vaisy et al (2014) adalah pada variabel penggunaan kontrasepsi oral. Perbedaannya adalah pada variabel sanitasi lingkungan, pendidikan, pendapatan, status gizi, higine gentalia, jumlah pasangan seksual, usia pertama kali melakukan seksual, analisis data yang digunakan dan tempat penelitian.

9. Li et al (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Neighborhood deprivation and risk of cervical cancer morbidity and mortality: A multilevel analysis from Sweden. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ada hubungan antara lingkungan yang kurang dan morbiditas dan mortalitas kanker serviks diluar tingkat individu. Analisis yang digunakan regresi logistik dengan model multilevel dengan karakteristik individu pada level pertama (umur, status perkawinan, pendapatan keluarga, pendidikan, status imigrasi, perkotaan/pedesaan, mobiditas, paritas dan jumlah mitra hubungan seksual) dan pada level kedua yaitu tingkat lingkungan yang kurang. Hasil ada hubungan yang kuat antara tingkat lingkungan yang kurang dan morbiditas dan mortalitas kanker serviks. Dalam model penuh, yang mengambil akun karakteristik tingkat

individu dan risiko kanker serviks masing-masing 1.25 dan 1.36 pada lingkungan yang kurang. Antara variabel lingkungan adalah lebih dari dua kesalahan standar menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam morbiditas dan mortalitas kanker serviks antara lingkungan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2012) adalah pada level individu diantaranya ada pendapatan, pendidikan dan jumlah mitra seksual pada level kedua adalah lingkungan dan analisis multilevel yang digunakan.

Perbedaannya adalah variabel higine genitalia, usia pertama melakukan hubungan seksual, status gizi, dan penggunaan kontrasepsi oral.

10. Roura et al (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “The Influence of Hormonal Factors on the Risk of Developing Cervical Cancer and Pre Cancer Results from the Epic Cohort”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi secara prospektif hubungan antara faktor hormonal dan risiko perkembangan serviks intraepithelial neoplasma kelas 3 (CIN 3)/ karsinoma in situ (CIS) dan invasif kanker serviks (ICC). Metode yang dilakukan yaitu dengan studi kohort. Hasil analisis kohort menunjukkan bahwa jumlah kehamilan jangka penuh positif terkait dengan CIN3/ risiko CIS (P-trend=0,03). Durasi penggunaan kontrasepsi oral dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan dari kedua CIN3/ CIS dan ICC (HR = 0.5, 95% CI:0.4-0,8). Sebuah penurunan risiko tidak signifikan dari ICC dengan pernah menggunakan Intrauterine Device (IUD) ditemukan dalam analisis kasus kontrol (OR=).6). analisis dibatasi untuk semua kasus dan HPV kontrol seropositif menghasilkan hasil yang sama, mengungkapkan

hubungan terbalik yang signifikan dengan IUD untuk gabungan CIN3/CIS dan ICC (OR=0.7)

Dokumen terkait