• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu yang Terkait

Dalam dokumen 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Model Input Output (Halaman 36-42)

5. Intensitas persaingan

2.7 Penelitian Terdahulu yang Terkait

Penelitian ekonomi perikanan dengan menggunakan alat analisis tabel input output, dilakukan antara lain oleh Razali (1996), yang melakukan penelitian di Kabupaten Sabang, dengan melihat sejauh mana peran sektor perikanan dalam perekonomian Sabang, penelitian tersebut menggunakan beberapa metode analisis antar lain: (1) metode input output (non survey-metode RAS), (2) analisis perubahan struktur perekonomian, yaitu melihat perubahan sumbangan relatif sektor perikanan dibandingkan dengan sektor lainnya dalam kurun waktu tertentu, (3) analisis komponen utama, dan (4) metode deskriptif. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan, bahwa kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sabang masih kecil, baik dari nilai output, nilai tambah bruto, nilai ekspor dan penyerapan tenaga kerja, serta sektor perikanan belum termasuk salah satu sektor yang memimpin (leading sector), karena memiliki nilai

keterkaitan (linkages) dan multiplier effect yang kecil dibandingkan sektor yang lain dan bukan merupakan sektor unggulan.

O’Callaghan et.al (2000) melakukan pengamatan tentang keterkaitan antar sektor dan sektor-sektor kunci dalam perekonomian China selama periode 1987-1997, dengan memakai sekaligus metode tradisional yang dikembangkan oleh Chenery-Watanabe dan Rasmussen, serta metode ekstrasi dari Cella dan Dietzenbacher. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa selama periode 1987-1997 setiap sektor memiliki kecenderungan angka rasio backward linkage dan forward linkage yang terus meningkat sepanjang tahun. Ini berarti ada indikasi terdapat suatu hubungan yang positif antar pertumbuhan aktifitas produksi dan peningkatan di dalam keterkaitan antar sektor selama periode tersebut. Selain itu, mereka juga memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang mendominasi perekonomian China sepanjang periode 1987-1997 adalah sektor kontruksi, industri dan pertambangan, karena dari hasil analisis I-O menunjukkan ketiga sektor tersebut mempunyai rasio backward linkage dan forward linkage yang paling tinggi diantara semua sektor.

Penerapan ukuran backward dan forward linkage ratio dalam analisis IO dengan metode tradisional dan ekstrasi juga pernah dilakukan oleh Pfajfar dan Dolinar (2000), yang melakukan studi tentang keterkaitan antar sektor di negara Slovania dalam periode 1990-1995. Dari hasil studinya ini menunjukkan bahwa sektor perikanan dan kehutanan, serta sektor industri baja, merupakan sektor-sektor kunci di negara Slovania selama periode 1990-1995.

Masih dengan menggunakan ukuran backward dan forward linkage juga dilakukan oleh Guilhoto dan Fortuoso (2000). Mereka mencoba melukiskan keberadaan agribisnis dalam pembangunan sektor-sektor produksi di negara Brazil. Dalam studinya ini komposisi sektor agribisnis dalam GDP (gross

domestic product) dilihat pada dua kelompok sektor yang sangat kompleks, yaitu

produksi tanaman pangan dan peternakan. Masing-masing sektor agribisnis tersebut kemudian diderivasi kedalam empat komponen agregat yang meliputi, (1) input, (2) sektor perikanan itu sendiri, (3) proses industri, dan (4) distribusi dan jasa-jasa. Sektor-sektor industri dan jasa yang dapat dikelompokkan dalam agribisnis tanaman pangan dan peternakan menurut mereka adalah : wood and wood products pulp, paper and printing, chemical elements (alcohol), textile industry, clothing industry, footwear industry, coffee industry, vegetal products, processing animal slaughtering, dairy industry, sugar industry, vegetal oil

processing, dan other food products. Berdasarkan semua derivasi ini diperoleh hasil bahwa dalam struktur input-output, sektor agribisnis rata-rata mampu menyumbang 29% terhadap penciptaan GDP Brazil selama periode 1994-1995, yang kemudian menurun menjadi 27% pada tahun 1997, dan menurun lagi menjadi 26% sepanjang periode 1998-1999.

Penggunaan model I-O tidak hanya sebatas menggambarkan keterkaitan antar sektor saja. Model I-O juga bisa dipakai untuk menganalisis bagaimana terjadinya perubahan struktur perekonomian di suatu negara atau wilayah, seperti yang dilakukan oleh Guo dan Planting (2000). Studinya dilakukan untuk perekonomian Amerika Serikat dengan menggunakan analisis Multiplier Product

Matrix (MPM). MPM ini merupakan suatu instrumen yang dikembangkan untuk

melihat dampak suatu sektor secara keseluruhan dalam suatu perekonomian. Selain itu MPM ini bisa juga memotret pengaruh suatu sektor berdasarkan

backward linkage dan forward linkage, yang sekaligus pula bisa menjelaskan

hubungan antara suatu sektor dengan sektor-sektor lainnya. Dari hasil pengamatannya, kelihatan bahwa terjadinya perubahan struktur perekonomian di Amerika Serikat selama periode 1972-1996 lebih banyak disebabkan karena (1) ketergantungan antarindustri domestik semakin menurun, (2) kenaikan impor input-input produksi lebih tinggi dibandingkan produksi domestik, dan (3) peranan sektor industri non-manufacturing semakin bertambah, dengan tingkat pertumbuhan yang sangat cepat.

Analisis tentang perubahan struktur perekonomian melalui model I-O juga dilakukan Okuyama et.al (2002) yang mengamati seberapa jauh perubahan struktur perekonomian itu terjadi di negara bagian Chicago selama periode 1980-1997. Alat analisisnya adalah Temporal Leontief Inverse, yang pernah dibangun sebelumnya oleh Sonis dan Hewings (1998). Salah satu keuntungan dari penggunaan alat tersebut adalah mampu menyelidiki perubahan-perubahan struktural dalam tabel input-output secara time series. Selain itu, yang paling penting juga alat ini bisa memberikan satu set teknik explorasi dari sifat-sifat dasar time series dan membantu menggali hal-hal mendasar mengenai perubahan teknologi dan perubahan-perubahan dalam trading-patter, khususnya dalam kasus sistem regional dan antar regional. Dengan menggunakan alat ini, pengaruh dan perbedaan-perbedaan dari efek hollowing-out antar sektor bisa ditampilkan dan dianalisis. Dengan menggunakan rumus temporal inverse, dampak dari kenaikan permintaan akhir (final demand) pada tahun 1997

terhadap beberapa sektor, dapat didekomposisi menjadi dampak temporal, yang selanjutnya dapat dilihat perubahan-perubahan struktur setiap tahun, dalam kaitannya dengan hubungan antar sektor. Untuk hal ini Okuyama mengamatinya pada sektor-sektor perdagangan, konstruksi, industri mesin dan perlengkapan, jasa transportasi, jasa-jasa perumahan, bisnis, engineering, management. Dari hasil pengamatannya Okuyama menemukan bahwa dalam proses hollowing-out pada perekonomian Chicago, sektor industri merupakan sektor yang mempunyai perubahan struktural paling besar diantara periode 1980-1997, sementara sektor yang lebih stabil dan relatif meningkat secara signifikan dalam hubungan antar sektor adalah sektor-sektor jasa.

Idenburg dan Harry (2000), dengan menggunakan Dynamic Input-Output

Model mencoba menjelaskan dampak dari inovasi teknologi terhadap produksi

sektoral di negara Belanda yang menggunakan natural resources dan emissions terhadap lingkungan. Pemilihan analisis input-output secara nyata dianggap bisa menjelaskan hubungan struktur ekonomi, penggunaan energi dan sumber daya lingkungan. Selain itu, analisis input-output juga dapat digunakan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pencarian teknologi-teknologi baru. Studi ini mencoba menganalisis secara tentative dampak perubahan-perubahan teknologi terhadap permintaan energi pada perekonomian Belanda selama periode 1980-1997.

Untuk Indonesia sendiri, boleh dikatakan Kaneko (1985) merupakan pelopor yang melakukan analisis keterkaitan antar sektor di negara kita ini. Ia memperkenalkan konsep (1) derajad ketergantungan kegiatan tiap sektor terhadap setiap unsur permintaan akhir, (2) pengganda reaksi (repercussion

multiplier) pada kegiatan ekonomi yang diakibatkan oleh setiap unsur permintaan

akhir, (3) rasio give and take sebagai koefisien keterkaitan ke depan dan keterkaitan ke belakang sebagaimana dirumuskan oleh Hirschman. Dengan mengolah tabel I-O tahun 1971, 1975, 1980, dan 1983, ia menyimpulkan. Pertama, selama periode 1971-1980, derajad ketergantungan kegiatan ekonomi pada konsumen cenderung menurun pada sektor primer dan tersier, namun meningkat pada sektor industri. Kedua, derajad ketergantungan ekspor pada industri logam mengalami penurunan pada tahun 1980 dan 1983, terutama karena kebijakan subsitusi impor dan kebijakan pemanfaatan produk dalam negeri yang telah dianut sejak awal dekade 1980. Ketiga, dalam tahun 1970-an, pengganda reaksi yang diakibatkan oleh pembentukan modal tetap telah

menurun. Keempat, orientasi pembangunan industri Indonesia selama periode 1971-1980 lebih memiliki ciri kepada industri subsitusi impor. Kelima, besarnya kebocoron impor menyebabkan produksi barang-barang modal tetap sangat kurang bersifat padat karya (Kuncoro et.al 1997).

Studi lainnya tentang keterkaitan antar sektor di Indonesia juga pernah dilakukan oleh Poot et.al (1991). Berdasarkan data input-ouput Indonesia tahun 1971, 1975, dan 1980, mereka menunjukkan keterkaitan antar industri pada perekonomian Indonesia yang dilihatnya melalui koefisien backward linkage dan

forward linkage. Dari hasil pengamatannya menunjukkan sektor-sektor industri

yang mempunyai backward linkage tinggi terutama adalah sektor industri makanan. Sedangkan sektor yang memiliki forward linkage paling tinggi adalah industri kimia, peralatan kertas, pupuk dan pestisida. Berdasarkan analisis I-O, mereka juga memaparkan bahwa pembangunan industri di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap komponen impor, terutama sekali bagi sektor-sektor industri non makanan seperti industri baja, kertas, kendaraan bermotor, elektronik, perkapalan dan pesawat terbang, dimana semua industri ini umumnya memiliki rasio ketergantungan impor di atas 50%, dan yang paling tinggi adalah industri baja dengan rasionya sebesar 0,73.

Selain dua studi di atas, studi lainnya tentang analisis IO di Indonesia juga dilakukan oleh Kuncoro et.al (1997). Dimana dengan menggunakan tabel I-O Indonesia tahun 1980, 1990, dan 1995, mereka melakukan pengamatan tentang struktur, perilaku, dan kinerja dari sektor agroindustri. Dalam studinya ini mereka mengklasifikasikan sektor agroindustri di Indonesia kedalam tujuh kelompok, yang kemudian didisagregasi menjadi 47 sektor. Beberapa kesimpulan penting yang dapat disampaikan dari hasil penelitiannya ini adalah : (1) agroindustri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang tinggi adalah karet, industri pemintalan, industri barang dari kertas, industri pupuk dan pestisida, industri barang dari karet dan plastik, dan industri barang dari logam, (2) dilihat dari angka pengganda pendapatan dan tenaga kerja, hampir semua subsektor industri pengolah hasil perikanan memiliki angka pengganda yang tinggi, dan (3) analisis kinerja membuktikan bahwa derajad ketergantungan ekspor bagi agroindustri menunjukkan perubahan yang amat substansial. Pada tahun 1980, peringkat sepuluh besar dalam derajad ketergantungan ekspor didominasi oleh sektor perikanan primer. Sepuluh tahun kemudian, selain produk

sektor perikanan primer, dua subsektor industri pengolah perikanan mulai masuk sepuluh besar, yaitu industru kayu-bambu-rotan dan industri tekstil.

Untuk studi I-O Indonesia yang cakupannya regional pernah dilakukan oleh Imansyah (2000) dan Muchdie (1999 dan 2000). Studi yang dilakukan Imansyah lebih menitikberatkan pada metodologinya, dimana ia mencoba memperkenalkan proses pembuatan I-O Regional Indonesia dengan metode hibrida (hybrid

method), yang beranjak dari ide pemikiran West (1990), Van der Westhuizen

(1992), dan Lahr (1998). Menurut Imansyah metode hibrida ini merupakan metode yang paling menguntungkan untuk membangun tabel input-output regional. Karena biaya pembuatan tabel input-output dengan metode hibrida kelihatan lebih efisien dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi. Metode hibrida ini berada ditengah-tengah antara metode input-output survei dan nonsurvei, dimana tingkat akurasinya hampir sama dengan metode survei, sedangkan biaya pembuatannya sama rendahnya dengan metode nonsurvei. Ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam metode hibrida yaitu, (1) pendekatan top-down, (2) pendekatan bottom-up, dan (3) pendekatan horisontal. Imansyah lebih menitikberatkan pada pendekatan horisontal, dengan penekanan terhadap identifikasi fundamental economic structure (FES). Dalam studinya ia dapat membuat I-O Regional melalui pendekatan tersebut untuk 10 propinsi di Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya, Maluku, Bali, Lampung, Sulawesi Selatan , Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Dengan menggunakan model input-output antardaerah (IOAD) yang dibuatnya melalui metode hibrida, Muchdie (1999) telah membahas struktur ruang perekonomian Indonesia yang dirinci menurut lima kelompok pulau besar, yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Sulawesi, serta Irian Jaya. Pembahasan struktur ruang difokuskan kepada angka pengganda spasial, dampak bersih spasial, serta dampak luberan dan dampak balik spasial. Dari studinya ini ia memberi kesimpulan. Pertama, analisis pengganda menurut sektor menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi pada sektor sendiri mencapai lebih dari 60% terhadap total karena besarnya dampak awal, selain itu analisis pengganda spasial juga menunjukkan bahwa secara umum pengganda yang terjadi di pulau sendiri lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi di pulau lain. Kedua, dengan menggunakan analisis dampak luberan dan dampak balik kondisi di atas dapat pula dijelaskan. Sumatra dan Jawa memiliki dampak luberan yang relatif kecil yang berarti bahwa dampak yang terjadi di pulau sendiri

jauh lebih besar dibandingkan dengan dampak luberan yang terjadi di pulau lain. Ini menunjukkan bahwa Sumatra dan Jawa relatif lebih mandiri. Nilai dampak balik yang cukup besar untuk Jawa dan Sumatra menggambarkan bahwa hasil pembangunan yang mengalir dari Jawa, setelah beberapa saat, akan kembali lagi ke Jawa.

Peneder et al. (2000) menyatakan bahwa indikator kinerja industri adalah produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah. Sedangkan Annacker and Hildebrandt (1998) menggunakan peubah return on investment untuk menyatakan kinerja industri. Dengan menggunakan model persamaan simultan Annacker dan Hildebrandt (1998) menyatakan return on investment merupakan fungsi dari variable-variabel strategis kualitas produk (QUA) dan pangsa pasar (MS) serta biaya langsung relative (COST). Ray (2004) menyebutkan bahwa penetapan kinerja industri dan kinerja perekonomian selalu bersifat kontroversial karena banyak sekali ukuran yang dapat digunakan. Mereka menggunakan

structural equation model untuk menganalisis yang menghubungkan beragam

dimensi strategi perusahaan dan kinerja perusahaan. Ada lima dimensi kunci dari strategi perusahaan, yaitu cakupan bisnis, cakupan geografi, skala operasi, diversitas operasi, dan pangsa sumberdaya. Kelima dimensi tersebut mempengaruhi kinerja perusahaan, yang dalam hal ini kinerja perusahaan diukur berdasarkan indikator return on sales, return on assets, dan return on net worth.

Selanjutnya Audretsch et al. (2005) menyatakan bahwa kinerja perekonomian mengacu pada dimensi produktivitas yang diukur berdasarkan indikator produktivitas tenaga kerja dan produktivitas modal (kapita). Dalam model yang lengkap dinyatakan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh dimensi pengetahuan (knowledge) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Dimensi pengetahuan dan kewirausahaan dipengaruhi pula oleh dimensi R&D. Dimensi pengetahuan diukur berdasarkan indikator patent tahun 1995 dan patent tahun 1996. Sementara itu dimensi kewirausahaan diukur berdasarkan indicator

high-tech start ups dan ict start ups . Selanjutnya dimensi diukur berdasarkan indikator

intensitas R&D tahun 1987, intensitas R&D tahun 1991, dan intensitas R&D tahun 1995.

Dalam dokumen 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Model Input Output (Halaman 36-42)

Dokumen terkait