• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Penelitian yang Relevan

1. Skripsi Raden Dimas Anugrah Dwi Satria, “Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Adat Baduy Luar Dengan Masyarakat Luar Adat Baduy di Banten”, 2012.

a. Pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Baduy Dalam dan Luar sangatlah baik dan teratur karena mereka betul-betul menaati peraturan adat yang telah dibuat orang para leluhur mereka. Hubungan komunikasi yang terjalin antara masyarakat Baduy secara keseluruhan dengan masyarakat luar baduy yang berada di sekitar perkampungan Baduy terjalin baik, dan juga dengan para wisatawan yang berkunjung ke Baduy juga terjalin baik, karena di antara mereka terjadinya interaksi komunikasi yang cukup aktif. Komunikasi yang terjalin dengan pemerintah daerah pun terjalin dengan sangat baik. Pola komunikasi yang digunakan masih bersifat konvensional. Model-model komunikasi kontemporer yang mengadopsi bentuk-bentuk pemberdayaan sosial (social empowerment) dengan berbagai variannya belum banyak dikembangkan. Faktor keterbatasan sumber daya di bidang ilmu teknologi, ilmu komunikasi dan pendidikan lainnya serta minimnya dukungan bagi perkembangan komunikasi menjadi salah satu faktor demi terjaganya peraturan adat istiadat leluhur. Meskipun demikian patut diakui kontribusi komunikasi yang telah berlangsung dalam menginisiasi perubahan sosial masyarakat Baduy dalam berbagai bidang, khususnya bidang sosial, budaya, ekonomi, pendididikan dan hubungan komunikasi. Dan pada akhirnya komunikasi antarbudaya ini antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar Baduy ini memberikan perubahan untuk mereka yang melakukan komunikasi ini.

2. Dalam acara ritual adat kegamaan masyarakat Baduy pola komunikasi mereka lebih berinteraksi dengan alam, karena

mereka beranggapan bahwa alam semesta dihuni oleh para leluhur adat mereka dan Sang Pencipta (Gusti Allah). Jadi komunikasi peribadahan mereka hanyalah kepercayaan kepercayaan nenek moyang mereka. Jadi mereka dalam acara ritual tidak terlalu adanya perbuahan. Karena memang komunikasi ritual ini mereka lakukan sudah dari turun temurun jadi walaupun adanya komunikasi antar mereka tidak menjadi sebuah acuan untuk masyarakat melakukan perubahan peraturan adat Baduy itu sendiri.

2. Jurnal Raden Cecep Eka Permana, Isman Pratama Nasution, dan Jajang Gunawijaya, “Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Baduy”, 2011.

Hampir setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang khas sebagai strategi adaptasi terhadap lingkungan. Dengan kearifan tersebut suatu masyarakat dapat bertahan dan berhasil menjalani kehidupannya dengan baik. Strategi untuk keberhasilan dalam kehidupan suatu masyarakat itu tidak terlepas dari kepercayaan dan adatistiadat yang diajarkan dan dipraktikkan secara turuntemurun dari generasi ke generasi. Pada masyarakat Baduy yang hingga saat ini hidup dan menjalani kehidupannya secara bersahaja, tetap memegang kuat kepercayaan dan adat-istiadatnya dengan penuh kearifan. Salah satu kearifan lokal masyarakat Baduy itu adalah berkaitan dengan pencegahan terjadinya bencana (mitigasi bencana). Masyarakat Baduy melalui kearifan lokalnya terbukti mampu melakukan pencegahan (mitigasi) bencana, baik dalam tradisi perladangannya, bangunan-bangunan tradisionalnya, maupun dalam kaitannya dengan hutan dan air.

3. Skripsi Diki Sanjaya, “Pandangan Masyarakat Baduy Tentang Lingkungan Hidup”, 2010.

Kearifan yang dimiliki oleh orang Kanekes baik kearifan lingkungan, kearifan sosial, maupun kemasyarakatan. Salah satu

ajaran yang berbunyi, “Buyut teu menang dirobah, lonjor teu menang dipotong, pondok teu menang disambung” artinya masyarakat

Kanekes senantiasa dituntut untuk setia kepada ketetapan yang telah diajarkan kepada karuhun dan tidak semena-mena memperlakukan lingkungannya dengan merubah-rubah yang telah ada. Panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, mengartikan bahwa apa yang telah diberikan dan digariskan oleh Nu Ngersakeun itu harus diterima dengan lapang dada sesuai dengan takdirnya.

Masyarakat Kanekes dilarang untuk mengubah sesuatu pun yang telah dianugerahkan oleh Nu Ngersakeun, sehingga perubahan yang terjadi senantiasa berjalan dengan alami. Hal demikianlah yang membuat mereka menolak benda-benda yang didatangkan dari peradaban di luar mereka, seperti penggunaan barang-barang plastik sebagai alat rumah tangga, pemakaian detergen untuk mencuci peralatan rumah tangga, karena hal tersebut akan mengotori dan mencemarkan sungai dan tanah mereka, padahal banyak terdapat mata air disana yang kualitas dan kuantitasnya harus senantiasa terjaga, karena walau bagaimanapun kahidupan mereka senantiasa bergantung pada unsur-unsur alami tersebut.

Dalam pertanian kearifan yang mereka lakukan di antaranya adalah penggunaan pupuk kimia (anorganik), pemakaian cangkul, yang diyakini mengurangi kesuburan tanah, merubah jalan air, penggarapan huma (narawas, nyacar, nukuh, dan ngaduruk) misalnya dengan tidak menebang dan membakar pohon keras (hanya rumput, ilalang, dan perdu) dan sebagainya. Sikap tersebut membuat mereka terhindar dari eksploitasi terhadap alam, sehingga tanah Kanekes akan selalu terjaga kelestariannya.

4. Skripsi Didik Hariyanto, “Implementasi Kepercayaan Sunda Wiwitan

Sebagai Falsafah Dalam Kehidupan Masyarakat Cigugur”, 2013.

Cigugur merupakan sebuah kelurahan di Kuningan, Jawa Barat. Di dalam kehidupan masyarakat Cigugur terdapat aliran kepercayaan Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan merupakan suatu aliran kepercayaan masyarakat sunda yang masih mengukuhi, mempercayai, dan mengamalkan keyakinan ajaran spiritual kesundaan.

Keunikan dalam masyarakat Cigugur adalah dengan sangat dekatnya perbedaan keyakinan tersebut, tetapi masyarakat Cigugur dapat hidup rukun berdampingan. Sebagai contohnya dalam aktifitas, jika ada warga yang ingin membangun rumah atau merenovasi rumah, masyarakat Cigugur saling bergotong royong dan bekerja sama dalam membantu pembangunan rumah tersebut dengan mengesampingkan perbedaan agama. Selain itu dalam aspek keagamaan masyarakat Cigugur saling menghormati antar pemeluk agama, sebagai contoh jika masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan merayakan hari besar keagamaan, dalam ini adalah Seren taun. Maka masyarakat Cigugur yang memiliki kepercayaan selain Sunda Wiwitan akan turut serta membantu dan mensukseskan acara tersebut.

Hal tersebut merupakan bentuk kerukunan antar umat beragama yang diwujudkan oleh masyarakat Cigugur. Kerukunan tersebut terjadi karena masyarakat Cigugur percaya Sunda Wiwitan merupakan adat atau kepercayaan dari leluhur, sehingga masyarakat Cigugur menghormati kepercayaan Sunda Wiwitan, dari menghormati tersebut kemudian terciptalah interaksi yang positif di dalam masyarakat Cigugur.

Selain merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menciptakan kerukunan, Sunda Wiwitan berkontribusi dalam memberikan pandangan bagi masyarakat Cigugur dalam memaknai pendidikan. Masyarakat Cigugur percaya adanya pendidikan sebelum dan pasca lahir dimana pandangan tersebut berasal dari budaya Sunda

Wiwitan. Pendidikan sebelum lahir dalam masyarakat Cigugur dimulai jauh sebelum calon anak itu lahir, pendidikan sebelum lahir menuntut seorang bapak dan ibu dalam menjaga perilaku di kehidupan sehari-hari karena perilaku calon bapak dan ibu tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan keadaan anaknya kelak.

Jadi, Sunda Wiwitan merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam menciptakan kerukunan dan berkontribusi dalam memberikan pandangan mengenai pendidikan sebelum lahir pada masyarakat Cigugur, sehingga Sunda Wiwitan menjadi sebuah falsafah yang dijalankan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Dokumen terkait