• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian 3. Teknologi ameliorasi pemberdayaan sumberdaya hayati tanah untuk meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol meningkatkan produksi kedele pada tanah Ultisol

Dalam rangka pelaksanaan penelitian Teknologi biorehabilitasi Tanah Ultisol

Terdegradasi Untuk Produksi Kedelai pada RPTP “Penelitian dan Pengembangan Potensi

Sumberdaya Hayati Tanah untuk Perbaikan Produktivitas Tanah dan Efisiensi Pemupukan“ telah ditetapkan rencana lokasi percobaan. Lokasi yang dipilih meliputi:

1. Tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten ini sebenarnya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan yang diharapkan menjadi pusat pemngembangan kedele. Namun dengan usahatani kedele saat ini kurang menguntungkan dibanding usahatani komoditi pertanian lainnya, maka petani di

39 wilayah ini pada periode Oktober-Maret 2011/2012 tidak melakukan penanaman kedele. Untuk itu percobaan tidak dilakukan di lokasi ini.

2. Tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Pada kabupaten Lebak, masyarakat sudah biasa melakukan penanaman kedele secara terbatas sesuai dengan kondisi curah hujan dan kesiapan biaya dan tenaga kerja. Beberapa lokasi telah kita lihat dan dikaji dari beberapa aspek: tanah, air dan kondisi lahan serta pertanaman. Adapun lahan pilihan yang kita lihat memiliki koordinat sebagai berikut:

1. LS: 6o 32,121’; BT 106o 23,528’ (elevasi : + 150 m dpl.) 2. LS: 6o 32,093’; BT 106o 23,542’ (elevasi : + 164 m dpl.) 3. LS: 6o 32,014’; BT 106o 23 546’ (elevasi : + 159 m dpl.)

Pada akhirnya setelah diskusi dengan pemilik lahan ditentukan lahan dengan titik koordinat: LS: 6o 32,093’; BT 106o 23,542’ (elevasi : + 164 m dpl.) dengan nama pemilik lahan Bpk. Saleh alamat Kampung Cilurah, Desa Sipayung, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Lokasi lahan seperti pada Gambar 1. Untuk melihat karakteristik tanah telah dilakukan pengambilan contoh tanah komposit 0-20 cm. Selanjutnya akan dianalisa sifat kimia dan biologi.

Gambar 5. Hamparan lokasi terpilih untuk penelitian pertanaman kedelai dan diskusi dengan pemilik lahan dan teknisi lapangan.

Penelitian dilakukan di Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten setelah diperoleh hasil pada penelitian ke 2. Penelitian diawali dengan kegiatan evaluasi metode perbanyakan cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis.

40 Rearing Cacing tanah untuk penyediaan inokulan di lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media budidaya yang terbaik adalah per bandingan tanah terhadap bahan organik pupuk kandang adalah 6:1. Hasil pengamatan jumlah kokon dan cacing tanah dalam penelitian ini, ditunjukkan pada Tabel 24. Cacing tanah endogaesis mempunyai kemampuan reproduksi yang terbatas, sehingga populasi di alam umumnya rendah.Tabel 24 menunjukkan jumlah kokon tertinggi sebesar 15 butir per pot pada perlakuan T3B4 yaitu perlakuan jenis tanah Inseptisol dengan rasio tanah dan bahan organik 6:1 berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang lain. Pada jenis tanah Vertisol (T1) jumlah kokon tertinggi ditemukan pada pelakuan rasio tanah dan bahan organik 2:1 namun berbeda tidak nyata dengan jumlah kokon yang ditemukan pada ketiga perlakuan rasio yang lain.

Tabel 24. Rerata jumlah kokon, jumlah cacing dan kadar air pada 3 minggu setelah inokulasi

No. Perlakuan Rerata Jumlah

Kokon per Pot (butir)

Rerata Jumlah Cacing per Pot (ekor)

Rerata Kadar Air (%) 1 T1B1 0,67 a 4,33 bcd 55,64 de 2 T1B2 0,00 a 3,33 bc 60,66 de 3 T1B3 6,67 a 5,00 bcd 43,23 abc 4 T1B4 6,33 a 5,00 bcd 34,20 a 5 T2B1 1,67 a 4,33 bcd 54,86 d 6 T2B2 0,00 a 2,67 ab 64,76 e 7 T2B3 2,33 a 3,67 bcd 44,40 bc 8 T2B4 5,67 a 4,00 bcd 41,05 ab 9 T3B1 1,33 a 4,67 bcd 50,88 cd 10 T3B2 0,00 a 0,67 a 60,56 de 11 T3B3 3,67 a 5,67 cd 51,18 cd 12 T3B4 15,00 b 6,33 d 34,19 a

Ket: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT

T1: Vertisol ;T2 Ultisol ; T3 : Inseptisol, B1: Tanah : pupuk kandang: 1 : 1, B2 : Tanah : pupuk kandang: 1 : 2, B3 Tanah : pupuk kandang: 2 : 1, B4: Tanah : pupuk kandang: 6 : 1

41 Jumlah kokon pada perlakuan jenis tanah Ultisol yang tertinggi ditemukan pada rasio tanah dan bahan organik 6:1 berbeda tidak nyata dibandingkan dengan perlakuan rasio lainnya. Jumlah cacing tertinggi ditemukan pada perlakuan tanah Inceptisol dengan rasio 6:1 (T3B4) berbeda nyata dengan jumlah cacing yang ditemukan pada dua jenis tanah dengan ketiga perlakuan rasio lainnya. Hal ini diduga kadar air pada perlakuan T3B4 paling rendah sebesar 34,19 % dibandingkan perlakuan lainnya. Hanafiah et al, 2005 mengemukakan populasi cacing tanah meningkat seiring dengan naiknya kelengasan dari 12% hingga 34%. Kulit cacing tanah memerlukan kelembapan yang cukup tinggi agar dapat berfungsi normal dan tidak rusak. Kondisi udara yang terlalu kering mendorong cacing tanah untuk masuk ke dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya mati. Sebaliknaya bila kelembapan terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah akan menghindar untuk mencari tempat yang pertukaran udaranya baik karena cacing tanah mengambil oksigen dari udara melalui kulitnya bukan mengambil oksigen dari air. Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembang biakan cacing tanah adalah antara 15% sampai 30% (Anonim, 1992).

Tabel 25. Populasi fungi dan bakteri pada lahan kering Ultisol Banten saat siap tanam

No Jenis pengamatan Populasi (…cfu/g...)

1. Fungi Fungi Total 1 x 107 Fungi pelarut P - 2. Bakteri Total Bakteri 1 x 107 Rhizobium sp 1 x 105 Azotobacter sp 1 x 106 Bakteri pelarut P 6 x 1066

Lokasi kegiatan penelitian lapang pada tanah Ultisol lahan pertanian di Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan pH tanah masam dan kandungan bahan organik sedang (Tabel 13). Untuk itu pada penelitian ini dilakukan perlakuan amelioran dasar dengan pemberian 5,0 ton pupuk kandang/ha dan 1,0 ton kapur/ha yang dilakukan dengan dicampur dalam tanah bersamaan pengolahan tanah. Percobaan lapang dimulai bulan Oktober 2011.

42 Tabel 26. Tinggi tanaman dan panjang akar tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat

berbunga

No. Perlakuan Tinggi tanaman Panjang akar

………. cm………. 1. Kontrol 32,42 b 26,08  c 2. R 29,46 a 24,17  a 3. R + CT 34,63 b 25,46  bc 4. R + CT + BP 33,38 b 26,58  c 5. R + CT + BP + A 30,92 a 24,67  bc 6. R + CT + BP + A + FP 31,33 ab 23,79  a 7 CT + A + FP 30,63 a 27,92  c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.

Pengamatan terhadap tinggi tanaman pada saat tanaman kedelai fase berbunga menunjukkan bahwa perlakuan Kontrol, R + CT dan R + CT + BP menunjukkan tinggi tanaman tertinggi dan tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan R + CT yaitu sebesar 34,63 cm. Sedangkan akar terpanjang dicapai pada perlakuan CT + A + FP yaitu sebesar 27.92 cm (Tabel 26) .

Bobot tanaman segar dan tanaman kering tertinggi juga dicapai pada perlakuan R+CT (Tabel 27) namun perlakuan ini juga tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Bahkan perlakuan lain dengan inokulasi mikroba penambat N maupun pelarut P cenderung lebih rendah dibanding kontrol. Sementara jumlah dan bobot bintil akar (Tabel 28) serta berat kering panen kedele (Tabel 29) perlakuan kontrol lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, namun tidak menunjukkan perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan dasar dengan pemberian bahan organik dan kapur masing-masing sebanyak 5 ton/ha dan 1,0 ton/ha mampu memperbaiki daya dukung tanah untuk pertumbuhan populasi hayati tanah native yang memiliki jumlah populasi cukup tinggi dan pertumbuhan tanaman kedele.

43 Tabel 27. Bobot segar dan bobot kering tanaman kedelai di Lebak, Banten pada saat

berbunga.

No. Perlakuan Bobot segar tanaman Bobot kering tanaman

………. g/rumpun………. 1. Kontrol 11,13 a 3,31 ab 2. R 8,60 a 2,62 a 3. R + CT 11,73 b 3,36 ab 4. R + CT + BP 10,39 ab 3,86 b 5. R + CT + BP + A 9,36 ab 2,57 a 6. R + CT + BP + A + FP 9,29 ab 2,74 ab 7 CT + A + FP 9,94 ab 2,90 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.

Hal ini juga terlihat bahwa populasi organisme tanah fungsional, seperti bakteri penambat N non simbiotik Azotobacter, bakteri penambat N simbiotik Rhizobium, bakteri pelarut P, dan fungi pelarut P tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan, termasuk pada kontrol yang tidak dilakukan inokulasi (Tabel 30).

Tabel 28. Jumlah bintil dan bobot segar bintil akar pada tanaman kedelai saat berbunga

No. Perlakuan Jumlah bintil Bobot segar bintil

…… butir/rumpun….. …….. g/rumpun…. 1. Kontrol 16,33 A 0,31 b 2. R 10,17 a 0,18 a 3. R + CT 14,75 a 0,29 a 4. R + CT + BP 15,25 a 0,37 b 5. R + CT + BP + A 13,25 a 0,22 a 6. R + CT + BP + A + FP 11,83 a 0,18 a 7 CT + A + FP 8,08 a 0,19 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.

44 Tabel 29. Bobot brangkasan dan bobot kering biji kedelai panen (kadar air 12%) di Lebak,

Banten

No. Perlakuan

Bobot brangkasan kering panen

Bobot kedelai kering (kadar air 12%) ………. ton/ha………. 1. Kontrol 0,66 a 1,09 a 2. R 0,49 a 1,01 a 3. R + CT 0,61 a 1,00 a 4. R + CT + BP 0,66 a 1,37 a 5. R + CT + BP + A 0,46 a 0,83 a 6. R + CT + BP + A + FP 0,51 a 1,01 a 7 CT + A + FP 0,65 a 0,93 a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %

R: Rhizobium sp, CT: cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A: Azotobacter sp, FP: fungi P.

Dari hasil ini menunjukkan perlakuan inokulasi organisme tanah (biofertilizer) kedalam suatu habitat (tanah) hendaknya juga diikuti dengan perlakuan perbaikan habitat yang mampu memberikan dukungan untuk kehidupan/aktivitas dari organisme target tersebut. Demikian juga apabila di dalam tanah telah tersedia organisme alami (native) yang memadai perlakuan pemberian/pengkayaan organisme tanah dari luar (pemupukan hayati) tidak perlu dilakukan. Untuk itu sebelum perlakuan pemupukan dengan pupuk hayati (biofertilizer) hendaknya dilakukan pengamatan terlebih dahulu akan ada tidaknya organisme target yang dibutuhkan. Tabel 30. Perkembangan populasi biologi tanah setelah panen kedelai

No. Perlakuan Rhizobium (cfu/g) Azotobacter (cfu/g) Bakteri P (cfu/g) Fungi P (cfu/g)

1. Kontrol 2,57.105 5,72.106 1,17.105 2,63.105 2. R 2,00. 104 5,27. 105 1,00. 104 7,03. 105 3. R + CT 1,33.104 4,15.106 5,48.106 2,77.105 4. R + CT + BP 2,39.107 4,61.106 4,33.105 3,35.106 5. R + CT + BP + A 1,67.107 9,69.107 2,00.104 8,33.105 6. R + CT + BP + A + FP 1,65.107 2,2.107 1,73.106 5,37.105 7 CT + A + FP 1,33.104 1,07.107 3,07.107 1,33.104

Keterangan : R : Rhizobium sp, CT : cacing tanah endogaesis, BP : Bakteri P, A : Azotobacter sp, FP : fungi P.

45 V. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Lahan dengan tampilan vegetasi subur, menghasilkan kepadatan populasi fauna tanah maupun jumlah jenis fauna tanah relatif lebih tinggi daripada lahan dengan tampilan vegetasi sedang dan kurang subur.

2. Total populasi fauna tanah pada lahan upland dengan pola TOT (tanpa olah tanah) relatif lebih tinggi dibanding populasi fauna tanah pada lahan yang diolah yang mendapat pengolahan tanah yang lebih intensif.

3. Populasi cacing tanah dan kokon pada perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara vertikal ( B2 ) lebih tinggi dibandingkan perlakuan dengan aplikasi bahan organik secara horizontal di permukanaan tanah (B1)

4. Media perbanyakan (rearing cacing tanah) endogaesis Pheretima hupiensis terbaik adalah 6 bagian berat tanah dibanding 1 bagian berat pupuk kandang.

5. Organisme fungsional yang memiliki pengaruh penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah Ultisol Banten adalah cacing tanah, Rhizobium, Azotobacter, dan fungi/bakteri pelarut P.

6. Hasil isolasi mikroorganisme tanah diperoleh 5 isolat yaitu 2 isolat Azotobacter, 2 isolat, 1 isolat Rhizobium sp, 1 isolat fungi pelarut P, dan 1 isolat bakteri pelarut P.

7. Perlakuan inokulasi mikroba tanah fungsional pada tanah Ultisol Banten yang telah memiliki populasi organisme tanah fungsional memadai tidak berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman kedelai.

8. Aplikasi pupuk hayati ke dalam tanah hendaknya juga diikuti perlakuan ameliorasi untuk perbaikan habitat dalam menyediakan hara dan energi bagi organisme fungsional target.

46 VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN

1. Pemberdayaan sumberdaya hayati tanah sebagai salah satu pelaku ekosistem tanah untuk meningkatkan produktivitas tanah pertanian, melalui peran agen hayati tanah akan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan ataupun pemanfaatan bahan organik tanah, sehingga biaya pengelolaan lahan lebih murah dan lestari. Diketahuinya pola keseimbangan ekosistem tanah yang ideal untuk produksi pertanian akan dapat memberdayakan sumberdaya alam yang ada secara optimal dengan biaya produksi yang lebih murah.

2. Upaya rehabilitasi lahan terdegradasi dengan memanfaatkan peran organisme tanah yang merupakan salah satu komponen penting dalam mempengaruhi dinamika kesuburan tanah, maka efisiensi input yang diberikan dapat diarahkan selaras dengan target rehabilitasi/perbaikan yang ingin dicapai. Pemberian input hendaknya disesuaikan dengan tahapan kesiapan subsistem tanah yang sedang berlangsung dan diarahkan pada target rehabilitasi yang direncanakan. Pemberdayaan lahan–lahan terdegradasi dapat dilakukan secara tepat sesuai dinamika subsistem tanah yang berlangsung, sehingga pemberian input dapat lebih efisien dan sesuai dengan phase peruntukan dan perbaikan produktivitas dapat lebih cepat dicapai.

3. Penyempurnaan sistem evaluasi kesesuaian lahan dengan melibatkan parameter hayati tanah yang berperan penting dalam menentukan produksi tanaman akan dapat memaksimalkan peranan sumberdaya hayati tanah yang memiliki pengaruh positif terhadap produksi tanaman dan menekan secara proporsional organisme tanah yang berperan sebagai hama-penyakit tular tanah. Dengan pendekatan ini, maka tata ruang peruntukan lahan akan lebih rasional dan efisien sesuai dengan kondisi riil daya dukung sumberdaya tanah di Indonesia yang berada di kawasan megabiodiversity tropika basah. 4. Pengembangan populasi pupuk hayati dalam upaya meningkatkan efisiensi pemupukan,

meningkatkan produktivitas, dan keamanan lingkungan. Tersedianya isolat hayati tanah unggul dapat dimanfaatkan sebagai baku untuk formulasi pupuk hayati untuk berbagai tipologi lahan, jenis tanah dan jenis komoditi.

47 VI. DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore, 467 p.

Anwar, E.K. 2007. Pengaruh Inokulan Cacing Tanah dan Pemberian Bahan Organik terhadap Kesuburan dan Produktivitas Tanah Ultisols. Jurnal Tanah Tropika , Vol. 12, No. 2, p: 121 – 130.

Djaenudin, D., Marwan, H., Subagjo, H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian, 154 p.

Edwards, C.A., and J.R.Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. 333 p.

Elliot, P.W., D.Knight,and J.M.Anderson.1991.Variables Controlling Denitrification from Earthworm Cast and Soil in Permanent Pastures. Biol. Fertil. Soils 11p:24 - 29

Giller. K.E., M.H. Beare, P. Lavelle, A.M.B. Izac, and M.J. Swift. 1997. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity, and Agroecosystem Function. Applied Soil Ecology, 6 (1997), p: 3 – 16. Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United Nations

University Press, Tokio-New York-Paris, p: 25 – 29.

Las, I. dan D. Setiorini. 2010. Kondisi Lahan, Teknologi, Arah dan Pengembangan Pupuk Majemuk NPK dan Pupuk Organik. Semnas Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produksi dan Swasembada Beras Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor 24 Februari 2010. 47 p.

Martin, A. 1991. Short and Long-term Effects of Endogeic Earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of Tropical Savanna, on Soil Organic Matter. Biol. Fertil. Soils 11 : 234 – 238

Prihastuti. Sudaryono dan Tri Wardani 2006. Kajian mikrobiologis pada lahan kering masam. Lampung. Agritek Vol. 14. no. 5. ISSN 0852-5426. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. Institut Pertanian Malang. Malang. Hal. 1110-1125.

Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan pertumbuhan Tanaman. Penerbit Universitas Indonesia, 354 p.

Stork, N.E., and P. Eggleton. 1992. Invertebrates as determinants and indicators of soil quality. American Jour. of Alternative Agriculture, Vol.7, No.1 and 2, p: 38– 47.

48 Subandi, M. Adie, A. Kasno, Sukarman, dan A. Harsono. 2009. Percepatan

pelepasan calon varietas kedelai dan perakitan teknologi dengan konsorsium kedelai. Laporan Akhir 2009. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.

Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. (2002). Pemanfaatan Cacing Tanah untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisols lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim, No. 20, Desember 2002, p: 35 – 46.

Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate Soil and Crop Production in Humic-tropics. Kualalumpur, Oxford University Press. London.

Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G. Nugroho, dan M. Monaha. 2004. Pengaruh Jangka Panjang Pemberian Pupuk Organik dan Inorganik serta Kombinasinya Terhadap Perbaikan Kualitas tanah Masam Taman Bogo. Pros. Semnas. Pendayagunaan Tanah masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat, p: 283 – 293.