• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu tentang kepuasan kerja dan disiplin kerja terhadap kinerja dapat dilihat pada uraian dibawah ini :

Etykawaty (2008) melakukan penelitian dengan judul, “Pengaruh Motivasi dan Kedisiplinan terhadap Kinerja Petugas Pemasyarakatan” (Studi kasus di Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta). Populasi penelitian ini adalah petugas rumah tahanan kelas I Surakarta yang berjumlah 207 orang. Dalam penelitian ini diambil sampel yang akan mewakili populasi yaitu 110 petugas. Metode penelitian digunakan diskriptif kuantitatif. Model analisis yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan secara sendiri-sendiri dari motivasi dan disiplin terhadap kinerja pegawai pemasyarakatan di Rumah Tahanan negara kelas I Surakarta. Pengaruh motivasi diukur dengan indikator kepuasan (perasaan tentram pegawai dalam bekerja), afiliasi (tanggung jawab instansi dalam membantu pegawai), dan prestasi (adanya kenaikan gaji). Pengaruh disiplin yaitu diukur dengan indikator patuh pada peraturan (selalu ikut apel), efektif dalam bekerja (pegawai menyelesaikan pekerjaan dengan cepat), dan tindakan korektif (melakukan pencatatan terhadap semua pekerjaan). Serta adanya pengaruh yang positif dan signifikan secara sendiri-sendiri dari motivasi dan

disiplin terhadap kinerja pegawai pemasyarakatan di Rumah Tahanan Negara Klas I Surakarta.

Listianto dan Bambang (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Motivasi, kepuasan dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Pegawai” (Studi Kasus di Lingkungan Pegawai Kantor PDAM Kota Surakarta). Jumlah sampel sebagai responden sebanyak 365 orang pegawai, sampel penelitian ditetapkan 120 orang pegawai. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatory (penjelasan) karena bermaksud untuk menjelaskan variabel-variabel melalui pengujian hipotesis yang telah dirumuskan. Model analisis yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diperoleh kesimpulan bahwa ketiga variable independen yakni motivasi, kepuasan kerja, dan variabel disiplin kerja ke dalam model sudah tepat. Hal ini menunjukkan pemilihan variabel motivasi, kepuasan kerja, variabel disiplin kerja dalam menjelaskan variabel kinerja karyawan PDAM Surakarta. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda variabel motivasi, kepuasan kerja, dan variabel disiplin kerja terbukti secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai.

Parwanto (2006) melakukan penelitian tentang, “Pengaruh Faktor-Faktor Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan Pusat Pendidikan Komputer Akutansi IMKA di Surakarta”. Jumlah sampel sebagai responden sebanyak 88 orang karyawan. Model analisis yang digunakan adalah Regresi Linier Berganda

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa secara serempak maupun secara parsial terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara faktor kepuasan kerja, gaji, kepemimpinan, dan sikap rekan sekerja mempunyai pengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja karyawan. Sikap rekan sekerja merupakan faktor kepuasan kerja yang mempunyai pengaruh paling dominan besar dibandingkan variabel lain terhadap kinerja.

Hernowo (2008) penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Motivasi, dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Wonogiri”, Penelitian ini menggunakan tipe penelitian eksplanatory (penjelasan). Jumlah sampel sebagai responden sebanyak 44 orang pegawai. Analisis data menggunakan metode regresi linear berganda (multiple regression).

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diperoleh kesimpulan bahwa variabel independen yakni motivasi dan variabel disiplin kerja ke dalam model sudah tepat. Hal ini menunjukkan pemilihan variabel motivasi dan variabel disiplin kerja dalam menjelaskan variabel kinerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Wonogiri. Tingkat kepercayaan 95 % (α = 0.05) dan variabel disiplin memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap kinerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Wonogiri.

Selanjutnya penelitian Ermalina (2006) berjudul,” The Effect of Job Satifaction Toward Work Productivity Officer in PT. Bank Riau”. Penelitian ini dilakukan bulan Januari sampai Februari 2006. Jumlah sampel sebanyak 175 orang

dengan menggunakan metode stratified random sampling. Analisis data menggunakan Struktural Equation Modeling (SEM).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh terbesar dengan terciptanya kepuasan kerja adalah mampu mendorong karyawan meningkatkan prestasi kerja, dan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan lebih bertanggung jawab.

Kemudian peneliti Taufiq (2007) berjudul,” Pengaruh Disiplin Kerja terhadap Efisiensi Kerja pada PT. KOEL. Perkasa Sakti - Medan”. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak 80 orang dengan metode Proportioned Random Sampling dari populasi sejumlah 159 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tepat waktu (X2) dan Norma (X3) berpengaruh positif dan signifikan terhadap produktivitas tenaga kerja pada PT.Koel. Perkasa Sakti – Medan, variabel tanggung jawab (X4) berpengaruh positif tetapi tidak signifikan dan variabel sikap (X1) berpangaruh negative dan tidak signifikan secara parsial. Variabel tepat waktu merupakan variabel yang paling dominan. Secara serempak variabel sikap (X1) Tepat Waktu (X2), Norma (X3) dan Tanggung Jawab (X4) berpengaruh positif dan signifikan.

2.2. Teori Tentang Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas suatu organisasi secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa ahli memberikan definisi mengenai Kepuasan kerja. Davis dan Newstrom pada tahun 1985 dalam Ndaraha (1997), menyatakan bahwa: “Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with which employees view their work.” (Kepuasan Kerja adalah perasaan senang atau tidak senang pekerja terhadap pekerjaannya).

Definisi lain tentang Kepuasan Kerja dikemukakan oleh Wexley dan Yukl (1988), yang dikutip As’ad (2003) mengatakan: “Is the way an employee feel about his or her job, it is a generalized attitude toward the job based on evaluation of different aspect of the job. A person’s attitude toward his job reflect pleasant and unpleasant experiences in the job and his expectation about future experiences.” (Kepuasan kerja adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Suatu sikap umum terhadap kerja tersebut yang didasarkan pada evaluasi terhadap aspek-aspek yang berbeda dari pekerjaan tersebut. Sikap seseorang terhadap pekerjaannya tersebut menggambarkan pengalaman-pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pekerjaan serta harapan-harapan mengenai pengalaman mendatang).

Disamping itu beberapa teori kepuasan kerja telah diajukan (Mangkunegara 2002) lain :

1. Teori Keseimbangan (Equity Theory) 2. Teori Perbedaan (Discreparncy Theory)

4. Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory) 5. Teori Pengharapan (Expectancy Theory).

1. Teori Keadilan/Keseimbangan (Equity Theory)

Teori keseimbangan (equity theory) oleh Adam (dalam tahun 1963), yang terdiri dari komponen input, outcome, comparison, dan equity in equity. Ketiga teori tersebut adalah :

a. Input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, misalkan pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja.

b. Outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai, misalnya upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikankan diri.

c. Equity in equity dimana menurut teori ini puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara input-outcome dirinya dengan output-outcome pegawai lain.

2. Teori perbedaan (discrepancy theory)

Pertama kali dipelopori oleh Porter pada tahun 1963 yang berpendapat bahwa untuk mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pagawai. Apabila seorang memperoleh lebih besar dari yang diharapkan maka orang tersebut akan menjadi puas, sebaliknya jika memperoleh sesuatu yang lebih kecil dari yang diharapkannya maka terjadi ketidakpuasan.

3. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need Fulfillment Theory )

Dinyatakan bahwa kepuasan kerja pegawai tergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan. Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut demikian juga sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi maka pegawai tidak akan merasa puas.

4. Teori Pandangan Kelompok ( Social Reference Group theory )

Dalam menyikapi kepuasan seseorang berdasarkan pandangan dan pendapat kelompok acuan. Kelompok acuan dijadikan pegawai sebagai tolak ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan kelompok acuan. 5. Teori Pengharapan (Expectancy Theory )

Teori ini dikembangkan oleh Victor H. Room pada tahun 1960 dan diperluas oleh Poster dan Lawler dalam tahun 1973 serta yang lainnya. Dalam hal ini dijelaskan bahwa motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan juga penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menuntunnya. Pernyataan tersebut dirumuskan dengan : Motivasi = Valensi + Harapan. Disini valensi lebih menguatkan pilihan seseorang untuk suatu hasil. Jika seorang pegawai mempunyai keinginan yang kuat untuk suatu kemajuan, berarti valensi pegawai tersebut tinggi untuk suatu kemajuan. Pengharapan, merupakan kekuatan keyakinan pada suatu perlakuan yang diakui hasil khusus. Hal ini

mengambarkan bahwa keputusan pegawai yang memungkinkan untuk mencapai suatu hasil dapat menuntun hasil lainnya (Mangkunegara, 2002).

Kepuasan kerja secara umum menyangkut sikap seseorang mengenai pekerjaannya. Karena menyangkut sikap, pengertian kepuasan kerja mencakup berbagai hal seperti kondisi dan kecenderungan perilaku seseorang. Kepuasan itu tidak tampak serta nyata, tetapi dapat diwujudkan dalam suatu hasil pekerjaan.

Pendapat lain menyatakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka (Handoko, 2001). Sedangkan Wexley dan Yulk (1977) dalam As’ad, (2003) yang disebut kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaan. Kepuasan kerja berhubungan erat dengan faktor sikap. Seperti dikemukakan oleh Tiffin (1964) dalam As'ad (2003) kepuasan kerja berhubungan erat dengan sikap dari karyawan terhadap pekerjaannya sendiri, situasi kerja, kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan.

2.2.1. Implementasi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja. Kepuasan ini dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Hal ini akan membuat para pegawai termotivasi untuk bekerja dengan optimal yang pada akhirnya tujuan organisasi dapat terwujud dengan tingkat efisien dan efektivitas yang tinggi. (Fathoni, 2006). Seseorang cenderung bekerja dengan penuh semangat apabila kepuasan dapat diperolehnya dari pekerjaannya dan

kepuasan kerja pegawai merupakan kunci pendorong moral, kedisiplinan, dan prestasi kerja pegawai dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan (Hasibuan, 2005).

Kepuasan kerja adalah sikap umum individu dalam melaksanakan pekerjaannya. Pekerjaan membutuhkan interaksi dengan rekan kerja dan pimpinan, mematuhi peraturan-peraturan dan kebijakan organisasi, memenuhi standart kinerja, hidup dengan suasana kerja yang ideal (Robbins, 2006).

Kepuasan dapat dirumuskan sebagai respon umum pekerja berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi mempunyai seperangkat keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya bekerja. Kepuasan kerja ini akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dan kenyataan yang didapatkan ditempat bekerja (Rivai, 2008).

Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi, karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan yang seperti ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, sering absen dan melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran kerja yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang

berprestasi bekerja lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Oleh karena itu kepuasan kerja mempunyai arti penting baik bagi karyawan maupun perusahaan, terutama karena menciptakan keadaan positif di dalam lingkungan kerja perusahaan (Strauss dan Sayles (1963) dalam Handoko, 2001).

Rendahnya kepuasan kerja dapat menimbulkan berbagai dampak negatif seperti mangkir kerja, mogok kerja, kerja lamban, pindah kerja dan kerusakan yang disengaja. Karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi akan rendah tingkat kemangkirannya dan demikian sebaliknya, organisasi-organisasi dengan karyawan yang lebih terpuaskan cenderung lebih efektif dari pada organisai-organisasi dengan karyawan yang tak terpuaskan sehingga dapat meningkatkan produktivitas organisasi dan salah satu penyebab timbulnya keinginan pindah kerja adalah kepuasan pada tempat kerja sekarang (Robbins, 2006).

2.2.2. Kepuasan Kerja yang Dicapai dari Pekerjaan

Studi yang sangat komprehensif tentang kepuasan kerja dari pekerjaan yang dikenal sebagai :”The Cornell Studies of Job Satisfaction”, menunjukkan bahwa kepuasan dari pekerjaan terdiri dari 5 macam aspek yang relative independent. Terdiri dari :

1.Pekerjaan itu sendri 2.Pembayaran (gaji-insentif) 3.Supervisi

4.Kesempatan untuk promosi dan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, menurut pendapat Hasibuan (2005).

1. Balas jasa yang adil dan layak

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian 3. Berat ringannya pekerjaan

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak

Menurut, Robbins (2003) bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh: 1. Kerja yang secara mental menantang

2. Ganjaran yang pantas

3. Kondisi kerja yang mendukung 4. Rekan sekerja yang mendukung

5. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan.

Kerja yang secara mental menantang dan dapat diartikan adanya inovasi- inovasi baru sehingga tidak monoton, penghasilan atau kompensasi yang sesuai dengan harapan pegawai dengan standar yang ada, iklim pekerjaan yang kondusif untuk berlangsungnya pekerjaan dan adanya relevansi kepribadian yang berarti kesesuaian motivasi, persepsi dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

Pada dasarnya kepuasan kerja berarti tanggapan emosional seseorang terhadap aspek-aspek di dalam atau pada keseluruhan pekerjaan/jabatannya. Dengan demikian dapat diartikan pula bahwa kepuasan kerja adalah sikap seorang karyawan/anggota organisasi terhadap pekerjaan atau jabatannya. Tanggapan emosional atau sikap sebagai kepuasan kerja terlihat pada tanggung jawab, perhatian dan perkembangan seseorang dalam bekerja. Apabila ketiga aspek itu terlihat semakin positif, berarti terdapat kepuasan kerja anggota organisasi/karyawan dalam melaksanakan tugas- tugas pokoknya. Demikian sebaliknya apabila ketiga aspek itu menurun berarti kepuasan kerja menjadi rendah. Kondisi itu sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan kualitas kehidupan kerja (Nawawi, 2003).

Selanjutnya (Robbins, 2006) menyatakan bahwa. “Kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja, atasan, peraturan dan kebijakan organisasi, standar kinerja, kondisi kerja dan sebagainya. Seorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi menunjukkan sikap positif terhadap kerja itu, sebaliknya seseorang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap kerja itu.

Pendapat di atas menitik beratkan tentang munculnya kepuasan kerja akibat adanya selisih antara harapan yang sudah dibayangkan dari kontribusi pekerjaan yang dilakukan dengan kenyataan yang akan didapat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Davis (2004), “Kepuasan kerja adalah kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya. Perasaan itu merupakan cermin dari penyesuaian antara apa yang diharapkan pegawai dari pekerjaan/kantornya “.

Menurut Blum menyatakan faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja adalah: (a) faktor individual, meliputi: umur, kesehatan, watak dan harapan; (b) factor sosial, meliputi: hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berekreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan; (c) faktor utama dalam pekerjaan, meliputi: upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu, juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, kelepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil. baik yang menyangkut pribadi maupun tugas (dalam As'ad, 2003).

Ahli lain, Ghiselli dan Brown mengemukakan lima faktor yang menimbulkan kepuasan (dalam As'ad, 2003) yaitu: pertama, kedudukan (posisi), umumnya ada anggapan bahwa orang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan lebih puas daripada bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, perubahan tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja. Kedua, pangkat (golongan), pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat dan kebanggaan terhadap kedudukan yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaan. Ketiga, umur dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur antara 25 sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45 tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap

pekerjaan. Keempat, jaminan financial dan jaminan sosial. Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kelima, mutu pengawasan, hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting dalani arti menaikkan produktivitas kerja.

2.3. Teori Tentang Disiplin Kerja

Disiplin sangat penting baik bagi individu (tenaga kerja) yang bersangkutan maupun organisasi. Karena disiplin pribadi akan mempengaruhi kinerja pribadi seseorang. Hal ini disebabkan manusia merupakan motor penggerak utama dalam organisasi. Untuk itu sangat logis apabila peningkatan disiplin sumber daya manusia harus selalu diupayakan untuk mencapai produktivitas organisasi sesuai yang diharapkan.

Heidjrachman dan Husnan, (2002) menyatakan bahwa, “Disiplin adalah setiap perseorangan dan juga kelompok yang menjamin adanya kepatuhan terhadap perintah” dan berinisiatif untuk melakukan suatu tindakan yang diperlukan seandainya tidak ada perintah”.

“Disiplin adalah tindakan manajemen untuk memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, ini adalah pelatihan yang mengarah pada upaya membenarkan dan melibatkan pengetahuan-pengetahuan sikap dan perilaku pegawai sehingga ada kemauan pada diri pegawai untuk menuju pada kerjasama dan prestasi yang lebih baik”, itu sendiri disiplin diartikan sebagai kesediaan seseorang yang

timbul dengan kesadaran sendiri untuk mengikuti peraturan-peratuan yang berlaku dalam organisasi (Davis, 2004).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil telah diatur secara jelas bahwa kewajiban yang harus ditaati oleh setiap pegawai negeri sipil merupakan bentuk disiplin yang ditanamkan kepada setiap pegawai negeri sipil. Menurut Handoko (2001) disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional. Ada dua tipe kegiatan pendisiplinan yaitu preventif dan korektif. Dalam pelaksanaan disiplin, untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka pemimpin dalam usahanya perlu menggunakan pedoman tertentu sebagai landasan pelaksanaan.

Kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan organisasi dan norma-norma social yang berlaku (Hasibuan, 2005),. Handoko (2001) menyatakan, disiplin adalah kegiatan menajemen untuk menjalankan standart-standart organisasional. Fathoni (2006) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesedian seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku.

Disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar- standar organisasional. Secara etiomologis, kata “Disiplin” berasal dari kata Latin “disciplina” yang berarti latihan atau pendidikan kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabiat (Moekijad, 1995).

Definisi tentang disiplin sebagai berikut: ”Kedisiplinan adalah kesadaran (sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi dia akan memenuhi untuk mengarsipkan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan dan kesediaan suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan organisasi baik tertulis maupun tidak) seseorang mentaati semua peraturan organisasi dan norma-norma sosial yang berlaku” Hasibuan (2005).

Disiplin menurut Hodgest pada tahun 1994 dalam Yuspratiwi (2001) menyatakan bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan oraganisasi.

Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan dir dengan peraturan-peraturan organisasi (Helmi, 1996).

Dari beberapa pengertian di atas, disiplin terutama ditinjau dari perspektif organisasi, dapat dirumuskan sebagai ketaatan setiap anggota organisasi terhadap semua aturan yang berlaku di dalam organisasi tersebut, yang terwujud melalui sikap, perilaku dan perbuatan yang baik sehingga tercipta keteraturan, keharmonisan, tidak ada perselisihan, serta keadaan-keadaan baik lainnya.

Dari uraian disiplin yang dimaksud dari beberapa pengertian maka dapat ditarik kesimpulan bahwa disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku yang berniat untuk mentaati segala peraturan organisasi yang didasarkan atas kesadaran diri untuk menyesuaikan dengan peraturan organisasi.

Berdasarkan pengertian dari disiplin seperti tersebut diatas, maka dapat ditarik beberapa indikator-indikator disiplin kerja sebagai berikut :

1. Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja, misalnya datang dan pulang sesuai dengan jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak mencuri-curi waktu.

2. Upaya dalam mentaati peraturan tidak didasarkan adanya perasaan takut, atau terpaksa.

3. Komitmen dan loyal pada organisasi yaitu tercermin dari bagaimana sikap dalam bekerja.

2.3.1. Tingkat Kedisiplinan Kerja

Disiplin petugas dalam manajemen sumber daya manusia berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia yang sempurna, luput dari kekhilafan dan kesalahan. Oleh karena itu setiap organisasi perlu memiliki berbagai ketentuan yang harus ditaati oleh para anggotanya, standart yang harus dipenuhi.

Menurut Hasibuan (2005) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya disiplin petugas yaitu : tujuan dan kemampuan , teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat (waskat), sanksi hukuman, ketegasan dan hubungan kemanusiaan. Semua faktor itu pasti berpengaruh terhadap penerapan disiplin dalam organisasi.

Mengacu pada Dessler (2008), “discipline is a procedure that corrects or punishes a subordinate because a rule or procedure has been violated”. Disiplin kerja adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturan– peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankan dan tidak mengelak untuk menerima sanksi – sanksinya, apabila anggota organisasi yang bersangkutan melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya.

Prilaku disiplin petugas merupakan sesuatu yang tidak muncul dengan sendirinya, tetapi perlu dibentuk. Oleh karena itu pembentukan disiplin kerja menurut Handoko (2001) dapat dilakukan melalui dua cara yaitu :

Dokumen terkait