• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep ajaran agama islam di dalam kepercayaan sunda wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep ajaran agama islam di dalam kepercayaan sunda wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten."

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Abdurrahman NIM. 109015000028

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kanekes merupakan sebuah desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten. Sampai saat ini di Desa Kanekes tinggal dan menetap sebuah kelompok masyarakat adat yang hidup dengan kearifan lokal yang sangat kuat, kelompok masyarakat ini dikenal dengan nama Suku Baduy. Masyarakat Suku Baduy merupakan masyarakat adat yang meyakini aliran kepercayaan lokal mereka yang dikenal dengan nama Sunda Wiwitan. Sebagai sebuah sistem religi, Sunda Wiwitan memiliki unsur-unsur yang diharuskan ada pada setiap sistem religi, yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, dan kelompok keagamaan. Berdasarkan berbagai sumber informasi dan sejarah dikatakan bahwa Sunda Wiwitan sangat memiliki hubungan dengan agama Islam. Hal ini diakui pula oleh masyarakat Suku Baduy sebagai penganut Sunda Wiwitan itu sendiri, bahwa memang Sunda Wiwitan dan Islam memiliki hubungan sejarah. Menurut mereka Sunda Wiwitan dan Islam diciptakan oleh tuhan yang sama, namun pada zaman nabi yang berbeda. Jika Islam merupakan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, maka Sunda Wiwitan diyakini sebagai ajaran yang dibawa oleh nabi Adam AS yang merupakan nenek moyang manusia yang diciptakan jauh sebelum nabi Muhammad SAW lahir.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan datanya antara lain, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa antara Sunda Wiwitan dan Islam memiliki beberapa kesamaan pada unsur-unsur sistem religi yang ada di antara keduanya. Beberapa kesamaan di antara keduanya ada di dalam emosi keagamaannya, sistem kepercayaannya, dan sistem upacara keagamaannya. Kecuali di dalam kelompok keagamaan yang tidak ada kesamaan di antara Sunda Wiwitan dan Islam.

(6)

ii

Department of Social Sciences, The Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, The Islamic University Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Baduy is a village in the administrative District of Leuwi Damar, Lebak, Banten. Until recently in the village of Baduy live and settle a group of indigenous people who live with a very strong local wisdom, this community group known as the Baduy. Baduy community are indigenous people who are convinced of their local trust flow known as the Sunda Wiwitan. As a religious system, Sunda Wiwitan has elements that are required in every religious system, namely religious emotion, belief system, systems of religious ceremonies, and religious groups. Based on various sources of information and the history it says that Sunda Wiwitan very close ties with the Islamic religion. It is also recognized by the public as Baduy Sunda Wiwitan itself, that indeed Sunda Wiwitan and Islam have a historical connection. According to their Islamic and Sunda Wiwitan was created by the same God, but at the time of the Prophet and different. If Islam is the teachings brought by Prophet Muhammad, then believed to be Sunda Wiwitan teachings brought by Prophet Adam who is ancestor of human beings that were created long before the Prophet Muhammad was born.

The methods used in this research is descriptive qualitative. Among other data gathering techniques, interview, observation, and documentation. Later data analysis techniques used in this research is the reduction of the data, the presentation of the data, and draw conclusions.

From the result of the study found that between the Sunda Wiwitan and Islam have some common ground on elements of existing religious system in between. Some of the similarities between the two are in their religious belief systems, emotions, its religious rited and system. Except in religious groups that have nothing in common between the Sunda Wiwitan and Islam.

(7)

iii

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan nikmat dan karunia-Nya, proses penulisan skripsi yang berjudul

“Konsep Ajaran Agama Islam Di Dalam Kepercayaan Sunda Wiwitan Masyarakat

Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten” ini bisa selesai. Shalawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan untuk Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, atas jasa besarnya yang telah membimbing kita dari zaman gelap gulita menuju zaman yang terang benderang.

Penyelesaian skripsi ini tentu tidak akan pernah tercapai tanpa adanya bimbingan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak yang dengan senang hati memberi hal-hal positif dalam proses penulisan ini. Tidak ada kata lain yang pantas diucapkan, selain terima kasih kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan, serta dorongannya. Ucapan terima kasih penulis berikan kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Nurlena Rifa’I MA. Ph. D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Iwan Purwanto, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas bimbingan, pengarahan, serta motivasinya kepada penulis selama masa perkuliahan, jasamu abadi.

(8)

iv

6. Masyarakat Suku baduy (Bapak Sawardi dan keluarga, Bapak Alim, Bapak

Jastrib, Bapak Marjuk, Bapak Asmin, dan Bapak Dainah). Terima kasih atas keterbukaannya menerima penulis untuk sebentar masuk dalam kehidupan

kalian yang “tertutup”, atas keramahan yang walaupun terlihat kaku, justru

menjadi keunikan tersendiri bagi penulis selama beberapa waktu mencoba ikut menjadi salah satu bagian masyarakat Suku Baduy, dan atas pengetahuan tentang alam dan lingkungan yang menunjukkan kemajuan pemikiran dengan balutan kearifan lokal yang sangat terasa kental, tidak akan berubah kekaguman dan semakin bertambah kecintaan penulis kepada kalian.

7. Kedua orang tua tercinta (Asmawi dan Suhaenah). Beribu bahkan berjuta kali mengucapkan terima kasih pun tidak bisa mengganti begitu banyak pengorbanan yang telah dan sedang dilakukan demi melihat anak-anaknya kelak menjadi manusia-manusia yang berguna. Abi dan Umi, terima kasih

atas limpahan kasih sayang, ribuan do’a, dukungan moril dan materil, serta

banyaknya nasihat kepada penulis yang terkadang justru tidak didengar, mohon maaf atas segala khilaf anak kalian yang belum bisa mewujudkan semua harapan kalian.

8. Adik-adik tersayang (Nurazizah dan Neneng Syukria Fatimah). Terima kasih atas suasana yang diberikan, sehingga emosi sebagai keluarga bisa terus terjaga dan semoga akan selalu terjaga, aamiin.

9. Kawan-kawan Empat Sembilan Siswa Pecinta Alam (ESSISPAL). Terima kasih atas pengalaman masa SMA yang sangat luar biasa, di ESSISPAL penulis mulai menemukan karakter serta membangun pondasi menjadi pribadi, jasamu abadi.

(9)

v

penulis semakin terasah, atas pengalaman yang serba pertama penulis rasakan (terjun ke bencana, terjun ke operasi SAR, keliling pulau di Indonesia), maaf atas segala kekurangan yang penulis berikan karena tidak maksimalnya penulis dalam menjalankan tugas, jasamu abadi.

12. Kawan-kawan angkatan 22 KMPLHK RANITA (Karpes, Bogang, Takare, Bloso, Genjer, Tarim, Bronto, Glutak, Langu, Dojeng, Toyog, Pilang, Boles, Layor, Blana, Potasa, Siyem, Waren). Terima kasih atas pertemanan, pengorbanan, kerja sama, dan kekompakan yang pernah ada, kalian guru-guru terbaik penulis, jasamu abadi.

13. Kawan-kawan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (Angga, Didik, Irul, Ridwan, Mahbub, Yuli, Tenjo, Fahri, Asep, Gilang, Umam, Bang Uceng, Bang Qori, Bang Dziki, Bang Gunawan, Bang Yusri, bang Muhammad, Bang Irpan, dan kawan-kawan lain). Terima kasih atas wawasan kebangsaan, pengetahuan tentang ideologi, serta pengetahuan tentang politik yang tidak akan pernah penulis dapatkan di bangku perkuliahan, jasamu abadi.

14. Angga, Iqbal, dan Umar. Terima kasih atas waktu yang telah direlakan untuk mendampingi penulis menjelajahi keeksotisan Suku Baduy yang luar biasa, jasamu abadi.

15. Kawan-kawan penulis (Yusuf, Mubin, Feri, Iqbal, Didik, Fahri, Furqon, Bayu, Imam, Akbar, Wahyu Dj, Aisyah, Lita, Aini, Desi, Indah, Ella, dan kawan-kawan lain). Terima kasih atas saran dan kritik membangun yang selalu menjadi pecut penyemangat penulis.

(10)

vi

akan selalu ada perbaikan di dalam tulisan-tulisan selanjutnya. Semoga skripsi ini bisa lebih bermanfaat tentu khususnya bagi penulis dan semoga umumnya bagi pembaca sekalian sebagai koleksi tambahan dalam khazanah ilmu pengetahuan di Indonesia bahkan dunia.

Wassalamualaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 1 Desember 2014

(11)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Identifikasi Masalah... 5

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah ... 6

2. Rumusan Masalah ... 6

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Kebudayaan 1. Pengertian Kebudayaan ... 8

2. Wujud Kebudayaan ... 9

3. Unsur Kebudayaan Universal ... 11

4. Akulturasi dan Asimilasi ... 13

5. Konsep Kebudayaan ... 15

a. Kenisbian Kebudayaan ... 15

b. Etnosentrisme ... 17

c. Kebudayaan Selalu Berubah ... 18

B. Agama (Religi) 1. Pengertian Agama ... 19

(12)

viii

3. Unsur-Unsur Dasar Religi ... 27

C. Islam 1. Pengertian Islam ... 30

2. Rukun-Rukun Agama Islam ... 31

a. Rukun Islam ... 31

b. Rukun Iman ... 33

c. Rukun Ihsan... 35

D. Penelitian yang Relevan ... 36

E. Kerangka Berpikir ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

B. Latar Penelitian ... 42

C. Metode Penelitian ... 43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Pengumpulan Data ... 43

a. Observasi ... 44

b. Wawancara ... 44

c. Dokumentasi... 45

2. Pengolahan Data ... 45

a. Reduksi Data ... 45

b. Penyajian Data... 46

c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi ... 46

E. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ... 46

BAB IV PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah Penelitian ... 49

2. Batas Wilayah Administratif ... 49

3. Batas Alam... 50

4. Kondisi Demografi ... 50

B. Sunda Wiwitan... 51

(13)

ix

2. Sistem Kepercayaan... 54

3. Sistem Upacara Keagamaan ... 57

a. Kawalu ... 57

b. Ngalaksa ... 58

c. Seba ... 59

d. Pernikahan ... 59

e. Khitan ... 60

f. Mengurus Jenazah ... 61

4. Kelompok Keagamaan... 62

a. Orang Baduy Dalam ... 63

b. Orang Baduy Luar ... 63

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

(14)

DAFTAR TABEL

[image:14.595.105.526.160.555.2]
(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi

Lampiran 2 Pedoman Observasi Lapangan

Lampiran 3 Hasil Observasi Lapangan

Lampiran 4 Pedoman Wawancara

Lampiran 5 Hasil Wawancara

Lampiran 6 Peraturan Desa Kanekes Tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy)

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Berdasarkan sudut pandang kebahasaan – bahasa Indonesia pada umumnya – “agama” dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang artinya tidak kacau, agama diambil dari dua akar suku kata yaitu a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau”1. Agama dipercaya sebagai seperangkat pedoman yang mengatur segala bentuk perilaku manusia di dalam segala aspek kehidupannya, agar tidak terjadi kekacauan seperti yang telah dijelaskan di awal.

Jika ditinjau dari definisinya, maka keberadaan agama menjadi salah satu unsur vital bagi kehidupan manusia. Pada hakikatnya setiap manusia memiliki agama yang dijadikan pedoman bagi kehidupannya, yang di dalam Antropologi disebut dengan sistem religi. Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang tidak memiliki agama.

Nurcholis Madjid di dalam salah satu tulisannya menjelaskan tentang

Ateisme yang oleh sebagian besar masyarakat dipahami sebagai paham yang tidak beragama, beliau memahami Ateisme tidak demikian. Ateisme oleh Nurcholis Madjid dipahami hanya sebatas sebuah paham yang menolak

konsep tuhan menurut agama formal, namun Ateisme di dalam

pemahamannya juga merupakan sebuah agama dengan konsep Politeisme.

Apakah manusia bisa menjadi ateis, tidak percaya sama sekali akan adanya yang Mahakuasa? Pertanyaan yang barangkali terasa berlebihan, karena kita telah terbiasa berpikir bahwa Ateisme terdapat di banyak sekali kalangan manusia, khususnya kalangan kaum komunis. Bagi kita, kaum komunis adalah dengan sendirinya ateis, tak ayal lagi.

Tapi cobalah kita renungkan fakta ini: Di pinggiran kota Pyongyang, Korea Utara, di atas sebuah bukit, berdiri tegak patung

1

(17)

patung raksasa Kim Il Sung. Patung itu dibuat begitu rupa, sehingga seolah-olah tangan Kim hendak menggapai langit, atau bersikap

seperti mau “memberkati” ibu kota Korea Utara. Salah satu

pemandangan harian ialah rombongan demi rombongan anak-anak

sekolah Korea Utara datang “menziarahi” patung itu, kemudian secara bersama membaca dengan “khyusuk” kalimat-kalimat pujian kepada Kim Il Sung. Bahkan konon, di negeri yang agaknya produksi pangannya kurang menggembirakan itu, patung Kim dengan tangannya yang menjarah langit itu, dipercayai mampu mengubah pelangi menjadi beras!

Gejala apakah semua itu? Tidak lain ialah gejala keagamaan. Atau, dalam ungkapan yang lebih meliputi, gejala pemujaan (devotion). Anak-anak Korea Utara itu sebenarnya memuja pemimpin mereka, Kim Il Sung. Tetapi gejala itu tidak hanya monopoli anakn-anak kecil yang tidak berdosa. Patung Kim ada dimana-mana, begitu pula poster-poster yang memampangkan potret pemimpin besar itu mendominasi pemandangan Korea Utara bahkan konon pegawai pos di sana tidak berani mencap perangko yang menggambarkan Kim, seperti ketakutan kualat.

Dan gejala pemujaan pemimpin, tidak hanya khas Korea Utara, pemandangan harian di lapangan Merah Moskow, Uni Soviet (dulu, era Komunisme, BMR), misalnya, ialah deretan panjang orang antre untuk berziarah ke mausoleum Lenin, dengan sikap yang jelas-jelas

bersifat “devotional” seakan meminta berkah kepada sang pemimpin

yang jenazahnya terbaring di balik kaca tebal itu. Stalin pernah diperlakukan seperti tuhan, demikian pula Mao Ze Dong (Mao Tse Tung) di RRC, dan seterusnya, dan sebagainya.

Melihat itu semua, kesimpulan yang boleh dikatakan pasti ialah bahwa orang-orang komunis itu ternyata tidak berhasil menjadi benar-benar ateis. Kalau ateis tidak memeluk agama formal yang ada seperti Yahudi, Kristen, Islam, Buddhisme, Konfusianisme, dan lain-lain, maka barangkali memang benar orang-orang komunis itu ateis. Tapi kalau ateis berarti bebas dari segala bentuk pemujaan, maka orang-orang komunis adalah kelompok pemuja yang paling fanatic dan tidak rasional. Mereka memang tidak akan mengakui bahwa mereka memandang para pemimpin mereka sebagai “tuhan-tuhan”. Tapi sikap mereka jelas menunjukkan hal itu. Sebenarnya mereka telah terjerembab ke dalam lembah Politeisme yang justru sangat membelenggu dan merampas kebebasan mereka2.

Di dalam tulisan Nurcholis Madjid di atas sangat jelas menggambarkan kehidupan keagamaan oleh kelompok-kelompok yang

2

(18)

menyatakan diri sebagai penganut Ateisme. Manusia yang menyatakan dirinya tidak beragama pun tanpa disadari telah melaksanakan ritual-ritual

“keagamaan”, maka tidak dapat dipungkiri bahwa agama memang pasti dimiliki oleh setiap manusia disadari atau tidak disadari dan diakui atau tidak diakui.

Antropologi menyebut agama sebagai sebuah sistem religi. Antropologi merupakan ilmu pengetahuan yang juga memandang sistem religi sebagai sesuatu yang pasti dimiliki oleh setiap manusia, di dalamnya sistem religi termasuk salah satu unsur dari kebudayaan.

Di dalam Antropologi, sistem religi adalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, kesenian, dan sistem religi itu sendiri3. Unsur kebudayaan universal adalah unsur yang pasti ada di seluruh kebudayaan di dunia, mulai dari kebudayaan yang sangat sederhana sampai dengan kebudayaan yang sangat rumit sekali pun pasti memiliki tujuh unsur kebudayaan universal tersebut4. Itu berarti sistem religi pasti ada di setiap kebudayaan yang ada di dunia, dan juga ada dan tidak terlepas dari kebudayaan-kebudayaan yang tersebar di Indonesia sebagai salah satu bagian dari kebudayaan yang ada di dunia.

Namun, sistem religi yang ada di Indonesia bukan hanya ada satu, dua, atau tiga saja. Indonesia memiliki ratusan kelompok suku, dan kelompok-kelompok suku yang tersebar di seluruh bumi nusantara memiliki sistem religinya masing-masing yang telah dimiliki selama turun-temurun jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan lebih jauh lagi sebelum itu. Pada zaman terdahulu sistem religi yang dipercaya dianut oleh nenek moyang orang-orang Indonesia adalah Animisme (aliran kepercayaan dan penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang) dan Dinamisme (aliran kepercayaan dan penyembahan terhadap benda-benda yang dianggap

3

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT Gramedia, 1990), hal. 2

4

(19)

mempunyai kekuatan supranatural) yang sangat tidak asing didengar sampai saat ini. Animisme dan Dinamisme adalah sebuah generalisasi bagi sistem religi nenek moyang Indonesia pada zaman terdahulu, akan tetapi sub unsur-unsur dari religi yang ada pada setiap kebudayaan di Indonesia tentu saja berbeda dan memiliki ciri khas masing-masing pada setiap kelompoknya.

Seiring perjalanan waktu berbagai sistem religi asing datang dari luar dan masuk ke Indonesia yang dimulai sejak zaman masehi, kemudian melahirkan interaksi-interaksi antara sistem religi asing dengan sistem religi lokal yang pada akhirnya melahirkan asimilasi dan atau akulturasi antara keduanya. Sistem religi seperti Hindu dan Buddha yang berasal dari India, Islam yang berasal dari Arab, dan Kristen yang dibawa oleh para Missionary

secara bertahap masuk ke Indonesia dan mulai menyebarkan paham keagamaannya dari abad kedua sampai pada zaman penjajahan kolonial Belanda dengan caranya masing-masing5. ada yang menyebarkan ajaran agamanya dengan cara halus dan penuh toleransi kepada masyarakat lokal Indonesia, dan ada pula yang menyebarkan ajaran agamanya dengan cara kasar dan memaksa kepada masyarakat lokal Indonesia.

Sistem religi nenek moyang yaitu Animisme dan Dinamisme secara bertahap mulai berinteraksi dengan sistem-sistem religi asing yang datang dari luar. Interaksi sistem religi lokal dengan sistem religi asing melahirkan proses asimilasi dan atau akulturasi budaya di Indonesia. Asimilasi dan atau

akulturasi antara sistem religi lokal dengan sistem religi asing yang terjadi akhirnya melahirkan sistem-sistem religi baru di Indonesia. Banyak sistem religi kelompok-kelompok suku di Indonesia yang saat ini ada merupakan hasil dari asimilasi dan atau akulturasi budaya antara budaya lokal dengan budaya asing yang berhubungan dengan sistem religi. Salah satu contoh terjadinya proses interaksi antara sistem religi lokal dengan sistem religi asing saat ini ada pada kelompok suku masyarakat di Desa Kanekes,

5

(20)

Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten yang merupakan hasil akulturasi

budaya.

Masyarakat di Desa Kanekes adalah salah satu contoh kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan hasil dari akulturasi budaya lokal dengan budaya asing, masyarakat di desa ini akrab dikenal dengan sebutan Suku Baduy. Dalam tulisannya, Djajadiningrat menjelaskan bahwa Suku Baduy pada dasarnya adalah masyarakat penganut kepercayaan Animisme, namun seiring berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, kepercayaan

Animisme mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan juga Islam6. Masyarakat Suku Baduy menyebut agama atau kepercayaan mereka tersebut dengan nama “Sunda Wiwitan”.

Suku Baduy dikenal karena komitmen dan kemampuannya menjaga, melestarikan, serta menjunjung tinggi tradisi yang diwariskan dari para pendahulunya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. salah satu tradisi yang masih dipegang teguh sebagai pedoman hidup adalah kepercayaan Sunda Wiwitan yang telah dijelaskan sebelumnya, proses interaksi antara sistem religi Islam dan sistem religi lokal Sunda Wiwitan merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Dengan latar belakang tersebut penulis bermaksud mengadakan penelitian yang berjudul “Konsep ajaran agama Islam di dalam kepercayaan Sunda Wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

a. Adanya proses interaksi antara budaya lokal dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia.

6

(21)

b. Proses interaksi yang terjadi melahirkan akulturasi dan atau asimilasi

yang melahirkan sebuah kebudayaan baru terutama dalam agama atau sistem religi di Indonesia.

c. Salah satu proses akulturasi terjadi pada masyarakat Desa Kanekes antara agama Islam dan agama Hindu dengan animisme yang dianut masyarakat lokal di sana.

d. Kepercayaan yang dianut masyarakat Desa Kanekes bernama Sunda Wiwitan.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Batasan Masalah

a. Pelaksanaan penelitian kepercayaan Sunda Wiwitan difokuskan pada masyarakat Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten.

b. Permasalahan terbatas pada akulturasi yang terjadi antara kepercayaan Islam dengan kepercayaan Animisme yang ada pada masyarakat Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten.

2. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep ajaran agama Islam di dalam kepercayaan Sunda Wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(22)

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran tambahan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi perkembangan Sosiologi dan Antropologi, khususnya kajian mengenai sistem religi.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Penulis:

Sebagai media pembelajaran bagi penulis dalam melakukan kegiatan-kegiatan penelitian berikutnya, serta sebagai media penguatan pemahaman baik dalam tataran teori dan tataran implementasi di kehidupan.

4. Bagi Pemerintah:

(23)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”

atau “akal”, dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”1. Maksudnya adalah bahwa segala hal yang berasal dari proses berpikir (akal) manusia merupakan bagian dari kebudayaan, proses berpikir manusia bisa diartikan dengan proses belajar, jadi hal apapun yang diperoleh manusia dari proses belajar itu adalah merupakan sebuah kebudayaan. Hal yang sama juga dijelaskan oleh ilmu Antropologi, ilmu Antropologi mendefinisikan kebudayaan dengan

keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan

belajar”2.

Banyak masyarakat umum memahami kebudayaan dengan

pemahaman yang sempit. Masyarakat umumnya memahami kebudayaan hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan keindahan, dan warisan zaman terdahulu saja, seperti: seni tari, seni rupa, warisan bangunan-bangunan bersejarah seperti candi-candi, masjid-masjid kuno, situs-situs purbakala, dan lain sebagainya. Padahal kebudayaan lebih luas pemahamannya daripada hal-hal tersebut, ilmu Antropologi dan Koentjaraningrat telah menjelaskan mengenai apa itu kebudayaan. Pada dasarnya pemahaman umum yang berkembang di masyarakat mengenai kebudayaan itu benar, hal-hal yang tadi disebutkan memang merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi kebudayaan bukan hanya itu, yang dimaksud

1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hal. 195 2

(24)

kebudayaan adalah segala hal dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang diperoleh dengan proses belajar.

Hampir seluruh tindakan yang dilakukan manusia diperoleh dengan proses belajar baik formal maupun non-formal sejak manusia dilahirkan, hanya tindakan refleks yang merupakan naluri manusia yang didapat tanpa belajar, bahkan sifat alami yang dibawa manusia sejak lahir pun dirubah menjadi sebuah tindakan yang harus dilakukan dengan proses belajar, seperti cara makan dan minum yang bisa dilakukan tanpa belajar dimodifikasi oleh manusia menjadi makan dan minum dengan cara-cara yang rumit, begitupun dengan berjalan dimodifikasi oleh manusia dengan berbagai macam gaya, dan sifat alami lainnya yang pada dasarnya bisa dilakukan oleh manusia tanpa belajar sekalipun.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan yang menjadi pemahaman umum di masyarakat merupakan salah satu bagian dari pengertian kebudayaan yang sebenarnya, karena kebudayaan mempunyai pengertian yang lebih luas dibanding yang dipahami masyarakat pada umumnya. Segala sistem gagasan (ide), tindakan (perilaku), dan hasil karya manusia yang diperoleh dari proses belajar lah yang merupakan pengertian kebudayaan secara menyeluruh.

2. Wujud Kebudayaan

Talcot Parsons dan A. L. Kroeber pernah membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan dan aktifitas manusia yang berpola. Berdasarkan hal tersebut Koentjaraningrat membagi kebudayaan menjadi tiga wujud, yaitu:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

(25)

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia3.

Wujud pertama adalah wujud abstrak dari kebudayaan, karena wujud ini tidak bisa dilihat atau diraba oleh panca indera, ide atau gagasan adalah sebuah benda abstrak yang hanya ada di pikiran manusia. Ide atau gagasan merupakan cikal bakal atau proses awal terlahirnya kebudayaan, kebudayaan terlahir dari ide atau gagasan yang tercipta dan disepakati bersama di dalam sebuah masyarakat, ide atau gagasan yang tercipta merupakan hasil dari proses adaptasi dan belajar dari lingkungan dimana masyarakat tersebut tinggal. Tahap selanjutnya ketika ide atau gagasan tersebut telah disepakati bersama maka hal tersebut akan menjadi semacam sistem sosial yang akan dipegang oleh masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.

Wujud kedua kebudayaan merupakan tindak lanjut dari wujud pertamanya. Ide atau gagasan yang telah disepakat bersama dijadikan sebuah sistem sosial yang akan mengatur segala tindakan seluruh anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Maka wujud kedua dari kebudayaan adalah segala tindakan dengan pola teratur seluruh anggota masyarakat yang telah diatur di dalam sebuah sistem sosial yang terlahir dari ide atau gagasan yang telah disepakati oleh mereka sendiri. Berbeda dengan wujud pertama, pola tindakan manusia adalah sebuah hal yang bisa ditangkap oleh panca indera manusia dan bukan merupakan suatu hal yang bersifat abstrak.

Wujud ketiga dari kebudayaan adalah benda-benda hasil dari tindakan atau aktifitas masyarakat yang berjalan sehari-harinya. Wujud ketiga dari kebudayaan adalah hal berbentuk benda-benda konkret yang diciptakan oleh masyarakat, seperti: komputer, pensil, kertas, baju, celana, lemari, gitar, masjid, gereja, dan masih banyak lagi benda-benda yang telah diciptakan oleh masyarakat yang dibuat untuk membantunya menjalani aktifitas sehari-hari.

3

(26)

Ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah tiga bentuk yang pada dasarnya saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Ide atau gagasan pikiran yang lahir dan disepakati oleh masyarakat selanjutnya akan menjadi sebuah pegangan hidup yang akan dan harus ditaati oleh masyarakat itu sendiri, segala tindakan atau perilaku anggota masyarakat telah diatur dan ditentukan di dalam sistem sosial mereka yang berasal dari ide atau gagasan yang mereka ciptakan sendiri, selanjutnya segala tindakan atau aktifitas masyarakat yang ada tentu saja akan melahirkan berbagai macam benda-benda yang dibuat untuk menunjang segala tindakan atau aktifitas mereka, atau hanya sekedar hasil yang telah diciptakan dari tindakan atau aktifitas tersebut. Kemudian benda-benda yang telah tercipta seiring dengan perjalanan waktu nantinya akan mempengaruhi cara berpikir dari anggota masyarakat yang hidup di sekitarnya.

3. Unsur-Unsur Kebudayaan Universal

Dunia ini dihuni oleh milyaran manusia yang setiap pribadinya hidup di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang berbudaya, mungkin ada ribuan atau bahkan lebih kebudayaan yang ada di dunia mulai dari kebudayaan yang sederhana sampai dengan kebudayaan yang kompleks. Setiap kebudayaan yang ada di dunia pasti memiliki unsur-unsur budayanya masing-masing yang terintegrasi menjadi kebudayaan tersebut, banyak atau sedikit unsur budaya tergantung dari sederhana atau kompleks kebudayaannya. Tetapi dari banyaknya unsur yang ada pada kebudayaan-kebudayaan di dunia, dapat ditarik menjadi kelompok-kelompok besar unsur-unsur kebudayaan yang bersifat menyeluruh atau universal.

(27)

di setiap kebudayaan yang ada di dunia, baik kebudayaan yang sangat sederhana sampai dengan kebudayaan yang sangat kompleks.

Koentjaraningrat berpendapat bahwa tujuh unsur kebudayaan

universal tersebut, yaitu:

a. Sistem Religi

b. Organisasi Sosial

c. Sistem Pengetahuan

d. Bahasa

e. Kesenian

f. Sistem Mata Pencaharian Hidup g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi4

Ketujuh unsur inilah yang dianggap secara umum ada menyeluruh di setiap kebudayaan di dunia. Di dalam tataran implementasi, unsur-unsur ini kemudian menjelma ke dalam wujud-wujud kebudayaan di masyarakat, menjelma ke dalam ide-ide dan gagasan kebudayaan masyarakat, menjelma ke dalam tindakan dan sistem sosial masyarakat, dan menjelma ke dalam hasil-hasil kebudayaan masyarakat. Setiap unsur yang ada selalu menjelma ke dalam tiga wujud tersebut, dari bahasa sampai dengan kesenian setiap masing-masing unsur akan menjelma ke dalam ide, tindakan, dan kebudayaan fisik di dalam setiap kebudayaan.

Koentjaraningrat menjelaskan di dalam bukunya “Pengantar Ilmu

Antropologi” mengenai unsur-unsur universal yang menjelma ke dalam tiga wujud kebudayaan.

Sistem ekonomi misalnya mempunyai wujudnya sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tindakan dan interaksi yang berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transport, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh

4

(28)

halus, neraka, surga, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Contoh lain adalah unsur universal kesenian yang dapat berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, ceritera-ceritera, dan syair yang indah. Namun, kesenian juga dapat berwujud tindakan-tindakan interaksi berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar, penonton, dan konsumen hasil kesenian, tetapi kecuali itu semua kesenian juga berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda-benda kerajinan, dan sebagainya5.

4. Akulturasi dan Asimilasi

Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang akan selalu dinamis bergerak dan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tiga wujud kebudayaan akan selalu berotasi dari ide yang diimplementasi menjadi tindakan, tindakan yang akan melahirkan hasil kebudayaan, dan hasil-hasil kebudayaan yang nantinya akan mempengaruhi proses berpikir masyarakatnya dalam melahirkan ide berikutnya, dan akan seperti itu seterusnya.

Di dalam kehidupan, interaksi sosial adalah sebuah hal yang tidak bisa dipungkiri. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa pertolongan manusia lain, interaksi sosial akan terjadi baik di antara individu di sebuah kelompok masyarakat, antara individu dengan kelompok masyarakat lain, dan antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Interaksi sosial juga menjadi salah satu unsur penyebab manusia selalu dinamis bergerak dan berubah, dia mempunyai peran besar bagi perkembangan kehidupan manusia dari waktu ke waktu.

Interaksi sosial terjadi di dalam dan atau di antara kelompok masyarakat, seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa setiap masyarakat yang ada memiliki kebudayaan masing-masing. Adanya interaksi yang terjadi di dalam dan atau di antara kelompok masyarakat tentunya juga akan melahirkan interaksi antara kebudayaan yang dimiliki oleh masing-masing

5

(29)

kelompok masyarakat tersebut, proses interaksi antara kebudayaan-kebudayaan ini tentunya akan melahirkan dampak setelahnya. Di dalam Ilmu Antropologi ada dua istilah yang bisa menggambarkan hasil dari proses interaksi yang terjadi antar kebudayaan, yaitu akulturasi dan asimilasi.

a. Akulturasi

“Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu

kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri”6.

Artinya ada interaksi yang terjadi antara kebudayaan lokal sebuah masyarakat dengan kebudayaan asing yang masuk di dalam masyarakat tersebut, interaksi yang terjadi menyebabkan adanya unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk diserap dan diterima oleh masyarakat lokal ke dalam kebudayaan mereka, tetapi unsur-unsur kebudayaan asing tersebut tidak menghilangkan ke-khas-an kebudayaan lokal, dengan sedemikian rupa masyarakat mengolah unsur-unsur kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan lokalnya.

b. Asimilasi

“Asimilasi adalah sebuah proses yang terjadi apabila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran”7.

Artinya ada interaksi yang terjadi antar beberapa kelompok masyarakat yang berarti juga interaksi antar masing-masing

6

Ibid., hal. 262 7

(30)

kebudayaannya. Interaksi yang terjadi dengan waktu yang relatif lama pada akhirnya nanti akan melahirkan sebuah kebudayaan baru diantara kelompok-kelompok masyarakat tersebut dan menghilangkan unsur-unsur bawaan dari kebudayaan awal sebelum adanya interaksi di antara mereka.

5. Konsep Kebudayaan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kebudayaan adalah seluruh ide, tindakan, dan hasil karya yang diperoleh manusia dengan belajar, proses belajar dilakukan manusia selama hidupnya sebagai anggota di dalam kelompok masyarakat. Kebudayaan merupakan sebuah konsep yang lahir di tengah kelompok masyarakat dan merupakan hasil proses belajar dari manusia-manusia anggota sebuah kelompok masyarakat dan disepakati oleh kelompok masyarakatnya, yang berarti setiap kebudayaan adalah sama dengan jati diri setiap kelompok masyarakat yang diwakilinya. Setiap kelompok masyarakat pasti memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lainnya, walaupun ada kemiripan yang terlihat tetapi pada hakikatnya pasti ada pembeda yang mencirikan setiap kelompok masyarakat yang secara umum mungkin memiliki kesamaan budaya.

Namun, kebanyakan masyarakat umum masih belum memahami konsep dari kebudayaan ini, sebuah konsep bahwa memang pasti ada perbedaan di antara kelompok-kelompok masyarakat dengan kebudayaan-kebudayaannya. Masih banyak suatu kelompok masyarakat menilai kebudayaan kelompok masyarakat lain dari sudut pandang kebudayaannya. Ada beberapa pemahaman yang perlu diketahui agar bisa memahami sebuah konsep dari kebudayaan.

a. Kenisbian Kebudayaan

(31)

dan penilaian negatif. Pada dasarnya penilaian tersebut merupakan penilaian yang berdasar pada subyektifitas masyarakatnya, padahal seharusnya dalam memandang kebudayaan lain di luar kebudayaan kita diperlukan penilaian yang obyektif.

Menilai kebudayaan A baik atau kebudayaan B tidak baik sebenarnya tidak bisa dilakukan, karena kita bukanlah pelaku di dalamnya, kita tidak hidup di daerah mereka, kita tidak tahu kondisi kehidupan mereka, kita tidak memahami maksud dan tujuan dari kebudayaan A atau kebudayaan B melakukan hal-hal yang kita anggap baik atau tidak baik.

Ada sebuah tulisan menarik yang menggambarkan seorang peneliti yang mencoba menggambarkan salah satu kegiatan kelompok masyarakat.

Saya dengar bahwa pada ritual ini segumpal kecil bulu kewan beserta bubuk-bubuk gaib tertentu dimasukkan ke dalam mulut, lalu gumpalan bulu ini digerakkan menurut serangkaian gerak-gerak yang sangat formal. Selain daripada melakukan ritual mulut sehari-hari, orang-orang juga mengunjungi seorang dukun mulut sakti sekali atau dua kali setahun. Dukun-dukun ini mempunyai satu perangkat alat-alat menakutkan, terdiri dari bermacam-macam bor besar, penggeret, alat pemeriksa dalamnya luka, alat penusuk yang tajam. Pemakaian alat-alat ini dalam mantra-mantra mengusir setan-setan penyakit mulut, membawakan siksaan ritual yang luar biasa untuk si klien. Dukun gigi membuka mulut klien – dan dengan memakai alat-alat tersebut di atas, memperbesar tiap lobang yang disebabkan pembusukan gigi. Alat-alat gaib dimasukkan ke dalam lobang-lobang ini. Jika tidak ada lobang-lobang-lobang-lobang di gigi, sebagian besar dari satu macam gigi atau lebih dilobangi sehingga bahan-bahan gaib itu dapat dimasukkan. Dalam pandangan kliennya, maksud tujuan perbuatan-perbuatan ini adalah untuk menghentikan pembusukan dan untuk menarik kawan-kawan. Jelaslah bahwa ritual ini sangat sakti dan tradisional, karena penduduk tiap tahun kembali kepada dukun mulut yang sakti itu, walaupun gigi-gigi mereka terus membusuk8.

8

(32)

Padahal sang peneliti hanya menggambarkan sebuah kegiatan sehari-hari yang dianggap biasa, yaitu membersihkan dan merawat gigi serta mulut, tetapi dia menggambarkan kegiatan tersebut sebagai ritual yang dianggap aneh dan tidak biasa serta bersifat gaib.

Kenisbian kebudayaan adalah sebuah pemahaman bahwa cara

untuk memandang sebuah kelompok masyarakat dengan

kebudayaannya merupakan hal yang relatif, kita perlu meninjau pemikiran dan kebiasaan sebuah kelompok masyarakat yang pada akhirnya menciptakan sebuah kebudayaan mereka itu, bagi seorang peneliti Antropologi sangat dilarang untuk menggambarkan sebuah kebudayaan berdasarkan sudut pandang dirinya, dia harus bisa memposisikan diri sebagai anggota kelompok masyarakat tersebut sebelum menggambarkan kebudayaan mereka. Tidak ada kebudayaan yang lebih baik dari kebudayaan lainnya, kebudayaan sebuah kelompok masyarakat tercipta sesuai dengan tingkat pemikiran dan kondisi tempat hidupnya.

b. Etnosentrisme

(33)

Tetapi, pada dasarnya hal tersebut tidaklah boleh dilakukan

ketika kita sedang “bermain” di ranah kebudayaan. Sikap menilai

kebudayaan lain dari sudut pandang pemahaman kebudayaan sendiri adalah sebuah sikap etnosentris, apalagi penilaian tersebut sampai memberi dampak terhadap kelompok masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut, mungkin sebuah hinaan, ejekan, atau bahkan terkucilkan. Di dalam kenisbian sebuah kebudayaan dijelaskan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diambil kesimpulannya dengan hanya melihat kulit luar dari sebuah kebudayaan, si “penilai” harus masuk lebih dalam untuk mengetahui motif dan alasan sebuah kebudayaan dianut dan dilestarikan.

Sikap etnosentris hanya akan menghambat dan mengurangi sebuah kualitas penggambaran sebuah kebudayaan, seorang peniliti Antropologi harus bisa menjadi sosok netral untuk bisa menggambarkan sebuah kebudayaan, karena sikap subyektif hanya akan merubah deskripsi sebuah kebudayaan dengan apa yang ada pada kenyataan di lapangan. Masyarakat umum pun harus sudah mulai menghilangkan sikap etnosentris, karena sikap tersebut hanya akan menciptakan disintergrasi dan bahkan bisa menimbulkan konflik.

c. Kebudayaan Selalu berubah

[image:33.595.104.519.150.542.2]

Ada sebuah siklus dan koneksi antara tiga wujud kebudayaan yang ada, yaitu: ide atau gagasan, tindakan atau sistem sosial, dan kebudayaan fisik atau artefak. Siklus ini akan selalu berputar dan selalu terulang, dengan sebuah konsekuensi akan berubahnya suatu kebudayaan dari masa ke masa. Kebudayaan bukanlah sebuah benda statis, dia akan terus berubah dan berkembang mengikuti perkembangan kelompok masyarakatnya.

(34)

menjadi sebuah acuan bagi anggota-anggota kelompok masyarakat dalam bertindak dan berprilaku yang diimplementasikan di dalam bentuk sistem sosial berupa norma-norma dan aturan-aturan, ketika aktifitas anggota sebuah kelompok masyarakat bertindak dan berprilaku sesuai dengan sistem sosial yang ada, maka segala aktifitas tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah hasil berupa benda-benda yang bersifat fisik. Ketika siklus pertama telah berjalan tentu tidak akan berhenti disitu, selanjutnya benda-benda fisik hasil kebudayaan yang dihasilkan tadi nantinya akan mempengaruhi pola pikir anggota-anggota kelompok masyarakat, yang kemudian akan melahirkan sistem sosial yang baru, dan akan melahirkan juga benda-benda fisik hasil dari aktifitas anggota-anggota masyarakatnya.

B. Agama (Religi) 1. Pengertian Agama

Tidak ada sebuah definisi baku yang dapat menjelaskan apa pengertian dari agama, bahkan setiap tokoh yang dianggap memahami agama pun memiliki perbedaan dalam menjelaskan pengertiannya, tentu itu adalah hal yang wajar-wajar saja, karena memang manusia mempunyai pola pikir yang berbeda-beda. Setiap orang bisa saja menggambarkan satu sisi mengenai agama, dan orang lain menjelaskan agama dari sisi yang berbeda, layaknya orang buta yang mencoba menggambarkan gajah, ada yang berkata gajah itu bentuknya panjang, gajah itu bentuknya lebar dan tipis, dan lain sebagainya, tetapi ketika disatukan dari berbagai sisi pengertiannya pasti dapat ditarik sebuah generalisasi mengenai definisi sebuah agama.

Ada beberapa tokoh Antropologi yang telah mendefinisikan pengertian dari agama, dan tentu dari pendapat-pendapat mereka terdapat perbedaan-perbedaan, antara lain:

a. Radcliffe-Brown (1881-1995)

(35)

di Trinity College dengan guru yang ahli psikologi, etnologi, dan filsafat. Kemudian ia belajar antropologi. Untuk menulis disertasi, ia meneliti masyarakat Negrito di kepulauan Andaman, sebelah utara pulau Sumatera. Tahun 1910 ia meneliti lagi suku bangsa Kariera di Australia Barat yang difokuskan kepada totem suku tersebut. Penelitian ini dilakukan setelah ia tertarik kepada sosiologi positifistik Durkheim dan kawan-kawan.

Radcliffe-Brown mengemukakan definisi, “agama adalah

ekspresi dalam satu atau lain bentuk tentang kesadaran terhadap ketergantungan kepada suatu kekuatan di luar diri kita yang dapat

dinamakan dengan kekuatan spiritual atau moral”9

.

b. Clifford Geertz (lahir 1926)

Ahli antropologi berkebangsaan Amerika ini dikenal banyak mengetahui tentang Islam di Indonesia. Ia dan kawan-kawannya mengadakan penelitian di Mojokuto, nama samara dari kota Pare dekat Kediri antara tahun 1952-1954. Kemudian meneliti agama di Bali. Tahun 1964, 1965, sampai 1967 meneliti Islam di Marokko dan di Afrika. Dari penelitian terakhir ini terbit pula bukunya Islam

Observed (1965) yang mengungkap perbandingan Islam di Jawa dengan Islam di Marokko.

Menurut Clifford Geertz yang dimaksud agama sebagai sistem budaya, yaitu:

“(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresap, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas dan realistik”10.

9

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), hal. 127

10

(36)

Sedangkan pengertian agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), yaitu: “sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya”11

.

2. Teori-Teori Asal Mula Religi (Agama)

Asal mula agama adalah ketika manusia mulai mempercayai adanya kekuatan di luar dirinya. Ada beberapa tokoh yang telah mengeluarkan teori-teorinya mengenai bagaimana agama mulai muncul di antara manusia. Beberapa teori tersebut, yaitu:

a. Teori Jiwa

Teori ini pertama kali diungkapkan oleh seorang sarjana antropologi Inggris bernama E. B. Tylor di dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture: Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1873). Menurut Tylor, asal mula religi adalah kesadaran manusia akan faham jiwa, kesadaran akan faham itu disebabkan karena dua hal, ialah: a. Perbedaan yang tampak kepada manusia antara hal-hal yang

hidup dan hal-hal yang mati. Suatu mahluk pada suatu saat bergerak-gerak, artinya hidup; tetapi tidak lama kemudian mahluk tadi tidak bergerak lagi, artinya mati. Demikian manusia lambat laun mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu, disebabkan oleh suatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani, dan kekuatan itulah yang disebut jiwa.

b. Peristiwa mimpi, dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada tempat tidurnya. Demikianlah manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada

11

(37)

di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke lain tempat. Bagian itulah disebut jiwa.

Sifat abstrak dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih tersangkut pada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur dan waktu manusia jatuh pingsan. Karena pada suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh berada di dalam keadaan yang lemah. Tetapi kata Tylor, walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang mahluk manusia mati jiwa melayang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Tylor tidak disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit atau mahluk halus.

Pada tingkat tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya mahluk-mahluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap panca indera, yang mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat diperbuat manusia, mendapat suatu tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek daripada penghormatan dan penyembahannya, dengan berbagai

upacara berupa do’a, sajian, atau korban. Religi serupa itulah yang disebut oleh Tylor dengan aminisme.

(38)

dengan kemauan dan pikiran. Mahluk-mahluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa itu disebut dewa-dewa alam.

Pada tingkat ketiga di dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan di dalam masyarakat manusia, timbul pula kepercayaan bahwa alam dewa-dewa itu juga hidup di dalam suatu susunan kenegaraan, serupa dengan di dalam dunia mahluk manusia. Demikian ada pula suatu susunan pangkat dewa-dewa mulai dari raja dewa-dewa sebagai yang tertinggi, sampai dengan pada dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan serupa itu lambat laun akan menimbulkan suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan saja dari satu dewa tertinggi itu. Akibat dari kepercayaan itu adalah berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama

monotheisme12.

b. Teori Batas Akal

Teori ini dicetuskan oleh sarjana besar J. G. Frazer, dan diuraikan olehnya dalam jilid I dari bukunya yang terdiri dari 12 jilid berjudul The Golden Bough. A Study in Magic and Religion (1890). Menurut Frazer, manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya; tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu; tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit. Soal-soal hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ialah ilmu gaib. Magic menurut Frazer adalah segala perbuatan manusia (termasuk abstraksi-abstraksi dari perbuatan) untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada dalam alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di

belakangnya. Pada mulanya kata Frazer, manusia hanya

12

(39)

mempergunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya. Religi waktu itu belum ada di dalam kebudayaan manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak daripada perbuatan magic-nya itu tidak ada hasilnya juga, maka mulailah ia percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, maka mulailah ia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus yang mendiami alam itu. Demikianlah timbul religi13.

c. Teori Masa Krisis dalam Hidup Individu

Pandangan ini berasal dari sarjana-sarjana seperti M. Crawley dalam bukunya Tree of Life (1905), dan diuraikan secara luas oleh A. Van Gennep dalam bukunya yang terkenal, Rites de Passage (1909). Menurut mereka, dalam jangka waktu hidupnya manusia mengalami banyak krisis yang menjadi obyek perhatiannya, dan yang sering amat menakutinya. Krisis-krisis itu yang terutama berupa bencana-bencana sakit dan maut, tidak dapat dikuasainya dengan segala kepandaian, kekuasaan, atau kekayaan harta benda yang mungkun dimilikinya. Dalam jangka waktu hidup manusia, ada berbagai masa dimana kemungkinan adanya sakit dan maut itu besar sekali, yaitu misalnya pada saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Dalam hal mengahdapi krisis serupa itu manusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh imannya dan menguatkan dirinya. Perbuatan-perbuatan serupa itu, yang berupa upacara-upacara pada masa-masa krisis tadi itulah merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua14.

13

Ibid., hal. 230 14

(40)

d. Teori Sentimen Kemasyarakatan

Teori ini adalah sebuah teori yang berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis bernama E. Durkheim, dan diuraikan olehnya dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religieuse (1912). Teori ini berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:

a. Makhluk manusia dalam kala ia baru timbul di muka bumi, mengambangkan aktivitet religi itu tidak karena ia mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayangan abstrak tentang jiwa, ialah suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak di dalam alam, tetapi karena suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul di dalam jiwa manusia dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen kemasyarakatan.

b. Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya, terhadap masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia dimanapun ia hidup.

c. Sentimen kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal daripada segala kelakuan keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya. Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah dan laten, sehingga perlu dikobrakan kembali. Salah satu cara untuk mengorbankan kembali sentiment kemasyarakatan dalah dengan mengadakan suatu kontraksi masyarakat, artinya dengan mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa.

d. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentiment

(41)

daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya, bukan sifat megahnya, bukan sifat

ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum dalam

masyarakat. Obyek itu karena salah sesuatu peristiwa kebetulan di dalam sejarah daripada kehidupan sesuatu masyarakat di dalam waktu yang lampau menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Obyek yang menjadi tujuan emosi keagamaan itu juga mempunyai obyek yang bersifat keramat, bersifat sacre, berlawanan dengan obyek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan itu, ialah obyek yang tak-keramat, yang profane.

e. Obyek keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambing masyarakat. pada suku-suku bangsa asli benua Australia misalnya, obyek keramat, pusat tujuan daripada sentiment-sentimen kemasyarakatan, sering berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering juga obyek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana obyek keramat itu disebut totem (jenis binatang atau lain obyek) mengonkretkan prinsip totem yang ada di belakangnya, dan prinsip totem itu adalah suatu kelompok tertentu di dalam masyarakat, berupa clan atau lain.

Pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti daripada tiap religi, sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi masyarakat, kesadaran akan obyek keramat berlawanan dengan obyek tak-keramat, dan totem sebagai lambing masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada inti. Kontraksi masyaraka, obyek keramat, dan totem akan menjelmakan(a) upacara, (b) kepercayaan, dan (c) mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada suatu religi di dalam sesuatu masyarakat yang tertentu15.

15

(42)

3. Unsur-Unsur Dasar Religi (Agama)

Dari banyaknya agama yang tersebar di setiap kebudayaan di seluruh dunia, secara kasat mata pasti memiliki perbedaan-perbedaan mencolok dan ke-khas-annya masing-masing. Namun, di dalam setiap sistem religi yang ada itu ternyata memiliki beberapa unsur religi pokok yang pasti ada pada setiap sistem religi di dunia, yaitu:

a. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan agama.

Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi. Intinya emosi keagamaan yang ada di belakang tiap kelakuan serba religi itu, menyebabkan sifat keramat dari kelakuan itu, menyebabkan bahwa kelakuan serba religi itu mempunyai nilai keramat16.

b. Sistem kepercayaan atau bayang-bayang manusia tentang bentuk dunia, alam gaib, maut, dan sebagainya.

Setiap manusia sadar akan adanya suatu alam dunia yang tak tampak, yang ada di luar batas pancainderanya dan di luar batas akalnya. Menurut kepercayaan manusia dalam banyak kebudayaan di dunia, dunia gaib didiami oleh berbagai mahluk dan kekuatan yang tidak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa, dan yang oleh karena itu pada dasarnya ditakuti oleh manusia. Mahluk dan kekuatan yang menduduki dunia gaib itu adalah:

1). dewa-dewa yang baik maupun jahat.

2). mahluk-mahluk halus lainnya seperti ruh-ruh leluhur, ruh-ruh lainnya yang baik maupun yang jahat.

16

(43)

3). kekuatan sakti yang bisa berguna maupun yang bisa menyebabkan bencana.

Sistem kepercayaan dalam suatu religi itu mengandung bayang-bayang orang akan wujudnya dunia gaib, ialah tentang wujud dewa-dewa (theogoni), mahluk-mahluk halus, kekuatan sakti, tentang apakah yang terjadi dengan manusia sesudah mati, tentang wujud dunia akhirat, dan seringkali tentang terjadinya dan wujud bumi dan alam semesta (kosmogoni dan kosmologi). Pada agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Buddha, Jaina, Katholik, Kristen, dan Yahudi, kadang-kadang ada juga pelukisan tentang sifat-sifat tuhan dalam kitab-kitab daripada agama-agama tersebut. Hal itu termasuk juga ke dalam sistem kepercayaan dari agama-agama tersebut. Sistem kepercayaan itu bisa berupa konsepsi tentang faham-faham yang terintegrasi ke dalam dongeng-dongeng dan aturan-aturan. Dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini biasanya dianggap keramat, dan merupakan kesusasteraan suci dalam suatu religi17.

c. Sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan

dunia gaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.

Dunia gaib bisa dihadapi manusia dengan berbagai macam perasaan, ialah cinta, hormat, bakti, tetapi juga takut, ngeri, dan sebagainya. Atau dengan suatu campuran dari berbagai macam perasaan tadi. Perasaan-perasaan tadi mendorong manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib, yang disebut kelakuan keagamaan. Kecuali itu di dalam hal melakukan kelakuan-kelakuan keagamaan itu, manusia selalu dihinggapi suatu emosi keagamaan. Kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku disebut upacara keagamaan. Tiap upacara keagamaan dapat terbagi ke dalam empat komponen, ialah:

17

(44)

a. Tempat upacara, b. Saat upacara,

c. Benda-benda dan alat upacara,

d. Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara18.

d. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang

mengonsepkan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.

Kelompok keagamaan adalah kesatuan kemasyarakatan yang mengonsepsikan dan mengaktifkan suatu religi beserta sistem upacara keagamaannya. Walaupun ada agama-agama besar yang telah memberi tempat penting kepada aktivitet serta upacara-upacara keagamaan yang berpusat kepada individu seperti agama protestan, methodisme, dan beberapa gerakan mistik, tetapi pada hampir semua agama besar (termasuk pula protestan dan methodisme), dan semua sistem religi di dunia, unsur kelompok keagamaan itu merupakan unsur pokok dalam kehidupannya.

Adapun kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang menjadi pusat dari aktivitet religi dalam kenyataan kehidupan sosial itu bisa berupa empat tipe, yaitu: (1) keluarga inti atau lain kelompok kekerabatan yang kecil, (2) kelompok-kelompok kekerabatan unilineal yang lebih besar seperti klen, (3) kesatuan-kesatuan hidup setempat atau komuniti, dan (4) kesatuan-kesatuan sosial dengan orientasi yang khas19.

18

Ibid., hal.252 19

(45)

C. Islam

1. Pengertian Islam a. Dari Segi Bahasa

Kata Islam memiliki arti, (1) berserah diri, menundukkan diri, atau taat sepenuh hati, dan (2) masuk ke dalam salam, yakni selamat sejahtera, damai, hubungan yang harmonis, atau keadaan tanpa noda dan cela20.

b. Dari Segi Istilah

“Islam” adalah agama Allah SWT yang berdasarkan: Tauhid,

Syari’at, dan Akhlak; yang sudah dibawa dan diajarkan oleh Adam, sejak dia masuk ke bumi (Al-Baqarah 31)21.

Sedangkan agama Islam memiliki beberapa definisi, seperti yang dijelaskan oleh beberapa ulama di bawah ini22:

1). Syekh Mahmud Syaltut. Islam adalah agama Allah SWT yang diperintahkan untuk mengajarkan pokok-pokok dan peraturan-peraturannya kepada Nabi Muhammad SAW dan menugaskan untuk menyampaikan agama itu kepada seluruh manusia, lalu mmengajak mereka untuk memeluknya.

2). A. Gaffar Ismail. Islam adalah nama agama yang dibawa oleh Muhammad SAW berisi kelengkapan dar pelajaran-pelajaran meliputi (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan tuhan; bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia penghidupan yang kedua (akhirat).

20

Harun Nasution, Satria Effendi Zein, dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 445

21

Abujamin Rohan, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009), hal. 335 22

(46)

2. Rukun-Rukun Agama Islam a. Rukun Islam

Rukun Islam ada lima dan itu merupakan pilar-pilarnya. Rasulullah menjelaskan rukun Islam di dalam salah satu hadits yang

artinya, “Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah,

menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan berhaji

ke Baitullah”23.

1). Dua Kalimat Syahadat

Rukun pertama dari kelima rukun islam ialah dua kalimat syahadat. Untuk sahnya Islam, tidak bisa tidak, seseorang harus mengucapkannya secara urut dan disertai dengan memahami maknanya24.

Lafadz atau kalimat syahadat diucapkan dengan bahasa Arab bagi setiap orang yang mau menganut agama Islam. Lafadz syahadat memiliki arti, “aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah”.

2). Shalat

Rukun kedua dari kelima rukun Islam adalah mendirikan shalat, pengertian mendirikan shalat adalah melaksanakannya secara kontinu sesuai dengan waktu-waktunya yang telah ditetapkan dan dengan memenuhi syarat serta rukunnya25.

Shalat yang diwajibkan dan harus dilaksanakan disebut

dengan „shalat farhdu’ yang terdiri dari shalat di lima waktu,

yaitu: shubuh, dzuhur, ashar, maghrib, dan isya’.

23

Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Mengenal Mudah Rukun Islam, Rukun Iman, Rukun Ihsan Secara terpadu, (Bandung: Al-Bayan, 1998), hal. 28

24

Ibid., hal. 28 25

(47)

3). Zakat

Rukun Islam yang ketiga adalah membayar zakat kepada fakir-miskin dan kelompok-kelompok lain yang berhak menerimanya, Allah SWT menyebutkan (kewajiban) membayar zakat bersama-sama dengan shalat di lebih dari satu tempat di dalam kitab suci-Nya, zakat ada dua macam: zakat mal (zakat harta) dan zakat badan (fitrah), yang pertama diwajibkan atas harta tertentu, yaitu, emas dan perak, unta, sapi, kambing, hasil pertanian tanaman yang dapat dijadikan makanan pokok, kurma,

zabib (kismis), dan laba perdagangan26.

4). Puasa

Rukun Islam yang keempat adalah puasa di bulan Ramadhan, bulan yang paling mulia, puasa diwajibkan oleh Allah SWT kepada orang yang sanggup melaksanakannya dan

disunnahkan pada malam-malamnya melaksanakan qiyamul

lail27.

Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, dll) dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai dengan niat.

5). Haji

Rukun Islam yang kelima adalah haji ke Baitullah Al-Haram, haji merupakan kewajiban yang ditetapkan atas setiap muslim, mukalaf, merdeka, dan sanggup menunaikannya, satu kali sepanjang umur28.

Haji diwajibkan bagi mereka yang sanggup

menunaikannya, hal ini dikarenakan ibadah haji merupakan

26

Ibid., hal. 95 27

Ibid., hal. 99 28

(48)

kegiatan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit dan juga ketahanan fisik yang baik.

b. Rukun Iman

Iman ialah membenarkan secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang diketahui sebagai berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dari sisi Allah SWT juga dikatakan sebagai at-tashdiq bil-qalbi (membenarkan dengan hati), al-iqrar bil-lisan

(pengakuan dengan ucapan), dan al-amal bil-arkan (mengamalkan dengan anggota tubuh)29.

1). Iman Kepada Allah

Yang dimaksud dengan iman kepada Allah ialah membenarkan adanya Allah SWT dengan cara meyakini dan mengetahui bahwa Allah SWT wajib ada-Nya karena Zat-Nya sendiri (Wajib Al-Wujud li Dzatihi), Tunggal dan Esa, Raja Yang Mahakuasa, Yang Hidup dan Berdiri Sendiri, Yang Qadim dan Azali untuk selamanya30.

2). Iman Kepada Malaikat

Yang dimaksud dengan iman kepada para malaikat ialah meyakini bahwa para malaikat adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan, malaikat adalah makhluk halus yang bersifat cahaya, yang dapat menampakkan diri dengan berbagai bentuk yang berbeda-beda, tetapi tidak bisa diberi sifat laki-laki atau perempuan31.

Malaikat mempunyai jumlah yang hanya diketahi oleh Allah SWT sebagai penciptanya, namun ada sepuluh malaikat yang wajib diketahui secara rinci oleh pemeluk agama Islam,

29

Ibid., hal. 113 30

Ibid., hal. 113 31

(49)

yaitu: Jibril, Mikail, Israfil, „Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, „Atid,

Ridwan, dan Malik.

3). Iman Kepada Kitab-Kitab

Yang dimaksud iman kepada kitab-kitab Allah ialah meyakini bahwa kitab-kitab tersebut datang dari sisi Allah, yang diturunkan kepada sebagian Rasul-Nya, dan bahwasanya kitab-kitab itu merupakan firman Allah yang qadim, dan segala yang termuat di dalam merupakan kebenaran32.

Ada empat kitab yang harus diketahui secara rinci oleh pemeluk agama Islam, yaitu: Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud, dan Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.

4). Iman Kepada Para Rasul

Yang dimaksud dengan iman kepada para rasul-rasul Allah ialah meyakini bahwa Allah SWT mengutus rasul-rasul kepada manusia untuk memberi petunjuk kepada mereka dan menyempurnakan kehidupan mereka di dunia dan di akhirat33.

Ada dua puluh lima nabi yang

Gambar

Tabel 4.1 Populasi Desa Kanekes, 1888 – 2009 ....................................... 50
Gambaran sederhana sebuah siklus dan koneksi antar tiga wujud
gambar, atau
Tabel 4.1
+2

Referensi

Dokumen terkait

Menurut ISO 14001 dalam Kuhre (1996), Tim Respon Gawat Darurat harus terdiri dari para pekerja yang memiliki pengetahuan atau sudah terlatih untuk bertindak dalam keadaan

Pengertian demokratis dimaksud berjalan aman dan tertib, juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik gubernur dan wakilnya maupun bupati dan

1.3 Predpostavke in omejitve raziskave Predpostavke: • glede na trende pozitivnega razvoja gradbeništva menimo, da ima proučevano podjetje še veliko možnosti razvoja, saj se ukvarja

Peningkatan kadar kotoran pada penelitian ini dikarenakan penyemprotan dengan menggunakan larutan Natrium Benzoat dan Kalium Sorbat yang dilarutkan dalam air

Keberadaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi potensi pembangunan daerah turut diperhitungkan, dan dengan motto Gertak Saburai Sikep

Walaupun terdapat berbagai konsep lain dalam ekonomi politik internasional seperti regionalisme ekonomi 2 , Revolusi Industri 4.0 3 , kemiskinan 4 , lingkungan 5

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di peroleh, maka dapat disimpulkan bahwa Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Rawat Jalan Pusat

Autonomy terlihat melalui penilaian ibu terhadap dirinya yang mampu mendidik anak menjadi orang yang mandiri (positive identity), bertanggung jawab mengurus