• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1.2. Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan

2.1.2 Penelitian Terjemahan yang Pernah Dilakukan

Tinjauan hasil terjemahan tentang penelitian yang pernah dilakukan ini merupakan dasar peneliti untuk mendudukkan kajian penelitian terhadap penelitian kajian yang peneliti kaji. Ada beberapa hasil penelitian yang dapat dikumpulkan untuk dijadikan bahan teoritik.

Soemarno (1988) dalam desertasinya meneliti hubungan antara belajar dalam bidang penerjemahan, jenis kelamin, kemampuan berbahasa Inggeris dengan tipe-tipe kesilapan terjemahan dari bahasa Inggeris ke dalam bahasa Indonesia. Disimpulkan dalam penelitian tersebut bahwa lama belajar dalam bidang penerjemahan tidak berkorelasi dengan frekwensi kesilapan terjemahan

yang dibuat oleh para mahasiswa. Kontribusinya lebih banyak bersifat praktis bagi pengajaran penerjemahan, sedangkan kontribusi hasil penelitian Hoed lebih bersifat teoritis. Penelitian Hoed merupakan model kajian terpadu antara pendekatan sastra, linguistik dan terjemahan yang sekaligus membuktikan adanya benang merah yang menghubungkan dan menembus sekat-sekat bidang keilmuan serta mengindikasikan kesalingbermaknaan pemahaman bidang ilmu tertentu terhadap pengkajian suatu masalah kebahasaan yang lebih holistik.

Secara teoretis penelitian ini telah mengungkapkan bahwa dalam penerjemahan yang memberikan prioritas kepada usaha mempertahankan keutuhan pesan teks sumber pada hasil terjemahan memang lazim menjauhi perwujudan kesejajaran bentuk antara bentuk bahasa sumber dan bentuk bahasa target. Walaupun demikian, belum diungkapkan bahwa dalam proses penerjemahan, pemadanan teks sumber tidak saja membawa implikasi pergeseran bentuk tetapi juga pergeseran makna (meluas, menyempit atau hilangnya informasi.

Ida Bagus Putra Yadnya desertasinya yang berjudul, Pemadanan Makna Berkonteks Budaya: Sebuah Kajian Terjemahan Indonesia-Ingeris (2004), yang mengkaji representasi makna berkontek budaya sebagai konsekuensi dari strategi pemadanan.

Pendekatan linguistik dalam studi terjemahan juga pernah dilakukan Yadnya dan Resen (1986). Topik tersebut yaitu studi kasus terjemahannya adalah pergeseran formal frasa benda dalam terjemahan Ingeris-Indonesia. Jangkauan masalah dalam penelitian terbatas pada mengidentifikasi seberapa jauh terjadi kesejajaran bentuk penerjemahan frasa benda bahasa Ingeris ke dalam bahasa Indonesia dan sejauh mana terjadi pergeseran formal tau alih bentuk berwujud alih unit, struktur, dan kelas pengisi elemen struktur dalam penerjemahan. Temuan dan analisis data pergeseran formal yang disajikan menunjukkan terjadinya peristiwa pergeseran unit, struktur, dan kelas.

Sembiring (1995) dalam artikel yang berjudul “Masalah Penerjemahan Hubungan Kekerabatan dalam Alkitab dalam Bahasa Karo”, menegaskan bahwa di samping memberi prioritas pada arti yang mendukung teks sumber (Alkitab) dan bukan pada bentuk dari bahasa sumber, penerjemah juga peka terhadap kebudayaan penerima dan sejauh mungkin haruslah wajar.

Puspani (2003) mengungkapkan dalam tesisnya tesisnya yang berjudul “The Semantic Features of The Terms Related to Balinese Culture in the Novel

Sukreni Gadis Bali and Their Translation in The Rape of Sukreni” (Kajian

Terjemahan). Kajiannya berhasil mengidentifikasikan terms yang berhubungan dengan budaya Bali dari berbagai bidang mencakup (1) aspek kehidupan petani;

(2) fenomena historis; (3) upacara agama Hindu Bali; (4) sistem sapaan serta bagaimana terms tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Lubis, (2009) mengkaji kasus penerjemahan etnografik dengan melakukan studi kasus penerjemahan teks mangupa dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Inggris. Dalam penelitian Lubis, mengidentifikasi (1) perbedaan kelinguistikan dalam bahasa sumber dan bahasa target, (2) mengidentifikasi masalah kelinguistikan yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa target.(3) perbedaan budaya yang ada dalam bahasa sumber dan bahasa target. (4) masalah budaya apa yang muncul dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa target. ( 5) dampak teknik penerjemahan yang digunakan terhadap kualitas terjemahan dalam hal keakuratan (accuracy), keterbacaan (readabbility) dan (keberterimaan (acceptability). Masalah menarik lainnya adalah bagaimana wujud dan kecenderungan pola-pola perpadanan makna berkonteks budaya dan pergeserannya.

Persamaan kajian penelitian yang telah dilakukan Lubis, dan Puspani dengan kajian penelitian “Kajian Teks Bahasa Angkola – Indonesia” terletak pada substansi pokok yakni sama-sama mengangkat masalah penerjemahan.

Muara perbedaan dari kajian Lubis, dan Puspani dengan kajian penulis terletak pada kontribusinya berdasarkan paradigma yang dibangun (melihat terjemahan sebagai produk) dengan kesesuaian pendekatan yang digunakan

(semantik). Penulis menyakini hasil kajian Puspani memberikan kontribusi yang berarti pada pengayaan analisis semantik dan menunjukkan pada kasus-kasus terjemahan seberapa jauh kontribusi semantik dalam menentukan tingkat kesepadanan pesan dari suatu bahasa sumber dalam bahasa target. Walaupun terdapat persamaan dalam menilai pentingnya peran semantik dalam penerjemahan tetapi berdasarkan perspektif yang melihat penerjemahan sekaligus sebagai produk dan proses (LSF) serta memandang teori semantik sebagai sarana maka kontribusi hasil kajian penulis lebih condong pada teori terjemahan dibandingkan dengan teori semantik dan pada praktek penerjemah dan mengkaji teks sebagai produk dengan kerangka kerja Haliday dan Saragih 2006 (Angkola-Indonesia).

2.1.3 Kajian Pustaka yang Berkaitan dengan Bahasa dan Kebudayaan dalam

Kerangka Kajian Terjemahan

Untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena penerjemahan.

Penelitian terfokus: 1) bagaimanakah tipe kesepadanan yang diperoleh dalam proses padanan yang terdapat dalam teks sumber dan teks terjemahan, 2)

dalam konteks apakah terjadi pergeseran makna (shifts) teks terjemahan, 3) Bagaimanakah tautan konteks situasi dan konteks budaya pada teks, dan 4) faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran. Dalam hal mengkaji masalah-masalah tersebut maka diperlukan kerangka teori.

Teori terjemahan selalu bertumpu pada asumsi tertentu tentang penggunaan bahasa. Asumsi ini dikelompokkan dalam dua kategori, yakni (1) instrumental dan (2) hermeneutik. Teori terjemahan yang menganut konsep instrumental memandang bahasa sebagai komunikasi untuk mengekspresikan pikiran dan makna, yang didasarkan atas acuan terhadap realitas empiris atau yang berasal dari konteks ( pada dasarnya konteks ini tidak hanya linguistik tetapi juga mencakup situasi pragmatik).

Teori terjemahan yang menganut konsep hermeneutik memandang bahasa sebagai interpretasi, pertalian pikiran dan makna di mana makna membentuk realitas dan dinyatakan sesuai dengan situasi sosial dan budaya. Konsep instrumental tentang bahasa mengarah pada teori terjemahan yang mengutamakan pengkomunikasian meminimalkan dan kadang-kadang mengesampingkan masalah fungsi di balik komunikasi. Konsep hermeneutik terhadap bahasa mengarah pada teori terjemahan yang mengutamakan interprestasi nilai-nilai kreatif (Venuti, 2000:5-6).

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretation yaitu

kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tuliskan juga merupakan simbol dari kata-kata-kata-kata yang kita tulis.

Hermeneutik secara etimologis adalah berasal dari bahasa Yunani Hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’ dan kata benda Hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai ‘penafsir’ atau ‘intepretasi’

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Seperti halnya terhadap diri kita, kalau kita berpikir melalui bahasa, kita berbicara melalui bahasa, dan kita menulis juga dengan bahasa, bahkan kita berkomunikasi dengan seni yang lain juga menggunakan bahasa. Sebagai contoh patung dan lain-lain, juga diapresiasi dengan menggunakan bahasa.

Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita salah paham dan salah tafsir apabila kita tidak menyimak hasil pembicaraan orang lain. Karena arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak fakta: siapa yang berbicara, keadaan dan waktu, tempat semua ini dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.

Konsekuensinya kajian terjemahan bahasa Angkola ke dalam bahasa Indonesia ( Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia) dan harus pula mempertimbangkan prinsip-prinsip pragmatik di samping semantik (untuk menangani makna leksikal/referensial). Penerapan pragmatik dalam kajian ini dilakukan analisis

pergeseran (shifts) makro yang mencakup komponen tekstual yang membangun kohesi dan koherensi teks. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa analisis pergeseran pragmatik dalam terjemahan hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan konteks situasi dan budaya.

Budaya dalam bahasa target untuk bisa menunjukkan bidang-bidang pergeseran yang mungkin terjadi tatkala penerjemah mencoba memadankan makna. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam kajian makna dengan pendekatan semantik dan pragmatik harus berjalan bersama. Dalam kajian ini pendekatan semantik mengungkap hubungan antar simbol dengan konsep dan benda atau hal yang diacu oleh makna tersebut sedangkan pragmatik mengungkap makna dengan memperhatikan konteks situasi yang berkaitan dengan pemakaian unsur lingual pengungkap makna tersebut.

2.1.3.1 Bahasa

Bahasa adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari budaya para

penuturnya. Perbedaan budaya yang diperlihatkan oleh bahasa terlihat jelas pada kosa katanya. Kosakata adalah wadah konsep yang terdapat dalam budaya. Sebagai contoh; Segala sesuatu yang bertalian dengan perkawinan ”Horas tondi

madingin sayur matua bulung” dalam bahasa Indonesia tidak terdapat padanan

mencerminkan kekhasannya budaya penuturnya yang belum tentu dimiliki oleh bahasa lain.

Proses penerjemahan melibatkan dua bahasa dan di dalam bahasa-bahasa tersebut terkandung berbagai makna. Oleh karena itu sebelum sampai pada tahap pengkajian masalah penulis memandang perlu untuk menentukan paradigma terhadap bahasa dan budaya serta keterkaitan penerjemahan dengan keduanya. Untuk menentukan paradigma tersebut perlu dilakukan kajian terhadap pustaka yang berhubungan dengan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan fenomena penerjemahan.

Bahasa di dalam masyarakat adalah wujud untuk memenuhi kebutuhan manusia. Saragih (2006:1) menegaskan, untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam berbagai kegiatan sebagai anggota masyarakat dan bahasa yang didasarkan pada kegunaan, penggunaan, fungsi bahasa bagi manusia atau unsur lain di luar teks yang diucapkan dapat dikatakan dengan pendelatan fungsional. Berdasarkan ini maka kajian terjemahan bahasa Angkola ini memakai pendekatan fungsional.

Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan simbol merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Seperti kebudayaan secara umum, bahasa dipelajari untuk melayani pikiran manusia. Sibarani, (2004:47) mengatakan bahwa “Bahasa

adalah bahagian dari kebudayaan yang erat hubungannya dengan berpikir”. Karena budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa dan sistem simbol merupakan salah satu dari komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan.

Di dalam tulisan ini kata budaya, bukan kebudayaan dipakai sebagai padanan bahasa Inggris culture tetapi budaya di sini diartikan sebagai mengacu pada seperangkat praktik, kode, dan nilai yang menandai suatu kelompok (Morgan, 1999:495). Defenisi ini sesuai dengan pengertian budaya menurut Farr dan Ball dalam Tampubolon (2005:45), yang mengatakan bahwa budaya adalah sistem pengetahuan yang dipunyai bersama oleh kelompok orang, yang berkaitan dengan perilaku dan yang dipakai (oleh mereka) untuk menafsirkan pengalaman. Tampubolon (2005) menjelaskan lebih lanjut budaya terdiri atas “Apa saja yang perlu diketahui atau dipercayai (oleh seseorang) agar ia dapat bertingkah laku dengan cara yang berterima oleh para anggota (masyarakat)”.

Defenisi budaya seperti yang dikutip di atas menyiratkan bahwa budaya itu berkaitan dengan cara hidup (ways of living). Karena cara hidup itu membawahkan cara berkomunikasi (ways of communicating), dapat dikatakan bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu berkomunikasi atau bertutur, Richard dkk (1985:97).

Fishman (1985:99) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan perilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis.

Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai idiologi dan pandangan hidup

(way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus

menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa target. Hubungan bahasa dan budaya begitu dekat sehingga dalam penerjemahan kedua aspek tersebut harus dipertimbangkan. Penerjemah harus menangani teks bahasa sumber sedemikian rupa sehingga versi teks bahasa target berkorespondensi dengan versi bahasa sumber.

Newmark (1988:94) mendefenisikan kebudayaan sebagai ”They way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression”. Konsep budaya tersebut mengandung kata-kata kunci “way of life peculiar to community”, dan “particular language” sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda dengan budaya lain. Dari defenisi tersebut dapat dimengerti bahwa budaya merupakan keseluruhan konteks di mana manusia berada berfikir dan berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus menjadi perekat suatu komunitas. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan dan sekaligus merupakan sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga perbedaan budaya berarti perbedaan bahasa.

Secara spesifik Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam tiga kategori; (1) bahasa bersifat universal, contohnya, kata-kata yang berupa artefak seperti meja, atau cermin, kata-kata ini tidak akan menimbulkan masalah karena semua budaya memiliki bahasa yang mampu mengekpresikan konsep-konsep tersebut. (2) bahasa bersifat kultural, contoh dalam kosakata bahasa Angkola seperti “marhusip, suhut, dan pisangraut penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan permasalahan yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman konsep. (3) bahasa bersifat personal.

Selanjutnya newmark (1988:95- 103 dalam Yadnnya desertasi 2004) mengelompokkan makna berkonteks budaya ke dalam katagori (1) ecology

termasuk flora, fauna, angin lembah, gunung, (2) material culture culture atau

artefak seperti makanan, pakaian, perumahan dan kota, (3) social culture

termasuk kerja(work) dan waktu luang (leisure), (4) organisations, customs, activities, procedures, concepts, yang bersifat politik dan aministratif, religius, dan artistik dan (5) gesture dan hubits.

Kebudayaan terungkap dalam bentuk kebudayaan eksplisit yang berwujud artefak yang diproduksi masyarakat seperti pakaian, makanan, teknologi, dan lain lain. Memahami budaya lain tidaklah mudah karena budaya itu secara langsung dapat diamati. Langkah pemahaman suatu kebudayaan dapat dilakukan dengan memahami terlebih dahulu konsep kebudayaan, kosmologi, pandangan hidup dan nilai budaya karena ketiga inti tersebut akan teraktualisasi dalam perilaku manusia pendukungnya.

Cerminan budaya dalam bahasa tidak hanya terbatas pada tingkatan kosa kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang lebih luas lagi seperti pada aspek retorika. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lain), begitu juga kebudayaan. Pernyataan ini sesuai dengan defenisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1888: 94 dalam Yadnya Putra) yaitu, “The way of life and its manifestation that are peculiar to a comunity that uses a particular language as its means of expression”. Dari defenisi tersebut

terkandung pengertian bahwa masing-masing gayub bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya.

Sebagaimana diungkapkan dalam subpembicaraan asumsi dasar di muka, Sibarani, (2004:46) mengatakan bahasa adalah alat intelektual yang paling fleksibel dan paling berkekuatan yang dikembangkan oleh manusia. Dan Sibarani, juga menegaskan, melihat bahasa sebagai instrumen utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya baik secara eksternal maupun internal sebagai invidu yang berfungsi dan partisipan aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia. Dalam konteks budaya bahasa (termasuk produk penggunaannya seperti karya sastra atau teks non-sastra lainnya) tidak saja bisa dipandang sebagai sarana komunikasi individu atau kelompok untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat, harapan, kegelisahan, cinta, kebencian, opini, dan sebagainya kepada individu atau kelompok lain, tetapi juga bisa dipandang sebagai suatu sumber daya unutk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan serta pelestarian nilai-nilai budaya. Berangkat dari paradigma ini maka studi tentang bahasa tidak hanya terbatas pada penelitian mikro yang dilakukan secara intrinsik semata-mata untuk kepentingan bahasa itu sendiri tetapi juga bersifat makro secara ekstrinsik untuk mengungkapkan apa yang berada di balik bahasa yang digunakan.

2.1.3.2 Budaya Etnik Angkola

Budaya berkaitan dengan cara hidup (way of living). Karena cara hidup itu membawakan cara berkomunikasi (way of comunication), dan dapat dikatakan bahwa budaya juga menentukan bagaimana para anggota masyarakat budaya itu bertutur. Dapat dikatakan bahwa budaya mengatur penggunaan bahasa. Tampubolon, (2005:45) mengatakan bahwa budaya berkaitan dengan aturan yang harus diikuti oleh para anggota masyarakat budaya yang bersangkutan, dan karena itu ia bersifat normatif, budaya menentukan standar perilaku.

Pandangan tradisonal suku Batak yaitu berkisar angka tiga. Pertama, alam semesta ini dilihat sebagai yang terdiri atas tiga bahagian yang disebut banua na tolu, banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah) dan banua toru (banua bawah). Menurut Sihombing dalam Tampubolon, (2005:46), ketiga dunia itu sederejat, yang berbeda adalah jenis penghuniya. Kedua dalam masyarakat Batak kesatuan sosial diibaratkan sebagai bonang na tolu (benang yang terdiri atas lilin) yang masing-masing mewarnai, putih dan hitam, yang mungkin sekali melambangkan tiga unsur utama di dalam masyarakat Batak Angkola. Ketiga yang paling penting dalam falsafah orang batak Angkola karena ia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari adalah azas dalihan na tolu (tungku yang tiga) yang di dalam hal ini tiga itu merujuk ke tiga buah batu yang dipakai untuk

menanak nasi. Apabila diamati betapa pentingnya perlambang batu ketika kita melihat menanak beras. (Beras adalah makanan pokok suku Batak maupun suku Jawa) sebagai lambang kehidupan. Agar kehidupan berlangsung terus , belanga tempat menanak beras itu harus seimbang, dan ini dapat terlaksana dan dipertahankan tiga syarat dipenuhi. Tiga batu di dalam masyarakat Angkola yaitu dongan sabatuha.

Kebudayaan Masyarakat Angkola-Sipirok dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Padang Bolak dan Masyarakat Mandailing.

Adat istiadat tersebut tidak banyak berbeda, demikian juga bahasanya. Masyarakat Angkola–Sipirok merupakan masyarakat agraris yang hidupnya tergantung kepada pertanian, sawah, dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis, dan lain-lain.

Masyarakat Angkola – Sipirok adalah masyarakat yang sejak dahulu kala mendiami wilayah Angkola dan wilayah Sipirok yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah Angkola terdiri atas tiga bagian, yaitu; 1) Angkola Jae (Angkola Hilir), 2) Angkola Julu (Angkola Hulu), 3) Angkola Dolok(Angkola Pegunungan).

Pada saat ini wilayah Angkola atas sepuluh wilayah kecamatan. Sepuluh kecamatan tersebut meliputi; 1) Kecamatan Batang Angkola, 2) Kecamatan

Batang Toru, 3) Kecamatan Padang Sidempuan Barat, 4) Kecamatan Padang Sidempuan Timur, 5) Kecamatan Padang Sidempuan Selatan, 6) Kecamatan Padang Sidempuan Utara, 7) Kecamatan Sipirok, 8) Kecamatan Saipar Dolok Hole, 9) Kecamatan Padang Bolak, dan 10) Kecamatan Dolok. Wilayah masyarakat Angkola-Sipirok berdampingan dengan wilayah Padang Bolak (Padang Lawas) dan Wilayah Mandailing.

Masing-masing kelompok etnik (suku bangsa) yang merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia mempunyai kebudayaan sendiri. Oleh karena itu, dalam kehidupan bangsa Indonesia terdapat mosaik kebudayaan etnik sebagai aset kultur yang tidak ternilai harganya. Karena itu, bahasa-bahasa daerah itu tetap dipelihara keberadaannya, baik secara Internasional maupun secara Nasional. Secara Internasional, adanya jaminan hak asasi bahasa untuk tetap bertahan dan mengembangkan diri. Untuk itu, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (Alwasilah, 2001:1). Dalam konteks mayarakat Indonesia, umumnya Bahasa Ibu mereka adalah bahasa daerah/lokal (vernacular).

Menurut Bahri, Samsul dalam Www.harian.global.com bahwa, Jauh sebelum penjajahan Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami Wilayah Angkola, yang diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi, itulah yang dinamakan Etnik Angkola (asli Angkola, bukan

pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain). Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan di sekitar Sabungan/Padangsidimpuan, Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena dan lain-lain.

Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti:

- Falsafah dasar “Dalihan Na Tolu”, sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini telah dipedomani,

- Adat Istiadat Budaya,

- Pakaian Adat dengan Tenunan sendiri,

- Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya Bisaa, Andung, Bura atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola ni Hata. Sedangkan Aksara Angkola yang jika dibaca menurut ejaan Latin adalah A, HA, NA. RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA, BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA (Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi dengan simbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O, dan U serta Simbol Pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA menjadi NG, dll. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya.

- Mempunyai Kesenian dan Alatnya serta Ornamen khas. - Ciri khas kebudayaannya telah dianut secara turun menurun.

Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran di SD dan SMP/sederajat di seluruh Tapnanuli Selatan, baik pelajaran Tata Bahasa (Impola Ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian), dan lain-lain yang dipergunakan adalah versi Angkola.

Dari segi garis keturunan yang menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar, Pane dengan rumpun marganya, seluruhnya mendiami ketiga order distrik

Dokumen terkait