• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Indonesia Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar seperti sumber daya hutan, sumber daya perikanan laut dan sumber daya mineral. Dengan kebijaksanaan yang sentralistik, Kawasan Indonesia Timur telah mengalami banyak kebocoran regional dari pemanfaatan sumber daya alamnya. Investasi di Indonesia dalam bentuk eksploitasi SDA tersebut banyak bersifat

rural enclave yang sebagian besar manfaat (nilai tambah) dibawa keluar wilayah Indonesia Timur (Hadi 2001).

Dalam perjalanan waktu, titik berat pembangunan Indonesia diarahkan pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Karena pendekatan pembangunan yang terlalu berorientasi kepada pertumbuhan, ternyata memberikan penekanan pada pembangunan sektoral yang relatif parsial dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, sehingga berimplikasi pada pembangunan yang relatif tidak terpadu dan komprehensip serta menimbulkan disparitas dan keterbelakangan di Kawasan Indonesia Timur. Untuk memudahkan dalam memacu pengembangan kawasan-kawasan di Indonesia Timur ini diperlukan sektor-sektor unggulan yang dimiliki kawasan tersebut. Untuk itu berbagai komoditas unggulan yang dimaksud

adalah komoditas yang mampu mendorong kegiatan ekonomi, baik di kawasan andalan itu sendiri (Kapet) berupa diversifikasi kegiatan ekonomi maupun kegiatan-kegiatan di daerah belakangnya (Bakry 1999).

Pemerintah Daerah Propinsi Maluku menetapkan Pulau Seram sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang dikembangkan secara nasional. Hal ini terutama disebabkan oleh kawasan tersebut mengandung potensi perikanan, perkebunan, pariwisata, pertambangan dan energi yang berpeluang untuk menarik investor (Bakry 1999).

Bakry (1999) menyatakan bahwa karakteristik usaha perikanan rakyat di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram masih didominasi oleh usaha nelayan yang berskala kecil dengan sarana penangkapan berupa perahu tanpa motor yakni sebanyak 14.593 unit atau 94,27 % dari seluruh armada perikanan. Sedangkan Perahu Motor Tempel sebanyak 729 unit atau 4,75 % dan Kapal Motor hanya 124 unit atau 0,8 %.

Dari sisi permodalan umumnya nelayan enggan berhubungan dengan lembaga keuangan perbankan karena prinsip kehati-hatian bank dimana dipersyaratkan adanya agunan yang dapat dijadikan sebagai jaminan, sementara nelayan/petani kecil tidak memiliki aset yang dapat diagunkan. Terbatasnya modal kerja bagi nelayan kecil dimana jumlahnya mencapai 94,86 % dari total nelayan Maluku Tengah berdampak pada tingkat kemampuan nelayan untuk meningkatkan hasil produksi, karena terbatasnya wilayah tangkapan (fishing ground).

Dari sisi kelembagaan khusunya kelembagaan tradisional (hukum adat

sasi) yang merupakan salah satu nilai-nilai yang mengandung keraifan-kearifan tertentu terhadap lingkungan dan sumberdaya alam ternyata semakin menurun nilainya. Lembaga ini mulai berkurang peranannya dalam upaya distribusi yang adil terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh pemerintahan desa (sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979) bila dibandingkan dengan hukum adat (Bakry 1999).

Selanjutnya secara makro-regional, yang dianalisis melalui kontribusi relatif sektor perikanan terhadap perekonomian wilayah dari sisi pendapatan (PDRB) dan serapan tenaga kerja, sektor perikanan menunjukan nilai yang positif,

artinya sektor perikanan telah memberikan kontribusi terhadap perubahan struktur perekonomian wilayah, walaupun kontribusinya relatif kecil. Analisis dampak pengembangan sektor perikanan terhadap perekonomian kawasan dari sisi output wilayah menunjukan bahwa sektor perikanan memberi kontribusi kepada output wilayah pada urutan ke 3 dari 5 sektor penyumbang terbesar kepada output wilayah. Di bidang ekspor dan impor wilayah, sektor perikanan menduduki peringkat ke 3 yakni menyumbang sebesar 14,40 %, sedangkan dari sisi impor sektor perikanan menduduki peringkat ke 12. Ini menunjukan bahwa sektor perikanan memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya (Bakry 1999).

Bakry (1999) menyatakan bahwa untuk meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Pulau Seram maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (1) pembangunan sektor perikanan tidak hanya difokuskan pada upaya-upaya penigkatan produksi melalui modernisasi alat tangkap akan tetapi lebih diarahkan kepada sistem budidaya, sehingga ketergantungan petani/nelayan terhadap sumberdaya yang sifatnya open access lambat laun akan berkurang; (2) lembaga keuangan formal (perbankan) perlu menyederhanakan prosedur pengajuan kredit agar tidak berbelit-berbelit sehingga mengurangi biaya-biaya transaksi yang sangat merugikan masyarakat; (3) kebijakan pengembangan sektor perikanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Pulau Seram harus tetap menghargai hak-hak komunal terhadap sumberdaya perikanan sehingga masyarakat komunal dapat ikut memelihara kelestarian sumberdaya alat; (4) perlu dikembangkan sistem pengolahan dengan teknologi tepat guna yang mudah dijangkauoleh masyarakat yang dapat membuka peluangbagiberkembangnya kewirausahaan bagi masyarakat.

Dewi (2003) dalam melakukan penelitian tentang pengembangan perekonomian daerah melalui kerjasama perbankan nasional dengan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Studi Kasus : Kapet Pare-Pare Sulawesi Selatan) menemukan bahwa kredit perbankan yang disalurkan di wilayah Kapet Pare-Pare belum optimal dalam mendukung kegiatan usaha yang berpotensi. Kredit yang disalurkan umumnya pada sektor tersier, sedangkan untuk sektor primer dan sekunder, kredit yang disalurkan relatif sedikit, walaupun sektor

unggulan pada wilayah Kapet Pare-Pare ini adalah udang, padi, kopi, kakao dan jambu mete.

Kerja sama antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan perbankan di wilayah Kapet Pare-Pare masih kurang, belum terlihat sikap saling mempercayai yang menghasilkan sinergi yang kuat guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, padahal kerja sama yang baik diantara ketiga pihak tersebut di atas akan bermanfaat bagi daerah-daerah di wilayah Kapet Pare-Pare dan Sulawesi Selatan serta untuk memacu perekonomian Kawasan Indonesia Timur pada umumnya (Dewi 2003).

Dewi (2003) menyarankan agar Kota Pare-Pare dijadikan pusat pertumbuhan yang mempunyai keterkaitan dengan hinterland untuk wilayah Kapet Pare-Pare lainnya. Sehingga perlu peranan perbankan dalam membiayai/kredit investasi untuk mendirikan gudang-gudang penampungan dan

cold storage hasil pertanian dan udang sebelum dieksport. Pelabuhan di sini juga dapat dikembangkan menjadi pelabuhan eksport dengan bantuan berupa kredit investasi untuk menyempurnakan infrastruktur pelabuhan.

Hadi (2001) telah menyusun beberapa skenario kebijaksanaan pembangunan berimbang antara Kawasan Indonesia Barat dan Kawasan Indonesia Timur antara lain sebagai berikut : Jika investasi infrastruktur yang disertai dengan adanya alokasi dana dan pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah/regional Kawasan Indonesia Timur dalam pengelolaan dana pembangunan, maka dapat meningkatkan pendapatan dan produksi yang lebih cepat untuk Kawasan Indonesia Timur. Apabila pengalokasian dana tersebut didasarkan atas kebutuhan, dengan kata lain terdapat pengalokasian dana pembangunan yang lebih besar ke Kawasan Indonesia Timur dalam arti investasi infrastruktur di Indonesia Barat secara bertahap diserahkan kepada swasta, maka dampak percepatannya menjadi lebih tinggi.

Adanya investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul dengan investasi usaha oleh pihak swasta, serta kesempatan ekspor yang meningkat dapat meningkatkan pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur rata-rata 31.92 % dan peningkatan produksi sebesar rata-rata 45.4 %. Di sisi lain dengan skenario ini,

pendapatan golongan masyarakat di Kawasan Indonesia Barat juga meningkat sebesar rata-rata 6.37 % dan produksi meningkat rata-rata 3.69 % (Hadi 2001).

Pencapaian perimbangan pembangunan antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur diperlukan perubahan mendasar dari pembangunan sentralistik ke arah pembagian kewenangan (power sharing) dan pembagian kesejahteraan (wealth sharing) antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan tersebut adalah dengan program otonomi daerah yang tetap memperhatikan keragaman potensi dan permasalahan antar daerah (Hadi 2001).