• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Penelitian Terdahulu

Hutagalung (1993) yang melakukan penelitian berjudul “Beberapa Masalah Tata Produksi dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padangsidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan” menunjukkan bahwa penambahan luas tanah garapan dan penggunaan input biaya produksi dalam usaha petani karet masih dapat menaikkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pendapatan petani Karet masih dapat ditingkatkan lagi dengan pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pemerintah perlu mengadakan perbaikan sistem pemasaran berupa mempersingkat saluran tata niaga yaitu dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan lain-

lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan petani menurun.

Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi Sumtera Utara” menyatakan komoditas perkebunan di Propinsi Sumatera Utara merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui ekspor adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan instrumen dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Proinsi Sumatera Utara.

Myria (2002) melakukan penelitian berjudul “Kajian Strategi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah” dengan menggunakan perangkat analisis Matriks IFE dan EFE, Matriks TOWS dan Matriks QSPM. Melalui penelitian tersebut diidentifikasi faktor strategis internal yang mempengaruhi pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah adalah: (1) kelompok fungsional, (2) program kerja Dinas Perkebunan, (3) struktur organisasi Dinas Perkebunan, (4) koordinasi dengan instansi terkait, (5) kualitas SDM Dinas Perkebunan, (6) sarana dan prasarana, (7) penguasaan teknologi karet oleh petugas, (8) kurangnya ketersediaan bibit, (9) manajemen organisasi, (10) kerja sama dengan pabrik

crumb rubber. Faktor strategis eksternalnya adalah: (1) adanya pabrik crumb rubber, (2) karet merupakan komoditi ekspor, (3) menyerap tenaga kerja, (4) karet telah lama dikenal secara turun temurun, dan (5) pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri, (6) perkembangan harga karet dunia, (7) tingginya tingkat suku bunga kredit komersil, (8) pertikaian antar etnis, (9) sarana transportasi darat dan (10) beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.

Pangihutan (2003) melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat di Desa Langkap,

Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan” menyatakan bahwa analisis kelayakan yang dilakukan dengan menggunakan tingkat faktor diskonto 18% dengan jangka waktu analisis 25 tahun untuk kebun karet dan 42 tahun untuk hutan karet ternyata kelayakan finansial karet maupun ekonomi kabun karet lebih baik dari hutan karet. Nilai finansial kebun karet diperoleh NPV sebesar Rp5.577.963, IRR 30,93% dan rasio B/C 1,50 sementara nilai finansial hutan karet adalah NPV Rp543.654, IRR 37,09% dan rasio B/C 1,08.

Sadikin, et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat Terhadap Kehidupan Petani di Riau” menyatakan bahwa sejauh ini strategi dan langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat telah dilaksanakan seperti: (1) pembentukan pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan karet rakyat dan untuk memperbaiki mutu olahannya, (2) melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP) yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP. Meskipun program ini berfungsi sebagai pembinaan petani karet secara menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran, namun dalam perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah strategi pembangunan perkebunan lebih berorientasi kepada peningkatan produksi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar devisa negara. Sementara aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan.

Liu, et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Environmental And Socioeconomic Impacts of Increasing Rubber Plantations In Menglun Township,

Southwest China” menyatakan bahwa perubahan yang signifikan dalam penggunaan lahan dan tutupan lahan telah terjadi di Kecamatan Menglun, Cina Barat Daya yang merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman agro- ekologi yang tinggi. Analisis citra satelit menunjukkan bahwa pada tahun 1988-

2003, luas perkebunan karet di wilayah ini meningkat sebesar 324%. Ekspansi ini umumnya terjadi pada hutan dan pertanian berpindah. Kebanyakan perluasan karet berada di daerah dataran rendah, di mana kesesuaian iklim mikro dan kedekatan dengan jalan lebih dipilih untuk pengembangan industri karet. Pesatnya perkembangan karet sebagai tanaman komersial dengan mengorbankan pertanian tradisional ditandai dengan hilangnya lahan pertanian tradisional dan peningkatan urbanisasi dan perkembangan tanaman komersial. Secara ekonomi, perubahan ini menunjukkan standar hidup masyarakat lokal yang lebih baik dimana dari tahun 1988-2003, total pendapatan bersih kecamatan meningkat dari CNY4.000.000 (US$0,490) menjadi CNY44.000.000 (US$5,490). Peningkatan jumlah populasi dan standar hidup dari daerah tersebut memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan sumberdaya lahan yang tersedia. Meskipun pemerintah menganggap karet dan perkebunan lain seperti teh dan gula menjadi „Green Industry‟, hilangnya hutan

hujan tropis dan lahan pertanian (termasuk kegiatan pertanian berpindah) menunjukkan bahwa potensi dampak kebijakan untuk mempromosikan Green Industry harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena ada risiko yang terlalu berat pada 1 atau 2 tanaman, terutama sekarang, di era pasar bebas yang sebagian besar tanaman tidak dilindungi. Hilangnya sistem pertanian tradisional yang fleksibel adalah sesuatu yang harus dimonitor dengan baik. Demikian pula, hilangnya keanekaragaman hayati juga harus menjadi perhatian besar, terutama dikarenakan sistem perkebunan karet yang dilaksanakan di Cina umumnya sistem monokultur dan dengan pembersihan lahan serta mengorbankan areal-areal hutan yang ada.

Sitepu (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Produksi Karet Alam (Hevea Brasiliensis) Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah” menyatakan bahwa karet merupakan komoditi yang memiliki pasar yang cukup besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Produksi Indonesia banyak ditunjang oleh adanya perkebunan karet rakyat akan memiliki arti yang penting sekali dalam upaya peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta upaya peningkatan devisa serta perekonomian Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan pengembangan budidaya tanaman karet di Propinsi Sumatera Utara, penelitian ini difokuskan pada pengeruh permintaan pasar, harga karet dan tenaga

kerja terhadap luas lahan dan produksi karet. Subjek penelitian ini adalah keseluruhan perkebunan karet di Sumatera Utara. Objek penelitian ini adalah luas lahan dan produksi karet di Propinsi Sumatera Utara sebagai indikator pengembangan perkebunan karet di Propinsi Sumatera Utara. Memperhatikan pengaruh pasar terhadap pengembangan wilayah di Sumatera Utara, maka disarankan perlu adanya kebijakan pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun pengelola perdagangan karet alam untuk meningkatkan perkebunan karet, melalui pemberian modal usaha serta pengaturan sistem perdagangan karet alam yang memberikan keuntungan bagi petani serta perlu diupayakan kebijakan yang menyangkut pengembangan industri produk turunan karet alam.

Goswami, et al. (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Economic Analysis of Smallholder Rubber Plantations in West Garo Hills District of Meghalaya” melakukan analisis kepada kelompok petani perkebunan karet di

Meghalaya, India. Perkebunan karet sebagai komoditi utama di wilayah ini merupakan komoditi unggulan yang sangat menguntungkan dengan harga yang tinggi dan sistem pemasaran yang transparan dan efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkebunan karet di wilayah ini merupakan mata pencaharian utama masyarakat terutama petani-petani kecil. Total biaya untuk pembangunan perkebunan karet sebesar Rs 22.548/ha. Hal ini membutuhkan pasokan kredit yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan biaya

input. Pemerintah India telah meluncurkan program khusus untuk sektor ladang kecil dengan pinjaman jangka panjang, subsidi input dan subsidi bunga, tetapi program ini masih tidak banyak dikenal orang dan ada kasus di mana para petani karet tidak bisa memanfaatkan subsidi karena berbagai syarat dan kondisi kaku yang dikenakan pada penerima manfaat. Adanya gangguan sosial-politik dan non- ketersediaan sumber daya investasi yang cukup merupakan masalah yang paling menghambat perluasan perkebunan karet. Perluasan perkebunan karet sudah mulai dikembangkan di wilayah India, sehingga ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan keterampilan dalam seni penyadapan dan budidaya. Dalam konteks ini Pemerintah India telah melaksanakan program pelatihan yang juga merupakan salah satu solusi untuk mengatasi meningkatnya permintaan tenaga kerja terampil. Suatu kebijakan yang harmonis dapat dilakukan dengan

mentransfer hak kepemilikan wilayah pengembangan karet kepada para petani, diintegrasikan dengan rencana kredit yang sehat dan program pengembangan pelatihan keterampilan, diharapkan dapat mengubah program pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai alternatif penggunaan lahan yang cocok untuk perladangan berpindah, hal itu akan mempertahankan pendapatan, pekerjaan dan mencegah degradasi lingkungan.

Parhusip (2008) menyatakan bahwa potensi karet alam dalam jangka panjang masih cukup baik yang disebabkan kebutuhan karet merupakan kebutuhan dasar dalam keperluan sehari-hari dan beberapa negara berkembang mengalami pertumbuhan industrialisasi yang cukup tinggi seperti Cina, India dan Brasil. Pergerakan harga karet dunia menunjukkan tren positif dan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar karet diharapkan dapat bekerja sama dengan produsen lain untuk dapat menjaga posisi harga yang tetap menguntungkan. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan strategi mengurangi frekuensi sadapan karet atau mengatur perluasan/peremajaan lahan agar lebih optimal dapat mengatur pasokan ke pasar internasional. Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui kedua line usaha baik on farm maupun off farm. Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan on farm termasuk kualitas bahan baku yang masih rendah. Kondisi tersebut diharapkan dapat dijembatani dengan pola plasma antara perkebunan dalam peningkatan hasil dan harga. Pola plasma tersebut juga diharapkan dapat menjembatani perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan perkebunan. Menghadapi tantangan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan global, Indonesia dapat mengoptimalkan kondisi pasar jangka panjang melalui peningkatan produktivitas lahan dan kebijakan yang mendukung seluruh aspek komoditas karet baik sektor on farm maupun off farm.

Haryono (2008) dalam penelitian yang berjudul ”Kebijakan Pemerintah Daerah untuk Pemberdayaan Petani Karet Rakyat (PPKR) (Studi Kasus Implementasi Kebijakan Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau)” menyatakan bahwa ada

tiga pola pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Kuantan Singingi, yakni: (a) pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) atau KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota); (b) pola UPP (Unit Pelaksana Proyek); dan (c) pola swadaya. (2) di lokasi penelitian hanya ditemukan perkebunan dengan pola swadaya, yakni kebun karet yang dikembangkan oleh masyarakat secara tradisional dimana produktivitas dan pendapatan petani karet pola swadaya tersebut relatif lebih rendah dibanding dua pola lainnya. Itu sebabnya tingkat kesejahteraan petani karet di lokasi penelitian belum berkembang sesuai harapan. Melalui implementasi kebijakan PPKR oleh pemerintah daerah, masyarakat petani karet mempunyai kesempatan untuk mengembangkan perkebunan karet mereka guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraannya. Hal ini merupakan sebuah proses awal bagi pemberdayaan petani karet di lokasi penelitian. Untuk itu peneliti menyarankan agar Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi tetap konsisten melaksanakan kebijakan PPKR karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat petani karet, sehubungan dengan masih luasnya lahan karet yang sudah tidak produktif. Kemampuan petani untuk melakukan pengembangan kebunnya sendiri masih terbatas, sehingga diperlukan bantuan pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Karena itu dukungan politik dan peningkatan komposisi anggaran untuk implementasi kebijakan PPKR perlu terus diupayakan.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Sejalan dengan diberlakukannnya otonomi daerah yang dimulai pada tahun 2001 maka peranan Pemerintah Daerah sangat penting dalam menggali potensi lokalnya sebagai sumber keuangan dalam membantu membiayai pembangunan daerahnya secara mandiri. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan mengelola potensi dan sumberdaya daerah, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam serta infrastruktur lainnya yang ada di daerah. Perencanaan pembangunan wilayah haruslah mengedepankan pemanfaatan sumber daya lokal yang dipercaya akan lebih menghidupkan aktivitas ekonomi daerah sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan akhirnya meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga diperlukan data dan informasi yang akurat tentang potensi sumberdaya suatu daerah untuk bisa digunakan dalam penyusunan perencanaan pembangunan.

Pada hakekatnya pembangunan nasional selalu diletakkan pada kerangka pembangunan sektoral dan regional yang terpadu berdasarkan karakteristik dan potensi wilayah. Oleh karena itu, Kabupaten Mandailing Natal perlu melakukan pendekatan tata ruang wilayah pembangunan dengan memperhatikan karakteristik wilayah, kesatuan geografis, homogenitas (potensi transportasi, komunikasi, sosial budaya, pemerintahan dan ekonomi). Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang merupakan refleksi dari pelaksanaan otonomi daerah secara substantif memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal untuk mengembangkan potensi wilayah berdasarkan komoditas unggulan berlandaskan aspek lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Mandailing Natal sebesar 84.389 orang atau 20,40 % dari jumlah penduduk Mandailing Natal (BPS Mandailing Natal, 2009). Hal ini merupakan pekerjaan bagi semua pihak untuk menghapuskannya. Sektor pertanian yang merupakan sektor utama bagi masyarakat sekaligus penyumbang PDRB terbesar bagi daerah, sehingga pembangunan sektor ini harus terus ditingkatkan. Salah satu subsektor pertanian yang memiliki prospek yang baik dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah subsektor perkebunan. Potensi lahan kering yang cukup luas yaitu

mencapai 217.772 ha memungkinkan subsektor perkebunan memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan. Tanaman karet merupakan salah satu tanaman unggulan sektor perkebunan di Kabupaten Mandailing Natal yang sudah sangat dikenal masyarakat. Pengembangan tanaman karet merupakan komitmen pemerintah daerah sebagai salah satu program pembangunan subsektor perkebunan. Secara nasional pengembangan komoditi karet juga didukung oleh Pemerintah pusat melalui Departemen Pertanian yang diwujudkan dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah berupa Program Revitalisasi Perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan tanaman karet ke depan cukup menjanjikan.

Dalam rangka pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal, potensi sumber daya fisik merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka penentuan lahan yang akan digunakan. Potensi sumber daya fisik lahan dapat diketahui dengan melakukan evaluasi lahan. Dengan mengetahui tingkat kesesuaian lahan maka produktifitas optimal yang dihasilkan dapat diperkirakan. Selain itu aspek fisik lahan juga merupakan salah satu faktor yang mesti diperhatikan selain aspek tata ruang dalam rangka membuat arahan pengembangan suatu komoditi. Selain potensi sumber daya fisik lahan, dalam rangka pengembangan suatu komoditi faktor kelayakan finansial merupakan hal penting yang perlu diketahui. Setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda seperti karakteristik sumber daya alam, topografi, infrastruktur, sumber daya manusia, dan sumber daya sosial dan aspek spasial. Perbedaan karakteristik tersebut dapat membuat terjadinya perbedaan biaya dan pendapatan yang diterima petani dalam pengusahaan usaha pertaniannya. Dalam rangka pengembangan tanaman karet di Kabupaten Mandailing Natal, maka analisis kelayakan finansial perlu dilakukan untuk melihat daerah-daerah mana yang cocok dan menguntungkan untuk dijadikan sentra pengembangan tanaman karet.

Di samping analisis finansial, faktor lain yang menentukan kinerja pengusahaan kebun karet rakyat adalah kelembagaan pemasaran. Kelembagan pemasaran petani umumnya lemah sehingga petani cendrung sebagai penerima harga (price taker). Kurangnya informasi pasar dan mutu produk yang rendah merupakan penyebab rendahnya posisi tawar petani. Dalam rangka melihat

efisiensi rantai perdagangan komoditi karet di Kabupaten Mandailing Natal maka analisis margin tata niaga dan analisis keterpaduan pasar perlu dilakukan. Diharapkan dari analisis tersebut dapat diketahui efisien tidaknya kelembagaan pemasaran karet saat ini di Kabupaten Mandailing Natal. Jika belum maka perlu rekomendasi tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Komoditi karet diperkirakan memiliki peran yang besar dalam peningkatan pendapatan masyarakat terutama di daerah sentra-sentra komoditi tersebut, karena harga yang terus meningkat dan minat masyarakat yang sangat tinggi untuk mengusahakan komoditi ini dengan skala ekonomi (economic scale) yang dapat diusahakan rakyat didukung kebijakan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan program Revitalisasi Perkebunan, sehingga perlu adanya arahan potensi pengembangan perkebunan karet rakyat yang sesuai konsep pembangunan berkelanjutan yakni sesuai dari aspek lingkungan, ekonomi dan sosial. Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Rekomendasi peningkatan efisiensi pemasaran Peta arahan pengembangan karet Kelayakan kegiatan secara finansial

Arahan kebijakan pengembangan perkebunan karet rakyat Kabupaten Mandailing Natal Peningkatan teknis budidaya Evaluasi kesesuaian lahan Efisiensi lembaga pemasaran Kelayakan finansial Latar Belakang

Persentase penduduk miskin masih tinggi (20,40%) Potensi lahan kering masih luas (217.772)

Prosfek karet yang cerah

Minat masyarakat terhadap karet tinggi Program Revitalisasi Perkebunan

Analisis potensi pengembangan perkebunan karet rakyat

Arahan kebijakan Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal

Dokumen terkait