• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muthia Umi Setyoningrum (2013)

dengan judul “Implementasi Kebijakan Kelas Olahraga di Sekolah Menengah Atas (SMA) Kota Yogyakarta” menunjukan bahwa Implementasi kebijakan

kelas olahraga masih mengalami kebingungan dalam pengelolaannya karena sekolah belum memiliki pedoman pelaksanaan kelas olahraga. Kegiatan latihan sudah berjalan dengan baik walaupun pelatih mengalami kesulitan dalam pembuatan program latihan karena waktu latihan yang sedikit dan

28

jadwal kompetisi yang kurang terorganisasi. Kegiatan akademik belum berjalan baik karena belum memiliki kurikulum khusus kelas olahraga dan kurangnya kemampuan dan motivasi akademik siswa. Sarana prasarana olahraga dan fasilitas yang diberikan kepada siswa masih sangat kurang dan belum sesuai standar. Monitoring dan evaluasi tidak optimal karena kurangnya komunikasi antara sekolah, pemerintah, pelatih, dan guru.Kendala yang dihadapi meliputi: belum adanya pedoman pelaksana dankurikulum khusus kelas olahraga, kurangnya dukungan dana dan saranaprasarana dari pemerintah, kurangnya motivasi belajar dan kedisiplinan siswa,dan kurangnya komunikasi antara pelatih, guru, sekolah, dan pemerintah.

2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwi Nugroho (2013) dengan judul “

Sistem Pembinaan Prestasi Kelas Olahraga Cabang Olahraga Atletik SMP D.I.Yogyakarta ” menunjukan bahwa; 1) Sistem pembinaan prestasi kelas

khusus olahraga di DIY berdasarkan indikator sarana dan prasarana secara detail menurut kabupaten/kota, diketahui bahwa Kota Yogyakarta masih lemah dalam indikator ini dibandingkan kabupaten yang lain yakni sebesar 55,36%, kemudian secara berturut-turut Kabupaten Bantul sebesar 58,93%, Kabupaten Sleman sebesar 58,93%,Kabupaten Gunung Kidul sebesar 61,61%, dan Kabupaten Kulon Progo sebesar 62,5%. Setelah ditelaah pada tingkat sekolah diketahui juga bahwa sekolah yang masih lemah di propinsi DIY adalah SMPN 2 Galur di Kabupaten Kulon Progo sebesar 42,86%. 2) Sistem pembinaan prestasi kelas khusus olahraga di DIY berdasarkan indikator organisasi secara detail menurut kabupaten/kota, diketahui bahwa

29

Kota Yogyakarta masih lemah dalam indikator ini dibandingkan kabupaten yang lain yakni sebesar 68,75%, kemudian secara berturut-turut Kabupaten Bantul sebesar 70,83%, Kabupaten Sleman sebesar 71,88%,Kabupaten Gunung Kidul sebesar 79,17%, dan Kabupaten Kulon Progo sebesar 85,42%. Setelah ditelaah pada tingkat sekolah diketahui juga bahwa sekolah yang masih lemah di propinsi DIY adalahSMPN 1 Kretek di Kabupaten Bantul sebesar 66,67%. 3) Sistem pembinaan prestasi kelas khusus olahraga di DIY berdasarkan indikator pendanaan secara detail menurut kabupaten/kota, diketahui bahwa Kabupaten Bantul masih lemah dalam indikator ini dibandingkan kabupaten yang lain yakni sebesar 65,18%, kemudian secara berturut-turut Kabupaten Gunung Kidul sebesar 68,75%, Kabupaten Sleman sebesar 69,64%, Kota Yogyakarta sebesar 71,43%, dan Kabupaten Kulon Progo sebesar 75%. Setelah ditelaah pada tingkat sekolah diketahui juga bahwa sekolah yang masih lemah di propinsi DIY adalah SMPN 1 Kretek di Kabupaten Bantul sebesar 62,5%. 4) Sistem pembinaan prestasi kelas khusus olahraga di DIY berdasarkan indikator SDM secara detail menurut kabupaten/kota, diketahui bahwa Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta masih lemah dalam indikator ini dibandingkan kabupaten yang lain yakni sebesar 79,55%, kemudian secara berturut-turut Kabupaten Sleman sebesar 81,25%, Kabupaten Bantul sebesar 82,39%, dan Kabupaten Kulon Progo sebesar 85,23%. Setelah ditelaah pada tingkat sekolah diketahui juga bahwa sekolah yang masih lemah di propinsi DIY adalah SMPN 1 Playen di Kabupaten Gunung Kidul sebesar 75%. 5) Sistem pembinaan prestasi kelas

30

khusus olahraga di DIY berdasarkan indikator latihan secara detail menurut kabupaten/kota, diketahui bahwa Kota Yogyakarta masih lemah dalam indikator ini dibandingkan kota/kabupaten yang lain yakni sebesar 73,21%, kemudian secara berturut-turut Kabupaten Bantul sebesar 78,57%, Kabupaten Gunung Kidul sebesar 82,14%, Kabupaten Sleman sebesar 86,46%, dan Kabupaten Kulon Progo sebesar 87,5%. Setelah ditelaah pada tingkat sekolah diketahui juga bahwa sekolah yang masih lemah di propinsi DIY adalah SMPN 1 Kalasan di Kabupaten Sleman sebesar 71,43%.

3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andi Setiawan (2014) dengan judul “

Perbedaan Sikap Sosial Antara Siswa Kelas VIII Olahraga Dengan Siswa Kelas VIII Reguler DI SMP NEGERI 2 Tempel Sleman” menunjukan bahwa dapatdiketahui sikap sosial siswa kelas VIII reguler di SMP Negeri 2 Tempel dari indikatordisiplin reratanya sebesar 107,75. Dari hasil analisis dapat diketahui sikap sosial siswa kelas VIII reguler di SMP Negeri 2 Tempel dari indikator tanggung jawab reratanya sebesar 107,43. Dari hasil analisis dapat diketahui sikap sosial siswa kelas VIII reguler di SMP Negeri 2 Tempel dari indikator sportivitas reratanya sebesar 93,33. Dari hasil analisis dapat diketahui sikap sosial siswa kelas VIII reguler di SMP Negeri 2 Tempel dari indikator kerjasama reratanya sebesar 109,00. Dari hasil analisis dapat diketahui sikap sosial siswa kelas VIII reguler di SMP Negeri 2 Tempel dari indikator interaksi sosial reratanya sebesar 108,23. Dari data di atas dapat diketahui bahwa sikap sosial siswa kelas VIII olahraga yang rerata tertinggi terdapat di indikator sikap kerjasama sebesar 109,00 dan rerata terendah

31

terdapat di indikator sikap sportivitas sebesar 93,33. Sikap sosial siswa kelas VIII olahraga lebih baik dari pada sikap sosial siswa kelas VIII Reguler. Perbedaan sikap sosial ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara pendidikan membedakan antara kedua kelompok kelas tersebut.Pengaruh tersebut berasal dari kebiasaan kehidupan dan pergaulan mereka di kelompok masing-masing. Siswa kelas olahraga lebih banyak mendapat bimbingan dan arahan baik dari guru maupun dari pelatihnya melalui latihan dan pertandingan yang mereka lakukan. Di dalam latihan dan pertandingan siswa diajarkan menjadi seseorang yang memiliki sikap disiplin, kerja keras, mampu bekerja sama, bertanggung jawab, saling menghargai, sportivitas serta mampu berinteraksi dengan baik. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan sikap sosial antara siswa kelas VIII olahraga dengan siswa kelas VIII reguler.

Dokumen terkait